Bertahor Air Liur: Panduan Lengkap Hukum & Tata Cara Bersuci dalam Islam

Simbol Pembersihan dengan Air

Ilustrasi air dan kesucian, melambangkan taharah.

Dalam ajaran Islam, kebersihan dan kesucian adalah pilar utama yang sangat ditekankan. Konsep ini tidak hanya terbatas pada kebersihan fisik semata, tetapi juga mencakup kesucian batin dan spiritual. Salah satu aspek krusial dari kesucian ini adalah taharah, yaitu proses membersihkan diri dari hadas (keadaan tidak suci yang menghalangi ibadah) dan najis (benda atau kotoran yang dianggap kotor secara syariat). Pemahaman tentang taharah ini menjadi fundamental karena ia merupakan kunci sahnya berbagai bentuk ibadah, seperti salat, tawaf, dan membaca Al-Quran. Tanpa taharah yang sempurna, ibadah seseorang dapat menjadi tidak sah atau tidak diterima.

Salah satu area yang sering menimbulkan pertanyaan dan membutuhkan pemahaman mendalam terkait taharah adalah hukum-hukum seputar air liur, khususnya air liur hewan. Tidak semua air liur memiliki status hukum yang sama dalam Islam. Ada air liur yang dianggap suci, ada pula yang dianggap najis, bahkan ada jenis najis yang memerlukan tata cara penyucian khusus yang lebih ketat. Artikel ini akan mengupas tuntas tentang "bertahor air liur," yang berarti proses bersuci atau memahami hukum-hukum terkait air liur dalam konteks kebersihan syariat.

Kita akan membahas secara rinci definisi taharah dan najis, berbagai kategori najis, serta bagaimana air liur dari berbagai jenis hewan—terutama anjing dan babi yang dikenal sebagai najis berat (najis mughallazah)—dapat mempengaruhi kesucian seseorang. Penjelasan akan diperkaya dengan dalil-dalil dari Al-Quran dan Sunnah, serta pandangan dari berbagai mazhab fikih, untuk memberikan gambaran yang komprehensif dan praktis bagi kaum Muslimin. Tujuannya adalah agar setiap Muslim dapat menjalankan ibadahnya dengan penuh keyakinan dan kesucian, sesuai dengan tuntunan syariat.

1. Memahami Taharah: Fondasi Kebersihan dalam Islam

1.1. Pengertian Taharah (Bersuci)

Taharah secara bahasa berarti bersih atau suci. Dalam terminologi syariat Islam, taharah adalah membersihkan diri dari hadas dan najis. Hadas adalah keadaan tidak suci yang melekat pada diri seseorang sehingga menghalanginya untuk melakukan ibadah tertentu, seperti salat, menyentuh mushaf Al-Quran, atau tawaf. Hadas dibagi menjadi dua: hadas kecil (seperti buang air kecil/besar, buang angin) yang dihilangkan dengan wudu, dan hadas besar (seperti junub, haid, nifas) yang dihilangkan dengan mandi wajib (ghusl).

Sedangkan najis adalah kotoran yang menurut syariat Islam dianggap kotor dan wajib dibersihkan jika mengenai badan, pakaian, atau tempat ibadah. Membedakan antara hadas dan najis sangat penting karena keduanya memiliki cara penyucian yang berbeda. Taharah bukan sekadar aktivitas membersihkan fisik, tetapi juga mengandung dimensi spiritual yang mendalam, mengajarkan umat Islam untuk senantiasa menjaga kesucian diri sebagai bentuk penghambaan kepada Allah SWT.

1.2. Kedudukan Taharah dalam Islam

Taharah memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda, "Kebersihan adalah sebagian dari iman." (HR. Muslim). Hadis ini menunjukkan bahwa menjaga kebersihan dan kesucian adalah bagian integral dari keimanan seorang Muslim. Tanpa taharah, banyak ibadah pokok dalam Islam tidak akan sah. Misalnya:

Oleh karena itu, setiap Muslim wajib mempelajari dan memahami hukum-hukum taharah agar ibadah yang dilakukannya diterima oleh Allah SWT. Pemahaman yang benar akan mencegah keraguan dan kekeliruan dalam praktik bersuci sehari-hari.

