Dalam khazanah intelektual Islam, konsep bertaklik menduduki posisi sentral, terutama dalam disiplin ilmu fikih dan ushul fikih. Ini adalah sebuah praktik yang telah mengakar kuat dalam sejarah umat Muslim, menjadi jembatan penghubung antara teks-teks syariat yang kompleks dan realitas kehidupan sehari-hari umat yang beragam kapasitas pengetahuannya. Taklik, pada intinya, merujuk pada tindakan mengikuti pendapat seorang mujtahid atau imam mazhab tanpa menelusuri secara mendalam dalil-dalil syar’i yang menjadi dasar pendapat tersebut.
Meskipun tampak sederhana, konsep bertaklik memiliki implikasi yang luas dan sering kali menjadi subjek perdebatan sengit di kalangan ulama dan pemikir Islam sepanjang masa. Ada yang memandangnya sebagai keniscayaan bagi mayoritas umat, ada pula yang menganggapnya sebagai bentuk kejumudan intelektual yang menghambat kemajuan. Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk bertaklik, mulai dari definisi fundamentalnya, perjalanan sejarahnya, dalil-dalil yang mendasarinya, klasifikasi individu dalam menghadapi syariat, hikmah di baliknya, batasan-batasan yang harus dipatuhi, hingga polemik yang mengitarinya dan relevansinya di era modern.
Tujuan utama dari pembahasan ini adalah memberikan pemahaman yang komprehensif dan seimbang mengenai taklik, agar setiap Muslim dapat memahami posisinya dalam mengikuti ajaran agama dengan ilmu dan kesadaran, bukan sekadar ikut-ikutan. Diharapkan, dengan memahami konsep ini secara utuh, umat Muslim dapat menavigasi kompleksitas hukum Islam dengan bijaksana, menghargai keragaman pendapat ulama, dan tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip dasar syariat.
Definisi dan Konsep Dasar Taklik
Untuk memahami bertaklik secara mendalam, kita perlu terlebih dahulu merunut definisi etimologis (bahasa) dan terminologis (istilah) serta membedakannya dari konsep-konsep lain yang serupa namun tidak identik.
1. Pengertian Taklik Secara Bahasa
Secara etimologis, kata "taklik" (تقليد) berasal dari akar kata قلّد (qallada) dalam bahasa Arab, yang berarti 'mengalungkan', 'memakaikan kalung', atau 'mengikuti jejak'. Implikasinya adalah seseorang meletakkan suatu amanah atau tanggung jawab di leher orang lain, atau mengikuti jejak langkah orang lain seolah-olah mengalungkan tuntunan di lehernya. Dalam konteks ini, ketika seseorang bertaklik, ia seolah-olah memakaikan pendapat atau fatwa seorang ulama di lehernya, sebagai tanda ketaatan dan kepatuhan dalam amal perbuatannya.
2. Pengertian Taklik Secara Istilah
Dalam terminologi syariat, taklik diartikan sebagai: "Mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya." Definisi ini menjadi sangat krusial karena membedakan taklik dari bentuk-bentuk mengikuti lainnya. Ketika seorang Muslim bertaklik, ia menerima dan mengamalkan suatu hukum syariat berdasarkan fatwa atau pendapat seorang ulama atau imam mazhab, tanpa secara pribadi menggali atau memahami dalil-dalil Al-Qur'an dan Sunnah yang menjadi sandaran hukum tersebut.
- Tanpa Mengetahui Dalilnya: Ini adalah inti dari taklik. Orang yang bertaklik mungkin tidak tahu sama sekali dalilnya, atau tahu dalilnya tapi tidak mampu menarik kesimpulan hukum darinya, atau tahu dalilnya tapi tidak yakin dengan kekuatan dalil tersebut dibandingkan dalil lain yang mungkin berlawanan.
- Mengikuti Pendapat Orang Lain: Merujuk pada mengikuti pendapat seorang mujtahid (individu yang memiliki kemampuan ijtihad) atau sebuah mazhab yang telah diakui. Ini bukan berarti mengikuti sembarang orang.
3. Perbedaan Taklik dengan Ittiba' dan Ijtihad
Penting untuk membedakan taklik dari dua konsep fundamental lainnya dalam metodologi hukum Islam, yaitu ittiba' dan ijtihad, karena ketiganya sering kali disalahpahami atau dicampuradukkan.
a. Ijtihad (اجتهاد)
Ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh seorang mujtahid untuk menggali dan menarik hukum syariat dari sumber-sumber utamanya (Al-Qur'an dan Sunnah) menggunakan kaidah-kaidah ushul fikih yang telah ditetapkan. Seorang mujtahid adalah seorang ahli ilmu yang memiliki kapasitas intelektual, keilmuan bahasa Arab, pemahaman Al-Qur'an dan Sunnah, pengetahuan tentang nasikh-mansukh (ayat yang menghapus dan dihapus), asbabun nuzul (sebab turunnya ayat), asbab al-wurud (sebab munculnya hadis), serta ilmu ushul fikih yang mumpuni. Orang yang berijtihad tidak bertaklik kepada siapa pun; ia sendiri yang merumuskan hukum berdasarkan penelitian dalil. Mereka adalah para imam mazhab seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hanbal, serta para ulama besar lainnya yang mencapai derajat mujtahid mutlak.
b. Ittiba' (اتّباع)
Ittiba' berarti 'mengikuti', tetapi dengan pemahaman dalil atau setidaknya dengan keyakinan terhadap kekuatan dalil yang digunakan. Seseorang yang melakukan ittiba' mungkin bukan seorang mujtahid, tetapi ia memiliki kemampuan untuk memahami dan menimbang dalil-dalil syar'i. Ia mengikuti pendapat seorang ulama setelah memahami argumen dan dalilnya, atau setelah merasa yakin bahwa dalil yang digunakan oleh ulama tersebut adalah yang paling kuat atau relevan. Perbedaan utamanya dengan taklik adalah adanya kesadaran dan pemahaman terhadap dasar hukum (dalil), meskipun ia tidak sampai pada level ijtihad mandiri. Ittiba' seringkali dianggap lebih utama daripada taklik bagi mereka yang memiliki kapasitas untuk sedikit menyelami dalil.
