Bermazhab: Memahami Landasan, Sejarah, dan Hikmahnya dalam Islam
Dalam perjalanan hidup seorang Muslim, ada banyak jalan yang dapat ditempuh untuk memahami dan mengamalkan ajaran Islam. Salah satu konsep fundamental yang telah menjadi bagian integral dari sejarah dan praktik keagamaan umat Islam selama berabad-abad adalah "bermazhab". Istilah ini, yang mungkin terdengar asing bagi sebagian orang awam, sebenarnya merujuk pada praktik mengikuti salah satu dari empat aliran pemikiran hukum Islam (fiqh) utama: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Mazhab-mazhab ini bukan sekadar sekte atau kelompok terpisah, melainkan metodologi ilmiah yang dikembangkan oleh para ulama besar untuk menafsirkan sumber-sumber hukum Islam, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah.
Artikel ini akan menyelami lebih dalam tentang konsep bermazhab, menggali landasan-landasan syariahnya, menelusuri sejarah perkembangannya, memperkenalkan para imam pendiri mazhab beserta metodologi mereka, dan membahas hikmah serta relevansinya bagi umat Islam di era kontemporer. Memahami bermazhab bukan hanya tentang mengetahui nama-nama mazhab, melainkan tentang menghargai keragaman intelektual dalam Islam, menjaga persatuan umat, dan memastikan keakuratan dalam beribadah dan bermuamalah.
Pengertian dan Esensi Bermazhab
Secara etimologi, kata "mazhab" (مذهب) berasal dari bahasa Arab yang berarti "tempat pergi", "jalan", atau "pendapat". Dalam konteks syariat Islam, mazhab merujuk pada suatu aliran pemikiran atau metodologi dalam fiqh (hukum Islam) yang dikembangkan oleh seorang ulama mujtahid (ahli ijtihad) dan diikuti oleh para pengikutnya. Mazhab bukanlah agama baru, melainkan cara sistematis untuk memahami dan menerapkan ajaran agama berdasarkan sumber-sumber primer Islam.
Esensi dari bermazhab adalah pengakuan atas kompleksitas syariat Islam dan keterbatasan individu dalam memahami secara langsung semua detail hukum dari Al-Quran dan Sunnah tanpa bimbingan. Para imam mazhab adalah ulama yang telah mencapai tingkatan ijtihad mutlak, yakni kemampuan untuk merumuskan hukum langsung dari sumber-sumber utama dengan menggunakan perangkat ilmu yang sangat mumpuni. Bagi mayoritas umat Islam yang bukan mujtahid, mengikuti mazhab adalah bentuk taqlid, yaitu mengikuti pendapat seorang mujtahid yang terpercaya. Taqlid dalam hal ini bukanlah taqlid buta, melainkan taqlid yang didasari oleh keyakinan akan kapabilitas dan keilmuan mujtahid tersebut.
Keberadaan mazhab menjadi kebutuhan mendesak setelah wafatnya Rasulullah ﷺ dan para sahabat senior. Seiring meluasnya wilayah Islam dan munculnya berbagai permasalahan baru, diperlukan para ahli yang mampu memberikan fatwa dan panduan hukum berdasarkan prinsip-prinsip syariat. Inilah peran yang diemban oleh para imam mazhab. Mereka bukan hanya mengumpulkan dalil, tetapi juga mengembangkan kaidah-kaidah (ushul fiqh) yang menjadi fondasi bagi pengambilan hukum.
Landasan Syariah Bermazhab
Praktik bermazhab, atau lebih tepatnya, praktik merujuk kepada ulama yang memiliki keilmuan mendalam dalam agama, memiliki landasan kuat dalam Al-Quran dan Sunnah. Al-Quran secara eksplisit memerintahkan kita untuk bertanya kepada ahli ilmu jika kita tidak mengetahui:
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui."
(QS. An-Nahl: 43)
Ayat ini menjadi dasar umum bagi orang awam untuk merujuk kepada ulama atau mujtahid. Dalam konteks fiqh, ini berarti merujuk kepada metodologi dan hasil ijtihad para imam mazhab yang telah diakui keilmuannya oleh mayoritas ulama sepanjang sejarah.
