Berugak: Mahakarya Arsitektur Tradisional Nusa Tenggara Barat

Di tengah pesona keindahan alam Nusa Tenggara Barat, khususnya Lombok dan Sumbawa, berdiri tegak sebuah mahakarya arsitektur tradisional yang sarat makna dan fungsi: Berugak. Lebih dari sekadar bangunan sederhana, berugak adalah simbol kehidupan sosial, budaya, dan spiritual masyarakat Sasak (Lombok) dan Samawa (Sumbawa). Ia bukan hanya tempat berteduh, melainkan jantung komunitas, panggung upacara adat, dan saksi bisu perjalanan generasi.

Artikel ini akan membawa kita menyelami lebih dalam tentang berugak, dari sejarah dan filosofinya yang mendalam, ragam fungsi yang serbaguna, hingga detail arsitektur dan material yang digunakannya. Kita akan menjelajahi bagaimana berugak terus beradaptasi dan lestari di era modern, serta perannya dalam memperkuat identitas budaya masyarakat NTB. Bersiaplah untuk mengenal lebih dekat keunikan berugak, sebuah warisan tak benda yang patut kita banggakan dan lestarikan.

1. Mengenal Berugak: Identitas Arsitektur Tradisional NTB

Secara etimologi, kata "berugak" berasal dari bahasa Sasak yang merujuk pada sebuah bangunan panggung terbuka, tanpa dinding, dengan atap dan lantai yang ditinggikan dari permukaan tanah. Bangunan ini sangat umum ditemukan di pekarangan rumah, sawah, ladang, atau area publik lainnya di Lombok dan Sumbawa. Keberadaannya begitu melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat lokal, menjadikannya lebih dari sekadar struktur fisik, melainkan cerminan identitas budaya dan gaya hidup komunal.

Berugak dikenal dengan kesederhanaan desainnya, namun menyimpan kompleksitas fungsi dan kekayaan filosofi. Materialnya umumnya berasal dari alam sekitar, seperti kayu, bambu, dan atap dari ijuk atau alang-alang, mencerminkan harmoni antara manusia dan lingkungannya. Ukuran dan bentuknya bervariasi, disesuaikan dengan kebutuhan dan status sosial pemiliknya, namun esensi keterbukaannya selalu terjaga.

Di era modern, ketika banyak bangunan didominasi oleh gaya arsitektur kontemporer, berugak tetap bertahan dan bahkan diadopsi ke dalam desain-desain baru, membuktikan relevansi dan nilai estetisnya yang tak lekang oleh waktu. Ia menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini, menjaga tradisi sambil merangkul perubahan.

2. Sejarah dan Filosofi Berugak

Untuk memahami berugak sepenuhnya, kita perlu menelusuri akar sejarah dan filosofi yang membentuknya. Sejarah berugak tidak tercatat secara formal dalam dokumen tertulis, melainkan hidup dalam tradisi lisan, cerita rakyat, dan praktik turun-temurun masyarakat Sasak dan Samawa. Diyakini bahwa berugak telah ada sejak lama, seiring dengan perkembangan peradaban pertanian di pulau-pulau ini, yang membutuhkan tempat istirahat dan berkumpul setelah bekerja di ladang atau sawah.

2.1. Akar Sejarah dan Perkembangan

Berugak diperkirakan berawal dari kebutuhan praktis masyarakat agraris. Setelah seharian membajak sawah, menanam padi, atau memanen hasil kebun, para petani memerlukan tempat yang teduh dan nyaman untuk beristirahat, makan siang, atau sekadar bercengkrama. Dari kebutuhan inilah, muncul ide untuk mendirikan struktur sederhana yang dapat memberikan perlindungan dari sengatan matahari dan curah hujan, sekaligus menjadi titik pertemuan komunal. Seiring waktu, fungsi berugak berkembang melampaui sekadar tempat istirahat, menjadi pusat berbagai aktivitas sosial dan budaya.

Perkembangan berugak juga tidak lepas dari pengaruh kepercayaan animisme dan dinamisme masyarakat terdahulu, yang melihat alam sebagai entitas yang sakral. Pemilihan material alami dan orientasi bangunan seringkali dikaitkan dengan kekuatan alam dan roh leluhur, menciptakan ikatan spiritual antara berugak dan lingkungan sekitarnya. Seiring masuknya agama Hindu dan Islam, beberapa elemen filosofi berugak beradaptasi, namun esensi sebagai ruang komunal tetap terjaga.

2.2. Filosofi Mendalam di Balik Kesederhanaan

Di balik desainnya yang terlihat sederhana, berugak menyimpan filosofi hidup yang sangat mendalam bagi masyarakat Sasak dan Samawa. Filosofi ini mencerminkan nilai-nilai luhur seperti keterbukaan, kebersamaan, kesederhanaan, dan harmoni dengan alam.