2. Mengenal Najis: Kategori dan Macamnya

2.1. Definisi dan Pentingnya Memahami Najis

Najis adalah segala sesuatu yang dianggap kotor dan menjijikkan menurut syariat Islam, yang wajib dibersihkan jika mengenai tubuh, pakaian, atau tempat ibadah. Contoh najis meliputi darah, nanah, muntah, kotoran manusia dan hewan, bangkai (kecuali bangkai ikan dan belalang), serta air liur dari hewan tertentu. Memahami jenis-jenis najis dan cara membersihkannya sangat penting karena keberadaan najis pada diri atau barang yang digunakan dalam ibadah dapat membatalkan keabsahan ibadah tersebut.

Simbol Kotoran atau Najis

Ilustrasi najis, kontaminasi.

2.2. Kategori Najis dalam Islam

Para ulama fikih mengklasifikasikan najis menjadi tiga kategori utama berdasarkan tingkat kekotoran dan cara penyuciannya. Klasifikasi ini sangat penting untuk diketahui agar kita dapat melakukan penyucian yang tepat:

a. Najis Mughallazah (Berat)

Ini adalah jenis najis yang paling berat dan memerlukan tata cara penyucian khusus yang paling ketat. Contoh utama dari najis mughallazah adalah air liur anjing dan babi, serta seluruh bagian tubuhnya (termasuk kotoran, urine, darah, dan daging). Jika najis ini mengenai tubuh, pakaian, atau tempat, maka cara menyucikannya adalah dengan mencuci sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan air yang dicampur tanah (debu suci).

Dalil mengenai najis anjing diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Sucinya wadah salah seorang di antara kalian jika dijilat anjing adalah dengan mencucinya tujuh kali, salah satunya dengan tanah." (HR. Muslim).

Penyucian dengan tanah ini memiliki hikmah mendalam, tidak hanya sebagai bentuk kepatuhan syariat tetapi juga secara ilmiah terbukti tanah memiliki sifat antiseptik dan dapat membersihkan kuman atau bakteri tertentu secara lebih efektif.

b. Najis Mutawassitah (Sedang)

Ini adalah jenis najis yang paling umum. Contoh najis mutawassitah meliputi:

Cara menyucikan najis mutawassitah adalah dengan mencucinya menggunakan air hingga hilang zat, warna, dan baunya. Jika salah satu dari tiga sifat (zat, warna, bau) tersebut sulit dihilangkan, maka dimaafkan selama telah berusaha keras membersihkannya. Air yang digunakan harus air suci dan menyucikan.

c. Najis Mukhaffafah (Ringan)

Jenis najis ini adalah yang paling ringan dan memiliki cara penyucian yang paling mudah. Contoh najis mukhaffafah adalah air kencing bayi laki-laki yang belum makan apa-apa selain ASI, dan usianya belum mencapai dua tahun. Cara menyucikannya cukup dengan memercikkan air ke area yang terkena najis tersebut, tanpa perlu menggosok atau mencuci berulang kali, asalkan air percikannya membasahi seluruh area yang terkena najis.

Ummu Qais binti Mihshan pernah membawa putranya yang masih kecil dan belum makan makanan (selain ASI) kepada Rasulullah SAW. Lalu Rasulullah memangku bayi tersebut, kemudian bayi itu kencing di pangkuan beliau. Beliau lantas meminta air dan memercikkannya ke tempat kencing tersebut tanpa mencucinya. (HR. Bukhari dan Muslim).

3. Air Liur dalam Perspektif Fikih: Suci atau Najis?

Status hukum air liur sangat bervariasi tergantung dari sumbernya, yaitu jenis hewannya. Pemahaman ini krusial untuk menentukan apakah sesuatu yang terkena air liur tersebut menjadi najis dan bagaimana cara menyucikannya. Mari kita telaah status air liur dari berbagai makhluk:

3.1. Air Liur Manusia

Air liur manusia hukumnya suci. Ini adalah konsensus ulama. Oleh karena itu, jika air liur manusia mengenai pakaian, tubuh, atau tempat, tidak diwajibkan untuk mencucinya secara khusus kecuali untuk alasan kebersihan umum. Hal ini karena manusia pada dasarnya adalah makhluk yang dimuliakan Allah dan seluruh bagian tubuhnya dianggap suci selama tidak terkontaminasi najis lain.

3.2. Air Liur Hewan Halal (yang dagingnya boleh dimakan)

Air liur hewan yang dagingnya halal dimakan, seperti sapi, kambing, unta, ayam, dan sejenisnya, hukumnya suci. Jika air liur mereka mengenai benda atau pakaian, tidak menjadikannya najis. Ini didasarkan pada prinsip bahwa jika dagingnya halal dan boleh disentuh, maka air liurnya pun mengikuti status yang sama. Misalnya, sisa minuman dari hewan-hewan ini juga dianggap suci (disebut su'r).

