Menguak Tabir Pretensi: Antara Keinginan dan Kenyataan

Sebuah Penjelajahan Mendalam atas Fenomena Kepura-puraan dalam Hidup

Di setiap sudut kehidupan modern, mulai dari interaksi personal hingga representasi publik, kita sering dihadapkan pada sebuah fenomena yang rumit namun familiar: pretensi. Kata ini, yang berasal dari bahasa Latin praetensio, merujuk pada klaim atau tuntutan yang dibuat-buat, seringkali dengan maksud untuk menunjukkan kualitas, pengetahuan, atau status yang sebenarnya tidak dimiliki. Lebih dari sekadar kebohongan sederhana, berpretensi melibatkan lapisan-lapisan kepura-puraan yang dirancang untuk menciptakan kesan tertentu di mata orang lain, atau bahkan di mata diri sendiri. Ini adalah topeng yang dikenakan, bukan untuk menyembunyikan identitas sepenuhnya, melainkan untuk mengamplifikasi atau memalsukan aspek-aspek tertentu dari identitas tersebut. Artikel ini akan membawa Anda pada penjelajahan mendalam tentang apa itu pretensi, mengapa ia begitu meresap dalam budaya kita, bagaimana ia memanifestasikan diri dalam berbagai ranah, serta dampak-dampak yang ditimbulkannya.

Kita akan mengurai psikologi di balik dorongan untuk berpretensi, menelaah bagaimana media sosial memperkuat kecenderungan ini, serta mencoba memahami batas tipis antara ambisi yang sehat dan upaya yang berpretensi. Lebih dari itu, kita juga akan membahas cara mengenali pretensi, baik pada orang lain maupun pada diri sendiri, dan bagaimana kita dapat mendorong autentisitas dalam sebuah dunia yang semakin rentan terhadap kepura-puraan. Apakah pretensi adalah kejahatan sosial, mekanisme pertahanan diri, atau sekadar bagian tak terhindarkan dari dinamika sosial? Mari kita selami bersama.

Ilustrasi seseorang memegang topeng, simbol kepura-puraan dan pretensi Topeng Pretensi

1. Memahami Pretensi: Definisi dan Nuansanya

Untuk benar-benar menggali fenomena ini, kita harus terlebih dahulu menetapkan definisi yang jelas. Pretensi dapat diartikan sebagai sikap atau tindakan yang dibuat-buat, bertujuan untuk menunjukkan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan, seringkali dengan motif untuk mendapatkan pengakuan, kekaguman, atau status sosial. Seseorang yang berpretensi berusaha menampilkan diri sebagai pribadi yang lebih cerdas, lebih kaya, lebih berbudaya, atau lebih berwibawa daripada yang sebenarnya. Ini bukan sekadar kebohongan; ini adalah sebuah konstruksi identitas yang dipoles sedemikian rupa agar tampak superior atau lebih menarik.

1.1. Perbedaan Pretensi dengan Sifat Serupa

Penting untuk membedakan pretensi dari konsep-konsep yang mirip. Misalnya, ambisi adalah keinginan kuat untuk mencapai sesuatu, yang mendorong seseorang untuk bekerja keras dan mengembangkan diri. Orang yang ambisius bisa jadi memiliki tujuan tinggi, namun mereka umumnya berusaha mencapai tujuan tersebut melalui usaha nyata. Sementara itu, orang yang berpretensi mungkin juga memiliki tujuan tinggi, tetapi mereka cenderung mengambil jalan pintas dengan menampilkan citra keberhasilan tanpa substansi yang memadai.

Demikian pula, percaya diri adalah keyakinan akan kemampuan diri sendiri, yang bersifat internal dan autentik. Orang yang percaya diri tidak perlu memamerkan atau memalsukan kemampuan mereka. Berbeda dengan mereka yang berpretensi, yang kepercayaan dirinya mungkin rapuh dan membutuhkan validasi eksternal yang konstan melalui citra yang dipoles.

