Berhuma, sebuah praktik pertanian tradisional yang telah mengakar kuat dalam peradaban manusia sejak ribuan tahun lalu, jauh sebelum munculnya pertanian intensif modern. Kata "berhuma" sendiri merujuk pada aktivitas membuka dan mengolah lahan di hutan atau lahan kering untuk ditanami berbagai jenis tanaman, seringkali dengan metode tebang-bakar yang terkontrol. Lebih dari sekadar teknik bercocok tanam, berhuma adalah sebuah sistem pengetahuan, filosofi hidup, dan kearifan lokal yang sarat makna. Ia mencerminkan hubungan harmonis antara manusia dan alam, di mana siklus kehidupan dan kematian, memberi dan menerima, dipahami serta dihormati secara mendalam.
Di berbagai belahan dunia, khususnya di wilayah tropis seperti Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika Latin, praktik berhuma telah menjadi tulang punggung ketahanan pangan masyarakat adat. Di Nusantara, berhuma dikenal dengan beragam istilah lokal seperti ladang, uma, talun, atau gogo. Melalui praktik ini, komunitas adat tidak hanya memenuhi kebutuhan pangan mereka, tetapi juga menjaga keanekaragaman hayati, melestarikan varietas tanaman lokal, serta meneruskan nilai-nilai sosial dan spiritual dari generasi ke generasi. Namun, seiring dengan laju modernisasi, tekanan terhadap lahan, serta munculnya berbagai stigma negatif, praktik berhuma kian terpinggirkan dan menghadapi ancaman kepunahan.
Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk berhuma, mulai dari sejarah dan filosofinya, teknik-teknik tradisional yang digunakan, peran pentingnya dalam ketahanan pangan dan ekonomi lokal, hingga tantangan yang dihadapinya dan upaya-upaya pelestarian yang tengah dilakukan. Dengan memahami berhuma secara komprehensif, kita diharapkan dapat menghargai kearifan lokal ini sebagai warisan budaya yang tak ternilai dan sumber inspirasi bagi model pertanian berkelanjutan di masa depan.
Sejarah berhuma sesungguhnya adalah sejarah pertanian itu sendiri. Sebelum manusia mengenal pertanian menetap di lahan basah seperti sawah irigasi, atau pertanian intensif modern yang mengandalkan alat berat dan pupuk kimia, berhuma telah menjadi jembatan evolusi dari kehidupan berburu-meramu menuju kehidupan agraris. Praktik ini diperkirakan telah ada sejak periode Neolitikum, sekitar 10.000 hingga 12.000 tahun yang lalu, ketika manusia mulai menyadari bahwa benih yang mereka kumpulkan dari tanaman liar dapat ditanam kembali untuk menghasilkan sumber pangan yang lebih stabil.
Pada awalnya, manusia prasejarah adalah pengumpul dan pemburu. Mereka hidup nomaden, mengikuti ketersediaan sumber daya alam. Namun, seiring waktu, pengamatan terhadap siklus alam dan pertumbuhan tanaman memicu eksperimen awal dalam menanam. Berhuma, atau pertanian berpindah (shifting cultivation), merupakan salah satu bentuk paling awal dari pertanian ini. Kelompok-kelompok kecil akan membuka lahan di hutan dengan menebang pohon dan semak belukar, kemudian membakarnya secara terkontrol. Abu hasil pembakaran berfungsi sebagai pupuk alami yang kaya nutrisi bagi tanah, memungkinkan mereka untuk menanam berbagai jenis tanaman seperti umbi-umbian, biji-bijian, dan sayuran.
Setelah beberapa musim tanam, kesuburan tanah akan menurun, dan para petani akan berpindah ke lokasi baru untuk mengulang siklus tersebut. Lahan yang ditinggalkan akan dibiarkan bera (istirahat) untuk jangka waktu tertentu, memungkinkan hutan untuk beregenerasi dan mengembalikan kesuburan tanahnya secara alami. Siklus berpindah ini merupakan inti dari kearifan berhuma, menunjukkan pemahaman mendalam tentang ekologi hutan dan pentingnya menjaga keseimbangan. Hal ini sangat berbeda dengan praktik pembakaran hutan skala besar yang ilegal dan merusak, yang seringkali disamakan secara keliru dengan berhuma tradisional.