Selain itu, Allah ﷻ juga berfirman:
"Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga diri mereka."
(QS. At-Taubah: 122)
Ayat ini menunjukkan pentingnya spesialisasi dalam ilmu agama dan peran para ulama untuk mendalami agama, kemudian mengajarkannya kepada umat. Para imam mazhab adalah orang-orang yang telah memenuhi kriteria "memperdalam pengetahuan agama" ini.
Dari As-Sunnah, Rasulullah ﷺ bersabda:
"Barang siapa dikehendaki Allah kebaikan, maka Dia akan memahamkannya dalam urusan agama."
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menegaskan keutamaan mendalami ilmu agama (tafaqquh fiddin). Para imam mazhab adalah contoh nyata dari orang-orang yang diberikan pemahaman mendalam ini oleh Allah ﷻ. Mengikuti petunjuk mereka adalah bagian dari upaya mencari kebaikan dan pemahaman agama yang benar.
Sumber Hukum dan Metodologi Mazhab
Meskipun terdapat perbedaan dalam detail, semua mazhab fiqh bersepakat pada empat sumber hukum utama dalam Islam, yaitu:
- Al-Quran: Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, sumber hukum tertinggi dan paling otentik. Para imam mazhab menganalisis ayat-ayat Al-Quran dengan cermat, memahami konteks, asbabun nuzul (sebab turunnya ayat), dan kaidah-kaidah tafsir.
- As-Sunnah (Hadis Nabi): Perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad ﷺ. Ini adalah penjelas Al-Quran. Para imam mazhab memiliki standar yang ketat dalam menerima dan mengamalkan hadis, termasuk penelitian terhadap sanad (rantai perawi) dan matan (isi) hadis.
- Ijma' (Konsensus Ulama): Kesepakatan para ulama mujtahid dari suatu masa setelah wafatnya Nabi Muhammad ﷺ atas suatu hukum syar'i. Ijma' memiliki kekuatan hukum yang sangat tinggi karena menunjukkan tidak adanya perbedaan pendapat di antara para ahli.
- Qiyas (Analogi): Menyimpulkan hukum suatu masalah baru yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Quran dan Sunnah, dengan menganalogikannya pada masalah serupa yang hukumnya telah ditetapkan, berdasarkan kesamaan 'illah (sebab hukum) antara keduanya. Qiyas adalah alat penting bagi para mujtahid untuk menjawab permasalahan kontemporer.
Selain empat sumber utama ini, mazhab-mazhab juga menggunakan sumber-sumber sekunder atau metode ijtihad lainnya yang menjadi ciri khas mereka, seperti:
- Istihsan: Mengesampingkan qiyas jali (analogi yang jelas) demi qiyas khafi (analogi yang tersembunyi) atau dalil lain yang lebih kuat, demi kemaslahatan (kebaikan umum) atau kemudahan. Banyak digunakan oleh Mazhab Hanafi.
- Maslahah Mursalah: Mengambil hukum berdasarkan kemaslahatan umum yang tidak ada dalil khusus yang mendukung atau menolaknya, asalkan sejalan dengan tujuan syariat. Menjadi ciri khas Mazhab Maliki.
- 'Urf (Adat Kebiasaan): Menjadikan adat istiadat yang baik dan tidak bertentangan dengan syariat sebagai pertimbangan hukum.
- Saddu adz-Dzari'ah: Menutup jalan (sarana) yang dapat membawa kepada kemaksiatan atau bahaya, meskipun perbuatan itu sendiri pada awalnya mubah. Banyak digunakan oleh Mazhab Hanbali.
- Istishab: Menetapkan suatu hukum pada kondisi yang telah ada sebelumnya hingga ada dalil yang mengubahnya.
Perbedaan dalam prioritas dan penggunaan metode-metode ijtihad inilah yang pada akhirnya melahirkan nuansa dan corak hukum yang berbeda di antara mazhab-mazhab, bukan perbedaan pada sumber hukum dasarnya.