"Berugak bukan hanya bangunan, ia adalah cerita tentang kebersamaan, keterbukaan, dan kebijaksanaan lokal yang tak lekang oleh waktu."

Filosofi-filosofi ini tidak hanya menjadi teori, melainkan terwujud dalam setiap aspek pembangunan dan penggunaan berugak, menjadikannya simbol kekayaan budaya yang patut dilestarikan.

3. Fungsi dan Kegunaan Berugak yang Serbaguna

Salah satu aspek paling menonjol dari berugak adalah fungsinya yang sangat beragam. Dari kebutuhan sehari-hari hingga acara-acara khusus, berugak memainkan peran sentral dalam kehidupan masyarakat. Fleksibilitas ini menjadikannya struktur yang tak tergantikan dan terus relevan hingga kini.

3.1. Fungsi Sosial dan Kemasyarakatan

  1. Tempat Menerima Tamu (Bale Beleq): Ini adalah salah satu fungsi utama berugak, terutama di pekarangan rumah. Masyarakat Sasak sangat menjunjung tinggi nilai keramah-tamahan. Berugak menjadi tempat ideal untuk menerima tamu, baik kerabat dekat maupun orang yang baru dikenal. Sifatnya yang terbuka mendorong percakapan yang lebih santai dan akrab. Tamu dapat merasakan sejuknya angin dan suasana pedesaan yang menenangkan. Ini adalah ruang pertama yang menawarkan kesan hangat dan terbuka dari tuan rumah.
  2. Tempat Pertemuan Keluarga dan Komunitas: Berugak seringkali menjadi pusat pertemuan keluarga besar untuk membahas berbagai hal, mulai dari rencana pernikahan, masalah keluarga, hingga urusan pertanian. Di tingkat komunitas, berugak di tengah desa atau di samping masjid dapat menjadi tempat pertemuan warga untuk musyawarah desa, pembahasan adat, atau kegiatan sosial lainnya. Keterbukaannya memungkinkan banyak orang untuk berkumpul dan berpartisipasi dalam diskusi.
  3. Tempat Bersantai dan Bercengkrama (Bale Tiuk): Setelah seharian bekerja keras, berugak menjadi tempat favorit untuk bersantai, melepas lelah, dan bercengkrama dengan anggota keluarga atau tetangga. Anak-anak bermain, orang dewasa berbincang, atau sekadar menikmati secangkir kopi di sore hari. Suara tawa dan obrolan sering terdengar dari berugak, menjadikannya titik vital dalam kehidupan sosial.
  4. Media Sosialisasi dan Pembelajaran Informal: Berugak juga berperan sebagai ruang pendidikan informal. Orang tua dan tetua sering menggunakan berugak untuk menceritakan kisah-kisah leluhur, mengajarkan nilai-nilai adat, atau memberikan nasihat kepada generasi muda. Anak-anak belajar melalui observasi dan partisipasi dalam diskusi orang dewasa, menyerap nilai-nilai budaya secara alami.
  5. Tempat Kegiatan Seni dan Budaya: Beberapa berugak, terutama yang lebih besar, digunakan untuk latihan seni tradisional seperti menenun, memainkan alat musik tradisional (misalnya gendang beleq), atau berlatih tarian adat. Suasana terbuka memungkinkan udara segar dan inspirasi dari alam.

3.2. Fungsi Ekonomi dan Pertanian

  1. Tempat Istirahat Petani di Ladang/Sawah (Berugak Sawah): Ini adalah fungsi orisinal berugak. Di tengah panas terik matahari atau hujan yang tiba-tiba, berugak menjadi penyelamat bagi para petani. Mereka dapat beristirahat sejenak, makan siang yang dibawa dari rumah, atau berlindung dari cuaca ekstrem sebelum melanjutkan pekerjaan. Lokasinya yang strategis di tengah ladang atau sawah memudahkan akses.
  2. Tempat Menjemur Hasil Panen: Lantai berugak yang kering dan tinggi dari tanah seringkali digunakan untuk menjemur hasil panen seperti padi, jagung, cengkeh, atau kopi. Ketinggian berugak melindungi hasil panen dari kelembaban tanah dan hewan pengerat, serta memungkinkan sirkulasi udara yang baik untuk proses pengeringan.
  3. Tempat Menyimpan Peralatan Pertanian Sederhana: Beberapa berugak juga digunakan untuk menyimpan peralatan pertanian ringan seperti cangkul, sabit, atau keranjang, terutama jika lokasinya jauh dari rumah utama.
  4. Sebagai Pos Penjagaan: Di area pertanian yang luas, berugak juga bisa berfungsi sebagai pos penjagaan sementara untuk mengawasi lahan dari hama atau pencuri, terutama saat musim panen tiba.

