Pengantar: Lebih Dari Sekadar Hiasan Kepala
Dalam khazanah budaya Melayu, terdapat sebuah adibusana yang tak hanya berfungsi sebagai penutup kepala, melainkan juga sebagai penanda identitas, simbol status, keagungan, serta menyimpan sejuta filosofi hidup. Adibusana itu dikenal dengan nama tanjak. Proses bertanjak, yaitu mengenakan tanjak, bukan sekadar tindakan memakai busana, melainkan sebuah ritual yang sarat makna, mencerminkan penghormatan terhadap adat, martabat diri, dan warisan leluhur. Tanjak, bersama dengan destar dan tengkolok, adalah mahkota tak kasat mata bagi seorang lelaki Melayu, merefleksikan kedalaman budaya dan peradaban yang kaya.
Artikel ini akan membawa kita menyelami dunia tanjak secara mendalam. Dari sejarah panjangnya yang terjalin erat dengan kerajaan-kerajaan Melayu, simbolisme yang terkandung dalam setiap lipatan dan coraknya, ragam jenis dan bentuknya yang unik di berbagai daerah, hingga upaya pelestariannya di era modern. Kita akan mengupas bagaimana tanjak bukan hanya artefak masa lalu, melainkan juga simbol hidup yang terus berevolusi, relevan, dan membanggakan hingga kini. Memahami tanjak berarti memahami akar kebudayaan Melayu yang agung dan tak lekang oleh zaman.
Jejak Sejarah: Dari Raja Hingga Rakyat
Sejarah tanjak tak dapat dipisahkan dari peradaban Melayu yang telah berabad-abad lamanya. Catatan sejarah, baik lisan maupun tertulis, mengindikasikan bahwa penggunaan hiasan kepala semacam tanjak telah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan awal di Nusantara, jauh sebelum kedatangan pengaruh Barat. Tanjak awalnya adalah penutup kepala yang praktis, melindungi dari panas matahari dan debu, namun seiring waktu, ia berevolusi menjadi simbol status dan kehormatan.
Asal Mula dan Perkembangan
Pada masa kerajaan-kerajaan Melayu seperti Kesultanan Melaka, Johor-Riau, Perak, Kedah, hingga kesultanan di Sumatera dan Kalimantan, tanjak menjadi bagian integral dari busana kebesaran raja, pembesar negeri, pahlawan, dan para ulama. Bentuknya yang khas dengan lipatan-lipatan kain yang artistik mulai muncul sebagai pembeda dari penutup kepala biasa. Kain yang digunakan pun bukan sembarangan; sutra, songket dengan benang emas dan perak, serta kain-kain tenun berkualitas tinggi menjadi pilihan utama, terutama bagi kalangan bangsawan.
Pada masa ini, bertanjak tidak hanya dilakukan untuk upacara resmi. Para pahlawan dan pejuang juga mengenakan tanjak sebagai simbol keberanian dan semangat juang. Konon, lipatan tanjak mereka seringkali memiliki makna khusus yang terkait dengan strategi perang atau sumpah setia. Tanjak juga menjadi bagian dari busana keseharian kaum lelaki Melayu bangsawan, membedakan mereka dari rakyat jelata yang mungkin hanya menggunakan kain biasa sebagai penutup kepala.
Seiring runtuhnya beberapa kerajaan dan munculnya pengaruh kolonial, penggunaan tanjak sempat mengalami pasang surut. Namun, semangat untuk mempertahankan identitas budaya Melayu membuat tanjak tetap lestari, terutama dalam upacara adat dan ritual penting. Bahkan, beberapa tokoh perjuangan kemerdekaan di tanah Melayu masih terlihat bertanjak, menjadikan hiasan kepala ini sebagai simbol perlawanan dan harga diri bangsa.
Tanjak dalam Manuskrip dan Catatan Kuno
Banyak manuskrip Melayu kuno, seperti Hikayat Hang Tuah, Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu), dan berbagai syair serta pantun, seringkali menyebutkan tentang tanjak atau destar. Penggambaran tanjak dalam sastra ini selalu mengiringi tokoh-tokoh penting seperti raja, hulubalang, dan orang-orang terhormat. Ini menunjukkan betapa tinggi kedudukan tanjak dalam masyarakat Melayu pada masa lalu. Tanjak bukan sekadar aksesori, melainkan bagian dari identitas sosial dan budaya yang kokoh.