Dengan demikian, hierarki idealnya adalah:
- Ijtihad: Tingkat tertinggi, dilakukan oleh mujtahid.
- Ittiba': Mengikuti dengan pemahaman dalil, dilakukan oleh sebagian penuntut ilmu atau mereka yang memiliki kapasitas pemahaman lebih.
- Taklik: Mengikuti tanpa memahami dalil, dilakukan oleh mayoritas umat (orang awam).
"Kewajiban seorang awam adalah bertanya kepada orang yang berilmu dan mengikuti fatwanya. Ini adalah bentuk taklik yang dibolehkan, bahkan diwajibkan, karena ia tidak memiliki kemampuan untuk berijtihad sendiri."
Sejarah dan Perkembangan Taklik dalam Islam
Praktik taklik tidak muncul secara instan, melainkan berkembang seiring dengan evolusi pemikiran dan sistem hukum dalam Islam. Memahami sejarahnya membantu kita menghargai konteks dan alasan keberadaannya.
1. Masa Awal Islam: Sahabat dan Tabi'in
Pada masa Nabi Muhammad SAW, segala pertanyaan hukum langsung dijawab oleh beliau melalui wahyu atau ijtihad beliau. Setelah wafatnya Nabi, para sahabat menjadi rujukan utama bagi kaum Muslimin. Di masa ini, para sahabat yang memiliki kedalaman ilmu dan pemahaman syariat (seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas'ud, Aisyah, dan Abdullah bin Abbas) menjadi sumber fatwa dan rujukan hukum. Orang-orang di berbagai daerah yang tidak sempat bertanya langsung kepada Nabi atau sahabat besar di Madinah seringkali bertanya kepada sahabat yang ada di daerah mereka, atau kepada tabi'in (generasi setelah sahabat) yang menuntut ilmu dari para sahabat.
Pada masa ini, praktik yang lebih dominan adalah ittiba'. Orang-orang awam bertanya, dan para sahabat atau tabi'in memberikan jawaban beserta dalilnya jika diperlukan, atau mereka memaparkan pemahaman mereka atas dalil. Masyarakat pada umumnya masih memiliki kedekatan dengan sumber primer (Al-Qur'an dan Sunnah) serta bahasa Arab yang fasih. Namun, benih-benih taklik sudah ada, dalam artian masyarakat awam mempercayai dan mengamalkan fatwa seorang sahabat tanpa perlu meneliti dalilnya secara rinci, karena mereka meyakini keilmuan dan ketakwaan para sahabat.
2. Era Pembentukan Mazhab-Mazhab
Seiring berjalannya waktu, wilayah Islam meluas, umat Muslim semakin banyak, dan permasalahan-permasalahan baru muncul yang tidak ditemukan secara eksplisit dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Di sisi lain, jarak dari masa kenabian semakin jauh, dan akses terhadap sumber primer mulai memerlukan keilmuan yang lebih spesifik. Kondisi ini mendorong munculnya para ulama besar yang mumpuni dalam ijtihad, yang kemudian menjadi pendiri mazhab-mazhab fikih yang kita kenal sekarang.
- Abad ke-2 dan ke-3 Hijriah: Periode ini adalah puncak dari kegiatan ijtihad mandiri. Munculnya empat imam mazhab Sunni yang terkemuka:
- Imam Abu Hanifah (w. 150 H): Mazhab Hanafi, dikenal dengan penekanannya pada ra'yu (rasio) dan qiyas (analogi) setelah Al-Qur'an dan Sunnah, serta istihsan.
- Imam Malik bin Anas (w. 179 H): Mazhab Maliki, berpusat di Madinah, sangat menekankan amal ahlul Madinah (praktik penduduk Madinah) sebagai salah satu sumber hukum, selain Al-Qur'an dan Sunnah.
- Imam Syafi'i (w. 204 H): Mazhab Syafi'i, dikenal dengan metodologinya yang sistematis dalam ushul fikih (Risalah), memberikan bobot besar pada Sunnah dan menata hirarki dalil.
- Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H): Mazhab Hanbali, dikenal dengan penekanannya yang kuat pada nash (teks Al-Qur'an dan Sunnah) dan kehati-hatian dalam penggunaan ra'yu.
Setiap imam mazhab memiliki metode ijtihad, kumpulan prinsip, dan pandangan hukum yang khas. Murid-murid mereka menyebarkan ajaran ini, membukukan, dan mengembangkannya, sehingga terbentuklah mazhab-mazhab yang menjadi rujukan. Pada titik inilah, praktik taklik mulai menjadi fenomena yang lebih terstruktur. Masyarakat mulai memilih untuk mengikuti mazhab tertentu karena reputasi ulamanya, kemudahan akses ke ajaran mazhab tersebut, atau karena pengaruh lingkungan.
3. Konsolidasi dan Pembatasan Ijtihad
Setelah abad ke-4 atau ke-5 Hijriah, terjadi pergeseran paradigma dalam dunia Islam. Aktivitas ijtihad mutlak (mandiri) mulai berkurang drastis. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini:
- Pembukuan Fikih: Seluruh permasalahan fikih yang mungkin telah banyak dibahas dan dikodifikasi oleh mazhab-mazhab yang ada. Para ulama berikutnya lebih fokus pada menjelaskan, mengkompilasi, dan meringkas karya-karya imam mazhab.
- Kompleksitas Ilmu: Syarat untuk menjadi mujtahid mutlak menjadi semakin berat dan sulit dicapai. Ilmu-ilmu alat (bahasa Arab, hadis, tafsir, ushul fikih) telah berkembang sangat luas dan mendalam.
- Kecenderungan untuk Keseragaman: Adanya kekhawatiran terhadap munculnya terlalu banyak pendapat yang bisa menyebabkan kebingungan dan kekacauan hukum di masyarakat. Menutup pintu ijtihad atau membatasinya dianggap sebagai cara untuk menjaga stabilitas.
- Otoritas Mazhab: Mazhab-mazhab besar telah memiliki otoritas yang kuat dan sistem pendidikan yang mapan, sehingga lebih mudah bagi masyarakat untuk merujuk pada salah satu mazhab tersebut.