Sejarah Perkembangan Mazhab Fiqh
Sejarah mazhab fiqh dimulai sejak masa Rasulullah ﷺ. Pada masa itu, hukum langsung didapatkan dari beliau. Setelah wafatnya Nabi, para sahabat menjadi rujukan utama. Mereka menyebar ke berbagai wilayah Islam, mengajarkan Al-Quran dan Sunnah, serta memberikan fatwa. Beberapa sahabat terkenal yang menjadi rujukan fiqh antara lain Sayyidina Umar bin Khattab, Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Sayyidina Abdullah bin Mas'ud, Sayyidina Abdullah bin Abbas, Sayyidina Zaid bin Tsabit, dan Sayyidah Aisyah radhiyallahu 'anhum.
Generasi setelah sahabat, yaitu para Tabi'in, mulai mengembangkan metode ijtihad yang lebih terstruktur. Di sinilah cikal bakal mazhab mulai terbentuk. Mereka mengambil ilmu dari para sahabat dan mulai menghadapi permasalahan yang lebih kompleks di berbagai pusat keilmuan seperti Madinah, Kufah, Damaskus, dan Mesir.
Pada abad ke-2 dan ke-3 Hijriah, muncullah para imam mujtahid mutlak yang kemudian menjadi pendiri mazhab-mazhab fiqh yang kita kenal sekarang. Mereka adalah para ulama yang sangat brilian, menguasai berbagai cabang ilmu Islam, dan memiliki dedikasi luar biasa dalam melayani agama.
Empat Mazhab Fiqh yang Paling Populer dan Imam Pendirinya:
1. Mazhab Hanafi
Didirikan oleh Imam Abu Hanifah An-Nu'man bin Tsabit (w. 150 H / 767 M). Beliau lahir di Kufah, Irak, dan merupakan salah satu ulama yang paling awal mendirikan mazhab. Metodologi Imam Abu Hanifah terkenal dengan penekanannya pada ra'yi (akal sehat/pendapat) dan istihsan. Ini bukan berarti beliau mengedepankan akal di atas nash (teks Al-Quran dan Sunnah), melainkan beliau sangat berhati-hati dalam menerima hadis ahad (hadis yang diriwayatkan oleh satu jalur perawi) yang berpotensi bertentangan dengan prinsip-prinsip umum Al-Quran atau hadis yang lebih kuat.
Imam Abu Hanifah seringkali membahas masalah fiqh secara hipotetis (fiqh iftiradhi) sebelum masalah itu benar-benar terjadi, mempersiapkan jawaban atas berbagai kemungkinan yang akan datang. Mazhab ini sangat berpengaruh di wilayah timur dunia Islam, seperti Irak, Suriah, Turki, Asia Tengah, India, Pakistan, dan sebagian besar Balkan. Hukum-hukum negara Ottoman (Turki Utsmani) banyak mengadopsi fiqh Hanafi.
Ciri khas lain Mazhab Hanafi adalah penggunaan "ijma' ahl al-Kufah" (konsensus ulama Kufah) sebagai dalil, mengingat Kufah adalah pusat keilmuan yang besar pada masanya. Para muridnya seperti Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani berperan besar dalam menyusun dan menyebarkan ajaran mazhab ini.
2. Mazhab Maliki
Didirikan oleh Imam Malik bin Anas (w. 179 H / 795 M). Beliau adalah imam besar di Madinah, kota Nabi Muhammad ﷺ. Karyanya yang paling terkenal adalah Al-Muwatta', sebuah kitab hadis dan fiqh yang menjadi rujukan utama. Metodologi Imam Malik sangat menekankan 'amal ahl al-Madinah (amalan penduduk Madinah), yaitu praktik yang berlaku di Madinah pada masa beliau, yang diyakini merupakan warisan langsung dari praktik Nabi dan para sahabatnya. Beliau berpendapat bahwa amalan penduduk Madinah memiliki bobot hukum yang setara, bahkan terkadang lebih kuat dari hadis ahad, karena ia merupakan warisan praktik yang terus-menerus.