3.3. Air Liur Kucing

Kucing adalah hewan peliharaan yang banyak dipelihara umat Islam. Mayoritas ulama berpendapat bahwa air liur kucing hukumnya suci. Ini didasarkan pada hadis Rasulullah SAW yang menyebutkan bahwa kucing bukanlah najis, melainkan termasuk hewan yang sering berkeliaran di sekitar manusia. Jika air liur kucing mengenai bejana, pakaian, atau tubuh, tidak menjadikannya najis dan tidak perlu dicuci khusus. Namun, tetap dianjurkan membersihkannya untuk menjaga kebersihan umum.

Dari Abu Qatadah RA, Rasulullah SAW bersabda tentang kucing: "Sesungguhnya ia (kucing) tidaklah najis. Sesungguhnya ia adalah hewan yang sering berkeliaran di antara kalian (manusia)." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasa'i, dan Ibnu Majah).

3.4. Air Liur Hewan Buas Selain Anjing dan Babi

Untuk hewan buas yang tidak halal dimakan, seperti singa, harimau, serigala, beruang, dan hewan-hewan pemangsa lainnya, status air liurnya menjadi perdebatan ulama. Mayoritas ulama, khususnya dari mazhab Syafi'i dan Hanbali, menganggap air liur mereka najis mutawassitah. Alasannya adalah karena dagingnya haram dimakan, maka seluruh bagian tubuhnya, termasuk air liurnya, juga dianggap najis. Cara membersihkannya adalah dengan mencucinya hingga hilang zat, warna, dan baunya.

Ada pula pandangan lain yang menyatakan bahwa air liur hewan buas ini suci jika ia tergolong hewan yang dimaklumi (sulit dihindari) keberadaannya di lingkungan tertentu, mirip dengan status kucing. Namun, pandangan yang lebih hati-hati adalah menganggapnya najis mutawassitah.

3.5. Air Liur Hewan Pengerat (Tikus, Tikus Tanah) dan Serangga

Air liur hewan pengerat seperti tikus dan sejenisnya, serta serangga, umumnya dianggap najis mutawassitah oleh sebagian besar ulama karena hewan-hewan ini seringkali dianggap kotor dan pembawa penyakit, dan juga haram dimakan. Namun, jika jumlahnya sangat sedikit dan sulit dihindari, maka ada kelonggaran (rukhsah) dalam beberapa kasus. Untuk serangga, jika tidak mengandung darah atau cairan najis lain, seringkali dimaafkan kecuali dalam jumlah banyak.

4. Fokus Utama: Air Liur Anjing dan Babi (Najis Mughallazah)

Inilah inti dari pembahasan "bertahor air liur" yang paling krusial dan memerlukan perhatian khusus. Air liur anjing dan babi, beserta seluruh bagian tubuh keduanya, dikategorikan sebagai najis mughallazah (najis berat) dalam Islam. Ini berarti tata cara penyuciannya berbeda dan lebih ketat dibandingkan najis lainnya.

4.1. Hukum Air Liur Anjing

Mayoritas ulama dari mazhab Syafi'i, Hanbali, dan juga ulama-ulama kontemporer sepakat bahwa air liur anjing adalah najis mughallazah. Dalil pokoknya adalah hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:

"Jika anjing menjilat wadah salah seorang di antara kalian, maka basuhlah (wadah tersebut) tujuh kali, salah satunya dengan tanah." (HR. Muslim).

Hadis ini secara eksplisit menyebutkan tata cara penyucian yang spesifik, yaitu tujuh kali basuhan air dan salah satunya dicampur tanah. Ini menunjukkan bahwa najis anjing memiliki tingkat kekotoran yang luar biasa dalam pandangan syariat, sehingga memerlukan metode pembersihan yang intensif.

Siluet Anjing, mewakili najis mughallazah.

Ilustrasi anjing, najis mughallazah.

Penting untuk dicatat bahwa kenajisan anjing tidak berarti Muslim dilarang memelihara anjing secara mutlak. Anjing boleh dipelihara untuk tujuan tertentu yang dibolehkan syariat, seperti menjaga kebun, berburu, atau sebagai anjing pelacak, asalkan tidak menyentuh barang-barang yang digunakan untuk ibadah atau masuk ke dalam rumah. Jika dipelihara untuk tujuan yang sah, ada keharusan untuk memastikan kehati-hatian agar tidak terkena najisnya, terutama air liurnya.

