Memahami Esensi Berfatwa: Sumber, Etika, dan Relevansi Kontemporer

Ilustrasi konsep fatwa: Kitab ilmu yang menerangi dengan panduan kebijaksanaan.

Dalam khazanah keilmuan Islam, istilah berfatwa atau fatwa memiliki kedudukan yang sangat fundamental. Ia bukanlah sekadar opini atau pandangan pribadi, melainkan sebuah respons hukum syariat terhadap suatu masalah baru atau situasi yang memerlukan kejelasan hukum. Proses berfatwa menuntut keilmuan yang mendalam, pemahaman konteks yang komprehensif, dan kehati-hatian yang luar biasa, sebab ia memiliki implikasi besar bagi individu maupun masyarakat luas.

Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk berfatwa, mulai dari definisi dan sejarahnya, sumber-sumber yang digunakan, kualifikasi seorang mufti (pemberi fatwa) dan mustafti (peminta fatwa), etika yang menyertainya, hingga tantangan dan relevansinya di era kontemporer. Tujuan utamanya adalah memberikan pemahaman yang komprehensif dan mendalam agar kita dapat menghargai kompleksitas dan urgensi dari praktik keilmuan ini, serta menghindari kesalahpahaman yang sering terjadi.

Definisi dan Sejarah Fatwa

Apa Itu Fatwa?

Secara etimologi, kata "fatwa" berasal dari bahasa Arab, iftāʾ (إفتاء), yang berarti "memberi penjelasan" atau "memberi jawaban hukum". Akar katanya, fata (فتى), merujuk pada pemuda atau sesuatu yang baru. Dalam konteks syariat, fatwa adalah jawaban hukum syariat terhadap pertanyaan yang diajukan oleh seseorang atau kelompok, yang diberikan oleh seorang ulama yang memiliki otoritas dan kapabilitas untuk itu. Jawaban ini didasarkan pada dalil-dalil syariat yang valid dan melalui proses penalaran hukum yang ketat.

Penting untuk membedakan fatwa dengan qada' (keputusan pengadilan). Fatwa bersifat non-mengikat (tidak wajib diikuti dalam arti sanksi duniawi langsung) dan merupakan panduan, sementara qada' adalah keputusan hakim yang bersifat mengikat dan memiliki kekuatan eksekutorial. Fatwa juga berbeda dari khotbah atau ceramah, yang umumnya bersifat nasihat umum atau pengajaran moral, meskipun terkadang khotbah dapat mengandung elemen fatwa.

Sejarah Singkat Praktik Berfatwa

Praktik berfatwa sudah ada sejak masa Rasulullah ﷺ. Beliau adalah mufti pertama dan utama bagi umat Islam. Para sahabat datang kepada beliau untuk menanyakan berbagai masalah kehidupan, dan beliau memberikan jawaban hukum berdasarkan wahyu dari Allah SWT. Al-Qur'an sendiri seringkali berisi "fatwa" dari Allah SWT, misalnya terkait warisan, puasa, atau haji.

Setelah wafatnya Rasulullah, para sahabat menjadi rujukan utama bagi kaum Muslimin. Sahabat-sahabat besar seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas'ud, Aisyah, dan Abdullah bin Abbas dikenal sebagai mufti-mufti di masanya. Mereka berfatwa berdasarkan pemahaman mereka terhadap Al-Qur'an dan Sunnah, serta melakukan ijtihad jika tidak ada dalil yang eksplisit.

Pada masa Tabi'in dan Tabi'it Tabi'in, tradisi berfatwa semakin berkembang dan terlembagakan. Lahirlah madzhab-madzhab fiqh seperti Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali, yang masing-masing memiliki metodologi (ushul fiqh) dalam mengeluarkan fatwa. Para imam madzhab ini dan murid-murid mereka adalah mufti-mufti agung yang meletakkan dasar-dasar keilmuan fatwa yang kokoh.

Di era modern, praktik berfatwa terus berlanjut melalui lembaga-lembaga fatwa, dewan ulama, atau individu ulama yang mumpuni. Di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah salah satu lembaga yang memiliki peran sentral dalam berfatwa mengenai isu-isu keagamaan dan kemasyarakatan.