3.3. Fungsi Ritual dan Adat

Berugak memegang peranan penting dalam berbagai upacara adat dan ritual keagamaan masyarakat Sasak dan Samawa. Dalam konteks ini, berugak bukan hanya ruang fisik, melainkan ruang sakral yang memfasilitasi komunikasi dengan dimensi spiritual dan menjaga kelangsungan tradisi leluhur.

  1. Pusat Upacara Adat Pernikahan: Dalam tradisi pernikahan Sasak, terutama di desa-desa adat, berugak sering digunakan sebagai tempat prosesi penting seperti "nyongkolan" atau "sorong serah". Tamu dan keluarga besar berkumpul di berugak untuk menyaksikan atau berpartisipasi dalam ritual-ritual ini. Berugak menjadi panggung kehormatan bagi calon pengantin dan keluarganya.
  2. Tempat Upacara Kelahiran dan Pemberian Nama: Beberapa keluarga juga menggunakan berugak untuk upacara syukuran kelahiran anak, atau ritual "ngurisang" (memotong rambut bayi pertama kali) dan pemberian nama. Ini melambangkan harapan agar sang anak tumbuh menjadi pribadi yang terbuka dan dekat dengan komunitas.
  3. Ritual Pertanian (Sedekah Bumi): Di beberapa daerah, berugak di tengah sawah atau ladang bisa menjadi tempat persembahan atau doa syukuran (sedekah bumi) sebelum masa tanam atau setelah panen raya, sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan dan alam atas berkah yang diberikan.
  4. Tempat Ritual Pengobatan Tradisional: Dalam praktik pengobatan tradisional, dukun atau balian kadang melakukan ritual penyembuhan di berugak, memanfaatkan suasana tenang dan terbuka untuk fokus pada proses penyembuhan spiritual.
  5. Perayaan Hari Besar Keagamaan: Meskipun masjid atau surau adalah tempat utama ibadah, berugak seringkali menjadi titik kumpul masyarakat sebelum atau sesudah salat Idul Fitri atau Idul Adha, atau untuk acara-acara syukuran keagamaan lainnya. Ini menunjukkan integrasi yang erat antara kehidupan adat dan agama.

Dengan berbagai fungsi ini, berugak bukan hanya bangunan, tetapi juga manifestasi konkret dari nilai-nilai luhur yang dipegang teguh oleh masyarakat NTB. Ia adalah jembatan yang menghubungkan individu dengan keluarga, komunitas, alam, dan dimensi spiritual.

4. Arsitektur dan Material Berugak

Struktur berugak mencerminkan kebijaksanaan arsitektur lokal yang adaptif terhadap iklim tropis dan ketersediaan material. Meskipun terlihat sederhana, setiap detail memiliki alasan fungsional dan estetis.

4.1. Struktur Utama Berugak

Berugak umumnya terdiri dari beberapa komponen utama:

  1. Tiang Penyangga (Soko): Ini adalah elemen paling fundamental dari berugak. Jumlah tiang bervariasi, dan seringkali memiliki makna simbolis atau menunjukkan jenis berugak. Umumnya tiang terbuat dari kayu pilihan yang kuat dan tahan lama. Tiang ini menopang seluruh struktur bangunan, memastikan kestabilan dan ketahanannya terhadap cuaca. Penempatan tiang juga diperhitungkan agar distribusi beban merata.
  2. Lantai Panggung (Balai-balai): Lantai berugak selalu berbentuk panggung, ditinggikan dari permukaan tanah. Ketinggian ini memiliki beberapa keuntungan:
    • Perlindungan dari Kelembaban: Mencegah kelembaban tanah merusak struktur kayu dan memberikan kenyamanan bagi pengguna.
    • Perlindungan dari Hewan: Menjaga pengguna dan barang dari serangga atau hewan kecil yang berkeliaran di tanah.
    • Sirkulasi Udara: Meningkatkan sirkulasi udara alami, menjadikan berugak terasa sejuk meskipun di hari yang panas.
    • Fungsi Kumpul: Lantai yang rata dan luas ini menjadi area utama untuk duduk, berbaring, atau melakukan berbagai aktivitas sosial.
    Lantai umumnya terbuat dari susunan bilah kayu atau bambu yang rapat.
  3. Atap (Bubungan): Atap adalah bagian penting yang memberikan perlindungan dari panas matahari dan hujan. Bentuk atap berugak bervariasi, namun umumnya berbentuk pelana atau limasan. Material atap tradisional adalah ijuk (serabut pohon aren) atau alang-alang (rumput liar), yang dikenal karena sifat insulasinya yang baik, menjaga bagian dalam tetap sejuk. Saat ini, genteng juga sering digunakan. Desain atap yang miring curam membantu aliran air hujan dan mencegah genangan.
  4. Tangga (jika ada): Untuk berugak yang lantainya cukup tinggi, seringkali dilengkapi dengan tangga sederhana, biasanya terbuat dari kayu atau bambu, untuk memudahkan akses naik turun. Jumlah anak tangga bisa bervariasi, terkadang dengan angka ganjil yang memiliki makna filosofis tertentu.