Perbedaan Pendapat Mazhab tentang Anjing:

Meskipun mayoritas ulama menganggap air liur anjing najis mughallazah, ada sedikit perbedaan pandangan di antara mazhab:

Meskipun ada perbedaan, pandangan mayoritas ulama (Syafi'i dan Hanbali) yang menganggap anjing sebagai najis mughallazah dan memerlukan penyucian dengan tanah adalah yang paling banyak diikuti di Indonesia dan dianggap lebih berhati-hati.

4.2. Hukum Air Liur Babi

Sama halnya dengan anjing, babi juga dianggap sebagai najis mughallazah dalam Islam. Seluruh bagian tubuh babi, termasuk air liur, kotoran, urine, darah, dan dagingnya, adalah najis berat. Dalilnya adalah firman Allah SWT dalam Al-Quran:

"Katakanlah: 'Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi — karena sesungguhnya semua itu kotor (najis) — atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.'..." (QS. Al-An'am: 145).

Ayat ini secara jelas menyebutkan daging babi sebagai "kotor" (rijs), yang dalam konteks syariat Islam diartikan sebagai najis. Karena dagingnya najis, maka semua bagian tubuhnya, termasuk air liurnya, juga najis mughallazah. Oleh karena itu, jika terkena air liur babi, tata cara penyuciannya sama dengan air liur anjing: tujuh kali basuhan, salah satunya dengan tanah.

4.3. Tata Cara Bersuci dari Najis Air Liur Anjing dan Babi

Ketika air liur anjing atau babi mengenai badan, pakaian, atau tempat, tata cara penyuciannya harus dilakukan dengan teliti sesuai syariat. Ini dikenal sebagai sertu (pembersihan dengan tanah).

Langkah-langkah penyuciannya adalah sebagai berikut:

  1. Buang Zat Najis: Pertama-tama, bersihkan zat najis (air liur) yang terlihat atau terasa dari area yang terkena. Jika berbentuk cair, lap atau bersihkan permukaannya.
  2. Basuhan Pertama dengan Tanah: Campurkan sedikit tanah (debu suci, bukan tanah kotor atau bercampur najis lain) dengan air hingga menjadi lumpur encer. Usapkan lumpur ini ke seluruh area yang terkena najis. Pastikan tanah mengenai seluruh permukaan yang najis.
  3. Basuhan Kedua hingga Ketujuh dengan Air: Setelah basuhan tanah, cuci area tersebut dengan air suci dan menyucikan sebanyak enam kali berturut-turut. Setiap basuhan harus merata dan membersihkan sisa-sisa tanah serta najis. Pastikan air mengalir dan membersihkan bekas tanah sepenuhnya.
  4. Mengeringkan: Setelah selesai tujuh basuhan, keringkan area tersebut jika memungkinkan.
Simbol Tanah/Debu, untuk pembersihan najis berat.

Ilustrasi tanah, elemen penting dalam sertu.

Penting:

Hikmah di Balik Penyucian dengan Tanah:

Para ulama dan ilmuwan modern telah meneliti hikmah di balik perintah syariat ini. Tanah mengandung zat yang disebut bentonite atau kaolinite yang memiliki sifat absorben dan antiseptik kuat. Ini sangat efektif dalam menghilangkan lemak, kuman, dan bakteri yang mungkin terkandung dalam air liur anjing atau babi, yang seringkali resisten terhadap air biasa. Dengan demikian, syariat Islam tidak hanya memerintahkan secara ritual, tetapi juga mengandung nilai kebersihan dan kesehatan yang tinggi.

5. Skenario Praktis dan Hukum Terkait

Memahami teori adalah satu hal, menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari adalah hal lain. Berikut adalah beberapa skenario praktis terkait air liur dan najis, beserta hukumnya:

5.1. Benda yang Terkena Air Liur Najis

a. Pakaian atau Kain:

Jika pakaian atau kain terkena air liur anjing atau babi, maka pakaian tersebut menjadi najis mughallazah dan harus disucikan dengan metode tujuh basuhan (satu dengan tanah, enam dengan air). Ini berlaku bahkan jika pakaian tersebut tidak langsung digunakan untuk salat, karena seorang Muslim harus senantiasa menjaga kesucian pakaiannya.

b. Bejana Makan/Minum:

Jika bejana (piring, gelas, mangkuk) dijilat anjing atau babi, maka wajib disucikan tujuh kali, salah satunya dengan tanah. Ini termasuk bejana yang terbuat dari logam, plastik, keramik, dll. Setelah disucikan, bejana tersebut kembali suci dan boleh digunakan untuk makan atau minum.

c. Lantai atau Permukaan Padat:

Jika lantai rumah (keramik, semen, dll.) atau permukaan padat lainnya terkena air liur najis, maka area tersebut harus disucikan. Caranya adalah dengan membersihkan zat najisnya terlebih dahulu, kemudian mengusapkan campuran air dan tanah, diikuti dengan enam kali basuhan air yang mengalir. Pastikan air bilasan tidak menyebar ke area lain dan menyebabkan najis ikut menyebar.

d. Tubuh Manusia:

Jika bagian tubuh terkena air liur anjing atau babi, seperti tangan atau kaki, maka wajib disucikan dengan tujuh basuhan (satu dengan tanah) pada area yang terkena. Ini penting agar seseorang dapat kembali berwudu atau mandi wajib dalam keadaan suci, dan salatnya sah.

5.2. Air Liur Anjing atau Babi yang Kering

Apakah najis mughallazah yang sudah kering masih memerlukan penyucian dengan tanah? Ya, tetap memerlukan. Kenajisan tidak hilang hanya karena air liur tersebut mengering. Zat najisnya masih ada meskipun tidak terlihat. Oleh karena itu, jika menyentuh area yang pernah terkena air liur najis yang sudah kering dan tangan kita basah, atau area tersebut kita basahi kembali, maka kenajisan tersebut berpindah dan tetap harus disucikan dengan metode tujuh basuhan.

5.3. Sentuhan dengan Anjing/Babi Kering

Jika tubuh anjing atau babi yang kering menyentuh tubuh atau pakaian yang kering, menurut mazhab Syafi'i dan Hanbali, tidak terjadi perpindahan najis karena tidak ada kelembaban yang menjadi perantara. Namun, jika ada kelembaban pada salah satu (baik anjing/babi atau benda yang disentuh), maka najis dianggap berpindah dan wajib disucikan.

Oleh karena itu, prinsip kehati-hatian adalah yang terbaik: hindari kontak langsung dengan anjing atau babi jika memungkinkan, terutama bagi mereka yang memegang mazhab Syafi'i.

5.4. Sisa Makanan atau Minuman yang Terkontaminasi

Jika anjing atau babi makan atau minum dari suatu wadah, maka sisa makanan atau minuman tersebut menjadi najis dan tidak boleh dikonsumsi. Wadahnya harus disucikan dengan tujuh basuhan. Begitu pula jika makanan atau minuman lain yang tidak diwadahi (misalnya makanan jatuh ke lantai yang dijilat anjing) terkontaminasi, maka makanan tersebut menjadi najis dan haram dimakan.

6. Hukum dan Tata Cara Bertahor dalam Konteks Lebih Luas

Konsep taharah tidak hanya berhenti pada pembersihan air liur anjing atau babi. Ia adalah sistem komprehensif yang mencakup banyak aspek kehidupan seorang Muslim. Berikut adalah perluasan pemahaman tentang taharah:

6.1. Wudu dan Ghusl: Penghilang Hadas

Wudu adalah bersuci dari hadas kecil, sedangkan ghusl (mandi wajib) adalah bersuci dari hadas besar. Keduanya adalah bentuk taharah yang bersifat internal (membersihkan diri dari keadaan tidak suci yang melekat). Air liur yang najis tidak secara langsung menyebabkan hadas, tetapi mengharuskan kita membersihkan diri dari najis terlebih dahulu sebelum berwudu atau ghusl agar ibadah yang dilakukan sah.

6.2. Air Suci dan Air Mutanajjis

Penting untuk memahami jenis air yang digunakan untuk bersuci:

Dalam konteks bertahor air liur, kita harus memastikan bahwa air yang kita gunakan untuk tujuh basuhan adalah air suci dan menyucikan.

6.3. Tayammum: Alternatif Bersuci dengan Tanah

Tayammum adalah bersuci sebagai pengganti wudu atau mandi wajib, yang dilakukan dengan mengusap wajah dan kedua tangan dengan tanah atau debu suci. Tayammum dibolehkan dalam kondisi tertentu, seperti tidak ada air, air yang ada berbahaya bagi kesehatan, atau tidak mampu menggunakan air karena sakit. Namun, tayammum ini hanya berlaku untuk menghilangkan hadas, bukan untuk membersihkan najis. Jika ada najis pada tubuh, pakaian, atau tempat, najis tersebut tetap harus dibersihkan terlebih dahulu jika memungkinkan. Tayammum tidak menggantikan penyucian najis mughallazah dengan tanah dan air.

