Dalam lanskap kebudayaan Jawa yang kaya dan mendalam, terdapat sebuah pilar penting yang berperan sebagai penjaga sekaligus pemandu: Bausastra. Lebih dari sekadar kamus biasa, Bausastra adalah cerminan jiwa, pemikiran, dan warisan leluhur yang terangkum dalam lembaran-lembaran kata. Ia bukan hanya alat untuk memahami makna sebuah kata, melainkan sebuah gerbang menuju kedalaman filosofi, etika, dan estetika yang menjadi ciri khas peradaban Jawa.
Istilah "Bausastra" sendiri berasal dari bahasa Sanskerta, di mana "bahu" berarti banyak atau kaya, dan "sastra" berarti tulisan atau ilmu pengetahuan. Dengan demikian, Bausastra dapat diartikan sebagai "ilmu tentang banyak tulisan" atau "sastra yang kaya," yang pada akhirnya merujuk pada sebuah karya rujukan yang menghimpun kekayaan leksikal dan semantik suatu bahasa. Dalam konteks ini, Bausastra secara spesifik merujuk pada kamus bahasa Jawa, menjadi sumber utama untuk memahami kompleksitas dan keindahan bahasa yang digunakan oleh jutaan penuturnya di Pulau Jawa dan sekitarnya.
Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk Bausastra, mulai dari sejarah, perannya dalam pelestarian bahasa dan budaya, tantangan yang dihadapi dalam penyusunannya, hingga prospeknya di era digital. Kita akan menelusuri bagaimana Bausastra tidak hanya menjadi alat linguistik, tetapi juga dokumen sejarah, ensiklopedia mini, dan panduan moral yang tak ternilai harganya. Mari kita selami lebih dalam dunia Bausastra, sebuah mahakarya kebudayaan yang terus berdenyut dalam jantung masyarakat Jawa.
Kebutuhan untuk mendokumentasikan dan mengkodifikasi bahasa telah ada sejak peradaban kuno. Di Jawa, tradisi penulisan naskah-naskah kuno seperti kakawin, parwa, dan serat telah berlangsung selama berabad-abad, namun gagasan tentang kamus dalam format modern relatif baru. Perkembangan Bausastra tidak dapat dilepaskan dari interaksi budaya dan tuntutan zaman, terutama sejak masuknya pengaruh Barat.
Sebelum adanya kamus formal seperti yang kita kenal sekarang, pemahaman akan bahasa Jawa diwariskan secara lisan atau melalui glosarium singkat yang menyertai naskah-naskah kuno. Para pujangga dan ahli bahasa pada masa lampau menciptakan karya-karya yang secara implisit berfungsi sebagai rujukan, seperti serat-serat pelajaran atau catatan-catatan mengenai istilah-istilah sulit. Namun, sistematisasi leksikal dalam bentuk daftar kata dengan definisi belum menjadi praktik umum.
Era kolonial Belanda membawa perubahan signifikan. Kebutuhan para pejabat, misionaris, dan peneliti Belanda untuk memahami bahasa dan budaya setempat mendorong mereka untuk menyusun daftar kata dan tata bahasa. Ini adalah cikal bakal Bausastra modern. Salah satu upaya awal yang terkenal adalah penyusunan kamus oleh para sarjana Belanda yang memiliki minat mendalam terhadap filologi Jawa.
Salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah Bausastra adalah J.F.C. Gericke. Bersama dengan T. Roorda, ia menyusun "Javaansch-Nederduitsch Woordenboek" (Kamus Jawa-Belanda) yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1847. Kamus ini dianggap sebagai tonggak penting karena menjadi salah satu Bausastra paling komprehensif pada masanya. Karya Gericke-Roorda ini bukan hanya sekadar daftar kata, tetapi juga memuat contoh penggunaan, etimologi, dan variasi dialek, yang menunjukkan tingkat kedalaman penelitian yang luar biasa.
Setelah Gericke-Roorda, banyak sarjana lain melanjutkan estafet ini, seperti P.J. Veth dan H.N. van der Tuuk, yang meskipun lebih banyak berkarya untuk bahasa Batak dan Melayu, namun metode filologis mereka memberikan inspirasi bagi penelitian bahasa Jawa. Upaya-upaya ini menunjukkan kolaborasi, meskipun sering kali didominasi oleh sudut pandang kolonial, yang pada akhirnya meletakkan dasar bagi studi leksikografi Jawa yang lebih sistematis.