Kesombongan juga sering dikaitkan dengan pretensi. Seseorang yang sombong memang memiliki pandangan yang terlalu tinggi tentang dirinya. Namun, kesombongan bisa jadi didasarkan pada keyakinan internal (meski keliru) tentang keunggulan diri. Pretensi, di sisi lain, lebih berfokus pada penampilan eksternal, seringkali tanpa keyakinan internal yang kuat. Artinya, orang yang sombong mungkin benar-benar merasa superior, sedangkan orang yang berpretensi mungkin merasa tidak aman dan berusaha menutupi rasa tidak aman tersebut dengan pamer.

Singkatnya, inti dari pretensi adalah kepura-puraan dan ketidaksesuaian antara citra dan realitas. Ini adalah upaya sadar untuk memanipulasi persepsi orang lain, seringkali dengan mengorbankan kejujuran dan autentisitas.

2. Psikologi di Balik Dorongan untuk Berpretensi

Mengapa seseorang memilih untuk berpretensi? Jawaban atas pertanyaan ini terletak pada kompleksitas psikologi manusia. Ada berbagai faktor internal dan eksternal yang mendorong individu untuk mengadopsi perilaku berpretensi.

2.1. Insecurities (Rasa Tidak Aman) dan Rendahnya Harga Diri

Salah satu pendorong paling umum adalah rasa tidak aman dan harga diri yang rendah. Individu yang merasa tidak cukup baik, kurang cerdas, kurang sukses, atau kurang menarik akan cenderung mencari cara untuk menutupi kelemahan yang dirasakan ini. Dengan berpretensi, mereka menciptakan sebuah persona yang lebih kuat, lebih menarik, atau lebih kompeten, berharap persona ini akan diterima oleh orang lain. Ini adalah mekanisme pertahanan diri, sebuah upaya untuk melindungi ego yang rentan dari kritik atau penolakan. Rasa takut akan kegagalan, takut tidak diterima, atau takut tidak dianggap penting seringkali menjadi akar dari kecenderungan untuk berpretensi.

Ironisnya, semakin seseorang berusaha berpretensi, semakin besar pula tekanan yang mereka rasakan untuk mempertahankan citra palsu tersebut. Hal ini dapat berujung pada lingkaran setan kecemasan dan ketidakpuasan, karena validasi yang mereka terima sebenarnya bukan untuk diri mereka yang autentik, melainkan untuk topeng yang mereka kenakan. Ini menciptakan jurang antara diri sejati dan diri yang ditampilkan, yang bisa sangat melelahkan secara mental dan emosional.

2.2. Kebutuhan akan Validasi dan Penerimaan Sosial

Manusia adalah makhluk sosial yang memiliki kebutuhan mendasar untuk diterima dan diakui oleh kelompoknya. Dalam masyarakat yang sangat kompetitif dan berorientasi pada pencapaian, tekanan untuk "tampak berhasil" bisa sangat besar. Dorongan untuk berpretensi seringkali muncul dari keinginan kuat untuk mendapatkan validasi dan pujian dari orang lain. Seseorang mungkin merasa bahwa dengan menampilkan citra yang sempurna atau superior, mereka akan lebih mudah diterima, dihormati, atau bahkan dicintai. Validasi eksternal menjadi semacam bahan bakar untuk harga diri mereka.

Di era media sosial, kebutuhan akan validasi ini semakin diperkuat. Jumlah "likes", "followers", atau komentar positif dapat menjadi ukuran semu dari nilai seseorang. Ini mendorong individu untuk berpretensi, mengkurasi kehidupan mereka sedemikian rupa agar terlihat ideal, menarik, dan patut dicontoh, meskipun realitas di baliknya mungkin sangat berbeda. Ini adalah upaya untuk memenuhi ekspektasi sosial yang seringkali tidak realistis, atau bahkan ekspektasi yang mereka ciptakan sendiri berdasarkan perbandingan dengan orang lain.