Di kepulauan Nusantara, berhuma memiliki sejarah yang sangat panjang dan telah menjadi landasan peradaban agraris bagi banyak suku bangsa. Bukti arkeologis dan antropologis menunjukkan bahwa praktik berhuma telah dilakukan oleh nenek moyang kita selama ribuan tahun, jauh sebelum kerajaan-kerajaan besar yang berbasis pertanian sawah irigasi seperti Majapahit atau Sriwijaya berdiri. Suku-suku Proto-Melayu dan Deutero-Melayu yang tersebar dari Sumatera hingga Papua, telah mengembangkan sistem berhuma yang unik dan beradaptasi dengan kondisi geografis serta iklim setempat.
Misalnya, di Kalimantan, suku Dayak memiliki sistem ladang berpindah yang sangat terintegrasi dengan hutan. Di Sumatera, suku Batak, Mentawai, dan Rejang juga memiliki tradisi berhuma yang kaya. Di Sulawesi, Toraja dengan sistem padi tadah hujan mereka juga mengandalkan lahan kering. Bahkan di Jawa, meskipun terkenal dengan sawahnya, praktik berhuma di lahan-lahan perbukitan atau pegunungan (sering disebut tegalan atau kebun campur) juga telah lama ada.
Berhuma bukan hanya sekadar teknik, melainkan sebuah manifestasi dari hubungan kosmologis antara manusia dan alam. Masyarakat berhuma percaya bahwa tanah, hutan, air, dan benih memiliki roh atau kekuatan spiritual yang harus dihormati. Setiap tahapan dalam siklus berhuma, mulai dari pemilihan lahan, pembukaan, penanaman, hingga panen, seringkali disertai dengan upacara adat, ritual, dan pantangan-pantangan tertentu yang bertujuan untuk memohon restu dari alam dan menjaga keseimbangan spiritual.
Pengetahuan tentang jenis tanah yang cocok, tanda-tanda alam untuk menentukan waktu tanam dan panen, serta varietas padi ladang dan tanaman pendamping yang adaptif terhadap lingkungan lokal, diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi. Ini menunjukkan kompleksitas dan kekayaan pengetahuan ekologis tradisional yang melekat pada praktik berhuma, sebuah warisan tak benda yang sangat berharga.
Lebih dari sekadar teknik pertanian, berhuma adalah sebuah sistem filosofi hidup yang mendalam. Ia mencerminkan pandangan dunia (kosmologi) masyarakat adat yang sangat menghargai keseimbangan alam dan memandang manusia sebagai bagian integral dari ekosistem, bukan sebagai penguasa yang terpisah darinya. Dalam banyak masyarakat berhuma, filosofi ini diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari ritual, tata cara sosial, hingga cara mereka berinteraksi dengan lingkungan.
Masyarakat berhuma umumnya memiliki pemahaman yang holistik tentang alam semesta. Mereka percaya bahwa segala sesuatu di alam memiliki roh atau kekuatan spiritual – mulai dari gunung, sungai, pohon, hingga tanah dan benih yang ditanam. Oleh karena itu, hubungan dengan alam tidak semata-mata bersifat eksploitatif, melainkan penuh dengan rasa hormat dan penghargaan. Hutan dianggap sebagai ibu yang memberi kehidupan, tanah adalah ibu pertiwi yang menyusui, dan benih adalah simbol keberlanjutan hidup. Ketika mereka membuka lahan, itu bukan berarti merusak, melainkan "meminjam" sebagian dari ibu bumi untuk keberlangsungan hidup.
Sebelum memulai tahapan penting dalam berhuma, seperti menebang hutan atau menanam benih, seringkali dilakukan upacara adat untuk memohon izin dan restu dari roh penjaga hutan dan tanah. Ritual ini bukan hanya simbolis, tetapi juga berfungsi sebagai pengingat kolektif bagi masyarakat untuk bertindak hati-hati, tidak serakah, dan selalu menjaga keseimbangan. Pelanggaran terhadap pantangan atau aturan adat dapat dipercaya akan membawa musibah, seperti gagal panen atau bencana alam, yang menunjukkan adanya sistem kontrol sosial dan ekologis yang kuat.