Sebagai contoh, dalam Sejarah Melayu, penggunaan destar oleh para raja dan pembesar sering digambarkan sebagai simbol keagungan dan kekuasaan. Istilah "destar" sendiri sering digunakan secara bergantian dengan "tanjak," meskipun ada nuansa perbedaan dalam bentuk dan cara melipat. Namun, esensinya sama: sebuah hiasan kepala yang menunjukkan martabat dan posisi seseorang dalam struktur sosial.
Simbolisme dan Makna Filosofis Tanjak
Setiap lipatan, arah pucuk, dan bahkan motif kain tanjak mengandung makna filosofis yang mendalam. Bertanjak berarti mengenakan sebuah narasi budaya, sebuah lambang yang berbicara banyak tentang pemakainya, adatnya, dan pandangan hidup masyarakat Melayu.
Lambang Kedudukan dan Martabat
Salah satu makna paling kentara dari tanjak adalah sebagai penanda kedudukan sosial. Tanjak yang dipakai oleh raja atau sultan, misalnya, akan memiliki bentuk yang lebih kompleks, terbuat dari kain songket paling halus dengan benang emas dan perak, serta seringkali dihiasi dengan permata atau aksesori lain. Lipatan "Dendam Tak Sudah" atau "Helang Menyongsong Angin" sering dikaitkan dengan kedudukan tinggi dan sifat kepemimpinan.
Panglima atau hulubalang juga mengenakan tanjak, namun dengan bentuk dan makna yang mungkin berbeda, melambangkan keberanian dan kesetiaan. Bahkan di kalangan rakyat biasa yang terhormat, seperti tokoh adat atau guru agama, tanjak yang sederhana pun memiliki nilai dan membawa pesan penghormatan.
Falsafah dalam Setiap Lipatan
Bentuk-bentuk lipatan tanjak bukan sekadar estetika, melainkan representasi dari falsafah hidup. Pucuk tanjak yang menjulang tinggi, misalnya, sering diartikan sebagai simbol ketuhanan, bahwa segala sesuatu berasal dari Yang Maha Esa dan segala usaha haruslah menjunjung tinggi nilai-nilai spiritual. Arah pucuk yang tegak lurus ke atas melambangkan cita-cita yang tinggi dan semangat untuk terus maju.
Lipatan-lipatan yang berlapis dan rapi sering diinterpretasikan sebagai keteraturan hidup, pentingnya ilmu pengetahuan, dan kebijaksanaan dalam setiap tindakan. Kerumitan lipatan juga bisa melambangkan kerumitan dan kedalaman ilmu yang dimiliki oleh pemakainya. Ada pula yang menafsirkan jumlah lipatan sebagai rukun Islam, rukun iman, atau nilai-nilai kearifan lokal lainnya.
Warna dan Motif
Warna dan motif kain tanjak juga tidak luput dari makna. Warna kuning atau keemasan, misalnya, secara tradisional dikaitkan dengan kerajaan dan bangsawan. Merah sering melambangkan keberanian, semangat, dan kepahlawanan. Hijau dapat melambangkan kesuburan, kedamaian, atau hubungan dengan agama. Hitam melambangkan ketegasan dan kebijaksanaan.
Motif-motif songket yang digunakan, seperti pucuk rebung, awan larat, bunga-bunga, atau motif geometris, masing-masing memiliki cerita dan makna tersendiri yang berkaitan dengan alam, kosmologi Melayu, atau nilai-nilai moral. Kombinasi antara bentuk lipatan, warna, dan motif inilah yang menjadikan setiap tanjak sebuah karya seni yang berbicara, merepresentasikan identitas dan filosofi pemakainya.