Titik balik penting terjadi ketika bangsa Indonesia sendiri mulai menyusun Bausastra. Salah satu nama yang patut dicatat adalah Ki Padmasusastra, seorang pujangga dan ahli bahasa Jawa. Karyanya, "Bausastra Jawa," meskipun tidak seluas kamus Belanda sebelumnya, merupakan representasi otentik dari pemahaman penutur asli. Karya ini sangat penting karena menunjukkan inisiatif dari dalam komunitas Jawa untuk mendokumentasikan bahasanya sendiri.
Namun, mahakarya sesungguhnya yang menjadi acuan hingga kini adalah "Bausastra Jawa" karya W.J.S. Poerwadarminta. Diterbitkan pada tahun 1939, kamus ini adalah hasil kerja keras selama bertahun-tahun dan diakui sebagai Bausastra Jawa terlengkap dan terotoritatif. Poerwadarminta, seorang guru dan ahli bahasa yang ulung, berhasil menyusun sebuah kamus yang tidak hanya kaya akan leksikon, tetapi juga detail dalam penjelasan makna, variasi bentuk, penggunaan dalam kalimat, dan nuansa rasa bahasa Jawa (seperti tingkat tutur krama dan ngoko). Karya Poerwadarminta inilah yang sering kali menjadi rujukan utama ketika kita membicarakan Bausastra Jawa.
Penyusunan Bausastra Poerwadarminta adalah sebuah peristiwa monumental dalam sejarah linguistik Jawa. Ini bukan hanya pencapaian akademik, tetapi juga ekspresi nasionalisme dan keinginan untuk melestarikan identitas budaya di tengah arus modernisasi dan kolonialisme. Kamus ini menjadi fondasi bagi studi bahasa Jawa di kemudian hari dan memposisikan bahasa Jawa sebagai bahasa yang memiliki kekayaan leksikal dan gramatikal yang setara dengan bahasa-bahasa besar lainnya.
Setelah kemerdekaan Indonesia, minat terhadap bahasa daerah, termasuk Jawa, terus berlanjut. Berbagai lembaga dan universitas melakukan penelitian dan penyempurnaan Bausastra yang sudah ada, atau menyusun kamus-kamus baru yang lebih spesifik, misalnya kamus dialek atau kamus istilah khusus. Penerbitan ulang Bausastra Poerwadarminta oleh Balai Pustaka secara berkala menunjukkan relevansi dan pentingnya karya tersebut hingga saat ini. Selain itu, muncul pula upaya-upaya untuk membuat Bausastra yang lebih mudah diakses oleh masyarakat umum atau untuk tujuan pendidikan.
Sejarah Bausastra adalah cerminan dari perjalanan panjang bahasa Jawa itu sendiri—sebuah perjalanan adaptasi, pelestarian, dan inovasi. Dari glosarium sederhana hingga kamus komprehensif ribuan halaman, Bausastra terus berevolusi, menjadi saksi bisu sekaligus pelaku utama dalam menjaga denyut nadi bahasa dan budaya Jawa.
Fungsi Bausastra melampaui sekadar daftar kata dan definisinya. Ia adalah instrumen vital dalam pelestarian dan pengembangan bahasa Jawa, serta penjaga warisan budaya yang tak ternilai. Dalam setiap entri kata, tersimpan sejarah, filosofi, dan cara pandang masyarakat Jawa terhadap dunia.
Bahasa Jawa, dengan tingkat tutur (undha-usuk basa) yang kompleks dan kekayaan kosakata yang luar biasa, rentan terhadap erosi seiring perubahan zaman. Kata-kata kuno, istilah-istilah filosofis, atau ungkapan-ungkapan yang jarang digunakan dapat terlupakan jika tidak didokumentasikan. Di sinilah Bausastra berperan sebagai gudang penyimpanan. Ia mengumpulkan, mencatat, dan menjelaskan setiap leksem, dari yang paling umum hingga yang paling langka, sehingga memastikan bahwa kekayaan leksikal ini tetap dapat diakses oleh generasi mendatang.