Pada periode ini, taklik menjadi praktik yang dominan dan dianggap sebagai keniscayaan bagi mayoritas Muslim, bahkan bagi banyak ulama yang tidak mencapai derajat ijtihad mutlak. Mereka yang tidak mampu berijtihad mandiri diwajibkan untuk bertaklik kepada salah satu mazhab yang ada. Ini melahirkan konsep "taklik kepada mazhab" sebagai suatu kewajiban syar'i bagi non-mujtahid.
4. Masa Modern dan Gerakan Pembaharuan
Di era modern, terutama sejak abad ke-19 dan ke-20, muncul berbagai gerakan pembaharuan Islam (reformis) yang mengkritik praktik taklik yang dianggap berlebihan. Para reformis menyerukan untuk kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah secara langsung, serta membuka kembali pintu ijtihad. Tokoh-tokoh seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan para ulama Salafi modern menyerukan umat untuk tidak taklik buta, melainkan berusaha memahami dalil dan melakukan ittiba' semaksimal mungkin.
Kritik ini sebagian besar ditujukan pada "taklik buta" atau "ta'assub madzhabi" (fanatisme mazhab) yang membuat sebagian umat menolak kebenaran dari mazhab lain meskipun dalilnya lebih kuat, atau menolak ijtihad baru untuk masalah kontemporer. Meskipun demikian, para reformis ini tidak meniadakan taklik sepenuhnya. Mereka tetap mengakui bahwa bagi orang awam yang tidak memiliki kemampuan memahami dalil, taklik kepada ulama yang kompeten adalah suatu keharusan.
Singkatnya, sejarah taklik adalah perjalanan yang panjang, mencerminkan kebutuhan umat Muslim untuk menavigasi kompleksitas syariat dalam berbagai kondisi. Dari praktik ittiba' yang dominan di masa awal, hingga taklik yang terstruktur melalui mazhab-mazhab, dan kemudian menjadi subjek kritik serta reformasi di era modern, taklik terus relevan sebagai salah satu mekanisme utama dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam.
Dalil-dalil Syar'i tentang Kebolehan Taklik
Kebolehan taklik, terutama bagi orang awam, tidaklah muncul tanpa dasar. Para ulama mengambil dalil dari Al-Qur'an dan Sunnah, serta ijma' (konsensus) para sahabat dan tabi'in, untuk membenarkan praktik ini.
1. Dalil dari Al-Qur'an
Ayat Al-Qur'an yang paling sering dijadikan sandaran adalah firman Allah SWT dalam Surah An-Nahl ayat 43 dan Surah Al-Anbiya' ayat 7:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (QS. An-Nahl: 43 dan Al-Anbiya': 7)
Penjelasan:
- 'Ahludz Dzikr' (أهل الذكر): Para mufasir dan fuqaha' menafsirkan frasa ini sebagai 'orang yang memiliki ilmu dan pengetahuan agama'. Dalam konteks ini, mereka adalah para ulama dan mujtahid.
- 'Jika kamu tidak mengetahui': Ayat ini secara eksplisit mengarahkan mereka yang tidak memiliki pengetahuan (yakni orang awam atau non-mujtahid) untuk bertanya kepada yang berilmu. Ketika seseorang bertanya dan mendapatkan jawaban, lalu ia mengamalkannya tanpa meneliti dalilnya secara pribadi, maka ia sedang bertaklik. Ayat ini menjadi fondasi utama kewajiban taklik bagi orang awam.
- Implikasi Kewajiban: Jika bertanya adalah sebuah perintah, maka mengamalkan jawaban dari orang yang berilmu juga merupakan suatu kewajiban, sebab pertanyaan tanpa pengamalan tidak akan ada artinya. Dan pengamalan tersebut bagi orang awam adalah bentuk taklik.
Ayat lain yang mendukung adalah Surah At-Taubah ayat 122:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَائِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
"Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga diri mereka." (QS. At-Taubah: 122)
Penjelasan:
- Pembagian Tugas: Ayat ini menunjukkan adanya pembagian tugas dalam umat. Sebagian fokus memperdalam ilmu agama (tafaqquh fiddin), dan sebagian lagi (mayoritas) akan diingatkan dan diajari oleh mereka yang telah memperdalam ilmu.
- Peringatan dan Pengajaran: Ketika para ulama memberikan peringatan dan pengajaran, orang awam yang mendengarnya dan mengamalkannya tanpa perlu meneliti setiap dalil secara rinci, pada hakikatnya sedang bertaklik. Ayat ini menegaskan perlunya adanya spesialisasi ilmu dan peran ulama sebagai pembimbing.
2. Dalil dari Sunnah
Meskipun tidak ada hadis yang secara eksplisit menggunakan kata 'taklik' dalam konteks fikih, beberapa hadis dan praktik Nabi SAW menunjukkan prinsip-prinsip yang mendukung kebolehan taklik.
- Hadis tentang Mu'adz bin Jabal: Ketika Nabi SAW mengutus Mu'adz ke Yaman sebagai qadhi (hakim), beliau bertanya bagaimana Mu'adz akan memutuskan perkara. Mu'adz menjawab, "Dengan Kitabullah." Nabi bertanya lagi, "Jika tidak ada?" Mu'adz menjawab, "Dengan Sunnah Rasulullah." Nabi bertanya lagi, "Jika tidak ada?" Mu'adz menjawab, "Aku akan berijtihad dengan pendapatku." Nabi SAW pun membenarkan hal tersebut. Hadis ini menunjukkan adanya ijtihad, dan secara implisit, masyarakat Yaman pada saat itu akan mengikuti keputusan Mu'adz tanpa harus meneliti dalil-dalilnya sendiri, yang merupakan bentuk taklik.
- Perintah kepada Para Sahabat: Nabi SAW sering mengutus sahabat ke berbagai daerah untuk mengajari agama. Ketika para sahabat mengajar dan memberikan fatwa, masyarakat di sana mengamalkan ajaran tersebut. Ini adalah bentuk taklik kepada sahabat.
3. Dalil dari Ijma' (Konsensus)
Para ulama juga berargumen bahwa kebolehan taklik bagi orang awam telah menjadi ijma' (konsensus) sejak masa sahabat hingga sekarang.