4.2. Material Pembangunan Tradisional

Pemilihan material untuk pembangunan berugak sangat mempertimbangkan ketersediaan lokal, ketahanan, dan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan tropis. Penggunaan material alami adalah kunci, menunjukkan kearifan lokal dalam memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan.

Detail Tiang & Lantai

Kombinasi material-material ini menciptakan berugak yang tidak hanya kokoh dan fungsional, tetapi juga memiliki estetika alami yang selaras dengan lanskap sekitarnya. Setiap material dipilih bukan hanya karena ketersediaannya, tetapi juga karena sifat-sifatnya yang mendukung filosofi kesederhanaan, ketahanan, dan harmoni dengan alam.

5. Jenis-jenis Berugak Berdasarkan Jumlah Tiang dan Fungsi

Berugak tidak hanya memiliki satu bentuk atau ukuran. Ada variasi yang signifikan, terutama dalam jumlah tiang penyangga, yang seringkali merepresentasikan fungsi, status, atau lokasi berugak tersebut.

5.1. Berdasarkan Jumlah Tiang (Soko)

Jumlah tiang pada berugak memiliki makna filosofis dan hierarkis dalam masyarakat Sasak. Semakin banyak tiang, semakin besar dan penting berugak tersebut, seringkali digunakan untuk acara-acara yang lebih formal atau dimiliki oleh keluarga yang dihormati.

  1. Berugak Sekepat (Empat Tiang):
    • Deskripsi: Ini adalah jenis berugak yang paling umum dan sederhana, memiliki empat tiang penyangga yang membentuk persegi. Ukurannya relatif kecil.
    • Fungsi: Biasanya ditemukan di pekarangan rumah sebagai tempat bersantai keluarga, menerima tamu informal, atau di sawah sebagai tempat istirahat petani. Simbol kesederhanaan dan kepraktisan.
    • Filosofi: Empat tiang seringkali diinterpretasikan sebagai empat penjuru mata angin, melambangkan keseimbangan hidup atau empat pilar dalam kehidupan masyarakat.
  2. Berugak Sekenam (Enam Tiang):
    • Deskripsi: Sedikit lebih besar dari sekepat, dengan enam tiang yang membentuk persegi panjang.
    • Fungsi: Digunakan untuk pertemuan keluarga yang lebih besar, diskusi komunitas kecil, atau sebagai berugak tamu di rumah yang lebih luas.
    • Filosofi: Enam tiang dapat melambangkan enam rukun iman (bagi masyarakat muslim) atau enam tingkatan dalam kehidupan sosial, menunjukkan peningkatan kompleksitas dan peran.
  3. Berugak Sebalen (Delapan Tiang):
    • Deskripsi: Lebih besar dan megah, dengan delapan tiang yang membentuk persegi panjang atau persegi.
    • Fungsi: Seringkali digunakan untuk acara adat yang lebih penting, seperti prosesi pernikahan, pertemuan adat besar, atau musyawarah desa. Bisa juga ditemukan di rumah-rumah bangsawan atau tetua adat.
    • Filosofi: Delapan tiang sering dihubungkan dengan delapan arah mata angin dalam kosmologi lokal, melambangkan kelengkapan, kesempurnaan, atau kekuatan dari delapan penjuru.
  4. Berugak Sewelasan (Dua Belas Tiang) atau Lebih:
    • Deskripsi: Jenis berugak terbesar dan paling kompleks, dengan dua belas tiang atau bahkan lebih (seperti Sebelas - 16 tiang). Struktur ini biasanya sangat luas.
    • Fungsi: Sangat jarang ditemukan, biasanya hanya ada di kompleks istana raja atau rumah-rumah adat yang sangat besar, digunakan untuk upacara-upacara kenegaraan tradisional, pertemuan agung para pemangku adat, atau festival besar.
    • Filosofi: Melambangkan kekuasaan, keagungan, persatuan seluruh elemen masyarakat, atau kompleksitas tatanan kosmik yang lebih tinggi.
Sekepat Sekenam Sebalen

5.2. Berdasarkan Lokasi dan Konteks Penggunaan

Selain jumlah tiang, berugak juga dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasinya, yang secara langsung memengaruhi fungsinya.