Filosofi berhuma sangat terkait dengan pemahaman akan siklus kehidupan. Masyarakat adat mengamati dan memahami bahwa segala sesuatu di alam memiliki awal dan akhir, kelahiran dan kematian, serta masa aktif dan masa istirahat. Siklus tanam-bera (fallow period) dalam berhuma adalah manifestasi nyata dari pemahaman ini. Setelah beberapa musim tanam, lahan dibiarkan "tidur" atau bera, memungkinkan hutan untuk tumbuh kembali dan mengembalikan kesuburan tanahnya secara alami. Proses regenerasi ini diyakini sebagai "pemulihan" atau "penyembuhan" bagi tanah, di mana roh-roh hutan kembali bersemayam dan nutrisi tanah kembali terkumpul.
Keseimbangan ekosistem dijaga melalui keragaman tanaman yang ditanam. Jarang sekali masyarakat berhuma melakukan monokultur (menanam satu jenis tanaman saja). Sebaliknya, mereka menerapkan sistem tumpang sari (intercropping) atau kebun campur, di mana berbagai jenis padi ladang, umbi-umbian, kacang-kacangan, sayuran, dan tanaman obat ditanam secara bersamaan. Pendekatan ini tidak hanya memastikan keanekaragaman pangan, tetapi juga menciptakan ekosistem mini yang lebih tahan terhadap hama dan penyakit, mengurangi erosi tanah, dan menjaga kesuburan secara alami.
Tanah, benih, dan air adalah tiga elemen fundamental dalam berhuma yang dihormati secara sakral. Tanah bukan sekadar media tanam, melainkan entitas hidup yang memberikan kehidupan. Benih bukan hanya materi genetik, melainkan jiwa dari tanaman yang harus dirawat dan dilestarikan. Masyarakat berhuma seringkali memiliki bank benih tradisional mereka sendiri, menyimpan varietas-varietas lokal yang telah diadaptasi selama ratusan tahun. Benih-benih ini diperlakukan dengan penuh kasih sayang, sering disimpan dalam wadah khusus, dan disiapkan melalui ritual sebelum ditanam.
Air, sebagai sumber kehidupan, juga diperlakukan dengan hormat. Meskipun berhuma umumnya mengandalkan tadah hujan, masyarakat adat memiliki pengetahuan mendalam tentang manajemen air, seperti pembuatan parit-parit kecil untuk mengalirkan kelebihan air atau menampung embun. Mereka memahami pentingnya menjaga sumber mata air dan tidak mencemarinya.
Berhuma adalah pekerjaan yang membutuhkan tenaga dan kebersamaan. Pembukaan lahan, penanaman, hingga panen, seringkali dilakukan secara gotong royong oleh seluruh anggota komunitas. Konsep "tolong-menolong" atau "saling membantu" adalah inti dari praktik berhuma. Ini memperkuat ikatan sosial, memupuk rasa solidaritas, dan memastikan bahwa tidak ada anggota komunitas yang tertinggal atau kelaparan. Pembagian hasil panen pun seringkali dilakukan berdasarkan sistem kebersamaan, memastikan keadilan sosial di antara mereka.
Filosofi ini mengajarkan kesabaran, kerja keras, kebersamaan, dan rasa syukur. Ia mengajarkan untuk hidup selaras dengan alam, mengambil secukupnya, dan selalu mengembalikan apa yang telah diambil. Ini adalah pelajaran berharga yang sangat relevan dalam menghadapi tantangan lingkungan dan sosial di era modern.
Praktik berhuma tradisional bukanlah aktivitas yang sembarangan, melainkan sebuah sistem pertanian yang telah teruji waktu, didasarkan pada pengamatan ekologis yang mendalam dan pengetahuan yang diwariskan turun-temurun. Setiap tahapan dalam siklus berhuma memiliki tujuan dan metode tersendiri yang bertujuan untuk memaksimalkan hasil panen sekaligus menjaga keberlanjutan lingkungan.
