Bertawasul: Memahami Makna, Hukum & Jenisnya dalam Islam

Gambar simbol buku terbuka dengan tangan berdoa
Ilustrasi tangan yang sedang berdoa di atas kitab suci, simbol dari permohonan dan pencarian kedekatan kepada Ilahi.

Dalam khazanah keilmuan dan praktik keagamaan Islam, salah satu konsep yang seringkali menjadi bahan diskusi, perdebatan, sekaligus praktik spiritual adalah bertawasul. Kata ini seringkali memicu beragam persepsi, mulai dari yang menganggapnya sebagai praktik yang dianjurkan dan mempercepat terkabulnya doa, hingga yang menilainya sebagai bentuk penyimpangan akidah atau bahkan syirik. Kompleksitas pandangan ini muncul karena tawasul memiliki berbagai bentuk dan pemahaman yang berbeda di antara umat Islam.

Memahami tawasul memerlukan tinjauan yang komprehensif, mulai dari akar bahasa, landasan dalil syar'i, hingga berbagai jenis dan implementasinya dalam kehidupan seorang Muslim. Tujuan utama artikel yang panjang dan mendalam ini adalah untuk memberikan pemahaman yang jelas dan terperinci tentang bertawasul, membedakan antara yang disepakati (masyru') dan yang diperselisihkan (ghairu masyru'), serta meluruskan berbagai kesalahpahaman yang mungkin timbul.

Mari kita selami lebih dalam hakikat tawasul agar kita dapat melaksanakannya sesuai dengan tuntunan syariat dan mendapatkan keberkahan serta kedekatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, tanpa terjerumus pada praktik yang menyimpang dari ajaran tauhid.

Pengertian Tawasul Secara Bahasa dan Istilah

Secara Bahasa (Etimologi)

Kata "tawasul" berasal dari bahasa Arab, yaitu dari akar kata وَسَلَ (wasala) atau وَسِيلَة (wasilah). Secara harfiah, وَسِيلَة berarti "perantara", "jalan", "media", "sarana", atau "sesuatu yang dapat mendekatkan seseorang kepada tujuan atau sesuatu yang diinginkan". Dengan demikian, secara bahasa, bertawasul berarti mencari atau menggunakan perantara untuk mencapai suatu tujuan.

Dalam Al-Qur'an, kata وَسِيلَة disebutkan beberapa kali. Salah satunya adalah dalam Surah Al-Ma'idah ayat 35:

"Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan/perantara) kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya, supaya kamu beruntung." (QS. Al-Ma'idah: 35)

Ayat ini secara eksplisit memerintahkan umat Muslim untuk mencari "wasilah" kepada Allah. Namun, makna "wasilah" di sini masih bersifat umum, bisa berarti amal saleh, ketaatan, ibadah, atau segala sesuatu yang mendekatkan diri kepada Allah.

Secara Istilah (Terminologi Syar'i)

Dalam konteks syariat Islam, bertawasul diartikan sebagai upaya seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, memohon hajat atau doa melalui suatu perantara yang diyakini memiliki nilai di sisi Allah. Perantara ini bisa berbagai macam, tergantung pada jenis tawasulnya, namun tujuan akhirnya tetap satu: mendapatkan keridaan dan kabulnya doa dari Allah semata.

Penting untuk digarisbawahi bahwa dalam semua bentuk tawasul, keyakinan bahwa hanya Allah yang mampu mengabulkan doa dan menyelesaikan segala urusan harus tetap teguh. Perantara (wasilah) hanyalah sebab yang diizinkan atau dianjurkan syariat untuk mencapai tujuan tersebut, bukan entitas yang memiliki kekuatan independen di luar kehendak Allah.

Dasar Hukum Tawasul dalam Islam

Hukum bertawasul dalam Islam menjadi titik perselisihan di kalangan ulama, bukan pada esensi mencari wasilah itu sendiri (karena Al-Qur'an jelas memerintahkannya), melainkan pada *bentuk-bentuk* wasilah yang diizinkan atau tidak. Untuk memahami ini, kita perlu merujuk pada Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad ﷺ.