Selain itu, Imam Malik juga banyak menggunakan maslahah mursalah, yaitu pengambilan hukum berdasarkan kemaslahatan umum yang tidak ada dalil spesifiknya, selama tidak bertentangan dengan prinsip syariat. Mazhab Maliki tersebar luas di Afrika Utara, Mesir bagian atas, Sudan, dan Andalusia (Spanyol Muslim). Hingga kini, mazhab ini sangat dominan di Maroko, Aljazair, Tunisia, dan Libya.
Imam Malik dikenal karena ketegasannya dalam menjaga kehormatan hadis dan kehati-hatiannya dalam berfatwa. Beliau tidak segan untuk menjawab "Saya tidak tahu" jika memang tidak memiliki jawaban yang pasti.
3. Mazhab Syafi'i
Didirikan oleh Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i (w. 204 H / 820 M). Beliau memiliki keunikan karena pernah belajar dari para murid Imam Abu Hanifah di Irak dan juga dari Imam Malik di Madinah. Kombinasi ini memberikan beliau perspektif yang sangat luas. Imam Syafi'i terkenal sebagai peletak dasar ilmu Ushul Fiqh melalui kitabnya Ar-Risalah, yang menjadi tonggak penting dalam sejarah perumusan metodologi hukum Islam.
Metodologi Imam Syafi'i sangat menekankan pada keterikatan kuat terhadap Sunnah Nabi dan menolak hadis yang gharib (asing) atau dha'if (lemah). Beliau juga cenderung memberikan prioritas kepada hadis atas ra'yi atau istihsan jika terdapat konflik. Mazhab ini berkembang pesat di Mesir (tempat beliau wafat), Syam (Suriah, Palestina, Yordania), Yaman, dan Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei, Thailand Selatan). Mayoritas umat Islam di Indonesia menganut Mazhab Syafi'i.
Imam Syafi'i dikenal dengan dua fase pemikiran fiqh: qaul qadim (pendapat lama) saat beliau di Irak, dan qaul jadid (pendapat baru) setelah beliau hijrah ke Mesir dan melakukan revisi terhadap beberapa pandangannya. Meskipun demikian, qaul jadid-nya menjadi rujukan utama bagi mazhab ini.
4. Mazhab Hanbali
Didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H / 855 M). Beliau adalah salah satu murid Imam Syafi'i. Imam Ahmad terkenal dengan hafalan hadisnya yang luar biasa dan dedikasinya yang teguh pada Sunnah Nabi. Karyanya yang monumental adalah Al-Musnad, sebuah ensiklopedia hadis yang sangat besar. Metodologi Imam Hanbal sangat berpegang teguh pada nash (Al-Quran dan Sunnah) dan sangat hati-hati dalam menggunakan ra'yi atau qiyas, kecuali jika benar-benar tidak ada dalil lain.
Beliau juga banyak menggunakan saddu adz-dzari'ah, yaitu menutup segala jalan yang dapat mengarah kepada perbuatan haram. Mazhab Hanbali cenderung lebih ketat dalam beberapa pandangan hukum dan kurang fleksibel dibandingkan mazhab lain. Mazhab ini banyak diikuti di wilayah Nejd (Arab Saudi) dan beberapa daerah di Timur Tengah.
Imam Ahmad dikenal karena kesabarannya dalam menghadapi cobaan fitnah "mihnah khalq al-Quran" (kontroversi penciptaan Al-Quran) di masa Khalifah Al-Ma'mun, di mana beliau tetap teguh pada keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama'ah bahwa Al-Quran adalah kalamullah yang qadim (bukan makhluk). Keteguhan ini membuatnya menjadi simbol ketegaran dalam mempertahankan akidah.
Hikmah dan Urgensi Bermazhab Bagi Umat
Setelah meninjau sejarah dan metodologi masing-masing mazhab, penting untuk memahami mengapa bermazhab menjadi begitu vital bagi umat Islam. Bermazhab bukan sekadar tradisi, melainkan sebuah kebutuhan yang memiliki hikmah mendalam:
1. Memfasilitasi Umat Awam
Tidak semua Muslim memiliki kapasitas atau waktu untuk mempelajari Al-Quran, ribuan hadis, ilmu ushul fiqh, tafsir, bahasa Arab, dan disiplin ilmu lain yang diperlukan untuk melakukan ijtihad. Bagi mayoritas umat, mengikuti salah satu mazhab adalah cara paling aman dan praktis untuk mengamalkan ajaran agama dengan benar. Ini memungkinkan mereka untuk beribadah dan bermuamalah sesuai dengan tuntunan syariat tanpa harus menjadi seorang mujtahid. Imam Al-Haramain Al-Juwaini menyatakan bahwa wajib bagi orang awam untuk bertaqlid kepada seorang mujtahid.