  1. Berugak di Lingkungan Rumah Tinggal:
    • Berugak Depan (Amben Jajar): Biasanya berukuran lebih besar, berfungsi sebagai ruang tamu utama untuk menerima tamu penting atau mengadakan pertemuan keluarga. Terletak di bagian depan pekarangan rumah.
    • Berugak Belakang (Berugak Dapur): Berukuran lebih kecil, terletak di dekat dapur atau area belakang rumah, sering digunakan untuk aktivitas sehari-hari keluarga seperti makan, bersantai, atau bahkan sebagai tempat menyimpan peralatan dapur atau mengeringkan hasil kebun.
  2. Berugak Sawah/Ladang (Berugak Kebon):
    • Deskripsi: Berugak sederhana, biasanya sekepat atau sekenam, didirikan di tengah sawah atau ladang.
    • Fungsi: Tempat istirahat petani, berteduh, makan siang, atau menjemur hasil panen. Ini adalah salah satu bentuk berugak yang paling fungsional dan esensial bagi kehidupan pertanian.
  3. Berugak di Tempat Umum/Adat:
    • Berugak Umum: Ditemukan di pusat desa, pasar, atau dekat fasilitas umum lainnya, berfungsi sebagai tempat berkumpul masyarakat, menunggu, atau sebagai pos jaga.
    • Berugak Adat: Berugak yang lebih besar dan seringkali memiliki ornamen khusus, terletak di kompleks rumah adat atau dekat balai desa. Digunakan untuk upacara adat besar, musyawarah para pemangku adat, atau pertemuan penting yang melibatkan seluruh komunitas.
    • Berugak Pariwisata: Di area wisata, berugak sering dibangun untuk memberikan pengalaman otentik kepada wisatawan sebagai tempat bersantai, menikmati pemandangan, atau mencicipi kuliner lokal. Desainnya mungkin sedikit dimodifikasi untuk kenyamanan turis, namun tetap mempertahankan esensi tradisional.

Variasi ini menunjukkan betapa berugak terintegrasi secara mendalam dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat NTB, dari urusan pribadi hingga kemasyarakatan, dari ekonomi hingga spiritual.

6. Proses Pembuatan Berugak: Tradisi dan Keahlian Lokal

Pembuatan berugak bukan sekadar mendirikan bangunan, melainkan sebuah proses yang sarat tradisi, melibatkan keahlian turun-temurun, dan seringkali diwarnai semangat gotong royong.

6.1. Tahapan Pembuatan Berugak Tradisional

  1. Pemilihan Lokasi dan Penentuan Orientasi:
    • Lokasi: Lokasi berugak dipilih berdasarkan fungsinya—apakah di pekarangan rumah, sawah, atau tempat umum. Pertimbangan aksesibilitas, pandangan, dan aliran angin sangat penting.
    • Orientasi: Masyarakat tradisional seringkali menentukan orientasi berugak berdasarkan arah mata angin atau posisi gunung berapi (Gunung Rinjani di Lombok), yang dipercaya memiliki makna spiritual atau memberikan energi positif. Arah matahari terbit dan terbenam juga menjadi pertimbangan untuk mendapatkan pencahayaan dan panas yang optimal.
  2. Pemilihan dan Pengumpulan Material:
    • Kayu: Pohon-pohon yang akan digunakan dipilih dengan cermat, biasanya yang sudah tua dan kuat. Penebangan dilakukan dengan ritual tertentu dan seringkali melibatkan proses pengeringan alami untuk mencegah retak.
    • Bambu: Bambu juga dipilih yang sudah cukup umur dan dikeringkan.
    • Ijuk/Alang-alang: Material atap dikumpulkan dan dipersiapkan, diikat rapi dalam ikatan-ikatan kecil siap pasang.
    Kualitas material sangat diperhatikan untuk menjamin ketahanan berugak.
  3. Proses Pengerjaan Struktur Dasar:
    • Pondasi: Tiang-tiang utama (soko) ditanam di atas batu pondasi atau langsung ke tanah, memastikan ketegakan dan kestabilan. Penggunaan batu di bawah tiang kayu sangat penting untuk mencegah kelembaban dan serangan hama.
    • Rangka Bawah: Balok-balok kayu dipasang melintang dan membujur, menghubungkan antar tiang dan membentuk kerangka dasar lantai. Sambungan menggunakan sistem pasak (tanpa paku) atau ikatan tradisional yang kuat.
    • Pemasangan Lantai: Bilah-bilah kayu atau bambu kemudian disusun rapat di atas rangka bawah, diikat atau dipasak, membentuk lantai panggung yang kokoh dan rata.
  4. Pemasangan Rangka Atap dan Penutup Atap:
    • Rangka Atap: Balok-balok kayu tipis disusun membentuk rangka atap sesuai dengan desain (pelana atau limasan). Ketelitian dalam pengerjaan rangka ini sangat penting untuk kekuatan dan bentuk atap.
    • Penutup Atap: Ijuk atau alang-alang diikat satu per satu pada rangka atap, dimulai dari bagian bawah hingga ke puncak. Proses ini membutuhkan kesabaran dan keahlian agar atap rapat, tidak bocor, dan tahan lama. Setiap lapisan ditumpuk sedemikian rupa agar air dapat mengalir dengan baik.
  5. Finishing dan Sentuhan Akhir:

    Setelah semua struktur utama selesai, dilakukan sentuhan akhir seperti penghalusan permukaan kayu, pemasangan tangga, atau penambahan ornamen sederhana jika ada. Tidak ada penggunaan cat atau pernis berlebihan, untuk mempertahankan keaslian material dan filosofi kesederhanaan.

6.2. Peran Gotong Royong (Nyemeke/Begawae)

Dalam masyarakat tradisional Lombok, pembangunan berugak seringkali menjadi ajang bagi praktik gotong royong yang disebut "nyemeke" atau "begawae". Ini adalah sistem kerja sama di mana anggota keluarga, tetangga, dan bahkan seluruh komunitas desa ikut serta membantu tanpa mengharapkan upah materi, melainkan balasan jasa di kemudian hari.

Filosofi di balik nyemeke ini adalah:

Proses nyemeke biasanya dimulai dengan pemilik berugak mengumumkan niatnya kepada kepala desa atau tetua adat, yang kemudian akan mengorganisir warga untuk membantu. Selama proses pembangunan, tuan rumah akan menyediakan makanan dan minuman untuk para pekerja, menciptakan suasana kebersamaan dan kegembiraan. Setelah berugak selesai, seringkali diadakan syukuran kecil sebagai bentuk rasa terima kasih dan peresmian.

Tradisi gotong royong ini tidak hanya memastikan berugak dibangun dengan cepat dan efisien, tetapi juga menanamkan rasa kepemilikan dan kebanggaan komunitas terhadap bangunan tersebut. Ia menjadi simbol nyata dari kekuatan kebersamaan.

7. Berugak dalam Kehidupan Modern: Adaptasi dan Pelestarian

Di tengah arus modernisasi, berugak menunjukkan ketahanan dan kemampuannya untuk beradaptasi, mempertahankan relevansinya tanpa kehilangan identitas aslinya.

7.1. Adaptasi di Era Kontemporer

Meski berakar kuat pada tradisi, berugak tidak beku dalam bentuknya. Ia telah menemukan tempat di berbagai konteks modern:

  1. Arsitektur Resor dan Hotel: Banyak resor dan hotel di Lombok dan Gili Islands mengintegrasikan berugak ke dalam desain mereka. Berugak digunakan sebagai area bersantai di tepi kolam renang, di taman, atau bahkan sebagai bagian dari villa untuk tamu. Ini memberikan sentuhan otentik lokal yang sangat dihargai oleh wisatawan, sekaligus menjaga nuansa sejuk dan alami.
  2. Kafe dan Restoran: Beberapa kafe dan restoran modern mengadopsi konsep berugak sebagai area makan lesehan yang nyaman dan menarik. Ini menciptakan suasana santai, akrab, dan unik yang membedakan mereka dari tempat makan konvensional.
  3. Desain Rumah Modern: Pemilik rumah modern di Lombok seringkali menambahkan berugak kecil di halaman belakang atau teras mereka sebagai area bersantai pribadi atau tempat berkumpul keluarga. Material yang digunakan mungkin bervariasi, kadang menggunakan genteng untuk atap atau beton untuk tiang, namun esensi ruang terbuka tetap terjaga.
  4. Fasilitas Publik dan Ruang Hijau: Berugak juga mulai banyak dibangun di taman kota, area publik, atau kampus sebagai fasilitas untuk bersantai, belajar, atau berinteraksi sosial. Ini menunjukkan pengakuan akan fungsi komunal dan nilai estetika berugak yang universal.
  5. Pusat Kreasi dan Komunitas: Beberapa komunitas seni atau lingkungan menggunakan berugak sebagai ruang serbaguna untuk lokakarya, pertemuan, atau pameran kecil, memanfaatkan suasana terbuka yang inspiratif.

Adaptasi ini seringkali melibatkan penyesuaian material atau desain untuk memenuhi standar modern, namun semangat keterbukaan, kebersamaan, dan kedekatan dengan alam tetap menjadi inti.