2.3. Keinginan untuk Status dan Kekuatan

Pretensi juga bisa menjadi alat untuk mencapai atau mempertahankan status sosial dan kekuatan. Dengan menampilkan diri sebagai ahli dalam suatu bidang, atau sebagai individu yang memiliki akses ke lingkaran elite, seseorang dapat memperoleh pengaruh atau keuntungan tertentu. Misalnya, seorang eksekutif yang berpretensi memiliki pemahaman mendalam tentang semua aspek bisnis, padahal kenyataannya tidak, mungkin melakukannya untuk mempertahankan posisi atau mendapatkan promosi. Seorang seniman yang berpretensi sangat mendalam dan filosofis mungkin ingin membedakan dirinya dari seniman lain untuk mendapatkan perhatian dan pengakuan.

Dalam konteks ini, pretensi berfungsi sebagai strategi sosial. Ini adalah permainan kekuatan di mana individu mencoba memanipulasi persepsi orang lain untuk keuntungan pribadi. Pretensi semacam ini bisa jadi lebih disengaja dan strategis, bukan hanya reaksi emosional terhadap rasa tidak aman.

2.4. Tekanan Sosial dan Budaya

Lingkungan tempat kita tumbuh dan hidup juga memainkan peran besar. Beberapa budaya atau subkultur mungkin secara tidak langsung mendorong perilaku berpretensi. Misalnya, dalam lingkungan akademik tertentu, mungkin ada tekanan untuk menggunakan jargon yang rumit atau teori yang abstrak untuk terdengar cerdas, meskipun substansinya mungkin tidak sekompleks itu. Dalam lingkungan korporat, mungkin ada tekanan untuk menampilkan citra kesuksesan finansial atau gaya hidup mewah, bahkan jika itu berarti berutang untuk membeli barang-barang bermerek. Norma-norma sosial ini, yang seringkali tidak diucapkan, dapat mendorong individu untuk menyesuaikan diri dengan menampilkan persona yang diharapkan.

Perbandingan sosial juga merupakan faktor penting. Ketika seseorang terus-menerus membandingkan diri mereka dengan orang lain yang tampaknya "memiliki segalanya", mereka mungkin merasa tertekan untuk menampilkan citra serupa, meskipun itu berarti harus berpretensi. Budaya konsumen yang menyoroti kepemilikan material sebagai indikator keberhasilan juga dapat memperkuat dorongan ini.

3. Manifestasi Pretensi dalam Berbagai Ranah Kehidupan

Pretensi adalah fenomena yang sangat adaptif dan dapat ditemukan dalam berbagai aspek kehidupan. Mari kita telaah bagaimana pretensi ini memanifestasikan dirinya.

3.1. Pretensi dalam Seni dan Budaya

Dunia seni, dengan segala kebebasan ekspresinya, seringkali menjadi lahan subur bagi pretensi. Seorang seniman yang berpretensi mungkin menciptakan karya yang sengaja dibuat ambigu, rumit, atau provokatif, bukan karena ada kedalaman filosofis yang tulus, melainkan agar terlihat intelektual, unik, atau avant-garde. Mereka mungkin menggunakan bahasa yang berlebihan saat menjelaskan karya mereka, mengutip filsuf-filsuf ternama tanpa pemahaman yang mendalam, atau membuat klaim bombastis tentang makna tersembunyi yang sebenarnya tidak ada.

Di dunia sastra, kita bisa menemukan penulis yang berpretensi menggunakan gaya penulisan yang terlalu rumit, metafora yang dipaksakan, atau referensi budaya yang esoteris hanya untuk menunjukkan kecerdasan mereka, daripada untuk menyampaikan pesan secara efektif. Dalam film, sutradara yang berpretensi mungkin membuat film yang sangat artistik dan abstrak, namun tanpa alur cerita atau emosi yang kuat, semata-mata untuk mendapatkan pujian dari kritikus yang mencari "kedalaman" palsu.

Bahkan penikmat seni pun bisa berpretensi. Mereka mungkin berpura-pura memahami karya seni yang rumit atau mengagumi seniman yang tidak mereka sukai secara tulus, hanya agar terlihat berbudaya atau bagian dari lingkaran intelektual. Mereka bisa menggunakan istilah-istilah seni yang canggih yang mereka dengar dari orang lain tanpa benar-benar mengerti maknanya. Fenomena ini menunjukkan bahwa pretensi tidak hanya milik pencipta, tetapi juga penonton atau konsumen budaya.