Dalil dari Al-Qur'an

Selain Surah Al-Ma'idah ayat 35 yang telah disebutkan, ada beberapa ayat lain yang secara tidak langsung mendukung konsep mencari perantara dalam bentuk amal saleh atau takwa:

Dalil dari As-Sunnah (Hadits Nabi ﷺ)

Banyak hadits Nabi ﷺ yang memberikan petunjuk mengenai praktik tawasul, baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa hadits yang sering dijadikan dalil adalah:

Dari dalil-dalil ini, dapat disimpulkan bahwa mencari "wasilah" atau perantara untuk mendekat kepada Allah adalah syar'i. Namun, bentuk dan jenis wasilah itulah yang memerlukan penjelasan lebih lanjut agar tidak melanggar prinsip tauhid.

Jenis-jenis Tawasul yang Disepakati (Masyru')

Para ulama mayoritas sepakat bahwa ada beberapa bentuk tawasul yang diperbolehkan dan bahkan dianjurkan dalam Islam, karena sesuai dengan syariat dan tidak mengarah pada kesyirikan. Jenis-jenis tawasul ini adalah:

1. Tawasul dengan Asmaul Husna (Nama-nama Allah) dan Sifat-sifat-Nya

Gambar simbol 'Allah' dengan cahaya
Mengagungkan asma Allah adalah bentuk tawasul yang paling mendasar.

Ini adalah bentuk tawasul yang paling jelas disebutkan dalam Al-Qur'an:

"Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu..." (QS. Al-A'raf: 180)

Contohnya adalah ketika kita berdoa: "Ya Allah, Engkau Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, rahmatilah kami..." atau "Ya Rahman, Ya Rahim, ampunilah dosa-dosa kami..." Dengan menyebut nama-nama atau sifat-sifat Allah yang sesuai dengan permohonan kita, kita mengakui keagungan-Nya dan berharap Dia akan mengabulkan doa kita sesuai dengan sifat-sifat-Nya tersebut. Ini adalah bentuk tawasul yang sangat dianjurkan dan tidak ada perselisihan di antara ulama mengenainya.

2. Tawasul dengan Amal Saleh

Bertawasul dengan amal saleh berarti seseorang memohon kepada Allah dengan menyebutkan amal kebaikan yang pernah dilakukannya semata-mata karena Allah, berharap agar amal tersebut menjadi perantara terkabulnya doa. Dalil utama untuk jenis tawasul ini adalah kisah tiga orang dalam gua yang telah disebutkan sebelumnya.

Contoh praktiknya adalah: "Ya Allah, dengan sedekah yang pernah hamba berikan karena mengharap ridha-Mu, kabulkanlah doa hamba ini..." atau "Ya Allah, dengan shalat tahajjud yang telah hamba lakukan dengan ikhlas, mudahkanlah urusan hamba..."

Syarat utama tawasul ini adalah amal saleh yang disebutkan haruslah dilakukan dengan ikhlas karena Allah, bukan untuk pamer atau tujuan duniawi lainnya. Ini adalah bentuk tawasul yang juga disepakati kebolehannya oleh mayoritas ulama.

3. Tawasul dengan Doa Orang Saleh (yang Masih Hidup dan Hadir)

Gambar simbol orang berdoa
Memohon doa dari orang saleh yang masih hidup adalah bentuk tawasul yang disepakati.

Apabila seseorang meminta kepada orang yang saleh, bertakwa, atau alim yang masih hidup dan hadir di hadapannya untuk mendoakannya kepada Allah, maka ini termasuk tawasul yang masyru' (disyariatkan). Hal ini didasari oleh keyakinan bahwa doa orang-orang yang dekat dengan Allah lebih berpeluang dikabulkan.

Contohnya adalah para sahabat yang seringkali meminta Rasulullah ﷺ untuk mendoakan mereka ketika beliau masih hidup. Demikian pula, umat Muslim biasa meminta doa dari para ulama, kyai, atau orang tua yang diyakini kesalehannya. Tawasul ini hukumnya boleh karena yang diminta adalah doa, bukan dzat orang tersebut, dan orang yang diminta doa masih hidup dan mampu berdoa.

Penting untuk dipahami bahwa ini bukan berarti orang tersebut memiliki kekuatan gaib, melainkan karena harapan bahwa doa mereka akan lebih didengar oleh Allah karena ketakwaan mereka. Allah-lah yang pada akhirnya mengabulkan doa.

4. Tawasul dengan Keimanan kepada Nabi Muhammad ﷺ dan Kecintaan Kepadanya

Bentuk tawasul ini adalah dengan keyakinan yang tulus terhadap kenabian Muhammad ﷺ, mengikuti sunnahnya, dan mencintainya sebagai utusan Allah. Dengan keimanan dan ketaatan kepada beliau, seorang Muslim berharap mendapatkan syafaat beliau di akhirat atau agar Allah mengabulkan doanya karena pengakuan terhadap risalah Nabi ﷺ.