Langkah pertama dalam berhuma adalah pemilihan lahan yang tepat. Masyarakat adat memiliki keahlian luar biasa dalam "membaca" tanda-tanda alam untuk menentukan kesuburan tanah dan potensi hasil panen. Indikator yang digunakan sangat beragam dan spesifik untuk setiap wilayah, antara lain:
Setelah lahan dipilih, biasanya akan ada ritual kecil untuk memohon izin kepada roh penjaga lahan sebelum pekerjaan dimulai.
Metode tebang-bakar (slash-and-burn) adalah ciri khas berhuma, namun penting untuk membedakannya dari pembakaran hutan yang ilegal dan merusak. Dalam berhuma tradisional, proses ini dilakukan secara sangat hati-hati dan terkontrol:
Manfaat Tebang-Bakar Terkontrol:
Penting untuk digarisbawahi bahwa tebang-bakar tradisional dilakukan dalam skala kecil, dengan siklus panjang (puluhan tahun antar lokasi yang sama), dan terintegrasi dengan kearifan lokal yang menjaga lingkungan. Ini sangat berbeda dengan pembakaran lahan ilegal untuk perkebunan monokultur skala besar yang menyebabkan kabut asap dan kerusakan ekologis parah.
Setelah lahan bersih dan tanah subur oleh abu, penanaman dimulai. Padi ladang (Oryza sativa var. indica atau japonica, yang tumbuh di lahan kering) adalah tanaman utama, namun selalu ditanam bersama dengan berbagai tanaman lain (tumpang sari atau kebun campur) untuk memaksimalkan penggunaan lahan dan menjaga keanekaragaman pangan:
Upacara penanaman juga sering dilakukan, seperti "mandi benih" atau doa bersama agar tanaman tumbuh subur dan memberikan hasil yang melimpah.
Perawatan tanaman dalam berhuma sangat bergantung pada metode alami dan minim intervensi kimia:
Masa panen adalah puncak dari seluruh kerja keras dan seringkali menjadi momen perayaan. Tanda-tanda kematangan padi diamati dengan cermat, seperti perubahan warna bulir padi atau daun. Panen dilakukan secara tradisional dengan:
Setelah dipanen, padi dan hasil lainnya diolah dan disimpan untuk konsumsi dan benih:
Inti dari keberlanjutan berhuma terletak pada siklus rotasi lahan dan periode bera (fallow period). Setelah 1-3 musim tanam, ketika kesuburan tanah mulai menurun, lahan huma akan ditinggalkan. Masyarakat akan berpindah ke lokasi baru untuk membuka lahan. Lahan yang ditinggalkan ini akan dibiarkan bera selama 10-20 tahun, atau bahkan lebih lama, memungkinkan hutan sekunder untuk tumbuh kembali dan mengembalikan kesuburan tanah secara alami. Selama periode bera ini:
Siklus ini merupakan bukti kearifan ekologis yang luar biasa, menunjukkan bagaimana masyarakat adat mampu mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan, jauh dari model pertanian modern yang seringkali merusak ekosistem dan menguras kesuburan tanah.
Salah satu kekayaan terbesar dari praktik berhuma adalah keberadaan dan pelestarian keanekaragaman genetik varietas padi ladang dan tanaman pendamping lokal. Berbeda dengan pertanian modern yang cenderung fokus pada varietas unggul hibrida, masyarakat berhuma memelihara dan mengembangkan varietas-varietas lokal yang telah beradaptasi dengan lingkungan spesifik mereka selama ribuan tahun.
Padi ladang (upland rice atau gogo rice) adalah jenis padi yang tumbuh di lahan kering, tanpa genangan air seperti di sawah. Varietas-varietas padi ladang lokal memiliki karakteristik unik yang memungkinkannya bertahan dalam kondisi tanah yang kurang subur, curah hujan yang tidak menentu, serta tahan terhadap hama dan penyakit lokal. Setiap komunitas adat seringkali memiliki nama dan cerita tersendiri untuk varietas padi mereka, mencerminkan identitas budaya dan sejarah panjang adaptasi.