Ilustrasi patung abstrak dengan gaya yang berlebihan, mewakili pretensi dalam seni Seni yang Berpretensi

3.2. Pretensi dalam Gaya Hidup

Gaya hidup adalah arena lain di mana pretensi seringkali sangat menonjol. Individu mungkin berpretensi kaya dengan membeli barang-barang mewah yang tidak mampu mereka beli, atau dengan memamerkan merek-merek desainer di media sosial, meskipun mereka hidup dengan utang. Mereka mungkin memposting foto liburan mewah di tempat-tempat eksotis, padahal itu adalah satu-satunya saat mereka mengeluarkan uang ekstra dan sisa tahunnya mereka hidup sangat hemat.

Pilihan makanan dan minuman juga bisa menjadi lahan pretensi. Seseorang mungkin pura-pura memiliki selera tinggi dalam kuliner atau kopi, menggunakan istilah-istilah kompleks untuk menggambarkan rasa, atau mengkritik pilihan orang lain hanya untuk menunjukkan bahwa mereka "lebih canggih". Memesan minuman yang tidak mereka nikmati, hanya karena minuman tersebut dianggap "trend" atau "berkelas", adalah contoh lain dari perilaku berpretensi. Ini semua adalah upaya untuk menciptakan citra "hidup glamor" atau "berpendidikan" yang sebenarnya tidak sejalan dengan realitas keuangan atau preferensi pribadi mereka.

Bahkan dalam pilihan aktivitas sehari-hari, pretensi bisa muncul. Seseorang yang tidak suka membaca buku berat mungkin berpura-pura sedang membaca karya sastra klasik di tempat umum, hanya agar terlihat intelektual. Atau, mereka mungkin mengklaim sangat menyukai aktivitas outdoor yang ekstrem, padahal mereka jarang melakukannya, hanya untuk terlihat petualang dan berani. Gaya hidup berpretensi seringkali didorong oleh keinginan untuk menyesuaikan diri dengan citra ideal yang diproyeksikan oleh masyarakat atau media, tanpa mempertimbangkan apakah citra tersebut benar-benar mencerminkan nilai dan keinginan pribadi.

3.3. Pretensi Intelektual dan Akademik

Lingkungan intelektual, meskipun seharusnya berlandaskan pada pencarian kebenaran, juga tidak luput dari pretensi. Seseorang yang berpretensi intelektual mungkin menggunakan jargon yang sangat spesifik dan rumit dari suatu bidang ilmu, bahkan ketika menjelaskan konsep sederhana, hanya untuk terdengar cerdas dan berpengetahuan luas. Mereka mungkin mengutip banyak teori atau pemikir terkenal tanpa benar-benar memahami nuansa dan konteksnya, atau menggunakan frasa Latin dan asing secara berlebihan untuk memberikan kesan elitis.

Dalam diskusi, individu yang berpretensi mungkin lebih fokus pada memamerkan pengetahuan mereka daripada pada pertukaran ide yang tulus. Mereka bisa mendominasi percakapan, meremehkan pandangan orang lain, atau menolak untuk mengakui ketika mereka tidak tahu sesuatu. Tujuannya bukan untuk belajar atau berkontribusi pada pengetahuan, melainkan untuk menegaskan superioritas intelektual mereka. Ini seringkali membuat diskusi menjadi kurang produktif dan lebih ke arah adu gengsi.

Di dunia akademik, ada fenomena "publisasi atau mati" yang terkadang mendorong peneliti untuk mempublikasikan hasil yang kurang substansial atau mengemas ulang temuan lama dengan bahasa yang sangat rumit agar terlihat inovatif. Ini adalah bentuk pretensi yang bisa merusak integritas ilmu pengetahuan. Mahasiswa yang berpretensi mungkin mencoba menulis esai dengan bahasa yang terlalu berbunga-bunga atau dengan kutipan yang tidak relevan, berharap ini akan mengesankan dosen mereka, padahal yang terpenting adalah argumen yang jelas dan koheren.