- Praktik Sahabat: Di masa sahabat, tidak semua sahabat memiliki kedalaman ilmu yang sama. Sahabat yang kurang berilmu atau awam akan bertanya kepada sahabat yang lebih alim, seperti empat Khalifah Rasyidin atau para fuqaha' sahabat lainnya, lalu mengamalkan fatwa mereka. Tidak ada satu pun sahabat yang mengingkari praktik ini, bahkan mereka menganjurkannya.
- Kenyataan Umat: Realitas menunjukkan bahwa mayoritas umat Islam tidak memiliki kapasitas keilmuan untuk berijtihad secara mandiri. Jika setiap Muslim diwajibkan untuk berijtihad sendiri, maka syariat akan menjadi sangat sulit dan tidak dapat diamalkan. Oleh karena itu, ijma' ulama membenarkan taklik sebagai solusi syar'i bagi mayoritas umat.
Imam Al-Ghazali dalam kitabnya "Al-Mustashfa" menyatakan bahwa ijma' telah menetapkan kewajiban bagi orang awam untuk bertaklik kepada ulama. Jika ijma' tidak ada, tentu akan sulit membayangkan bagaimana umat dapat menjalankan syariat secara konsisten dan teratur.
Klasifikasi Manusia Berkenaan dengan Syariat
Untuk memahami siapa yang boleh dan siapa yang tidak boleh bertaklik, para ulama ushul fikih mengklasifikasikan manusia berdasarkan kapasitas keilmuan mereka dalam menghadapi syariat. Klasifikasi ini sangat penting untuk menentukan kewajiban dan hak masing-masing individu dalam memahami dan mengamalkan agama.
1. Mujtahid Mutlak (المجتهد المطلق)
Ini adalah tingkatan tertinggi dalam keilmuan syariat. Seorang mujtahid mutlak adalah seorang ulama yang telah mencapai puncak keahlian dalam ilmu-ilmu Islam, yang memungkinkannya untuk menggali hukum langsung dari sumber-sumber utama (Al-Qur'an dan Sunnah) tanpa terikat pada mazhab tertentu. Mereka memiliki kemampuan mandiri untuk:
- Memahami bahasa Arab secara mendalam (nahwu, sharaf, balaghah).
- Menguasai Al-Qur'an (ayat-ayat hukum, nasikh-mansukh, asbabun nuzul).
- Menguasai Sunnah (hadis-hadis hukum, riwayat, derajat hadis, asbab al-wurud).
- Menguasai ilmu ushul fikih dan kaidah-kaidah fikih.
- Mengetahui ijma' (konsensus) dan khilaf (perbedaan pendapat) para ulama.
- Memiliki pemahaman maqashid syariah (tujuan-tujuan syariat).
- Memiliki ketakwaan dan keadilan yang tinggi.
Bagi mujtahid mutlak, taklik diharamkan. Mereka wajib berijtihad sendiri dan mengamalkan hasil ijtihadnya. Jika ia bertaklik, berarti ia menelantarkan kemampuannya yang telah Allah anugerahkan. Para imam mazhab empat adalah contoh mujtahid mutlak.
2. Mujtahid Muntasib (المجتهد المنتسب)
Mujtahid muntasib adalah mujtahid yang masih berada dalam kerangka sebuah mazhab, namun ia memiliki kemampuan ijtihad dalam masalah-masalah yang tidak dijelaskan oleh imam mazhabnya, atau ia mampu memperkuat atau meninjau kembali dalil-dalil dalam mazhabnya. Ia tidak mencapai level ijtihad mutlak yang benar-benar mandiri dari semua mazhab, tetapi ia mampu melakukan ijtihad dalam batasan-batasan tertentu. Ia terikat pada prinsip-prinsip umum (ushul) mazhabnya, tetapi tidak selalu terikat pada semua furu' (cabang) hukumnya. Bagi mujtahid muntasib, taklik kepada selain dirinya dalam lingkup kemampuannya juga tidak diperbolehkan.
3. Mujtahid Tarjih (المجتهد الترجيح)
Mujtahid tarjih adalah ulama yang mahir dalam mazhabnya, memahami dalil-dalilnya, dan mampu membandingkan berbagai pendapat dalam mazhabnya serta memilih mana yang lebih kuat (tarjih) berdasarkan dalil. Ia tidak berijtihad untuk menghasilkan hukum baru, melainkan memilih di antara hukum-hukum yang telah ada dalam mazhabnya. Ia juga mampu membandingkan pendapat mazhabnya dengan mazhab lain dan menimbang mana yang lebih kuat. Bagi mujtahid tarjih, taklik di luar hasil tarjihnya sendiri juga tidak diperbolehkan, karena ia sudah mampu menimbang dalil.
4. Muqallid atau Muthabi' (المقلد أو المتابع)
Ini adalah mayoritas umat Muslim, termasuk banyak penuntut ilmu dan ulama yang tidak mencapai derajat ijtihad. Muqallid adalah orang yang mengikuti fatwa atau pendapat seorang mujtahid tanpa memahami dalilnya. Muthabi' sedikit lebih tinggi, yaitu mengikuti pendapat seorang mujtahid dengan memahami dalilnya, namun tidak sampai pada level ijtihad.
- Kewajiban Muqallid: Bagi mereka yang tidak memiliki kapasitas ijtihad (muqallid), taklik adalah wajib. Mereka wajib bertanya kepada ulama yang dipercaya dan mengamalkan fatwanya. Ini adalah bentuk taklik yang terpuji dan diperlukan.
- Bagi Muthabi': Ia berusaha memahami dalil, dan setelah itu ia mengikuti pendapat yang dalilnya ia yakini paling kuat, meskipun ia tidak berijtihad secara mandiri. Ini adalah tingkat yang lebih utama daripada taklik murni bagi yang mampu.