Ketika seorang Muslim bershalawat kepada Nabi ﷺ atau menyatakan cintanya kepada beliau, ia sedang mendekatkan diri kepada Allah melalui pintu kecintaan kepada utusan-Nya. Ini juga merupakan bentuk tawasul yang disepakati.

Jenis-jenis Tawasul yang Diperselisihkan (Ghairu Masyru' atau Bid'ah/Syirik)

Inilah area di mana banyak perbedaan pendapat muncul di kalangan ulama, terutama antara kelompok yang disebut Salafi/Wahabi dan mayoritas ulama Ahlussunnah wal Jama'ah. Perbedaan ini terutama berpusat pada tawasul dengan dzat atau kedudukan Nabi ﷺ dan orang-orang saleh yang sudah meninggal dunia.

1. Tawasul dengan Dzat Nabi atau Orang Saleh (yang Sudah Meninggal)

Ini adalah praktik memohon kepada Allah dengan perantara dzat atau kehormatan (jah) Nabi Muhammad ﷺ atau para wali/orang saleh yang telah meninggal dunia. Contohnya: "Ya Allah, dengan kemuliaan Nabi-Mu Muhammad, kabulkanlah doaku..." atau "Ya Allah, dengan karamah Syaikh Fulan, berikanlah hajatku..."

Penting untuk dicatat bahwa meskipun ada perbedaan, kedua belah pihak sepakat bahwa meminta langsung kepada orang mati (selain Allah) adalah syirik. Perbedaannya terletak pada apakah menggunakan kedudukan orang mati sebagai perantara kepada Allah termasuk meminta kepada selain Allah atau tidak.

2. Tawasul dengan Hak atau Kedudukan Nabi/Orang Saleh

Serupa dengan tawasul dzat, ini adalah praktik meminta kepada Allah dengan menyebut "hak" atau "kedudukan" tertentu yang dimiliki oleh Nabi Muhammad ﷺ atau orang saleh di sisi Allah. Contoh: "Ya Allah, dengan hak Nabi-Mu atas kami, kabulkanlah doaku..."

Kesalahpahaman Umum tentang Bertawasul

Perdebatan tentang tawasul seringkali diperparah oleh kesalahpahaman. Penting untuk mengklarifikasi beberapa poin ini:

1. Menganggap Tawasul sebagai Meminta kepada Selain Allah

Ini adalah kesalahpahaman fundamental. Baik yang membolehkan maupun yang melarang tawasul dengan orang mati, semuanya sepakat bahwa meminta langsung kepada selain Allah (meminta hajat dari mayat, patung, jin, dll.) adalah syirik akbar. Tawasul, dalam definisinya yang benar, adalah *meminta kepada Allah melalui perantara*. Perantara itu tidak memiliki kekuatan independen untuk mengabulkan, melainkan hanya sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Masalahnya muncul ketika batas antara 'memohon melalui perantara' dan 'memohon kepada perantara' menjadi kabur dalam praktik sebagian orang awam. Oleh karena itu, edukasi yang jelas tentang tauhid dan tawasul sangatlah penting.

2. Mencampuradukkan Tawasul dengan Syirik

Syirik adalah menyekutukan Allah dalam uluhiyah (ketuhanan), rububiyah (penciptaan dan pengaturan alam), atau asma wa sifat (nama dan sifat). Jika seseorang meyakini bahwa perantara memiliki kekuatan tersendiri untuk mengabulkan doa, atau menyembah perantara tersebut, maka itu jelas syirik. Namun, tawasul yang diyakini oleh sebagian besar ulama Ahlussunnah (yang membolehkan tawasul dzat sekalipun) adalah dengan keyakinan penuh bahwa Allah-lah satu-satunya yang mengabulkan doa. Perantara hanyalah sebab. Membedakan nuansa ini sangat krusial.

3. Tawasul sebagai Pengganti Ibadah Langsung kepada Allah

Bertawasul bukanlah pengganti ibadah langsung kepada Allah. Justru sebaliknya, ia adalah bagian dari ibadah, yaitu doa, yang merupakan inti ibadah. Tawasul adalah cara untuk memperindah dan memperkuat doa, bukan untuk menghindari berdoa langsung kepada Allah.