3.4. Pretensi di Media Sosial dan Dunia Digital

Media sosial adalah panggung utama bagi pretensi di era modern. Platform seperti Instagram, Facebook, TikTok, dan bahkan LinkedIn, mendorong individu untuk mengkurasi dan menyajikan versi terbaik (atau paling idealis) dari diri mereka. Filter, editing foto, dan pemilihan momen-momen yang "sempurna" menjadi alat utama untuk berpretensi.

Seorang pengguna media sosial mungkin memposting foto liburan yang menakjubkan tanpa menceritakan drama di baliknya, atau foto makanan yang indah yang sebenarnya tidak mereka masak sendiri. Mereka mungkin menulis caption yang inspiratif atau bijak, padahal itu bukan refleksi dari pengalaman pribadi mereka. Tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan "likes", komentar positif, dan citra sebagai pribadi yang bahagia, sukses, dan memiliki kehidupan yang sempurna. Ini adalah bentuk pretensi yang meluas, di mana setiap orang menjadi sutradara dan aktor dalam film kehidupannya sendiri, yang semuanya disunting dan dipoles dengan cermat untuk konsumsi publik.

Di LinkedIn, pretensi bisa berupa klaim palsu tentang keahlian, pengalaman, atau pencapaian yang dibesar-besarkan untuk menarik perhatian perekrut atau klien. Banyak yang berpretensi sebagai "ahli" atau "pemimpin pemikiran" tanpa memiliki substansi yang kuat untuk mendukung klaim tersebut. Ini menciptakan lingkungan digital di mana autentisitas seringkali dikorbankan demi citra yang menarik.

Tampilan layar ponsel dengan ikon hati dan notifikasi media sosial yang berlebihan, mencerminkan pretensi digital 99+ Pretensi di Media Sosial

3.5. Pretensi dalam Desain dan Arsitektur

Bahkan objek fisik dan bangunan bisa menjadi berpretensi. Dalam desain produk, pretensi dapat terlihat pada barang-barang yang mengutamakan estetika yang berlebihan atau fungsi yang tidak perlu, hanya untuk membuatnya terlihat "premium" atau "canggih". Misalnya, sebuah alat dapur yang didesain dengan sangat futuristik dan mahal, namun sebenarnya tidak lebih fungsional dari alat yang lebih sederhana dan terjangkau.

Dalam arsitektur, sebuah bangunan mungkin berpretensi megah atau inovatif, dengan bentuk-bentuk yang rumit dan material yang mahal, tetapi mengabaikan fungsi praktis, kenyamanan penghuni, atau dampak lingkungan. Arsitektur yang berpretensi seringkali lebih tentang membuat pernyataan visual atau mengesankan arsitek lain daripada menciptakan ruang yang benar-benar bermakna dan fungsional bagi penggunanya. Ini bisa berupa fasad bangunan yang megah tetapi interior yang tidak efisien, atau penggunaan ornamen yang berlebihan tanpa tujuan yang jelas, semata-mata untuk menunjukkan "gaya" atau "kemewahan" yang dangkal.

Pretensi semacam ini juga bisa merambah ke perencanaan kota, di mana proyek-proyek besar yang berpretensi futuristik atau berkelanjutan mungkin dibangun untuk menarik perhatian investor atau turis, namun gagal memenuhi kebutuhan dasar komunitas lokal atau bahkan merusak lingkungan dalam jangka panjang. Esensi dari pretensi di sini adalah mengutamakan tampilan luar dan klaim yang muluk-muluk di atas substansi, fungsi, atau dampak nyata.

3.6. Pretensi dalam Hubungan Antarmanusia

Pretensi juga bisa meracuni hubungan antarmanusia. Seseorang mungkin berpretensi sebagai teman yang peduli, pasangan yang romantis, atau anggota keluarga yang suportif, padahal motif di baliknya mungkin adalah keuntungan pribadi, manipulasi, atau sekadar keinginan untuk menjaga citra baik. Misalnya, seseorang mungkin berpura-pura sangat tertarik pada hobi atau minat pasangannya, padahal sebenarnya mereka tidak peduli, hanya untuk menciptakan ilusi kedekatan. Ini adalah bentuk kepura-puraan yang merusak fondasi kepercayaan dan ketulusan dalam hubungan.