2. Menjaga Konsistensi dan Koherensi Hukum
Setiap mazhab menawarkan kerangka hukum yang sistematis dan koheren. Dengan mengikuti satu mazhab, seorang Muslim dapat memastikan bahwa amalannya didasari oleh prinsip-prinsip yang konsisten, mulai dari thaharah (bersuci), shalat, zakat, puasa, haji, hingga muamalat (transaksi) sehari-hari. Ini mencegah kebingungan dan inkonsistensi yang mungkin timbul jika seseorang mengambil hukum secara sporadis dari berbagai pendapat tanpa memahami metodologinya.
3. Melindungi dari Kesalahan dan Fatwa Tanpa Ilmu
Praktik ijtihad membutuhkan standar keilmuan yang sangat tinggi. Orang yang tidak memiliki kualifikasi ijtihad namun mencoba berijtihad sendiri sangat rentan terhadap kesalahan, bahkan penyimpangan. Mengikuti mazhab adalah benteng yang melindungi umat dari fatwa-fatwa tanpa dasar yang kuat atau pemahaman yang dangkal. Ini adalah bentuk kewaspadaan terhadap bahaya beragama tanpa ilmu.
4. Merawat Warisan Intelektual Islam
Mazhab-mazhab adalah puncak dari warisan intelektual Islam yang sangat kaya. Ribuan kitab, komentar, dan pembahasan telah ditulis dalam setiap mazhab, mencerminkan kedalaman pemikiran dan dedikasi para ulama. Dengan mempelajari dan mengikuti mazhab, umat Islam turut serta dalam menjaga dan melestarikan khazanah ilmu yang tak ternilai ini. Ini juga mendorong studi keilmuan yang berkelanjutan.
5. Menghargai Keragaman dan Toleransi
Perbedaan pendapat di antara mazhab adalah bagian tak terpisahkan dari keragaman intelektual Islam. Rasulullah ﷺ bersabda, "Perbedaan pendapat di antara umatku adalah rahmat." Meskipun hadis ini sering diperdebatkan validitas sanadnya, maknanya telah diterima secara luas dalam tradisi ulama Islam. Bermazhab mengajarkan kita untuk menghargai bahwa ada lebih dari satu cara yang sah untuk memahami dan mengamalkan Islam, selama semuanya berakar pada Al-Quran dan Sunnah. Ini mendorong toleransi dan menghindari fanatisme yang bisa memecah belah umat.
6. Sumber Fleksibilitas dalam Kehidupan
Terkadang, dalam kondisi tertentu, salah satu mazhab mungkin menawarkan solusi yang lebih sesuai dengan kemaslahatan atau kemudahan tanpa melanggar syariat. Kemampuan untuk merujuk pada pendapat mazhab lain (dengan syarat yang ketat, yaitu bukan untuk mencari kemudahan semata tanpa dasar ilmu) dapat menjadi sumber fleksibilitas yang syar'i, terutama di era kontemporer dengan tantangan yang kompleks. Namun, hal ini harus dilakukan di bawah bimbingan ulama yang kompeten.
Mispersepsi dan Tantangan dalam Bermazhab
Meskipun memiliki banyak hikmah, praktik bermazhab tidak luput dari mispersepsi dan tantangan:
1. Fanatisme Mazhab (Ta'assub al-Madhhabi)
Ini adalah tantangan terbesar. Fanatisme terjadi ketika seseorang menganggap mazhabnya adalah satu-satunya kebenaran dan menolak semua mazhab lain, bahkan mencela atau menyalahkan mereka. Sikap ini bertentangan dengan semangat ilmiah para imam mazhab sendiri yang saling menghormati dan mengakui keilmuan satu sama lain. Fanatisme dapat merusak persatuan umat dan menghambat dialog keilmuan.