Ragam Jenis dan Variasi Tanjak Melayu
Kekayaan budaya Melayu tercermin dari banyaknya variasi tanjak yang ditemukan di berbagai wilayah. Setiap daerah, bahkan setiap kesultanan, seringkali memiliki bentuk dan nama tanjak khasnya sendiri. Perbedaan ini bisa terletak pada jumlah lipatan, tinggi pucuk, arah lipatan, hingga cara penataan kainnya.
Tanjak Klasik dan Filosofi Namanya
Berikut adalah beberapa jenis tanjak klasik yang terkenal beserta makna yang terkandung di baliknya:
- Dendam Tak Sudah: Salah satu tanjak paling ikonik, melambangkan semangat perjuangan yang tak pernah padam, keberanian, dan tekad yang kuat. Pucuknya tajam dan tegak, menunjukkan kesungguhan hati. Tanjak ini sering dikenakan oleh para pembesar atau pahlawan.
- Helang Menyongsong Angin (Garuda Menyonsong Angin): Melambangkan sifat kepemimpinan, kegagahan, dan kemampuan menghadapi tantangan. Bentuknya menyerupai burung elang yang siap menerkam mangsa atau terbang melawan angin, menunjukkan kekuatan dan wibawa.
- Ayam Patah Kepak: Meskipun namanya terkesan kalah, tanjak ini sebenarnya melambangkan kerendahan hati, kebijaksanaan, dan sikap berdamai. Lipatannya tidak terlalu tinggi, menunjukkan kesederhanaan dan ketenangan.
- Nakhoda Berlabuh: Menggambarkan kebijaksanaan seorang nakhoda yang mampu membawa bahtera sampai ke tujuan dengan selamat. Melambangkan kestabilan, ketenangan dalam mengambil keputusan, dan kepemimpinan yang matang.
- Lang Menyusur Angin: Mirip dengan Helang Menyongsong Angin, namun dengan lipatan yang lebih rendah dan mendatar, melambangkan sikap berhati-hati, bijaksana, dan mampu beradaptasi dengan lingkungan.
- Puteri Bersanggul: Tanjak dengan lipatan yang lebih lembut dan elegan, kadang diinterpretasikan sebagai persembahan keindahan dan kehalusan budi bahasa, sering digunakan dalam konteks upacara tertentu atau oleh mereka yang memiliki aura kelembutan.
- Setanjak Bugis: Meskipun namanya merujuk pada Bugis, jenis tanjak ini juga menyebar di wilayah Melayu. Ciri khasnya adalah lipatan yang lebih sederhana namun tetap berwibawa.
- Tanjak Hulu Sebelah: Tanjak yang memiliki pucuk atau lipatan menonjol hanya di satu sisi, sering melambangkan pandangan yang fokus atau ketegasan dalam pendirian.
Setiap nama ini bukan sekadar label, melainkan narasi yang diwariskan dari generasi ke generasi, menjadikan tanjak sebagai medium untuk menyampaikan nilai-nilai luhur budaya Melayu.
Variasi Regional
Perbedaan geografis dan sejarah juga melahirkan variasi tanjak yang kaya:
Semenanjung Melayu:
- Tanjak Johor: Cenderung memiliki lipatan yang kokoh dan formal, sering dikaitkan dengan Kesultanan Johor.
- Tanjak Perak: Beberapa tanjak Perak memiliki bentuk yang lebih sederhana namun tetap berwibawa, mencerminkan identitas yang kuat.
- Tanjak Terengganu/Kelantan: Seringkali menggunakan kain songket dengan motif yang lebih kaya dan warna-warna cerah, mencerminkan seni tenun yang berkembang pesat di wilayah timur Semenanjung.
- Tanjak Kedah: Terkadang memiliki lipatan yang lebih mendatar, menunjukkan karakteristik budaya daerah utara.
Sumatera dan Riau:
- Tanjak Riau: Sangat kaya akan variasi, mengingat Riau merupakan salah satu pusat peradaban Melayu yang penting. Banyak nama tanjak klasik berasal dari atau memiliki keterkaitan erat dengan Riau. Lipatannya seringkali memiliki detail dan makna yang sangat spesifik, sesuai dengan strata sosial dan acara.