Dalam lingkungan kerja, seorang rekan mungkin berpretensi sebagai orang yang paling berpengetahuan dan pekerja keras, seringkali mengambil pujian atas pekerjaan orang lain atau menghindari tanggung jawab yang sebenarnya. Mereka bisa saja menggunakan bahasa bisnis yang bombastis atau "corporate speak" untuk mengesankan atasan, meskipun kontribusi mereka sebenarnya minim. Hubungan yang dibangun di atas pretensi cenderung rapuh dan tidak berkelanjutan, karena cepat atau lambat, topeng itu akan jatuh dan kebenaran akan terungkap.

Pretensi semacam ini bisa sangat merugikan, tidak hanya bagi orang yang tertipu, tetapi juga bagi pelakunya sendiri. Mempertahankan sebuah persona palsu membutuhkan energi yang sangat besar dan dapat menyebabkan kelelahan emosional. Selain itu, ketika pretensi terbongkar, hal itu dapat menghancurkan reputasi dan kepercayaan yang telah dibangun, membuat pemulihan hubungan menjadi sangat sulit, bahkan mustahil.

4. Dampak Pretensi: Sebuah Analisis Komprehensif

Fenomena berpretensi, meskipun seringkali dianggap sepele, memiliki dampak yang luas dan mendalam, baik bagi individu yang melakukannya maupun bagi masyarakat secara keseluruhan. Dampak-dampak ini bervariasi dari psikologis hingga sosial, bahkan ekonomi dan budaya.

4.1. Dampak Psikologis pada Individu yang Berpretensi

Bagi orang yang berpretensi, beban psikologisnya bisa sangat berat. Mempertahankan sebuah citra palsu memerlukan energi mental yang konstan. Mereka harus selalu berhati-hati dengan apa yang mereka katakan, bagaimana mereka bertindak, dan dengan siapa mereka berinteraksi, agar topeng mereka tidak jatuh. Hal ini dapat menyebabkan:

Siklus ini bisa sangat merusak, di mana pretensi yang dimaksudkan untuk meningkatkan harga diri justru semakin mengikisnya, mendorong individu untuk semakin berpretensi dalam upaya mencari validasi yang lebih banyak.

4.2. Dampak Sosial pada Masyarakat dan Hubungan

Dampak pretensi tidak hanya terbatas pada individu; ia juga meracuni hubungan dan masyarakat secara keseluruhan:

Masyarakat yang dipenuhi pretensi cenderung menjadi masyarakat yang sinis, tidak tulus, dan penuh persaingan yang tidak sehat, di mana nilai-nilai seperti integritas dan kejujuran mungkin terpinggirkan.

4.3. Dampak Ekonomi dan Budaya

Di luar ranah psikologis dan sosial, pretensi juga dapat memiliki konsekuensi ekonomi dan budaya:

Dengan demikian, pretensi bukanlah fenomena yang netral; ia adalah kekuatan yang dapat membentuk dan merusak aspek-aspek vital dari eksistensi individu dan kolektif kita.

5. Mengenali Pretensi: Ciri-ciri dan Tanda-tanda

Meskipun pretensi dapat tersembunyi di balik polesan yang rapi, ada beberapa ciri-ciri dan tanda-tanda yang dapat membantu kita mengenali perilaku berpretensi, baik pada orang lain maupun pada diri sendiri. Kesadaran akan tanda-tanda ini adalah langkah pertama menuju autentisitas.

5.1. Bahasa dan Komunikasi yang Berlebihan

Salah satu indikator utama pretensi adalah penggunaan bahasa yang tidak wajar atau berlebihan. Orang yang berpretensi seringkali:

Perhatikan apakah ada kesenjangan antara kata-kata yang diucapkan dengan substansi atau aksi yang menyertainya. Bahasa berpretensi seringkali terasa seperti pertunjukan, bukan komunikasi yang tulus.

5.2. Penampilan dan Gaya Hidup yang Tidak Konsisten

Tanda lain dari pretensi dapat terlihat dari penampilan dan gaya hidup yang tampaknya tidak konsisten atau dipertontonkan secara berlebihan:

Intinya adalah ada upaya yang jelas untuk menampilkan citra yang "lebih baik" dari kenyataan, seringkali dengan fokus pada hal-hal eksternal dan material.