2. Taqlid Buta (Blind Following)
Taqlid yang diperbolehkan adalah taqlid yang didasari oleh keyakinan akan kompetensi mujtahid. Namun, taqlid buta adalah mengikuti tanpa memahami sama sekali atau tanpa mengetahui landasan dalilnya, bahkan ketika ada dalil yang lebih kuat atau ada ulama yang lebih kompeten di masa kini. Ini menjadi masalah ketika seseorang tidak mau membuka diri terhadap penjelasan yang lebih kuat dari mazhab lain atau dari Al-Quran dan Sunnah langsung yang dijelaskan oleh para ulama ahli.
3. Klaim Ijtihad Tanpa Kualifikasi
Di era informasi ini, banyak orang mudah mengakses terjemahan Al-Quran dan Hadis, lalu merasa mampu melakukan ijtihad sendiri tanpa memiliki perangkat ilmu yang memadai (bahasa Arab, ushul fiqh, ilmu hadis, tafsir, dll). Hal ini sangat berbahaya karena dapat menghasilkan pemahaman yang menyimpang dan fatwa-fatwa yang keliru. Ijtihad adalah tingkatan tertinggi dalam keilmuan Islam yang hanya dapat dicapai oleh sedikit ulama pilihan.
4. Meremehkan Peran Ulama Klasik
Beberapa kalangan modern cenderung meremehkan atau bahkan menolak relevansi mazhab dan para ulama klasik, dengan dalih "kembali langsung ke Al-Quran dan Sunnah". Meskipun prinsip kembali ke sumber utama adalah benar, namun tanpa bimbingan metodologi yang kokoh dari para mujtahid klasik, upaya tersebut justru bisa menjerumuskan pada kesesatan. Para imam mazhab telah menyaring, menganalisis, dan merumuskan hukum dari sumber-sumber tersebut dengan kapasitas keilmuan yang jauh melampaui kebanyakan kita.
Adab dan Etika Bermazhab
Untuk menghindari mispersepsi dan tantangan di atas, umat Islam harus memahami adab (etika) dalam bermazhab:
1. Saling Menghormati dan Toleransi
Setiap Muslim wajib menghormati keberadaan mazhab lain. Perbedaan pendapat dalam masalah furu' (cabang) adalah bagian dari rahmat Allah. Seorang Muslim yang mengikuti Mazhab Syafi'i tidak boleh menyalahkan atau merendahkan Muslim yang mengikuti Mazhab Hanafi, begitu pula sebaliknya. Selama semuanya berpegang pada Al-Quran dan Sunnah menurut pemahaman yang valid, maka mereka berada di jalan yang benar.
2. Memahami Dalil dan Perbedaan
Bagi para penuntut ilmu dan ulama, penting untuk tidak hanya mengetahui hukum suatu mazhab, tetapi juga memahami dalil dan alasan di balik penetapan hukum tersebut. Memahami mengapa suatu mazhab berbeda dengan mazhab lain akan menumbuhkan penghargaan terhadap kedalaman ilmu para imam dan mengurangi potensi fanatisme.
3. Beralih Mazhab (Talfiq)
Pada prinsipnya, seorang awam dianjurkan untuk istiqamah pada satu mazhab untuk menjaga konsistensi. Namun, diperbolehkan untuk beralih mazhab (intiqal) jika ada kebutuhan syar'i, seperti ketika pendapat mazhabnya sangat menyulitkan, atau jika ia menemukan dalil yang lebih kuat di mazhab lain, atau jika ulama yang diikutinya beralih mazhab. Talfiq (menggabungkan beberapa pendapat mazhab dalam satu ibadah atau masalah) pada dasarnya tidak dianjurkan jika dilakukan tanpa dasar ilmu yang kuat dan hanya mencari kemudahan semata, karena dapat mengarah pada tindakan mengambil rukhshah (keringanan) secara berlebihan. Namun, talfiq yang terjadi secara alami (misalnya, menikah dengan tata cara Syafi'i tetapi shalat dengan tata cara Hanafi) atau yang dibutuhkan untuk maslahat umum, masih dalam lingkup yang diperbolehkan dengan bimbingan ulama.