- Tanjak Palembang: Meskipun Palembang identik dengan Songket Palembang, tanjak di sini juga memiliki kekhasan, seringkali dihiasi dengan permata dan aksesori lain yang menunjukkan kemewahan.
- Tanjak Minangkabau (Deta/Destar): Walaupun Minangkabau memiliki penutup kepala khasnya sendiri seperti "tengkuluk tanduk" untuk wanita, para pria juga memiliki destar yang seringkali lebih sederhana dari tanjak kerajaan Melayu, namun tetap memiliki fungsi dan makna adat.
Kalimantan (Borneo):
- Tanjak Brunei: Kesultanan Brunei Darussalam memiliki tanjak dengan gaya dan lipatan khas kerajaan mereka, sering disebut "Dastar". Digunakan dalam upacara-upacara kenegaraan yang sangat formal.
- Tanjak Sambas/Pontianak (Kalimantan Barat): Di wilayah ini, tanjak juga menjadi bagian dari busana adat Melayu. Bentuk dan motifnya seringkali memiliki sentuhan lokal yang membedakannya dari tanjak di Semenanjung.
Setiap variasi ini adalah bukti hidup akan keragaman dan kekayaan budaya Melayu, di mana setiap lipatan adalah cerita, setiap bentuk adalah filosofi.
Material dan Proses Pembuatan Tanjak
Kualitas sebuah tanjak tidak hanya ditentukan oleh bentuk lipatannya, tetapi juga oleh bahan yang digunakan dan kehalusan pembuatannya. Material yang dipilih seringkali mencerminkan status pemakai dan nilai budaya yang terkandung di dalamnya.
Kain Pilihan
- Songket: Ini adalah bahan paling prestisius untuk tanjak, terutama yang digunakan oleh bangsawan dan raja. Songket ditenun dengan benang emas atau perak, menciptakan motif-motif indah yang berkilauan. Kualitas songket sangat beragam, dari yang sederhana hingga yang sangat halus dan mahal.
- Sutra: Kain sutra polos atau bermotif juga sering digunakan, memberikan kesan mewah dan elegan. Sutra yang lembut memudahkan proses melipat dan memberikan kenyamanan saat bertanjak.
- Brokat: Kain brokat dengan motif timbul sering menjadi pilihan alternatif songket, memberikan tekstur dan kemewahan yang mirip.
- Kain Tenun Tradisional Lainnya: Di beberapa daerah, kain tenun khas lokal seperti batik atau tenun ikat tertentu juga bisa diadaptasi untuk membuat tanjak, meskipun songket tetap menjadi pilihan utama untuk acara-acara formal.
Motif dan Warna
Motif yang populer antara lain pucuk rebung (melambangkan tunas yang tumbuh), awan larat (ukiran awan yang melambangkan keindahan alam), bunga-bunga, dan corak geometris. Pemilihan warna juga sangat penting; kuning keemasan untuk bangsawan, merah untuk keberanian, hijau untuk kesuburan, dan sebagainya. Kombinasi motif dan warna ini menciptakan keunikan pada setiap tanjak.
Proses Pembuatan (Melipat)
Pembuatan tanjak, khususnya proses melipatnya, adalah sebuah seni tersendiri yang membutuhkan keahlian dan kesabaran. Seorang "tukang tanjak" atau "pembentuk tanjak" adalah individu yang mahir dalam seni melipat kain hingga membentuk tanjak yang sempurna sesuai dengan jenis dan namanya.
- Pemilihan Kain: Dimulai dengan memilih kain yang tepat, biasanya kain persegi panjang atau bujur sangkar dengan ukuran tertentu.
- Pembentukan Pola Dasar: Kain dilipat secara diagonal atau memanjang untuk mendapatkan pola dasar yang diinginkan.
- Membentuk Lipatan Utama: Ini adalah tahap krusial di mana lipatan-lipatan khas tanjak seperti "pucuk" dan "kaki" dibentuk dengan presisi. Setiap lipatan harus rapi, simetris, dan kokoh.