Ciri-ciri umum padi ladang lokal antara lain:
Pelestarian varietas-varietas ini sangat penting karena merupakan bank genetik alami yang tak ternilai harganya. Varietas-varietas ini menyimpan kode genetik untuk adaptasi terhadap perubahan iklim dan ketahanan pangan di masa depan.
Sistem tumpang sari atau kebun campur adalah inti dari keanekaragaman tanaman dalam berhuma. Ini adalah praktik menanam dua atau lebih jenis tanaman secara bersamaan di lahan yang sama. Manfaatnya sangat banyak:
Di antara tanaman pendamping yang umum ditanam bersama padi ladang adalah:
Sistem kebun campur ini menciptakan ekosistem pertanian yang menyerupai hutan, dengan berbagai strata vegetasi yang saling mendukung, menjadikannya model pertanian yang sangat tangguh dan berkelanjutan.
Di luar pandangan modern yang seringkali menganggapnya primitif, praktik berhuma memiliki peran krusial dalam menjaga ketahanan pangan dan ekonomi lokal, terutama bagi masyarakat adat dan pedesaan yang terpencil. Model pertanian ini menawarkan solusi yang adaptif dan berkelanjutan bagi tantangan pangan yang terus berkembang.
Bagi masyarakat yang mempraktikkannya, berhuma adalah sumber utama, bahkan satu-satunya, dari kebutuhan pangan mereka. Padi ladang menyediakan karbohidrat pokok, sementara sistem tumpang sari memastikan ketersediaan protein dari kacang-kacangan, vitamin dan mineral dari sayuran serta buah-buahan, dan sumber karbohidrat alternatif dari umbi-umbian. Diversifikasi pangan ini sangat penting untuk:
Praktik ini juga melestarikan varietas-varietas pangan lokal yang seringkali lebih bergizi dan tahan terhadap kondisi lingkungan setempat dibandingkan varietas komersial.
Berhuma pada dasarnya adalah sistem ekonomi subsisten, di mana hasil pertanian sebagian besar ditujukan untuk konsumsi keluarga dan komunitas. Kelebihan hasil panen mungkin diperdagangkan di pasar lokal atau ditukar dengan barang lain, namun bukan menjadi tujuan utama. Model ini memiliki beberapa keunggulan:
Melalui praktik berhuma, masyarakat adat telah menjadi penjaga keanekaragaman hayati pertanian (agrobiodiversity) yang tak ternilai harganya. Mereka melestarikan ribuan varietas padi lokal, umbi-umbian, kacang-kacangan, sayuran, dan buah-buahan yang mungkin sudah punah di tempat lain. Keanekaragaman ini penting karena:
Tanpa praktik berhuma dan kearifan masyarakat adat, banyak dari keanekaragaman hayati ini mungkin sudah lama hilang, menjadikan kita lebih rentan terhadap krisis pangan.
Meskipun memiliki nilai historis, filosofis, dan ekologis yang tinggi, praktik berhuma menghadapi berbagai tantangan dan ancaman serius di era modern. Tekanan dari berbagai arah membuat kearifan lokal ini terancam punah, membawa serta hilangnya keanekaragaman hayati dan budaya.
Salah satu ancaman terbesar adalah tekanan terhadap lahan hutan yang menjadi lokasi praktik berhuma. Ekpansi perkebunan monokultur skala besar (misalnya sawit dan akasia untuk industri kertas), pertambangan, dan pembangunan infrastruktur modern (jalan, bendungan, permukiman) terus menggerus wilayah hutan adat. Hutan yang sebelumnya menjadi sumber kehidupan dan lahan bera bagi berhuma, kini beralih fungsi menjadi area industri yang mengabaikan kearifan lingkungan lokal.