5.3. Kurangnya Substansi di Balik Klaim

Salah satu tanda paling fundamental dari pretensi adalah kurangnya substansi di balik klaim yang dibuat:

Ketika Anda melihat seseorang yang selalu berbicara besar tetapi jarang menunjukkan hasil yang nyata, atau yang selalu terdengar pintar tetapi tidak pernah benar-benar memberikan wawasan baru, kemungkinan besar Anda sedang berhadapan dengan pretensi.

5.4. Sikap dan Perilaku Sosial

Pretensi juga bisa termanifestasi dalam cara seseorang berinteraksi dengan orang lain:

Mengenali tanda-tanda ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk memahami dinamika di balik interaksi sosial dan untuk mendorong refleksi diri tentang bagaimana kita sendiri mungkin menampilkan pretensi dalam berbagai aspek kehidupan kita.

6. Menghadapi Pretensi: Baik pada Orang Lain maupun Diri Sendiri

Setelah memahami apa itu pretensi dan bagaimana ia bermanifestasi, langkah selanjutnya adalah belajar bagaimana menghadapinya. Ini bukan hanya tentang berinteraksi dengan orang lain yang berpretensi, tetapi juga tentang introspeksi dan memastikan kita tidak terjebak dalam perangkap pretensi itu sendiri.

6.1. Menghadapi Pretensi pada Orang Lain

Berinteraksi dengan individu yang berpretensi bisa jadi menantang dan terkadang membuat frustrasi. Berikut adalah beberapa strategi:

Kunci dalam menghadapi orang yang berpretensi adalah menjaga objektivitas, fokus pada realitas dan substansi, serta melindungi diri Anda dari dampak negatif perilaku mereka.

6.2. Menghindari dan Mengatasi Pretensi dalam Diri Sendiri

Bagian yang paling penting dan seringkali paling sulit adalah mengatasi pretensi dalam diri sendiri. Kita semua memiliki kecenderungan untuk ingin terlihat baik, dan terkadang kita tanpa sadar bisa berpretensi. Berikut adalah langkah-langkah untuk mendorong autentisitas:

Mengatasi pretensi adalah sebuah perjalanan berkelanjutan menuju kesadaran diri dan integritas. Ini bukan berarti kita harus selalu blak-blakan atau tidak peduli dengan bagaimana kita mempresentasikan diri; ini tentang menemukan keseimbangan antara presentasi diri yang positif dan kejujuran yang tulus.

7. Pretensi di Era Digital: Tantangan dan Peluang Autentisitas

Era digital, terutama dengan dominasi media sosial, telah mengubah lanskap pretensi secara fundamental. Meskipun media digital menjadi panggung utama bagi individu untuk berpretensi, ia juga menawarkan peluang unik bagi autentisitas.

7.1. Amplifikasi Pretensi oleh Media Sosial

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, media sosial secara inherent mendorong perilaku berpretensi. Algoritma platform dirancang untuk mengutamakan konten yang menarik dan visual, yang secara tidak langsung mempromosikan citra yang dipoles. Fitur-fitur seperti filter, alat pengeditan, dan kemampuan untuk memilih momen "terbaik" untuk dipublikasikan, semuanya berkontribusi pada penciptaan persona yang berpretensi. Individu seringkali merasa tertekan untuk menampilkan kehidupan yang sempurna, liburan yang mewah, karier yang cemerlang, atau hubungan yang ideal, meskipun realitasnya jauh dari itu. Jumlah "likes" dan "followers" menjadi mata uang sosial yang mendorong kompetisi pretensi, di mana siapa yang paling berhasil menampilkan citra ideal dianggap paling "bernilai".

Fenomena influencer adalah contoh paling nyata dari pretensi yang diamplifikasi. Banyak influencer menampilkan gaya hidup yang sangat didambakan, seringkali dengan dukungan produk-produk mahal, menciptakan ilusi kemewahan dan kesempurnaan. Meskipun beberapa mungkin autentik, yang lain mungkin berpretensi, memamerkan kehidupan yang tidak sepenuhnya mereka jalani, hanya untuk menarik sponsor dan pengikut. Ini menciptakan standar yang tidak realistis bagi pengikut mereka, yang kemudian mungkin merasa terdorong untuk juga berpretensi dalam kehidupan mereka sendiri.