Sebagai contoh, banyak kata dalam bahasa Jawa Kuno yang masih memiliki gema dalam bahasa Jawa modern, dan Bausastra membantu menjembatani pemahaman antara keduanya. Ia juga mendokumentasikan perbedaan makna kata berdasarkan konteks, dialek, atau tingkat tutur, yang semuanya penting untuk memahami nuansa bahasa Jawa.
Bagi penutur asli maupun pembelajar bahasa Jawa, Bausastra adalah sumber rujukan yang tak tergantikan. Ia membantu seseorang untuk:
Tanpa Bausastra, pembelajaran bahasa Jawa akan jauh lebih sulit dan kurang akurat, terutama bagi mereka yang tidak tumbuh besar dalam lingkungan berbahasa Jawa secara aktif.
Bahasa adalah cermin budaya, dan Bausastra adalah cermin yang sangat jernih. Di dalamnya, kita dapat menemukan:
Dengan demikian, Bausastra bukan hanya alat linguistik, tetapi juga ensiklopedia mini tentang kebudayaan Jawa, memungkinkan pembaca untuk menyelami kekayaan peradaban ini melalui kata-kata.
Para peneliti, filolog, sejarawan, dan antropolog sangat bergantung pada Bausastra. Ini adalah sumber primer untuk meneliti perkembangan leksikon, perubahan semantik, dan hubungan antara bahasa dan budaya. Bausastra juga menjadi dasar untuk pengembangan materi ajar, perangkat lunak terjemahan, atau bahkan kamus-kamus tematik lainnya.
Tanpa fondasi yang kokoh dari Bausastra, upaya untuk mempromosikan dan mengembangkan bahasa Jawa akan sangat terhambat. Ia adalah bukti otentik keberadaan dan vitalitas bahasa tersebut.
Di era globalisasi, mempertahankan identitas kultural menjadi semakin penting. Bahasa adalah salah satu penanda identitas yang paling kuat. Dengan memiliki Bausastra yang komprehensif dan diakui, masyarakat Jawa menegaskan keberadaan dan kebanggaan akan bahasa serta budayanya. Ini memberikan rasa memiliki dan kontinuitas dengan masa lalu, serta menjadi sumber inspirasi untuk masa depan.
Bausastra berfungsi sebagai pengingat konstan akan warisan linguistik dan budaya yang harus dilestarikan. Ia mendorong penuturnya untuk tidak melupakan akar bahasanya dan bahkan membangkitkan kembali minat generasi muda untuk mempelajari dan menggunakannya.
Secara keseluruhan, Bausastra adalah jantung yang memompa kehidupan ke dalam bahasa Jawa. Ia tidak hanya mendokumentasikan, tetapi juga memelihara, mengajarkan, dan merayakan kekayaan budaya yang melekat pada setiap kata.
Sebuah Bausastra yang baik tidak hanya berisi daftar kata-kata. Ia disusun dengan metodologi yang cermat untuk memberikan informasi yang paling lengkap dan akurat tentang setiap leksem. Struktur entri dalam Bausastra Jawa, khususnya yang disusun oleh W.J.S. Poerwadarminta, menjadi standar rujukan yang banyak diikuti.
Setiap entri kata dalam Bausastra biasanya terdiri dari beberapa elemen penting:
Struktur yang sistematis dan konsisten ini sangat penting karena beberapa alasan:
Penyusun Bausastra harus memiliki keahlian linguistik yang tinggi, ketelitian, dan pemahaman mendalam tentang budaya Jawa untuk menciptakan entri yang lengkap dan akurat. Ini adalah pekerjaan yang memakan waktu dan membutuhkan dedikasi luar biasa, yang hasilnya dapat kita nikmati dalam bentuk sebuah Bausastra yang komprehensif seperti karya Poerwadarminta.
Dengan demikian, setiap halaman dan setiap entri dalam Bausastra adalah bukti dari kompleksitas dan keindahan bahasa Jawa, disusun dengan cermat agar dapat terus menjadi panduan bagi generasi demi generasi.
Meskipun Bausastra telah ada selama berabad-abad dan mencapai puncaknya dengan karya Poerwadarminta, penyusunan dan pembaruan Bausastra di era modern menghadapi tantangan unik. Perkembangan zaman, perubahan sosial, dan dinamika bahasa itu sendiri menuntut adaptasi dan inovasi dari para leksikograf.