- Penguatan: Setelah bentuk dasar terbentuk, lipatan-lipatan kadang diperkuat dengan jahitan tersembunyi atau pengikat agar tidak mudah lepas, terutama untuk tanjak yang akan digunakan berulang kali.
- Finishing: Beberapa tanjak mungkin diberi tambahan aksesori seperti pin, permata, atau rumbai untuk menambah keindahan.
Keahlian dalam melipat tanjak seringkali diwariskan secara turun-temurun, menjaga agar seni ini tetap hidup dan bentuk-bentuk klasik tanjak tidak hilang ditelan zaman. Proses bertanjak sendiri juga memerlukan sedikit keahlian untuk memastikan tanjak terpasang dengan pas dan rapi di kepala.
Tata Cara Bertanjak dan Etika Pemakaian
Bertanjak, atau mengenakan tanjak, bukan hanya soal memakai penutup kepala. Ada tata cara dan etika yang menyertainya, mencerminkan nilai-nilai kesopanan, adab, dan penghormatan dalam masyarakat Melayu.
Siapa yang Bertanjak?
Secara tradisional, tanjak dikenakan oleh lelaki Melayu. Namun, ada tingkatan siapa yang berhak mengenakan jenis tanjak tertentu:
- Raja dan Pembesar Istana: Mengenakan tanjak yang paling mewah, dengan lipatan khusus kerajaan dan kain songket terbaik, biasanya untuk upacara-upacara kebesaran, pertabalan, dan acara resmi negara.
- Tokoh Adat dan Ulama: Mengenakan tanjak dengan bentuk yang melambangkan kebijaksanaan dan kemuliaan, seringkali untuk memimpin upacara adat atau sebagai bagian dari busana kebesaran mereka.
- Mempelai Pria: Pada upacara pernikahan adat Melayu, mempelai pria hampir selalu bertanjak sebagai simbol kemuliaan, keagungan, dan harapan akan kehidupan rumah tangga yang mulia.
- Para Pengawal dan Hulubalang: Mengenakan tanjak yang melambangkan keberanian dan kesetiaan dalam menjalankan tugas.
- Masyarakat Umum (dalam konteks modern): Kini, tanjak juga sering dikenakan oleh masyarakat umum dalam acara-acara kebudayaan, perayaan hari besar, atau sebagai bagian dari busana formal untuk menunjukkan identitas Melayu.
Kapan Bertanjak?
Tanjak dikenakan pada acara-acara formal dan penting, seperti:
- Upacara pernikahan.
- Upacara pertabalan raja atau sultan.
- Perayaan hari kebesaran kerajaan atau negara.
- Majlis rasmi kerajaan atau acara adat istiadat.
- Penerimaan anugerah atau penghargaan.
- Pertunjukan seni dan budaya Melayu.
Pada zaman dahulu, tanjak juga merupakan busana keseharian bagi bangsawan dan pembesar istana, namun kini lebih sering digunakan pada kesempatan khusus.
Etika Pemakaian
Saat bertanjak, ada beberapa etika yang perlu diperhatikan:
- Kerapian: Tanjak harus dikenakan dengan rapi dan pas di kepala, tidak miring atau longgar. Ini mencerminkan penghormatan terhadap busana dan diri sendiri.
- Keserasian: Tanjak harus serasi dengan busana Melayu lengkap lainnya, seperti baju Melayu, sampin (kain yang dipakai di pinggang), dan seluar. Keserasian warna dan motif menambah keanggunan pemakai.
- Posisi Pucuk: Arah pucuk tanjak seringkali memiliki makna. Umumnya, pucuk tanjak mengarah ke atas atau sedikit condong ke depan, melambangkan harapan, doa, dan wibawa. Namun, ada pula tanjak yang pucuknya mendatar atau ke belakang, tergantung jenis dan filosofinya.
- Penghormatan: Saat mengenakan tanjak, seseorang diharapkan menjaga sikap dan tutur kata, mencerminkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam tanjak itu sendiri. Tanjak bukanlah sekadar hiasan, melainkan mahkota yang membawa tanggung jawab untuk menjaga marwah budaya.