Selain itu, media sosial juga memungkinkan penyebaran informasi yang berpretensi atau bahkan palsu dengan cepat. Berita palsu, klaim kesehatan yang tidak berdasar, atau opini yang dipoles agar terlihat cerdas dapat dengan mudah menyesatkan jutaan orang, merusak diskursus publik dan kepercayaan.

7.2. Peluang untuk Autentisitas Digital

Meskipun tantangan yang besar, era digital juga membuka pintu bagi autentisitas. Semakin banyak orang yang lelah dengan kepalsuan dan pretensi, menciptakan permintaan akan konten dan interaksi yang lebih jujur. Beberapa tren yang mendukung autentisitas meliputi:

Pergeseran ini menunjukkan bahwa meskipun mudah untuk berpretensi di dunia digital, ada juga keinginan yang kuat untuk koneksi yang nyata dan otentik. Tantangannya adalah menemukan keseimbangan antara mempresentasikan diri secara positif dan tetap setia pada diri sendiri, serta mendorong lingkungan digital yang menghargai kejujuran di atas kepura-puraan.

Ilustrasi hati yang sederhana dan tulus, simbol keaslian dan kejujuran Hati yang Autentik

8. Kesimpulan: Menuju Kehidupan yang Lebih Autentik

Perjalanan kita dalam menguak tabir pretensi telah membawa kita melalui berbagai aspek kehidupan, dari inti psikologis hingga manifestasi sosial dan budaya. Kita telah melihat bahwa pretensi adalah sebuah fenomena yang kompleks, seringkali berakar pada rasa tidak aman, kebutuhan akan validasi, dan tekanan sosial. Ia dapat meracuni hubungan, menghambat pertumbuhan pribadi, dan menciptakan lingkungan yang dangkal serta penuh ketidakpercayaan. Dari seni yang berpretensi hingga gaya hidup digital yang dikurasi dengan cermat, jejak-jejak kepura-puraan dapat ditemukan di mana-mana.

Namun, di tengah gelombang pretensi ini, muncul pula sebuah kesadaran dan kerinduan yang mendalam akan autentisitas. Semakin banyak individu dan komunitas yang berusaha untuk melepaskan topeng, berani menunjukkan kerentanan, dan membangun hubungan yang didasari oleh kejujuran dan ketulusan. Ini adalah sebuah panggilan untuk kembali pada diri sejati, menghargai esensi di atas penampilan, dan mencari makna yang lebih dalam di balik setiap interaksi.

Mengidentifikasi dan mengatasi pretensi, baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, adalah sebuah proses yang membutuhkan keberanian, introspeksi, dan kesediaan untuk menerima ketidaksempurnaan. Ini berarti kita harus berani bertanya pada diri sendiri: "Apakah saya melakukan ini karena tulus, atau karena ingin dilihat dengan cara tertentu?" Ini berarti kita harus berani untuk tidak memvalidasi kepalsuan dan memilih untuk menghargai kejujuran, bahkan jika itu berarti kita tidak selalu "populer" atau "sempurna" di mata orang lain.

Masa depan masyarakat kita, dan kualitas hubungan personal kita, sangat bergantung pada seberapa jauh kita bersedia menanggalkan pretensi dan merangkul keaslian. Ini bukan hanya tentang menghindari menjadi berpretensi, tetapi tentang secara aktif membangun budaya di mana kejujuran dihargai, kerentanan diterima, dan individu dapat berkembang sebagai diri mereka yang sejati. Mari kita terus berusaha untuk menjalani kehidupan yang lebih autentik, di mana tindakan kita sejalan dengan nilai-nilai kita, dan di mana kita merayakan keunikan setiap individu, bukan hanya citra yang dipoles. Dengan demikian, kita dapat menciptakan dunia yang lebih jujur, lebih terhubung, dan pada akhirnya, lebih bermakna.