Bahasa adalah entitas hidup yang terus berkembang. Setiap hari, muncul kata-kata baru, terutama dari serapan bahasa asing (misalnya Inggris) atau penciptaan istilah baru untuk konsep modern (teknologi, gaya hidup, dll.). Tantangan bagi Bausastra adalah:
Fitur undha-usuk basa adalah keindahan sekaligus kerumitan bahasa Jawa. Dalam Bausastra, setiap entri seringkali harus menunjukkan padanan ngoko, madya, dan krama (termasuk krama inggil). Tantangannya adalah:
Penyusunan Bausastra adalah proyek besar yang membutuhkan sumber daya yang signifikan:
Era digital membawa peluang sekaligus tantangan:
Tantangan terbesar adalah memastikan Bausastra terus relevan dan digunakan:
Menyusun atau memperbarui Bausastra bukan hanya pekerjaan linguistik, tetapi juga proyek budaya yang membutuhkan kolaborasi antara akademisi, pemerintah, komunitas, dan pengembang teknologi. Melalui upaya kolektif, tantangan-tantangan ini dapat diatasi, memastikan Bausastra terus hidup dan berfungsi sebagai penjaga bahasa Jawa yang tak tergantikan.
Transformasi digital telah mengubah hampir setiap aspek kehidupan, termasuk cara kita mengakses dan berinteraksi dengan pengetahuan. Bausastra, yang secara tradisional hadir dalam bentuk cetak tebal, kini menemukan jalannya ke dunia maya, membuka peluang baru untuk aksesibilitas, interaktivitas, dan pelestarian yang lebih luas.
Langkah pertama dalam menghadirkan Bausastra ke era digital adalah digitalisasi karya-karya cetak yang sudah ada. Bausastra Jawa Poerwadarminta, misalnya, telah tersedia dalam format digital, baik dalam bentuk PDF yang dipindai maupun basis data teks yang dapat dicari. Proses ini melibatkan:
Digitalisasi ini memungkinkan Bausastra untuk diakses oleh siapa saja dengan koneksi internet, tanpa harus memiliki fisik buku yang seringkali langka atau mahal.
Platform daring adalah bentuk Bausastra digital yang paling populer. Beberapa fitur dan keuntungan dari Bausastra daring meliputi:
Contoh inisiatif Bausastra daring adalah yang dikembangkan oleh beberapa universitas atau komunitas pegiat bahasa Jawa, seperti Bausastra Jawa Online atau aplikasi kamus Jawa-Indonesia yang tersedia di perangkat seluler.
Pengembangan Bausastra modern semakin memanfaatkan teknologi korpus linguistik dan kecerdasan buatan (AI):
Meskipun banyak peluang, ada pula tantangan:
Bausastra di era digital adalah langkah maju yang penting dalam memastikan bahasa Jawa tetap relevan dan mudah diakses di tengah arus modernisasi. Ia menjanjikan masa depan di mana kekayaan linguistik dan budaya Jawa dapat terus berkembang dan dinikmati oleh khalayak yang lebih luas, baik di dalam maupun di luar Jawa.
Dalam khazanah leksikografi Indonesia, terdapat dua karya monumental yang menjadi pilar utama pemahaman bahasa: Bausastra untuk bahasa Jawa, dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) untuk bahasa Indonesia. Meskipun keduanya memiliki tujuan yang sama—mendokumentasikan dan menjelaskan sebuah bahasa—ada perbedaan mendasar dalam cakupan, pendekatan, dan peran historis-kulturalnya.
Meskipun berbeda, Bausastra dan KBBI tidak berdiri sendiri. Ada interaksi dan saling keterkaitan. Banyak kata serapan dari bahasa Jawa yang masuk ke dalam bahasa Indonesia dan tercatat di KBBI. Demikian pula, beberapa istilah modern dari bahasa Indonesia atau asing yang diserap ke dalam bahasa Jawa bisa ditemukan dalam Bausastra yang lebih baru atau versi digitalnya.
Keduanya adalah harta karun linguistik dan budaya yang melengkapi satu sama lain. Bausastra menjaga kekayaan bahasa daerah, sementara KBBI memupuk persatuan bahasa nasional. Kehadiran keduanya menunjukkan betapa kayanya lanskap linguistik Indonesia.