Sumber-Sumber dalam Berfatwa (Ushul Fiqh)

Seorang mufti yang hendak berfatwa tidak dapat sembarangan mengeluarkan pandangan. Ia harus merujuk kepada sumber-sumber hukum Islam yang telah disepakati dan diakui secara luas. Sumber-sumber ini dikenal sebagai Ushul Fiqh (prinsip-prinsip yurisprudensi Islam). Berikut adalah beberapa sumber utama yang digunakan dalam proses berfatwa:

1. Al-Qur'an Al-Karim

Al-Qur'an adalah sumber hukum Islam yang paling utama dan fundamental. Ia adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ. Ketika seorang mufti berfatwa, langkah pertama yang harus ia lakukan adalah mencari jawaban dalam Al-Qur'an. Jika ada ayat yang secara eksplisit mengatur suatu masalah, maka itulah hukumnya. Namun, tidak semua masalah diatur secara rinci dalam Al-Qur'an, sehingga diperlukan interpretasi dan pemahaman yang mendalam terhadap konteks ayat-ayat tersebut.

Pemahaman terhadap Al-Qur'an memerlukan ilmu tafsir, asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat), nasikh dan mansukh (ayat yang menghapus dan dihapus), serta kaidah-kaidah bahasa Arab yang fasih. Mufti harus memastikan bahwa ia tidak menafsirkan ayat sesuai hawa nafsu atau pemahaman yang dangkal, melainkan sesuai dengan tradisi keilmuan yang sahih.

2. As-Sunnah An-Nabawiyah

As-Sunnah, yang meliputi perkataan (qaul), perbuatan (fi'l), dan persetujuan (taqrir) Nabi Muhammad ﷺ, adalah sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur'an. Sunnah berfungsi sebagai penjelas (bayan) bagi ayat-ayat Al-Qur'an yang bersifat global, mengkhususkan (takhsis) yang umum, serta menetapkan hukum-hukum baru yang tidak disebutkan dalam Al-Qur'an secara eksplisit. Tanpa Sunnah, Al-Qur'an tidak dapat dipahami dan diamalkan dengan sempurna.

Mufti yang berfatwa harus memiliki pengetahuan yang luas tentang hadis, ilmu hadis (musthalah hadis) untuk membedakan hadis sahih, hasan, dan dhaif, serta memahami konteks periwayatan hadis. Ia juga harus memahami fiqh hadis, yaitu bagaimana hadis-hadis tersebut diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan bagaimana mengkompromikan antara hadis-hadis yang terlihat bertentangan.

3. Ijma' (Konsensus Ulama)

Ijma' adalah kesepakatan (konsensus) para ulama mujtahid dari umat Muhammad ﷺ pada suatu masa setelah wafatnya beliau tentang suatu hukum syar'i. Ijma' memiliki kekuatan hukum yang sangat kuat, setara dengan Al-Qur'an dan Sunnah, karena didasarkan pada sabda Nabi: "Umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan." Jika suatu masalah telah mencapai ijma' ulama, maka seorang mufti tidak diperbolehkan untuk berfatwa yang bertentangan dengannya.

Namun, identifikasi ijma' bukanlah perkara mudah. Terkadang yang dianggap ijma' hanyalah kesepakatan mayoritas ulama (jumhur), bukan ijma' qat'i (mutlak) yang jarang terjadi. Mufti harus hati-hati dalam mengklaim adanya ijma' dan memastikan bahwa tidak ada perbedaan pendapat yang signifikan di antara ulama mujtahid yang diakui.

4. Qiyas (Analogi)

Qiyas adalah menyamakan hukum suatu masalah baru yang tidak ada dalilnya dalam Al-Qur'an, Sunnah, atau Ijma', dengan masalah lama yang sudah ada dalilnya, karena adanya persamaan 'illat (sebab hukum) di antara keduanya. Qiyas menjadi metode penting ketika ulama menghadapi masalah-masalah kontemporer yang belum ada presedennya dalam nash.