5. Awam (العامي)
Orang awam adalah individu yang tidak memiliki pengetahuan mendalam tentang syariat, bahkan mungkin tidak memiliki dasar-dasar ilmu agama yang kuat. Mereka tidak memahami kaidah-kaidah fikih, ushul fikih, atau bagaimana menggali hukum dari Al-Qur'an dan Sunnah. Bagi orang awam, taklik kepada ulama yang kompeten adalah satu-satunya jalan untuk mengamalkan ajaran agama dengan benar. Jika mereka tidak bertaklik, mereka akan jatuh ke dalam kebingungan, kesalahan, atau bahkan bid'ah karena beramal tanpa ilmu.
Dengan demikian, kewajiban bertaklik sangat bergantung pada tingkat keilmuan seseorang. Bagi para mujtahid, taklik adalah haram. Bagi orang awam, taklik adalah wajib. Dan bagi yang berada di antara keduanya, disunahkan untuk berusaha memahami dalil (ittiba') semampunya, tetapi taklik masih dibolehkan dalam banyak kasus.
Hikmah dan Manfaat Taklik
Meskipun sering menjadi target kritik, praktik taklik memiliki hikmah dan manfaat yang besar, terutama bagi kelangsungan dan kemudahan pengamalan syariat di tengah-tengah umat Islam yang beragam.
1. Kemudahan bagi Umat (Taisir)
Ini adalah hikmah terbesar dari taklik. Allah SWT berfirman: يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ (Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu - QS. Al-Baqarah: 185). Jika setiap Muslim diwajibkan untuk menjadi mujtahid atau memahami setiap dalil sebelum beramal, maka ajaran Islam akan menjadi beban yang sangat berat dan hampir mustahil untuk diamalkan oleh mayoritas manusia. Kebanyakan orang memiliki kesibukan duniawi, keterbatasan waktu, atau kapasitas intelektual yang tidak memungkinkan mereka untuk mendalami ilmu syariat hingga level ijtihad. Taklik memberikan solusi praktis, memungkinkan mereka untuk beribadah dan bermuamalah sesuai syariat tanpa harus menjadi ahli fikih.
2. Mencegah Kekacauan Hukum dan Kekeliruan
Tanpa adanya taklik, setiap individu akan mencoba menafsirkan teks syariat sendiri. Ini akan menghasilkan jutaan interpretasi yang berbeda, menyebabkan kekacauan hukum, perbedaan yang ekstrem, dan potensi salah paham terhadap agama. Orang yang tidak memiliki ilmu yang cukup sangat rentan untuk jatuh pada kesalahan dalam menafsirkan dalil, bahkan bisa mengarah pada bid'ah atau kesesatan. Taklik kepada ulama yang kompeten menjaga umat dari kekeliruan fatal ini, memastikan bahwa pengamalan agama tetap berada dalam koridor yang benar dan sesuai dengan pemahaman para ahli.
3. Menjaga Otoritas Ilmu dan Keilmuan
Taklik menggarisbawahi pentingnya peran ulama sebagai pewaris para nabi dan penjaga syariat. Dengan adanya taklik, umat mengakui dan menghormati otoritas keilmuan para mujtahid dan fuqaha' yang telah mendedikasikan hidup mereka untuk mendalami agama. Ini mendorong adanya spesialisasi dalam ilmu pengetahuan, di mana sebagian umat mendalami agama, dan sebagian lagi berkarya di bidang lain namun tetap merujuk pada ahli agama untuk urusan syariat. Tanpa otoritas ini, ilmu syariat bisa diremehkan dan dianggap bisa dipelajari oleh siapa saja tanpa kedalaman ilmu yang memadai.
4. Konsistensi dalam Praktik Ibadah dan Muamalah
Dalam sebuah komunitas atau negara, adanya rujukan mazhab atau ulama tertentu yang diikuti membantu menciptakan konsistensi dalam praktik ibadah dan muamalah. Misalnya, dalam penentuan awal Ramadan, arah kiblat, tata cara salat, atau transaksi keuangan. Konsistensi ini sangat penting untuk ketertiban sosial dan kemudahan interaksi antarumat. Bayangkan jika setiap orang memiliki tata cara salat yang fundamental berbeda karena hasil ijtihad mandirinya, tentu akan sulit untuk melakukan salat berjamaah.
5. Menjembatani Kesenjangan Antara Teks dan Realitas
Teks-teks Al-Qur'an dan Sunnah adalah abadi, tetapi realitas kehidupan manusia terus berubah dan berkembang. Banyak permasalahan kontemporer yang tidak dijelaskan secara eksplisit dalam nash. Para ulama mazhab, melalui metode ijtihad mereka, berupaya menjembatani kesenjangan ini dengan merumuskan hukum-hukum baru berdasarkan prinsip-prinsip syariat. Orang awam kemudian bertaklik kepada fatwa-fatwa kontemporer ini, sehingga syariat tetap relevan dan mampu menjawab tantangan zaman.
6. Memupuk Sikap Rendah Hati dan Menghargai Perbedaan
Dengan mengakui bahwa ada ulama yang lebih berilmu dan bahwa tidak semua orang mampu berijtihad, taklik secara tidak langsung mengajarkan sikap rendah hati. Ini juga membantu umat untuk menghargai perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan ulama, karena mereka memahami bahwa perbedaan tersebut muncul dari metodologi ijtihad yang berbeda dan bukan dari kesalahan mutlak. Sikap ini penting untuk menjaga persatuan umat dan menghindari perpecahan yang tidak perlu.
Dengan demikian, taklik, pada hakikatnya, adalah sebuah mekanisme yang cerdas dan realistis dalam Islam untuk memastikan bahwa ajaran agama dapat diakses dan diamalkan oleh seluruh lapisan masyarakat, menjaga keutuhan syariat, dan memelihara ketertiban sosial, tanpa menafikan pentingnya ijtihad bagi mereka yang memiliki kapasitas.
Batasan dan Syarat Taklik yang Diperbolehkan
Meskipun taklik diakui sebagai keniscayaan, terutama bagi orang awam, ia tidak boleh dilakukan secara membabi buta. Ada batasan dan syarat tertentu yang harus dipatuhi agar taklik tetap berada dalam koridor syariat dan tidak mengarah pada fanatisme atau penyimpangan.