Tanjak di Era Modern: Antara Tradisi dan Inovasi
Di tengah gempuran modernisasi dan globalisasi, tanjak tetap menunjukkan eksistensinya. Warisan agung ini tidak hanya menjadi pajangan di museum, melainkan terus hidup, berevolusi, dan menemukan relevansinya di zaman kiwari.
Upaya Pelestarian dan Revitalisasi
Banyak pihak, dari pemerintah, lembaga adat, seniman, hingga generasi muda, aktif melakukan upaya pelestarian tanjak:
- Bengkel dan Kursus: Mengadakan bengkel atau kursus membuat dan melipat tanjak, mengajarkan teknik tradisional kepada generasi baru.
- Pameran dan Festival: Memamerkan berbagai jenis tanjak dalam pameran seni dan budaya, serta mengadakan festival tanjak untuk memperkenalkan ke publik luas.
- Penelitian dan Dokumentasi: Melakukan penelitian mendalam tentang sejarah, jenis, dan filosofi tanjak, lalu mendokumentasikannya dalam buku, jurnal, atau media digital.
- Penggunaan dalam Acara Resmi: Mendorong penggunaan tanjak dalam acara-acara kenegaraan, perayaan hari besar, dan upacara adat sebagai bentuk penghormatan dan pelestarian.
Tanjak dalam Fesyen Kontemporer
Tanjak tidak hanya terbatas pada bentuk-bentuk tradisional. Para desainer muda dan pegiat budaya mulai melakukan inovasi, menciptakan tanjak dengan sentuhan kontemporer. Mereka menggunakan kain-kain modern, motif yang lebih segar, atau bahkan mengadaptasi bentuk tanjak agar lebih fleksibel dan mudah dikenakan dalam berbagai kesempatan. Tanjak kini tidak hanya dipakai dengan baju Melayu lengkap, tetapi juga mulai dipadukan dengan busana kasual yang lebih modern, memberikan sentuhan etnik yang unik.
Munculnya gerakan "Tanjak untuk Semua" atau kampanye di media sosial yang mengajak generasi muda untuk bertanjak adalah indikasi bahwa tanjak memiliki masa depan yang cerah. Ia bukan lagi sekadar simbol masa lalu, melainkan juga pernyataan identitas di masa kini.
Tantangan dan Harapan
Meskipun ada banyak upaya pelestarian, tanjak tetap menghadapi tantangan. Kurangnya minat generasi muda, ketersediaan pengrajin yang semakin berkurang, serta persaingan dengan tren busana global adalah beberapa di antaranya. Namun, dengan semakin meningkatnya kesadaran akan pentingnya melestarikan warisan budaya, harapan untuk tanjak tetap tinggi.
Diharapkan, tanjak akan terus menjadi simbol kebanggaan Melayu, diwariskan dari generasi ke generasi, tidak hanya sebagai hiasan kepala, tetapi sebagai cermin jiwa dan peradaban yang tak lekang oleh zaman. Proses bertanjak akan terus menjadi jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa depan, mengingatkan akan akar budaya yang kuat dan nilai-nilai luhur yang harus senantiasa dijaga.
Tanjak, Destar, Tengkolok: Apakah Sama?
Seringkali terjadi kebingungan antara istilah tanjak, destar, dan tengkolok. Meskipun ketiganya merujuk pada hiasan kepala tradisional Melayu yang terbuat dari kain, ada nuansa perbedaan yang penting untuk dipahami.
Destar
Istilah "destar" seringkali dianggap sebagai payung besar yang mencakup semua jenis hiasan kepala lipatan kain. Destar umumnya merujuk pada kain yang dilipat dan diletakkan di kepala tanpa simpul atau ikatan yang terlalu menonjol di bagian atas. Bentuknya bisa lebih sederhana atau lebih kompleks, tetapi biasanya tidak memiliki "pucuk" yang menjulang tinggi seperti tanjak. Destar sering digunakan sebagai bagian dari busana sehari-hari oleh bangsawan atau tokoh masyarakat di masa lampau, memberikan kesan rapi dan berwibawa.