Contoh klasik qiyas adalah mengharamkan narkoba dengan mengqiyaskan pada khamr (minuman keras), karena 'illat hukumnya sama, yaitu memabukkan atau merusak akal. Proses qiyas memerlukan pemahaman yang mendalam tentang kaidah-kaidah ushul fiqh, kemampuan menganalisis 'illat hukum, dan objektivitas agar tidak terjadi qiyas ma'al farq (analogi yang tidak relevan).

5. Istihsan (Preperensi Hukum)

Istihsan adalah meninggalkan hukum yang seharusnya diterapkan berdasarkan qiyas jaliy (analogi yang jelas) demi menerapkan hukum lain yang lebih sesuai dengan kemaslahatan, kemudahan, atau tradisi, berdasarkan dalil yang lebih kuat atau rahasia syariat. Istihsan seringkali digunakan untuk menghindari kesulitan atau untuk menghasilkan hukum yang lebih adil dalam kasus-kasus tertentu. Namun, penggunaannya harus didasarkan pada dalil syar'i yang kuat, bukan sekadar selera pribadi.

6. Maslahah Mursalah (Kemaslahatan Umum yang Tidak Diatur Syariat)

Maslahah Mursalah adalah penetapan hukum berdasarkan kemaslahatan umum yang tidak ada dalil khusus dari syariat yang membenarkan atau menolaknya. Ini sering diterapkan pada masalah-masalah baru yang bertujuan untuk mencapai kemanfaatan dan mencegah kerusakan bagi umat, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Contohnya adalah penetapan pencetakan mushaf Al-Qur'an atau sistem pendaftaran pernikahan.

7. Urf (Adat Istiadat)

Urf adalah adat istiadat atau kebiasaan yang berlaku di suatu masyarakat dan tidak bertentangan dengan syariat. Urf dapat menjadi dasar hukum dalam berfatwa, terutama dalam masalah muamalah (interaksi sosial) yang seringkali mengacu pada kebiasaan setempat. Kaidah fiqh menyatakan: "Adat kebiasaan itu dapat dijadikan hukum." Namun, adat tersebut haruslah adat yang sahih, bukan adat yang bertentangan dengan nash atau merusak moral.

8. Sadd Adz-Dzari'ah (Menutup Jalan ke Maksiat)

Sadd Adz-Dzari'ah adalah kaidah yang berarti menutup segala jalan atau sarana yang dapat mengarah kepada kemaksiatan atau kerusakan, meskipun sarana itu sendiri pada dasarnya mubah (boleh). Tujuannya adalah untuk menjaga kemaslahatan dan mencegah mafsadat (kerusakan). Contohnya adalah larangan khalwat (berdua-duaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram) karena dapat membuka pintu zina.

9. Istishab (Presumsi Berlanjut)

Istishab adalah kaidah yang menyatakan bahwa suatu hukum atau keadaan yang telah ada dianggap tetap ada sampai ada dalil yang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang telah yakin bersuci, maka ia dianggap tetap suci sampai ada keyakinan bahwa ia telah berhadas. Atau, suatu perkara dianggap boleh (asalnya mubah) sampai ada dalil yang mengharamkannya. Kaidah ini memberikan kepastian hukum dan menghindari kesulitan dalam penetapan hukum.

10. Madzhab Sahabi (Pendapat Sahabat)

Pendapat sahabat, terutama para sahabat besar yang dikenal luas keilmuannya, seringkali dijadikan rujukan dalam berfatwa, meskipun ada perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul fiqh tentang statusnya sebagai dalil yang mengikat. Namun, secara umum, pendapat mereka sangat dihormati dan dipertimbangkan karena kedekatan mereka dengan Nabi dan pemahaman mereka yang mendalam terhadap Al-Qur'an dan Sunnah.

11. Syari'at Man Qablana (Syariat Umat Terdahulu)

Syariat umat terdahulu yang disebutkan dalam Al-Qur'an atau Sunnah dan tidak dihapuskan oleh syariat Islam dapat menjadi bagian dari hukum Islam bagi umat Nabi Muhammad ﷺ. Namun, hal ini juga menjadi perdebatan di kalangan ulama, dengan beberapa syarat dan batasan.