Di tengah arus globalisasi dan dominasi bahasa-bahasa besar, masa depan bahasa daerah seperti Jawa, dan tentu saja Bausastra sebagai penjaganya, menghadapi tantangan besar. Namun, dengan inovasi dan dedikasi, Bausastra dapat terus berperan penting dalam revitalisasi dan pelestarian bahasa Jawa.
Seperti yang telah dibahas, digitalisasi adalah kunci. Bausastra perlu terus diadaptasi ke platform digital yang lebih canggih, ramah pengguna, dan interaktif. Ini termasuk pengembangan aplikasi mobile, platform web yang responsif, dan bahkan integrasi dengan asisten suara atau alat terjemahan berbasis AI. Aksesibilitas yang lebih luas akan menarik generasi muda dan pembelajar non-Jawa.
Pengembangan Bausastra berbasis korpus yang terus-menerus diperbarui juga penting. Dengan menganalisis penggunaan bahasa Jawa dalam berbagai konteks (dari sastra klasik hingga percakapan di media sosial), Bausastra dapat merefleksikan bahasa Jawa yang hidup dan berkembang.
Peran Bausastra dalam pendidikan bahasa Jawa harus diperkuat. Ini bisa dilakukan melalui:
Integrasi Bausastra ke dalam kurikulum bukan hanya tentang linguistik, tetapi juga tentang menanamkan rasa bangga dan kepemilikan terhadap bahasa dan budaya Jawa.
Revitalisasi bahasa Jawa, dan pemeliharaan Bausastra, bukanlah tugas yang bisa diemban oleh satu pihak saja. Diperlukan kolaborasi erat antara:
Contoh kolaborasi yang berhasil adalah pembentukan tim multidisiplin untuk proyek Bausastra daring yang menggabungkan ahli bahasa, budayawan, dan ahli teknologi.
Kamus menjadi relevan jika bahasanya hidup dan digunakan. Oleh karena itu, upaya harus dilakukan untuk mendorong penciptaan konten berbahasa Jawa di berbagai media:
Semakin banyak konten berkualitas berbahasa Jawa yang tersedia, semakin tinggi pula kebutuhan akan Bausastra sebagai alat rujukan, dan semakin kuat pula minat untuk mempelajari bahasa tersebut.
Masa depan Bausastra juga dapat mencakup pemetaan yang lebih rinci tentang dialek dan variasi bahasa Jawa di berbagai daerah. Ini tidak hanya akan memperkaya kamus, tetapi juga membantu dalam memahami keragaman linguistik di Jawa dan mengakui kekhasan setiap komunitas penutur.
Dengan strategi yang komprehensif ini, Bausastra dapat bertransformasi dari sekadar buku tebal di rak menjadi ekosistem digital yang dinamis, berfungsi sebagai jantung yang terus memompa kehidupan ke dalam bahasa Jawa, memastikan bahwa warisan budaya ini tetap abadi dan relevan bagi generasi mendatang.
Bausastra, sebagai fondasi leksikal bahasa Jawa, tidak hanya mempengaruhi studi linguistik, tetapi juga memiliki dampak signifikan terhadap perkembangan sastra dan budaya populer di kalangan masyarakat Jawa. Keberadaannya memberikan stabilitas dan panduan yang esensial bagi para kreator.
Para sastrawan Jawa, baik yang menulis dalam genre tradisional (seperti serat atau macapat) maupun kontemporer (cerpen, novel, puisi modern), sangat mengandalkan Bausastra. Kamus ini berfungsi sebagai:
Dengan demikian, Bausastra tidak hanya alat pasif, tetapi katalis yang memungkinkan sastra Jawa untuk terus berkembang dengan akar yang kuat pada tradisi linguistiknya.
Di era modern, bahasa Jawa tidak hanya hidup dalam teks-teks klasik atau sastra tinggi, tetapi juga merambah ke budaya populer, media massa, dan platform digital. Bausastra berperan penting dalam konteks ini:
Melalui perannya ini, Bausastra membantu menjaga vitalitas bahasa Jawa di luar konteks akademis, menjadikannya bagian integral dari kehidupan sehari-hari dan ekspresi kreatif masyarakat. Ia membuktikan bahwa meskipun berusia ratusan tahun, Bausastra tetap menjadi sumber daya yang relevan dan dinamis, terus mempengaruhi cara kita berbicara, menulis, dan menciptakan dalam bahasa Jawa.