Pandangan Umum Ulama Klasik dan Kontemporer

Sebagai rangkuman, dapat dikatakan bahwa pandangan ulama mengenai tawasul terbagi menjadi dua kelompok besar, meskipun dengan berbagai nuansa di dalamnya:

  1. Mayoritas Ulama (Jumhur) Ahlussunnah wal Jama'ah:

    • Membolehkan tawasul dengan amal saleh.
    • Membolehkan tawasul dengan Asmaul Husna dan Sifat-sifat Allah.
    • Membolehkan tawasul dengan doa orang saleh yang masih hidup dan hadir.
    • Membolehkan tawasul dengan dzat atau kedudukan Nabi Muhammad ﷺ dan orang-orang saleh (yang sudah meninggal), selama keyakinan mutlak bahwa Allah-lah satu-satunya yang mengabulkan. Mereka menafsirkan hadits-hadits dan praktik salaf sebagai dukungan untuk hal ini, memahami bahwa ruh orang-orang saleh yang wafat tetap hidup dan dimuliakan di sisi Allah.

  2. Ulama Salafi/Wahabi dan Sebagian Ulama dari Mazhab Hanbali:

    • Membolehkan tawasul dengan amal saleh.
    • Membolehkan tawasul dengan Asmaul Husna dan Sifat-sifat Allah.
    • Membolehkan tawasul dengan doa orang saleh yang masih hidup dan hadir.
    • Melarang (menganggap bid'ah atau bahkan syirik) tawasul dengan dzat atau kedudukan Nabi Muhammad ﷺ atau orang-orang saleh yang sudah meninggal. Argumen mereka adalah bahwa tidak ada dalil shahih yang jelas untuk ini setelah Nabi ﷺ wafat, dan praktik ini dapat membuka pintu kesyirikan dan pengagungan berlebihan kepada makhluk. Mereka menekankan pentingnya berdoa langsung kepada Allah tanpa perantara manusia yang sudah wafat.

Penting untuk selalu berpegang pada prinsip bahwa dalam setiap perbedaan pendapat, seorang Muslim harus mencari ilmu, merujuk kepada Al-Qur'an dan Sunnah dengan pemahaman yang benar, dan menjauhi ekstremitas. Yang terpenting adalah keikhlasan niat dan keyakinan tauhid yang kuat.

Hikmah dan Manfaat Bertawasul yang Benar

Apabila tawasul dilakukan dengan pemahaman dan niat yang benar, ia dapat mendatangkan banyak hikmah dan manfaat spiritual bagi seorang Muslim:

Adab Berdoa dan Bertawasul

Agar doa dan tawasul kita diterima oleh Allah, ada beberapa adab yang sebaiknya diperhatikan:

  1. Ikhlas: Niatkan doa hanya untuk Allah semata, bukan untuk dilihat atau didengar orang lain. Keyakinan bahwa hanya Allah yang mengabulkan harus teguh.
  2. Khusyuk dan Hadirnya Hati: Berdoa dengan sepenuh hati, meresapi setiap lafaz, dan merasakan kerendahan diri di hadapan Allah.
  3. Yakin Akan Dikabulkan: Berprasangka baik kepada Allah dan yakin bahwa Dia akan mengabulkan doa, meskipun bentuk pengabulannya bisa berbeda dari yang kita harapkan.
  4. Menghadap Kiblat (jika memungkinkan) dan Mengangkat Tangan: Ini adalah sunnah Nabi ﷺ saat berdoa.
  5. Memuji Allah dan Bershalawat kepada Nabi ﷺ: Membuka doa dengan pujian kepada Allah (misal: Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin) dan shalawat kepada Nabi ﷺ adalah adab yang sangat dianjurkan.
  6. Mengakui Dosa dan Memohon Ampun (Istighfar): Sebelum meminta hajat, mengakui kesalahan dan memohon ampun adalah bentuk kerendahan hati.
  7. Mengulang Doa (jika perlu): Nabi ﷺ terkadang mengulang doa hingga tiga kali.
  8. Tidak Tergesa-gesa: Jangan merasa putus asa jika doa belum dikabulkan. Pengabulan doa bisa dalam bentuk yang berbeda (dikabulkan langsung, ditunda, diganti dengan yang lebih baik, atau diampuni dosa).
  9. Makan dan Minum dari Rezeki Halal: Rezeki yang haram dapat menjadi penghalang terkabulnya doa.
  10. Memperbanyak Amal Saleh: Amal saleh adalah wasilah terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Gambar simbol Masjid dengan bulan sabit dan bintang
Masjid dengan bulan sabit dan bintang, melambangkan tempat ibadah dan simbol keislaman.