Tanjak
Tanjak adalah jenis destar yang paling spesifik dan seringkali paling formal. Ciri khas tanjak adalah adanya "pucuk" atau "guguk" yang menjulang ke atas, terbentuk dari lipatan kain yang rumit. Pucuk inilah yang menjadi identitas utama tanjak dan menyimpan filosofi mendalam. Bentuk pucuk dan lipatan tanjak sangat bervariasi dan masing-masing memiliki nama serta makna tersendiri, seperti "Dendam Tak Sudah" atau "Helang Menyonsong Angin". Tanjak lebih sering dikaitkan dengan kedudukan tinggi, kebesaran raja-raja, dan upacara-upacara adat yang sangat resmi. Proses bertanjak memang lebih identik dengan mengenakan bentuk hiasan kepala yang memiliki pucuk ini.
Tengkolok
Tengkolok memiliki makna yang lebih luas dan seringkali digunakan secara umum untuk berbagai jenis penutup kepala kain. Di beberapa daerah, tengkolok bisa merujuk pada tanjak, tetapi di daerah lain, terutama di Minangkabau, "tengkuluk" atau "tengkolok" adalah penutup kepala kain yang lebih sering dipakai oleh wanita, dengan bentuk dan lipatan yang khas, seperti tengkuluk tanduk. Untuk pria, tengkolok bisa juga merujuk pada penutup kepala yang dilipat sederhana, mungkin tanpa pucuk yang menonjol seperti tanjak. Intinya, tengkolok bisa dianggap sebagai istilah umum, sementara tanjak adalah bentuk yang lebih spesifik dan berstruktur.
Secara ringkas:
- Destar: Istilah umum untuk kain yang dilipat di kepala, biasanya tanpa pucuk menonjol.
- Tanjak: Jenis destar yang spesifik, dicirikan oleh adanya "pucuk" yang menjulang dan lipatan yang kompleks, sarat makna filosofis, dan lebih formal.
- Tengkolok: Istilah yang paling umum, bisa merujuk pada destar atau tanjak, atau bahkan penutup kepala kain lain (terutama untuk wanita di beberapa budaya).
Meskipun ada perbedaan teknis, dalam percakapan sehari-hari, ketiga istilah ini kadang digunakan secara bergantian, terutama di kalangan masyarakat awam. Namun, bagi para ahli adat dan budayawan, perbedaan ini sangat penting untuk menjaga keaslian dan makna dari setiap jenis hiasan kepala tersebut.
Pengaruh dan Kehadiran Tanjak di Negara Serumpun
Sebagai identitas Melayu, tanjak tidak hanya ditemukan di Indonesia, khususnya di wilayah Melayu seperti Riau, Sumatera Utara, dan Kalimantan Barat, tetapi juga merentang luas hingga ke negara-negara serumpun yang memiliki akar budaya Melayu yang sama kuatnya. Kehadiran tanjak di negara-negara ini menegaskan ikatan budaya yang tak terpisahkan dan warisan bersama yang terus dijaga.
Malaysia
Malaysia adalah salah satu negara di mana tanjak, atau lebih sering disebut "tengkolok" atau "destar," memiliki kedudukan yang sangat penting. Di setiap negeri Melayu di Malaysia (seperti Johor, Kedah, Kelantan, Perak, Selangor, Terengganu, Negeri Sembilan, Pahang), setiap sultan memiliki bentuk dan gaya tengkolok kebesaran mereka sendiri yang menjadi simbol kedaulatan dan identitas negeri. Misalnya:
- Tengkolok Diraja: Tengkolok yang dipakai oleh Yang di-Pertuan Agong Malaysia (Raja Malaysia) pada upacara pertabalan dan majlis rasmi. Bentuknya sangat agung dan sering dihiasi dengan permata.
- Tengkolok Negeri: Setiap negeri memiliki tengkolok khas dengan lipatan dan nama tersendiri, seperti "Dendam Tak Sudah" yang juga populer di Malaysia, "Helang Menyongsong Angin," dan lain-lain.
Di Malaysia, tradisi bertanjak sangat hidup dan merupakan bagian tak terpisahkan dari busana Melayu lelaki, baik untuk acara formal kenegaraan, pernikahan, maupun perayaan budaya. Upaya pelestarian dan penelitian tentang tengkolok juga sangat aktif dilakukan di sana.