Ketika hutan adat dikonversi, masyarakat berhuma kehilangan lahan untuk berproduksi dan periode bera yang esensial tidak dapat dilakukan. Ini memaksa mereka untuk mengintensifkan penggunaan lahan yang tersisa, yang pada akhirnya merusak kesuburan tanah dan mengikis keberlanjutan praktik berhuma itu sendiri.
Meskipun berhuma memiliki adaptasi yang baik terhadap variasi iklim lokal, perubahan iklim global membawa tantangan baru. Pola curah hujan yang tidak menentu, kekeringan ekstrem yang lebih panjang, atau hujan lebat yang tiba-tiba dapat mengganggu siklus tanam dan panen. Meskipun varietas padi ladang tahan kekeringan, ada batas toleransi yang bisa dilampaui oleh perubahan iklim yang drastis, meningkatkan risiko gagal panen.
Arus globalisasi membawa serta gaya hidup dan sistem pertanian modern yang seringkali tidak sejalan dengan berhuma. Promosi varietas unggul hibrida, penggunaan pupuk kimia dan pestisida, serta mekanisasi pertanian seringkali dianggap sebagai solusi untuk meningkatkan produktivitas. Namun, hal ini seringkali merusak ekosistem berhuma yang telah seimbang, menghilangkan varietas lokal, dan membuat petani tergantung pada input eksternal yang mahal.
Dampak lainnya adalah pergeseran pola konsumsi. Makanan instan dan produk pertanian komersial yang lebih murah mulai menggeser konsumsi pangan lokal, mengurangi nilai ekonomis hasil berhuma dan minat generasi muda.
Praktik tebang-bakar, yang merupakan bagian integral dari berhuma tradisional, seringkali disamakan dengan pembakaran hutan ilegal yang merusak lingkungan dan menyebabkan kabut asap. Media massa dan kebijakan pemerintah terkadang gagal membedakan antara tebang-bakar terkontrol masyarakat adat dengan pembakaran hutan skala besar oleh korporasi. Stigma negatif ini menyebabkan masyarakat berhuma distigmatisasi sebagai "perusak hutan", bahkan dikriminalisasi. Hal ini melemahkan semangat mereka untuk mempertahankan praktik tradisional dan merusak citra berhuma di mata publik.
Generasi muda di komunitas berhuma semakin tertarik pada pekerjaan di kota atau sektor formal yang dianggap lebih menjanjikan secara ekonomi. Akibatnya, pengetahuan tradisional tentang berhuma yang diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi terancam punah. Pengetahuan tentang pemilihan lahan, pola cuaca, jenis benih lokal, ritual adat, dan teknik perawatan tanaman yang berkelanjutan menjadi langka. Tanpa pewaris, kearifan ini akan hilang bersama para tetua.
Banyak kebijakan pemerintah, terutama terkait kehutanan dan pertanian, seringkali tidak mengakomodasi atau bahkan bertentangan dengan praktik berhuma. Pengakuan hak ulayat (hak kepemilikan tanah adat) masih sering menjadi masalah, membuat masyarakat berhuma rentan terhadap penggusuran. Kurangnya dukungan untuk penelitian dan pengembangan model berhuma berkelanjutan juga menjadi kendala.
Semua tantangan ini memerlukan perhatian serius dan pendekatan multidimensional untuk memastikan bahwa praktik berhuma dapat terus bertahan dan berkembang sebagai model pertanian yang berkelanjutan dan berbudaya.
Mengingat nilai penting berhuma bagi ketahanan pangan, pelestarian keanekaragaman hayati, dan warisan budaya, berbagai upaya pelestarian dan revitalisasi perlu dilakukan. Pendekatan yang holistik, melibatkan masyarakat adat, pemerintah, dan pihak-pihak terkait, adalah kunci untuk memastikan praktik ini tetap lestari di masa depan.
Langkah fundamental dalam pelestarian berhuma adalah pengakuan dan perlindungan hak ulayat atau hak tanah adat. Masyarakat adat memiliki ikatan yang mendalam dengan tanah leluhur mereka, yang merupakan fondasi praktik berhuma. Dengan mengakui hak-hak ini, masyarakat adat memiliki kepastian hukum atas tanah mereka, melindungi mereka dari penggusuran oleh perusahaan dan memungkinkan mereka untuk terus mengelola hutan dan ladang secara tradisional dan berkelanjutan. Pemerintah perlu mempercepat proses penetapan hutan adat dan wilayah kelola masyarakat.