7.2. Tantangan dan Upaya Pelestarian

Meskipun mampu beradaptasi, berugak menghadapi berbagai tantangan di era modern, namun ada banyak upaya yang dilakukan untuk melestarikannya.

7.2.1. Tantangan:

7.2.2. Upaya Pelestarian:

Dengan upaya-upaya ini, berugak diharapkan akan terus menjadi bagian integral dari lanskap budaya dan sosial NTB, mewariskan nilai-nilai luhur kepada generasi yang akan datang.

8. Berugak dan Pariwisata Berkelanjutan

Potensi berugak dalam mendukung pariwisata berkelanjutan sangatlah besar. Keunikan arsitektur dan kekayaan filosofinya menawarkan pengalaman otentik yang tidak dapat ditemukan di tempat lain, menjadikannya daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang mencari pengalaman budaya yang mendalam.

8.1. Daya Tarik Wisata Budaya

Berugak menawarkan pandangan langsung ke dalam gaya hidup komunal dan nilai-nilai tradisional masyarakat Sasak dan Samawa. Bagi wisatawan, berugak bukan hanya objek foto, melainkan jendela untuk memahami kearifan lokal. Mereka dapat merasakan langsung bagaimana masyarakat lokal berinteraksi, bersantai, dan menjalankan kehidupan sehari-hari di dalamnya. Desa-desa adat yang masih mempertahankan berugak dalam arsitektur mereka, seperti Sade atau Ende di Lombok, telah menjadi destinasi wisata budaya yang populer. Di sana, wisatawan tidak hanya melihat berugak, tetapi juga dapat berinteraksi dengan penduduk lokal, mendengarkan cerita-cerita, bahkan mencoba menenun atau membuat kerajinan tangan di bawah naungan berugak.

Kehadiran berugak di destinasi wisata juga menciptakan suasana yang tenang, damai, dan "kembali ke alam", yang sangat dicari oleh wisatawan modern yang ingin melepaskan diri dari hiruk pikuk perkotaan. Ini adalah daya tarik yang menjual keaslian dan ketenangan.

8.2. Integrasi Berugak dalam Fasilitas Pariwisata

Integrasi berugak ke dalam fasilitas pariwisata tidak hanya memberikan sentuhan estetika, tetapi juga fungsionalitas. Resor, restoran, dan bahkan bandara di NTB kini banyak yang menampilkan berugak. Berikut adalah beberapa contoh integrasinya:

Pemanfaatan berugak dalam pariwisata ini juga membuka peluang ekonomi bagi masyarakat lokal, yang dapat terlibat dalam pembuatan, pemeliharaan, atau bahkan menjadi pemandu wisata yang menjelaskan tentang berugak dan budayanya.

8.3. Berugak sebagai Simbol Identitas Pariwisata NTB

Berugak telah menjadi salah satu ikon yang kuat untuk mempromosikan pariwisata NTB. Bersama dengan Gunung Rinjani, pantai-pantai indah, dan tenun tradisional, berugak melambangkan kekayaan budaya dan keramah-tamahan masyarakatnya. Citra berugak yang damai, terbuka, dan selaras dengan alam sangat cocok dengan narasi pariwisata berkelanjutan yang mengedepankan pengalaman budaya dan penghargaan terhadap lingkungan.

Dengan mempromosikan berugak, NTB tidak hanya menjual destinasi, tetapi juga sebuah gaya hidup, filosofi, dan warisan budaya yang unik. Hal ini mendorong wisatawan untuk tidak hanya sekadar berkunjung, tetapi juga belajar dan menghargai keunikan lokal, sehingga pariwisata dapat memberikan dampak positif yang lebih besar bagi pelestarian budaya dan lingkungan.

Oleh karena itu, menjaga kelestarian berugak bukan hanya tanggung jawab masyarakat lokal, tetapi juga bagian dari upaya untuk membangun citra pariwisata NTB yang kuat, otentik, dan berkelanjutan di mata dunia.

9. Membangun Berugak di Masa Depan: Inovasi dan Relevansi

Meskipun berakar pada tradisi, berugak memiliki potensi besar untuk terus berkembang dan relevan di masa depan. Inovasi dalam desain, material, dan fungsinya dapat memastikan bahwa berugak tetap menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat, bahkan dalam konteks urban dan modern.

9.1. Inovasi Desain dan Material

Para arsitek dan desainer kontemporer mulai melihat berugak sebagai sumber inspirasi untuk desain yang berkelanjutan dan berakar budaya. Beberapa inovasi yang mungkin terjadi atau sudah mulai terlihat meliputi:

Inovasi ini tidak bertujuan untuk menggantikan bentuk tradisional sepenuhnya, melainkan untuk memperluas jangkauan dan relevansi berugak dalam berbagai konteks, menjadikannya pilihan arsitektur yang menarik dan fungsional di abad ke-21.