1. Tidak Boleh Taklik Buta (Ta'assub Mazhabi)
Taklik yang dibolehkan adalah taklik yang dilandasi oleh kebutuhan dan keyakinan akan kompetensi ulama yang diikuti. Namun, yang tidak dibolehkan adalah ta'assub madzhabi, yaitu fanatisme buta terhadap satu mazhab atau ulama, sehingga menolak kebenaran dari mazhab lain meskipun dalilnya lebih kuat dan jelas. Fanatisme ini bisa menyebabkan:
- Mengikuti pendapat lemah hanya karena berasal dari mazhab yang diikuti.
- Mencela atau merendahkan ulama atau mazhab lain.
- Menolak dalil shahih dari Al-Qur'an atau Sunnah jika bertentangan dengan pendapat mazhabnya, tanpa alasan yang syar'i.
- Menganggap mazhabnya adalah satu-satunya kebenaran mutlak.
Taklik yang sehat adalah fleksibel dan terbuka terhadap dalil serta kebenaran. Jika dalil dari mazhab lain lebih kuat dan jelas, seorang Muslim yang mampu menimbang hendaknya mengikuti dalil tersebut.
2. Tidak Boleh Taklik dalam Masalah Aqidah (Pokok Keimanan)
Dalam masalah-masalah pokok akidah (keyakinan dasar seperti keesaan Allah, kenabian Muhammad, hari kiamat), seorang Muslim tidak boleh bertaklik semata-mata. Ia harus memiliki keyakinan yang kuat berdasarkan dalil naqli (Al-Qur'an dan Sunnah) dan aqli (akal). Meskipun ia mungkin tidak memahami dalil-dalil yang sangat rinci, ia harus memiliki pemahaman dasar yang kokoh tentang rukun iman dan rukun Islam. Taklik dalam aqidah hanya dibolehkan untuk orang yang sangat awam dan baru masuk Islam, sekadar untuk memulai, namun ia tetap wajib untuk terus belajar dan menguatkan keyakinannya dengan dalil.
3. Tidak Boleh Taklik pada Kesalahan yang Jelas
Seorang Muslim tidak boleh bertaklik kepada pendapat yang secara jelas bertentangan dengan nash Al-Qur'an atau Sunnah yang sahih dan sharih (eksplisit) yang sudah ia ketahui dan pahami. Jika ia mengetahui dengan pasti bahwa seorang ulama atau pendapat mazhab tertentu bertentangan dengan ayat Al-Qur'an atau hadis yang sangat jelas, maka ia tidak boleh mengikutinya. Ini berlaku bagi mereka yang memiliki kapasitas untuk memahami dalil yang jelas tersebut. Namun, bagi orang awam yang tidak tahu apa-apa, ia tetap wajib bertanya kepada ulama dan mengikuti fatwanya.
4. Boleh Berpindah Mazhab (Intiqal)
Seorang Muslim tidak wajib terikat pada satu mazhab tertentu sepanjang hidupnya. Ia dibolehkan untuk berpindah dari satu mazhab ke mazhab lain jika ia menemukan pendapat mazhab lain lebih kuat dalilnya, lebih relevan dengan kebutuhannya, atau lebih mudah baginya dalam situasi tertentu, selama perpindahan tersebut dilandasi oleh ilmu dan bukan hanya untuk mencari keringanan (talafquh bir rukhash) tanpa dasar syar'i. Ini dikenal dengan istilah "intiqal" (berpindah) mazhab. Namun, perpindahan ini harus dilakukan dengan niat yang benar, yaitu mencari kebenaran dan kemudahan syariat, bukan untuk main-main dengan hukum.
5. Batasan Talafquh (Mencampuradukkan Mazhab)
Talafquh (تلفّق) adalah mencampuradukkan pendapat dari berbagai mazhab dalam satu permasalahan yang sama, sehingga menghasilkan suatu bentuk ibadah atau muamalah yang tidak diakui oleh mazhab mana pun secara utuh. Contoh klasik adalah jika seseorang berwudu menurut mazhab Syafi'i (menyentuh wanita batal) dan mengusap kepala hanya sebagian, lalu ia salat. Kemudian ia menyentuh wanita, namun ia tetap salat dan tidak berwudu lagi dengan alasan ia mengambil pendapat mazhab Hanafi (menyentuh wanita tidak batal). Ini tidak boleh, karena ia mengambil keringanan dari dua mazhab yang berbeda dalam satu kesatuan ibadah, sehingga ibadahnya secara keseluruhan tidak sah menurut mazhab mana pun. Namun, jika ia mengambil satu pendapat dari satu mazhab untuk satu masalah, dan pendapat lain dari mazhab yang berbeda untuk masalah lain secara terpisah, ini dibolehkan.
6. Taklik dalam Kondisi Darurat (Dharurah)
Dalam kondisi darurat atau hajat (kebutuhan mendesak) yang syar'i, seorang Muslim dibolehkan untuk mengambil pendapat yang memberikan kemudahan, meskipun itu adalah pendapat yang lemah dalam mazhabnya atau mazhab lain, selama ada dasar dalilnya dan bukan untuk main-main. Kaidah fikih menyatakan: الضرورات تبيح المحظورات (Dharurat membolehkan hal-hal yang diharamkan) atau الحاجة تنزل منزلة الضرورة (Kebutuhan menempati posisi darurat). Ini adalah bentuk taklik yang dibolehkan untuk menjaga kemaslahatan dan menghindari kemudaratan.
Dengan mematuhi batasan-batasan ini, praktik taklik akan tetap menjadi alat yang efektif untuk mengamalkan agama, menjaga integritas syariat, dan menghindarkan umat dari kesesatan atau fanatisme yang berlebihan.
Polemik dan Perdebatan Seputar Taklik
Konsep taklik, meskipun telah mendarah daging dalam sejarah Islam, tidak luput dari kritik dan perdebatan sengit di antara para ulama dan pemikir. Polemik ini biasanya berkisar pada sejauh mana taklik diperbolehkan, siapa yang berhak bertaklik, dan apakah taklik menghambat kemajuan intelektual umat.