Penggunaan sumber-sumber ini dalam berfatwa bukanlah sekadar mencomot dalil, melainkan memerlukan metodologi yang ketat, yang dikenal sebagai ijtihad. Seorang mufti harus mampu menggali hukum dari sumber-sumber ini dengan benar, menimbang dalil-dalil, memahami konteks, dan mengeluarkan kesimpulan yang paling mendekati kebenaran syariat.

Kualifikasi Seorang Mufti dan Mustafti

💡
Ilustrasi kebijaksanaan dan ilmu yang menjadi bekal seorang mufti.

Tidak sembarang orang dapat berfatwa. Islam menetapkan kualifikasi yang ketat bagi seorang mufti karena tugasnya yang mulia namun penuh tanggung jawab. Demikian pula, ada etika dan adab bagi mustafti yang mencari fatwa.

Kualifikasi Seorang Mufti

Tugas berfatwa adalah tugas para nabi dan rasul, kemudian diwarisi oleh para ulama yang mumpuni. Berikut adalah kualifikasi utama seorang mufti:

1. Ilmu yang Mendalam (Mujtahid)

2. Akhlak dan Ketakwaan

3. Pemahaman Konteks dan Realitas

4. Kecakapan Berijtihad

Pada hakikatnya, seorang mufti adalah seorang mujtahid. Ia memiliki kemampuan untuk menggali hukum dari dalil-dalil syariat secara langsung, bukan hanya mengutip pendapat ulama sebelumnya. Jika ia hanya mengutip, ia disebut muqallid (orang yang bertaqlid), dan jika ia menyampaikan fatwa dengan mengutip, ia disebut naqil (penyampai) fatwa, bukan mufti dalam arti hakiki.

Etika Bagi Mustafti (Peminta Fatwa)

Mustafti juga memiliki adab dan etika yang harus dipatuhi agar proses berfatwa berjalan dengan baik dan fatwa yang diberikan tepat sasaran:

Etika Berfatwa dan Bahaya Berfatwa Tanpa Ilmu

⚖️
Ilustrasi keseimbangan dan keadilan dalam berfatwa, yang menuntut etika tinggi.

Karena berfatwa adalah perkara yang sangat serius, etika dalam melakukannya menjadi krusial. Imam Malik rahimahullah pernah ditanya 48 masalah, dan beliau hanya menjawab 16 masalah, sisanya beliau jawab "Saya tidak tahu." Ini menunjukkan betapa hati-hatinya para ulama salaf dalam berfatwa.

Etika Bagi Mufti dalam Berfatwa

  1. Niat Ikhlas karena Allah: Tujuan utama fatwa adalah mencari keridaan Allah dan membimbing umat kepada kebenaran, bukan untuk mencari pujian, popularitas, atau keuntungan duniawi.
  2. Tidak Tergesa-gesa: Memberikan waktu yang cukup untuk meneliti masalah, mengumpulkan dalil, dan bermusyawarah jika perlu. Hati-hati terhadap fatwa dadakan.
  3. Berani Mengatakan "Saya Tidak Tahu": Ini adalah tanda keilmuan dan ketakwaan, bukan kekurangan. Mengakui batas kemampuan lebih mulia daripada berbicara tanpa ilmu.
  4. Menjaga Kehormatan Ilmu: Tidak berfatwa di tempat yang tidak layak atau dalam suasana yang tidak kondusif, seperti di tengah keramaian pasar atau saat sedang bercanda.
  5. Memastikan Pemahaman yang Komprehensif: Meminta mustafti untuk menjelaskan masalah secara rinci dan tidak ragu untuk bertanya balik demi mendapatkan gambaran yang utuh.
  6. Menjelaskan dengan Bahasa yang Mudah Dipahami: Fatwa harus disampaikan dengan jelas, ringkas, dan mudah dicerna oleh mustafti, tanpa menggunakan bahasa yang terlalu teknis atau berbelit-belit.
  7. Menguatkan dengan Dalil: Jika memungkinkan, sertakan dalil dari Al-Qur'an dan Sunnah atau argumentasi fiqih yang menjadi dasar fatwa, agar mustafti merasa tenang dan yakin.
  8. Mempertimbangkan Kemudahan (Taisir) dan Menghindari Kesulitan (Ta'sir): Dalam Islam, kemudahan adalah prinsip. Mufti harus berusaha memberikan fatwa yang memudahkan umat selama tidak menyalahi nash syariat.
  9. Mempertimbangkan Perbedaan Pendapat (Khilaf): Jika ada khilaf yang kuat di kalangan ulama, mufti bisa menjelaskan pandangan-pandangan tersebut dan memilih yang paling rajih (kuat) menurutnya, atau memberikan pilihan jika memang ada ruang untuk itu.
  10. Tidak Memecah Belah Umat: Fatwa hendaknya tidak menjadi alat untuk memecah belah umat, melainkan untuk menyatukan dan membimbing.
  11. Tidak Berfatwa dalam Urusan Pribadi: Mufti harus menghindari berfatwa yang mengandung kepentingan pribadi atau orang terdekatnya.