7. Hikmah dan Dimensi Spiritual dari Taharah Air Liur

Hukum-hukum syariat Islam selalu memiliki hikmah dan tujuan yang mulia, baik yang terlihat jelas maupun yang tersembunyi. Demikian pula dengan aturan taharah terkait air liur, khususnya dari anjing dan babi.

7.1. Dimensi Kebersihan dan Kesehatan

Sebagaimana telah disinggung, perintah penyucian najis mughallazah dengan tanah bukan tanpa alasan ilmiah. Penemuan modern telah menunjukkan bahwa air liur anjing dapat mengandung bakteri dan parasit tertentu yang berpotensi menyebabkan penyakit pada manusia. Kandungan bentonite dalam tanah memiliki sifat antimikroba dan absorben yang efektif menghilangkan kuman dan kotoran. Dengan demikian, syariat Islam telah menetapkan standar kebersihan yang sangat tinggi jauh sebelum ilmu pengetahuan modern menemukannya.

7.2. Dimensi Kepatuhan dan Keimanan

Bagi seorang Muslim, mengikuti syariat adalah bentuk ketaatan mutlak kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Meskipun terkadang akal manusia belum sepenuhnya memahami semua hikmah di balik suatu perintah, namun keyakinan bahwa setiap perintah Allah mengandung kebaikan adalah inti dari keimanan. Melakukan taharah air liur anjing dengan tujuh basuhan adalah bentuk kepatuhan terhadap perintah Nabi SAW, yang secara langsung memperkuat iman dan ketakwaan.

7.3. Pembentukan Karakter Disiplin dan Hati-Hati

Aturan taharah, terutama yang berkaitan dengan najis berat, mengajarkan seorang Muslim untuk selalu disiplin, teliti, dan berhati-hati dalam menjaga kebersihan. Ini melatih kesadaran akan pentingnya kesucian dalam setiap aspek kehidupan, yang kemudian dapat meluas ke disiplin dalam menjaga diri dari hal-hal yang haram secara moral dan spiritual.

7.4. Perbedaan dan Identitas Umat Muslim

Aturan-aturan khusus dalam Islam, termasuk yang terkait dengan taharah, juga membentuk identitas unik umat Muslim. Ini membedakan Muslim dari umat lain dan menegaskan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam agama mereka. Dalam hal ini, kehati-hatian terhadap najis tertentu menjadi ciri khas yang memancarkan perhatian Islam terhadap kesucian.

8. Kesimpulan dan Rekomendasi Praktis

Pemahaman tentang "bertahor air liur" adalah aspek penting dari fikih taharah yang wajib diketahui setiap Muslim. Status air liur sangat bervariasi; sebagian besar suci, namun air liur anjing dan babi adalah pengecualian karena dikategorikan sebagai najis mughallazah yang memerlukan tata cara penyucian khusus.

Singkatnya:

Simbol Tangan Bersih dan Suci

Ilustrasi tangan bersih setelah bersuci.

Rekomendasi Praktis bagi Muslim:

  1. Pelajari dan Pahami: Senantiasa tingkatkan pengetahuan tentang fikih taharah dari sumber-sumber yang sahih.
  2. Berhati-hati: Selalu berhati-hati dalam berinteraksi dengan hewan, terutama anjing dan babi, untuk menghindari terkena najis.
  3. Segera Bersuci: Jika terlanjur terkena najis mughallazah, jangan menunda untuk segera membersihkannya sesuai tata cara syariat.
  4. Jaga Kebersihan Lingkungan: Pastikan lingkungan tempat tinggal dan tempat ibadah senantiasa bersih dan suci dari segala najis.
  5. Terapkan dalam Kehidupan Sehari-hari: Praktikkan prinsip taharah tidak hanya saat beribadah, tetapi juga dalam kebersihan pribadi dan lingkungan.

Dengan memahami dan mengamalkan hukum-hukum taharah, seorang Muslim tidak hanya menjaga kesucian fisiknya, tetapi juga spiritualnya, sehingga setiap ibadah yang dilakukan menjadi lebih bermakna dan diterima di sisi Allah SWT. Semoga panduan ini bermanfaat bagi kita semua dalam meraih kebersihan dan kesucian yang paripurna.