1. Kritik Terhadap Taklik Berlebihan (Ta'assub)
Kritik paling utama ditujukan pada taklik yang berlebihan atau yang disebut "ta'assub madzhabi" (fanatisme mazhab). Para ulama yang menentang taklik buta berpendapat bahwa:
- Menghambat Ijtihad: Taklik berlebihan cenderung menutup pintu ijtihad, bahkan bagi mereka yang memiliki kapasitas. Ini menyebabkan umat menjadi jumud (stagnan) dalam pemikiran hukum dan kurang responsif terhadap permasalahan baru.
- Meremehkan Dalil: Fanatisme mazhab bisa membuat seseorang mengutamakan pendapat imamnya di atas dalil yang lebih kuat dari Al-Qur'an dan Sunnah yang jelas. Padahal, para imam mazhab sendiri selalu menekankan untuk mengikuti dalil jika ada hadis sahih yang bertentangan dengan pendapat mereka.
- Penyebab Perpecahan: Perdebatan dan saling mencela antar pengikut mazhab, karena menganggap mazhabnya paling benar dan mazhab lain salah, telah menjadi sumber perpecahan di kalangan umat.
- Bertentangan dengan Semangat Al-Qur'an dan Sunnah: Al-Qur'an dan Sunnah mendorong untuk berpikir, meneliti, dan kembali kepada sumber utama. Taklik buta dianggap melemahkan semangat ini.
Tokoh-tokoh seperti Ibnu Hazm Al-Andalusi, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, hingga para reformis modern seperti Muhammad bin Abdul Wahhab (tokoh Wahabisme), Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha adalah di antara yang paling vokal mengkritik taklik buta ini.
2. Argumentasi Pembela Taklik (Bagi Orang Awam)
Di sisi lain, para ulama yang membela taklik, terutama bagi orang awam, memiliki argumentasi kuat:
- Kemampuan Terbatas: Mereka menegaskan bahwa tidak semua orang mampu berijtihad atau bahkan memahami dalil secara mendalam. Mewajibkan setiap individu untuk berijtihad adalah memberatkan dan mustahil.
- Menjaga Stabilitas Hukum: Taklik berfungsi menjaga stabilitas dan keseragaman dalam penerapan hukum di tengah masyarakat. Tanpa taklik, akan terjadi kekacauan dan kekeliruan dalam praktik agama.
- Ayat 'Fas'alu Ahludz Dzikr': Ayat Al-Qur'an "bertanyalah kepada ahli ilmu jika kamu tidak mengetahui" adalah dalil tegas akan kewajiban orang awam untuk mengikuti fatwa ulama, yang pada hakikatnya adalah taklik.
- Pentingnya Spesialisasi: Sama seperti dalam ilmu kedokteran atau teknik, manusia memerlukan spesialis. Ulama adalah spesialis dalam ilmu agama, dan orang awam wajar untuk merujuk kepada mereka.
Para pembela taklik umumnya adalah mayoritas ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah dari berbagai mazhab, yang mengakui keharusan taklik bagi non-mujtahid, seraya tetap menekankan pentingnya ittiba' bagi yang mampu, dan melarang ta'assub.
3. Peran Ijtihad Kontemporer dan Tarjih
Di tengah polemik ini, muncul pendekatan moderat yang mengakui pentingnya ijtihad dan tarjih di era modern, sambil tetap menghargai peran taklik bagi orang awam:
- Ijtihad Jama'i (Kolektif): Banyak ulama modern menyerukan ijtihad kolektif melalui lembaga-lembaga fatwa atau majelis ulama. Ini untuk mengatasi masalah-masalah kontemporer yang kompleks dan menghasilkan fatwa yang lebih komprehensif serta diterima secara luas.
- Tarjih (Memilih Pendapat Terkuat): Bagi para penuntut ilmu atau ulama yang belum mencapai derajat ijtihad mutlak, mereka didorong untuk melakukan tarjih, yaitu meneliti berbagai pendapat ulama atau mazhab yang ada dan memilih pendapat yang paling kuat dalilnya. Ini adalah jembatan antara taklik buta dan ijtihad mutlak.
- Kembali ke Dalil (Ruju' ilal Dalil): Dorongan untuk selalu merujuk kepada Al-Qur'an dan Sunnah, bahkan ketika mengikuti sebuah mazhab, adalah prinsip penting. Ini berarti tidak hanya mengikuti pendapat, tetapi juga berusaha memahami mengapa pendapat itu diambil, jika memungkinkan.
Kesimpulan dari perdebatan ini seringkali mengarah pada pentingnya keseimbangan: taklik adalah keharusan bagi orang awam, ittiba' adalah tingkatan ideal bagi penuntut ilmu, dan ijtihad adalah kewajiban bagi yang mampu, dengan menolak segala bentuk fanatisme buta yang tidak berdasar dalil.
Peran Taklik di Era Modern dan Tantangan Kontemporer
Di tengah arus globalisasi, perkembangan teknologi informasi, dan kompleksitas isu-isu kontemporer, peran taklik menghadapi tantangan dan adaptasi yang signifikan. Meskipun esensinya tetap, bentuk dan konteks penerapannya mengalami perubahan.
1. Akses Informasi yang Mudah dan Dampaknya
Era digital memberikan akses yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap berbagai sumber ilmu agama, termasuk kitab-kitab fikih klasik, tafsir, hadis, hingga fatwa-fatwa ulama dari seluruh dunia. Ini memiliki dua sisi mata uang:
- Peluang untuk Ittiba': Bagi mereka yang memiliki sedikit dasar ilmu, akses ini menjadi peluang untuk melakukan ittiba' dengan lebih mudah. Mereka bisa membandingkan pendapat mazhab, menelusuri dalil, dan memahami argumen di balik suatu hukum.
- Risiko Salah Paham: Bagi orang awam yang tidak memiliki metodologi ilmu yang benar, banjir informasi ini justru bisa menyesatkan. Mereka bisa salah menafsirkan dalil, mengambil pendapat yang "nyeleneh" karena hanya melihat kemudahan tanpa landasan, atau bahkan terjebak dalam ekstremisme. Di sinilah peran taklik menjadi semakin krusial, yaitu membimbing orang awam untuk merujuk kepada ulama yang kompeten dan terpercaya, agar tidak tersesat dalam lautan informasi.