Bahaya Berfatwa Tanpa Ilmu

Berfatwa tanpa ilmu adalah dosa besar dan perbuatan yang sangat berbahaya, baik bagi pemberi fatwa maupun bagi umat yang mengikutinya. Beberapa bahaya tersebut meliputi:

Rasulullah ﷺ bersabda: "Barang siapa yang berfatwa tanpa ilmu, maka dosanya ditanggung oleh orang yang berfatwa." (HR. Abu Dawud). Hadis ini menunjukkan betapa besar tanggung jawab seorang mufti. Oleh karena itu, hanya mereka yang memenuhi kualifikasi yang ketat yang berhak untuk berfatwa.

Tantangan Berfatwa di Era Kontemporer

?
Ilustrasi kompleksitas masalah kontemporer yang membutuhkan fatwa inovatif namun tetap berpegang pada prinsip syariat.

Di tengah pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan peradaban manusia, praktik berfatwa menghadapi berbagai tantangan yang kompleks. Masalah-masalah baru muncul yang belum pernah ada presedennya di masa lalu, menuntut ijtihad kolektif dan mendalam.

1. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

2. Globalisasi dan Pluralisme

3. Masalah Ekonomi Modern

4. Politisisasi dan Komersialisasi Fatwa

5. Kualitas dan Kuantitas Mufti

Jumlah ulama yang benar-benar mumpuni dan memenuhi semua kualifikasi sebagai mujtahid mutlak semakin sedikit. Ini menjadi tantangan besar dalam memastikan fatwa yang dikeluarkan benar-benar berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan.

Peran Majelis Fatwa (Fatwa Kolektif)

Mengingat kompleksitas tantangan di atas, peran majelis fatwa atau lembaga fatwa kolektif menjadi sangat penting. Majelis fatwa adalah kumpulan ulama yang bersidang dan bermusyawarah untuk mengeluarkan fatwa. Di Indonesia, kita mengenal Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang memiliki komisi Fatwa.

Keuntungan Fatwa Kolektif

Tantangan Fatwa Kolektif

Maqasid Syariah (Tujuan Syariat) dan Relevansinya dalam Berfatwa

Salah satu fondasi penting yang harus selalu diingat oleh seorang mufti saat berfatwa adalah Maqasid Syariah, yaitu tujuan-tujuan luhur syariat Islam. Maqasid Syariah adalah jiwa dari setiap hukum Islam dan menjadi kompas bagi mujtahid dalam berijtihad.

Lima Pilar Maqasid Syariah (Ad-Daruriyyat Al-Khams)

Para ulama ushul fiqh, khususnya Imam Syatibi, mengidentifikasi lima tujuan utama syariat Islam yang harus dipelihara:

  1. Hifzh Ad-Din (Memelihara Agama): Syariat datang untuk menjaga eksistensi dan kemurnian agama. Ini meliputi kewajiban beriman, shalat, puasa, zakat, haji, jihad, serta larangan murtad, bid'ah, dan syirik. Fatwa yang dikeluarkan harus mendukung pemeliharaan agama.
  2. Hifzh An-Nafs (Memelihara Jiwa): Syariat bertujuan melindungi kehidupan manusia. Ini termanifestasi dalam larangan membunuh, kewajiban qisas, diet yang sehat, dan anjuran menjaga kesehatan. Fatwa yang membahayakan jiwa tidak dibenarkan.
  3. Hifzh Al-'Aql (Memelihara Akal): Akal adalah anugerah terbesar dari Allah yang membedakan manusia dari hewan. Syariat melindunginya dengan melarang segala sesuatu yang memabukkan atau merusak akal (seperti khamr, narkoba) dan menganjurkan pencarian ilmu.
  4. Hifzh An-Nasl (Memelihara Keturunan/Keluarga): Syariat melindungi garis keturunan dan institusi keluarga melalui aturan pernikahan, larangan zina, dan hukum waris. Fatwa harus menjaga kelangsungan keluarga yang sah dan terhormat.
  5. Hifzh Al-Mal (Memelihara Harta): Harta adalah kebutuhan dasar manusia. Syariat melindunginya dengan aturan kepemilikan, jual beli, larangan mencuri, riba, dan penipuan, serta kewajiban zakat. Fatwa harus menjamin keadilan dalam transaksi dan melindungi hak milik.

Relevansi Maqasid Syariah dalam Berfatwa

Dalam berfatwa, seorang mufti harus selalu menimbang apakah fatwa yang akan dikeluarkan sejalan dengan kelima tujuan syariat ini. Jika suatu fatwa, meskipun berdasarkan dalil lahiriah, berpotensi merusak salah satu dari maqasid ini, maka mufti harus meninjau ulang dan mencari interpretasi atau solusi lain yang lebih selaras dengan semangat syariat.

Misalnya, dalam isu-isu kesehatan modern, fatwa tentang penggunaan obat-obatan terlarang yang bisa menyelamatkan jiwa dalam kondisi darurat mungkin bisa dikeluarkan berdasarkan prinsip hifzh an-nafs, meskipun obat tersebut pada dasarnya diharamkan. Atau dalam ekonomi, fatwa tentang mekanisme keuangan baru harus dipastikan tidak merusak prinsip hifzh al-mal melalui riba atau kezaliman.

Pemahaman Maqasid Syariah memungkinkan mufti untuk berfatwa secara kontekstual, adaptif, dan memberikan solusi yang relevan tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar Islam.

Kesimpulan

Praktik berfatwa adalah jantung dari dinamika hukum Islam yang terus relevan sepanjang zaman. Ia adalah jembatan antara teks-teks suci (Al-Qur'an dan Sunnah) dengan realitas kehidupan manusia yang senantiasa berubah. Seorang mufti yang berfatwa adalah pewaris para nabi, mengemban amanah yang sangat berat dalam membimbing umat menuju jalan yang benar dan selamat.

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa berfatwa bukanlah perkara sepele. Ia menuntut ilmu yang kokoh, ketakwaan yang mendalam, pemahaman konteks yang komprehensif, serta etika yang tinggi dari seorang mufti. Sumber-sumber hukum Islam yang kaya, didukung oleh metodologi ijtihad yang sistematis, menjadi landasan bagi setiap fatwa.

Di era kontemporer, tantangan dalam berfatwa semakin kompleks, mulai dari isu-isu bioetika, teknologi digital, keuangan modern, hingga tekanan sosial dan politisasi agama. Oleh karena itu, peran majelis fatwa kolektif menjadi semakin vital untuk menghasilkan fatwa yang berkualitas, otoritatif, dan mampu menjawab kebutuhan umat.

Pada akhirnya, bagi kita sebagai umat Islam, penting untuk memahami posisi fatwa, menghargai kerja keras para ulama, dan selalu merujuk kepada sumber-sumber yang sahih serta ulama yang memiliki kualifikasi dalam mencari panduan hukum. Dengan demikian, kita dapat menjaga kemurnian agama, menghindari kesesatan, dan menjalani kehidupan sesuai dengan tuntunan syariat yang rahmatan lil 'alamin. Semoga Allah senantiasa membimbing para mufti dalam menjalankan amanah mereka dan mengaruniakan kita pemahaman yang benar.