Sebuah kamus, betapapun komprehensifnya, tidak akan pernah sempurna tanpa masukan dan partisipasi aktif dari komunitas penuturnya. Dalam kasus Bausastra, peran masyarakat Jawa sangatlah krusial, baik dalam penyusunannya di masa lalu maupun pembaruannya di masa kini dan masa depan. Bahasa adalah milik komunitas, dan oleh karena itu, dokumentasinya pun harus menjadi upaya kolektif.
Para leksikograf, terutama untuk bahasa hidup seperti Jawa, tidak hanya bekerja dengan teks-teks tertulis. Mereka juga mendalami penggunaan bahasa dalam percakapan sehari-hari, cerita rakyat, lagu, upacara adat, dan berbagai bentuk ekspresi lisan. Di sinilah peran penutur asli menjadi sangat penting:
Di era digital, partisipasi komunitas dapat lebih dinamis dan terstruktur:
Selain berkontribusi pada konten Bausastra, komunitas juga memainkan peran vital dalam meningkatkan kesadaran dan mendorong penggunaan kamus:
Tanpa dukungan dan partisipasi aktif dari komunitas penutur, Bausastra akan kehilangan sebagian besar vitalitas dan relevansinya. Keterlibatan komunitas memastikan bahwa Bausastra bukan hanya sekadar koleksi kata, melainkan cerminan hidup dari bahasa yang terus bernapas dan beradaptasi.
Melalui perjalanan panjang mengarungi sejarah, peran esensial dalam pelestarian bahasa dan budaya, kompleksitas struktur, tantangan modernisasi, hingga peluang di era digital, Bausastra telah membuktikan dirinya sebagai lebih dari sekadar kamus. Ia adalah sebuah monumen linguistik, sebuah mahakarya filologi, dan yang terpenting, jantung yang tak pernah berhenti berdenyut dalam nadi kebudayaan Jawa.
Dari karya perintis Gericke-Roorda, kemudian disempurnakan menjadi tonggak sejarah oleh W.J.S. Poerwadarminta, Bausastra telah menjadi saksi bisu sekaligus pelaku aktif dalam perjalanan bahasa Jawa. Ia adalah gudang penyimpanan kekayaan leksikal, penjaga undha-usuk basa yang halus, cermin filosofi luhur, dan jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini dan masa depan. Setiap kata yang tercatat di dalamnya adalah sebuah permata yang memancarkan makna, sejarah, dan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Tantangan di era modern, mulai dari dinamika kosakata yang cepat, kompleksitas tingkat tutur yang kadang memudar di kalangan generasi muda, hingga kebutuhan akan sumber daya dan metodologi canggih, memang tidak ringan. Namun, era digital juga membuka peluang yang tak terhingga. Dengan digitalisasi, platform daring, dan pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan, Bausastra dapat mencapai audiens yang lebih luas, menjadi lebih interaktif, dan terus diperbarui agar relevan dengan zaman.
Peran komunitas penutur, para sastrawan, pendidik, dan pengembang teknologi sangatlah fundamental dalam memastikan keberlanjutan Bausastra. Melalui kolaborasi dan partisipasi aktif, kita dapat memastikan bahwa Bausastra bukan hanya menjadi artefak bersejarah, tetapi sebuah alat yang hidup dan dinamis, yang terus mendidik, menginspirasi, dan mempersatukan masyarakat Jawa dalam kebanggaan akan warisan bahasanya.
Pada akhirnya, Bausastra adalah penjelmaan dari pepatah "bahasa menunjukkan bangsa." Ia adalah bukti konkret bahwa bahasa Jawa adalah entitas yang kaya, mendalam, dan tak lekang oleh waktu. Ia adalah penjaga keabadian yang memastikan bahwa identitas, kearifan, dan keindahan budaya Jawa akan terus hidup dan berkembang melintasi generasi. Mari kita terus menghargai, mempelajari, dan melestarikan Bausastra, demi kejayaan bahasa Jawa yang abadi.