2. Fatwa-Fatwa Kontemporer dan Ijtihad Kolektif
Banyak isu modern seperti bioteknologi, keuangan syariah kompleks, etika digital, dan masalah lingkungan, tidak ada presedennya dalam kitab-kitab fikih klasik. Hal ini mendorong perlunya ijtihad kontemporer. Namun, ijtihad individual seringkali tidak memadai untuk isu-isu yang membutuhkan pemahaman multidisiplin.
- Lembaga Fatwa: Lahirnya lembaga-lembaga fatwa nasional dan internasional (seperti Majelis Ulama Indonesia, Darul Ifta Mesir, Dewan Fikih OKI) adalah respon terhadap kebutuhan ini. Lembaga-lembaga ini melakukan ijtihad kolektif (ijtihad jama'i) yang melibatkan banyak ulama dari berbagai disiplin ilmu.
- Peran Taklik: Masyarakat awam kemudian bertaklik kepada fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga resmi ini. Ini adalah bentuk taklik yang terorganisir dan terlembaga, yang memberikan kemudahan dan kepastian hukum bagi umat di tengah tantangan baru.
3. Tantangan Pluralisme Mazhab dan Gerakan Anti-Mazhab
Di era modern, dengan migrasi penduduk dan kemudahan komunikasi, umat Muslim di satu wilayah seringkali berinteraksi dengan Muslim dari mazhab atau tradisi fikih yang berbeda. Ini menuntut sikap saling menghargai dan memahami keragaman.
- Gerakan Anti-Mazhab: Beberapa gerakan modern menyerukan penolakan total terhadap mazhab dan taklik, mengajak setiap Muslim untuk langsung berijtihad dari Al-Qur'an dan Sunnah. Gerakan ini, jika tidak diimbangi dengan ilmu yang mumpuni, bisa sangat berbahaya bagi orang awam karena dapat menimbulkan kekeliruan fatal dalam memahami agama.
- Moderasi: Pendekatan moderat adalah memahami bahwa mazhab adalah khazanah keilmuan yang kaya, produk dari ijtihad ulama besar, yang mempermudah umat. Bagi orang awam, merujuk kepada ulama yang bermazhab tetap merupakan jalur yang aman dan diakui. Sementara bagi penuntut ilmu, dapat mempelajari perbandingan mazhab untuk memperkaya pemahaman.
4. Pentingnya Literasi Keagamaan
Di tengah tantangan ini, pentingnya literasi keagamaan tidak bisa diremehkan. Umat Muslim, bahkan yang bertaklik sekalipun, perlu memiliki pemahaman dasar tentang agama, termasuk mengapa ada taklik, mengapa ada mazhab, dan bagaimana memilih ulama rujukan yang kompeten. Literasi ini akan membantu mereka menghindari taklik buta dan fanatisme, serta lebih bijak dalam menyaring informasi keagamaan.
Kesimpulannya, taklik di era modern tetap memegang peran vital sebagai mekanisme yang memungkinkan mayoritas umat Muslim untuk mengamalkan ajaran agama dengan benar dan mudah. Namun, ia harus diiringi dengan kesadaran akan batasan-batasannya, keterbukaan terhadap ijtihad baru, penghargaan terhadap keragaman mazhab, dan peningkatan literasi keagamaan agar tidak terjebak dalam fanatisme atau kesesatan.
Kesimpulan
Konsep bertaklik adalah pilar penting dalam struktur pemahaman dan pengamalan hukum Islam, khususnya bagi mayoritas umat yang tidak memiliki kapasitas untuk berijtihad secara mandiri. Sejak masa awal Islam, melalui perkembangan mazhab-mazhab fikih, hingga era modern, taklik telah menjadi jembatan yang menghubungkan antara teks syariat yang mendalam dan kompleks dengan kebutuhan praktis kehidupan sehari-hari Muslim.
Kita telah melihat bahwa secara terminologis, taklik berarti mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya, dan ini dibedakan secara tegas dari ijtihad (usaha mandiri menggali hukum) dan ittiba' (mengikuti dengan pemahaman dalil). Dalil-dalil syar'i dari Al-Qur'an, Sunnah, dan ijma' ulama menegaskan kebolehan, bahkan kewajiban taklik bagi orang awam. Ini adalah bentuk rahmat dan kemudahan dari Allah SWT agar syariat-Nya dapat diamalkan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Hikmah di balik taklik sangatlah besar: ia menawarkan kemudahan bagi umat, mencegah kekacauan hukum, menjaga otoritas keilmuan para ulama, menciptakan konsistensi dalam praktik keagamaan, dan menjembatani kesenjangan antara ajaran agama yang abadi dengan realitas hidup yang senantiasa berubah. Namun, taklik bukanlah lisensi untuk fanatisme. Ia memiliki batasan-batasan yang jelas: tidak boleh taklik buta (ta'assub), tidak boleh dalam masalah aqidah, tidak boleh pada kesalahan yang jelas, dan tetap fleksibel untuk berpindah mazhab dengan niat mencari kebenaran, serta memahami batasan talafquh.
Polemik seputar taklik, yang telah berlangsung selama berabad-abad, mencerminkan ketegangan antara menjaga tradisi dan mendorong kemajuan intelektual. Kritik terhadap taklik buta oleh para ulama reformis telah mendorong umat untuk lebih kritis, namun pada saat yang sama, para pembela taklik bagi orang awam terus menegaskan keniscayaannya. Di era modern, dengan segala tantangan informasi dan isu-isu baru, taklik beradaptasi melalui ijtihad kolektif dan peran lembaga fatwa, yang menjadi rujukan bagi umat.
Pada akhirnya, pemahaman yang seimbang tentang bertaklik adalah kunci. Bagi sebagian kecil umat yang telah mencapai derajat ijtihad, kewajiban mereka adalah berijtihad. Bagi penuntut ilmu yang memiliki kemampuan untuk memahami dalil, ittiba' adalah tingkatan yang lebih utama. Namun, bagi mayoritas umat (orang awam), taklik kepada ulama yang kompeten dan terpercaya adalah jalan yang lurus dan aman untuk mengamalkan agama. Mari kita senantiasa mencari ilmu, menghargai keragaman pendapat ulama, dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip Islam dengan penuh kesadaran dan kearifan.