4. Merujuk Kepada Ulama yang Kompeten
Dalam kondisi keraguan atau pertanyaan, umat harus selalu merujuk kepada ulama yang kompeten dan berintegritas. Ulama kontemporer yang diakui keilmuannya dapat memberikan panduan berdasarkan pemahaman mazhab, atau dalam kasus tertentu, melakukan tarjih (memilih pendapat yang paling kuat) di antara mazhab, atau bahkan ijtihad baru untuk masalah-masalah modern yang belum ada presedennya dalam mazhab klasik, asalkan mereka memiliki kapasitas untuk itu.
Bermazhab di Era Kontemporer
Di tengah arus globalisasi, kemajuan teknologi, dan akses informasi yang tak terbatas, relevansi bermazhab justru semakin menguat. Era ini diwarnai oleh:
- Kompleksitas Masalah Fiqh Baru: Dari keuangan syariah modern, bioteknologi, isu-isu lingkungan, hingga teknologi informasi, banyak masalah yang memerlukan fatwa dan solusi hukum yang tidak secara eksplisit dibahas dalam kitab-kitab fiqh klasik.
- Banjirnya Informasi Keagamaan: Internet memungkinkan akses mudah ke berbagai pandangan dan fatwa, baik yang benar maupun yang salah, yang seringkali tanpa konteks atau metodologi yang jelas.
- Kebutuhan Persatuan Umat: Di tengah tantangan global, persatuan umat Islam menjadi sangat penting. Berpegang pada kerangka mazhab, sambil menghargai perbedaan, dapat menjadi salah satu pilar persatuan.
Dalam menghadapi tantangan ini, praktik bermazhab tetap menjadi jangkar yang kokoh. Namun, perlu diimbangi dengan:
- Fokus pada Maqasid Syariah: Selain memahami hukum detail, umat juga perlu memahami tujuan-tujuan luhur syariah (maqasid syariah) seperti menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Ini memberikan perspektif yang lebih luas dalam penerapan hukum.
- Peran Lembaga Fatwa Kolektif: Di banyak negara Muslim, lembaga fatwa atau dewan ulama beranggotakan para ahli dari berbagai mazhab. Mereka berijtihad secara kolektif untuk masalah-masalah kontemporer, mempertimbangkan semua pandangan mazhab dan dalil-dalil baru. Ini adalah evolusi dari praktik ijtihad individual menjadi ijtihad jama'i (kolektif).
- Pendidikan Islam yang Komprehensif: Pendidikan harus menekankan pemahaman yang mendalam tentang ushul fiqh, sejarah mazhab, dan adab ikhtilaf (etika perbedaan pendapat), bukan hanya menghafal hukum-hukum tertentu.
- Keseimbangan antara Asalah (Keterikatan pada Tradisi) dan Mu'asharah (Kesesuaian Zaman): Umat perlu mempertahankan akar keilmuan dari mazhab-mazhab klasik (asalah) namun juga mampu beradaptasi dan mencari solusi yang relevan dengan permasalahan modern (mu'asharah) dengan tetap berpegang pada prinsip syariat.
Penutup
Bermazhab adalah salah satu karunia Allah ﷻ bagi umat Islam, sebuah metodologi yang telah membimbing jutaan Muslim selama berabad-abad dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama mereka. Ia bukan tembok pembatas yang memecah belah, melainkan jembatan yang menghubungkan kita dengan kedalaman ilmu para ulama terdahulu dan membantu kita menavigasi kompleksitas kehidupan dengan panduan syariat.
Memahami bermazhab berarti memahami bahwa Islam adalah agama yang kaya akan keragaman intelektual, yang mendorong diskusi ilmiah dan penghargaan terhadap perbedaan. Tugas kita sebagai umat Islam adalah untuk merangkul warisan ini dengan penuh hikmah, menjauhi fanatisme, terus belajar, dan selalu merujuk kepada para ahli ilmu yang kompeten, demi mencapai ridha Allah ﷻ dan kemaslahatan umat. Semoga Allah senantiasa memberikan kita taufik dan hidayah dalam menjalani agama ini.