Perbedaan Mendasar antara Tawasul dan Syirik

Memahami perbedaan antara tawasul dan syirik adalah kunci untuk menghindari kesalahpahaman dan praktik yang menyimpang. Perbedaan utamanya terletak pada niat dan keyakinan hati:

  1. Tawasul yang Benar:

    • Niat: Memohon kepada Allah, dengan perantara (wasilah) yang diyakini sah secara syar'i, untuk mendapatkan keridhaan dan pengabulan doa dari-Nya.
    • Keyakinan: Wasilah hanyalah sebab atau sarana. Kekuatan mutlak untuk mengabulkan doa hanyalah milik Allah semata. Wasilah tidak memiliki kekuatan independen.
    • Fokus: Allah sebagai satu-satunya tujuan permohonan.
    • Contoh: "Ya Allah, dengan amal salehku ini, ampunilah dosaku." (Memohon kepada Allah melalui amal saleh)

  2. Syirik:

    • Niat: Memohon atau menyembah kepada selain Allah, atau menyekutukan Allah dengan selain-Nya dalam hal-hal yang menjadi kekhususan Allah (seperti penciptaan, pengaturan, memberi rezeki, atau mengabulkan doa).
    • Keyakinan: Menyakini bahwa selain Allah (misalnya, berhala, kuburan wali, jin, roh, dll.) memiliki kekuatan independen untuk mengabulkan doa, memberikan manfaat, atau menolak mudarat.
    • Fokus: Selain Allah sebagai tujuan permohonan atau penyembahan.
    • Contoh: "Wahai wali Fulan, berikanlah aku anak." (Memohon kepada wali secara langsung untuk hal yang hanya bisa dilakukan Allah) atau bersujud kepada kuburan dengan keyakinan itu mendatangkan manfaat dari penghuni kubur.

Garis pemisah antara keduanya adalah tipis dan seringkali menjadi kabur bagi orang awam. Oleh karena itu, penting sekali untuk memiliki ilmu agama yang kokoh dan selalu mengedepankan tauhidullah dalam setiap aspek ibadah.

Pentingnya Ilmu dalam Memahami Tawasul

Perbedaan pendapat dan potensi kesalahpahaman mengenai tawasul menunjukkan betapa pentingnya ilmu agama yang mendalam. Seorang Muslim tidak boleh sembarangan mengikuti tradisi atau praktik tanpa dasar dalil yang kuat dan pemahaman yang benar. Beberapa poin penting terkait ilmu:

Kesimpulan: Ketaatan dan Kedekatan Sejati kepada Allah

Bertawasul, dalam esensinya, adalah upaya seorang Muslim untuk mencari jalan mendekatkan diri kepada Allah dan memohon hajat-hajatnya. Sebagaimana yang telah dijelaskan, ada bentuk-bentuk tawasul yang disepakati kebolehannya oleh seluruh ulama, seperti tawasul dengan Asmaul Husna, amal saleh, dan doa orang saleh yang masih hidup. Bentuk-bentuk inilah yang seharusnya menjadi prioritas dan pegangan utama bagi setiap Muslim.

Adapun bentuk tawasul yang diperselisihkan, seperti tawasul dengan dzat atau kedudukan Nabi ﷺ dan orang saleh yang sudah wafat, memerlukan kehati-hatian dan pemahaman yang mendalam. Para Muslim yang mengamalkannya harus senantiasa memastikan bahwa keyakinan tauhidnya tetap teguh, yaitu bahwa Allah-lah satu-satunya yang Maha Mengabulkan doa dan tidak ada satu pun makhluk yang dapat memberikan manfaat atau mudarat secara independen tanpa izin dan kehendak-Nya.

Tujuan akhir dari setiap ibadah, termasuk doa dan tawasul, adalah untuk mencapai keridhaan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Ketaatan kepada perintah-Nya, mengikuti sunnah Nabi ﷺ, menjauhi larangan-Nya, serta mengisi hidup dengan amal-amal saleh dan hati yang ikhlas adalah wasilah terbesar dan terjamin yang akan membawa seorang hamba menuju kedekatan sejati dengan Rabb-nya.

Semoga Allah senantiasa membimbing kita semua untuk memahami agama-Nya dengan benar, beribadah dengan keikhlasan, dan selalu menjaga kemurnian tauhid. Amin.