Penting untuk mengedukasi publik dan pembuat kebijakan tentang perbedaan antara tebang-bakar tradisional yang terkontrol dan pembakaran hutan ilegal yang merusak. Kampanye positif perlu digalakkan untuk menghilangkan stigma negatif terhadap berhuma dan menyoroti nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung di dalamnya. Edukasi di sekolah-sekolah, universitas, dan media dapat membantu membangun pemahaman dan apresiasi yang lebih baik terhadap praktik ini.
Edukasi juga penting di kalangan masyarakat adat sendiri, terutama generasi muda, agar mereka memahami nilai dan relevansi berhuma dalam konteks modern, serta terdorong untuk melestarikannya.
Alih-alih memaksakan model pertanian modern, perlu ada upaya untuk mengembangkan model berhuma yang lebih inovatif namun tetap berakar pada kearifan lokal. Ini bisa berarti:
Menarik minat generasi muda untuk kembali ke praktik berhuma adalah kunci keberlanjutan. Ini dapat dilakukan melalui:
Pemerintah perlu menyusun kebijakan yang mendukung, bukan menghambat, praktik berhuma. Ini meliputi:
Dengan upaya-upaya ini, berhuma tidak hanya dapat bertahan, tetapi juga berpotensi menjadi model inspiratif bagi pertanian berkelanjutan yang menghargai alam, budaya, dan manusia.
Berhuma, sebagai warisan pertanian tradisional yang kaya, adalah cerminan mendalam dari kearifan lokal yang telah mengakar kuat dalam peradaban manusia selama ribuan tahun. Lebih dari sekadar metode bercocok tanam, ia adalah sebuah filosofi hidup yang mengajarkan harmoni antara manusia dan alam, menghormati siklus kehidupan, serta memupuk nilai-nilai gotong royong dan kebersamaan. Melalui praktik ini, masyarakat adat tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan pangan mereka secara mandiri, tetapi juga berhasil menjaga keanekaragaman hayati yang tak ternilai dan melestarikan kekayaan budaya.
Meskipun demikian, di era modern yang serba cepat ini, berhuma menghadapi beragam tantangan serius. Tekanan lahan akibat ekspansi industri, dampak perubahan iklim, pengaruh globalisasi yang membawa modernisasi pertanian yang tidak selalu adaptif, stigma negatif yang salah kaprah terhadap tebang-bakar, hingga ancaman hilangnya pengetahuan tradisional di kalangan generasi muda, semuanya mengancam keberlangsungan praktik ini. Tantangan-tantangan ini menuntut perhatian serius dari semua pihak, dari tingkat lokal hingga global.
Upaya pelestarian dan revitalisasi berhuma bukanlah sekadar tugas nostalgia untuk mengembalikan masa lalu, melainkan sebuah investasi penting bagi masa depan. Dengan mengakui dan melindungi hak ulayat masyarakat adat, mengedukasi publik tentang nilai-nilai positif berhuma, mengembangkan model pertanian berkelanjutan yang beradaptasi dengan konteks lokal, serta memberdayakan generasi muda untuk meneruskan kearifan ini, kita dapat memastikan bahwa berhuma tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang sebagai solusi inspiratif bagi ketahanan pangan global dan mitigasi krisis iklim.
Memahami berhuma berarti memahami bagaimana manusia dapat hidup selaras dengan lingkungan, mengambil secukupnya, dan senantiasa menjaga keseimbangan. Ini adalah pelajaran berharga tentang keberlanjutan yang telah teruji waktu, sebuah pelajaran yang sangat relevan dan dibutuhkan di tengah krisis lingkungan dan sosial yang kita hadapi saat ini. Mari kita bersama-sama menjaga dan menghargai berhuma sebagai cahaya kearifan lokal yang terus menerangi jalan menuju masa depan yang lebih hijau dan adil.