Brunei Darussalam
Kesultanan Brunei Darussalam, yang juga merupakan kerajaan Melayu yang kaya sejarah, menjadikan "Dastar" sebagai bagian penting dari busana kebesaran mereka. Dastar Brunei memiliki gaya yang khas, seringkali dengan lipatan yang rapi dan elegan, terbuat dari songket berkualitas tinggi. Sultan Brunei dan kerabat diraja, serta pembesar negara, mengenakan dastar pada upacara-upacara kenegaraan dan perayaan penting. Kedudukan dastar di Brunei sangat serupa dengan tanjak di Indonesia dan Malaysia, yakni sebagai simbol martabat, kedaulatan, dan warisan agung.
Singapura
Meskipun kini sebuah negara kota modern, Singapura memiliki sejarah panjang sebagai salah satu pusat perdagangan dan budaya Melayu di masa lampau. Komunitas Melayu di Singapura masih mempertahankan tradisi tanjak, terutama dalam acara-acara pernikahan adat, festival budaya, dan perayaan Hari Raya. Tanjak di Singapura seringkali memiliki pengaruh dari gaya tanjak di Johor atau Semenanjung Melayu lainnya, mengingat kedekatan geografis dan sejarah mereka. Anak muda Melayu Singapura juga aktif dalam melestarikan tradisi bertanjak ini, menunjukkan kebanggaan akan warisan leluhur mereka.
Filipina Selatan (Moro)
Di wilayah Filipina Selatan, terutama di antara suku Muslim seperti Maranao, Tausug, dan Maguindanao, terdapat hiasan kepala yang disebut "pis syabit" atau "tubao" yang memiliki kemiripan fungsional dan simbolis dengan tanjak. Meskipun bentuk dan teknik melipatnya mungkin berbeda, serta motif kainnya khas budaya lokal mereka, esensi sebagai penutup kepala yang menunjukkan martabat, status, dan identitas budaya tetap sama. Ini menunjukkan bahwa konsep hiasan kepala kain yang memiliki nilai lebih dari sekadar penutup kepala tersebar luas di seluruh Nusantara Melayu.
Kajian tentang tanjak dan variannya di berbagai negara serumpun ini menunjukkan betapa kuatnya ikatan budaya Melayu. Tanjak bukan hanya milik satu negara atau satu wilayah, melainkan warisan bersama yang menghubungkan bangsa-bangsa serumpun dalam satu kesatuan budaya yang kaya dan beragam.
Penutup: Tanjak, Mahkota Tak Tertulis Peradaban Melayu
Dari lembaran sejarah yang panjang hingga gaungnya di tengah hiruk-pikuk modernitas, tanjak telah membuktikan dirinya lebih dari sekadar sehelai kain yang dilipat di kepala. Ia adalah sebuah ensiklopedia hidup peradaban Melayu, menyimpan ribuan makna, filosofi, dan cerita dari generasi ke generasi. Proses bertanjak bukan hanya mengakhiri sebuah ritual, melainkan sebuah permulaan untuk memahami identitas yang mendalam, sebuah penghormatan kepada leluhur, dan sebuah janji untuk menjaga warisan yang tak ternilai.
Tanjak adalah simbol keagungan, keberanian, kebijaksanaan, dan martabat. Setiap lipatannya adalah pelajaran, setiap motifnya adalah doa, dan setiap warnanya adalah cerminan dari jiwa Melayu yang kaya. Di tengah arus globalisasi yang kian deras, tanjak berdiri tegak sebagai penanda kuat bahwa akar budaya Melayu tidak akan pernah layu, melainkan terus bertumbuh, beradaptasi, dan menginspirasi.
Semoga artikel ini mampu membangkitkan apresiasi yang lebih dalam terhadap tanjak, mendorong kita semua untuk terus belajar, melestarikan, dan membanggakan warisan adiluhung ini. Karena di setiap tanjak, bersemayamlah ruh peradaban Melayu yang abadi.