9.2. Menjaga Relevansi dalam Konteks Urban

Di tengah kota-kota yang padat, kebutuhan akan ruang komunal yang terbuka dan alami semakin meningkat. Berugak dapat menawarkan solusi yang menarik untuk menciptakan 'oase' di perkotaan:

Membawa berugak ke konteks urban berarti tidak hanya mengadopsi bentuknya, tetapi juga filosofi keterbukaan, kebersamaan, dan kedekatan dengan alam yang melekat padanya. Ini adalah cara untuk menanamkan nilai-nilai tradisional di tengah modernitas, menciptakan kota yang lebih manusiawi dan berbudaya.

Dengan demikian, berugak bukan hanya warisan masa lalu, tetapi juga inspirasi berharga untuk masa depan arsitektur yang lebih manusiawi, berkelanjutan, dan berbudaya.

10. Perbandingan dengan Struktur Serupa di Asia Tenggara

Konsep bangunan panggung terbuka seperti berugak sebenarnya tidak unik sepenuhnya di Indonesia. Berbagai budaya di Asia Tenggara memiliki struktur serupa yang berfungsi sebagai ruang komunal, tempat istirahat, atau pusat kegiatan sosial. Membandingkan berugak dengan struktur ini membantu kita menghargai keunikan dan persamaan budaya di kawasan ini.

10.1. Persamaan dan Perbedaan Utama

Secara umum, banyak struktur serupa memiliki persamaan dalam hal penggunaan material alami, desain panggung, dan fungsi sebagai ruang terbuka. Namun, ada perbedaan signifikan dalam nama, detail arsitektur, dan konteks budayanya.

  1. Gazebo (Filipina, Thailand, dan lainnya, serta pengaruh Barat):
    • Deskripsi: Gazebo adalah struktur taman berdiri bebas, biasanya segi delapan, yang seringkali dilengkapi bangku dan atap dekoratif. Kata "gazebo" sendiri berasal dari bahasa Inggris.
    • Persamaan: Fungsi sebagai tempat berteduh, bersantai, dan menghias taman. Desain terbuka.
    • Perbedaan: Gazebo modern seringkali lebih fokus pada aspek estetika dan rekreasi pribadi. Berugak memiliki fungsi komunal yang lebih kuat, terikat pada upacara adat, dan lebih integral dengan kehidupan sehari-hari masyarakat pedesaan. Material gazebo modern bisa sangat bervariasi, termasuk logam atau plastik, sementara berugak secara tradisional selalu dari material alami.
  2. Bale-Bale (Bali dan Jawa):
    • Deskripsi: Mirip dengan berugak, bale-bale adalah tempat duduk atau berbaring berbentuk panggung rendah yang sering ditemukan di halaman rumah atau di dalam ruangan tradisional Bali dan Jawa.
    • Persamaan: Fungsi sebagai tempat bersantai, menerima tamu, atau tempat tidur siang. Bentuk panggung terbuka.
    • Perbedaan: Bale-bale di Bali seringkali memiliki ornamen ukiran yang lebih rumit dan detail, mencerminkan seni ukir Bali yang kaya. Di Jawa, bale-bale lebih sederhana namun terintegrasi dalam arsitektur joglo atau limasan. Berugak memiliki identitas visual dan filosofis yang sangat khas Sasak/Samawa.
  3. Pendopo (Jawa):
    • Deskripsi: Pendopo adalah bangunan utama di depan rumah adat Jawa, berfungsi sebagai ruang pertemuan, upacara adat, dan pertunjukan seni. Umumnya sangat luas, dengan banyak tiang dan atap piramidal.
    • Persamaan: Ruang komunal terbuka, pusat kegiatan adat dan sosial.
    • Perbedaan: Pendopo jauh lebih besar dan monumental dibandingkan berugak, seringkali merupakan bagian integral dari kompleks keraton atau rumah bangsawan. Filosofinya lebih terikat pada hierarki sosial Jawa yang kompleks. Berugak lebih merakyat dan bisa dimiliki oleh siapa saja.
  4. Salathat (Thailand):
    • Deskripsi: Salathat adalah paviliun terbuka yang ditemukan di kuil-kuil Buddha, istana, atau taman di Thailand, digunakan sebagai tempat istirahat, pertemuan, atau persembahan.
    • Persamaan: Struktur terbuka, fungsi komunal dan spiritual.
    • Perbedaan: Desain Salathat seringkali dihiasi dengan ukiran dan ornamen khas Thailand yang sangat detail, serta pengaruh arsitektur kuil yang kuat. Material dan teknik konstruksinya juga memiliki kekhasan lokal Thailand.
  5. Rumah Panggung Tradisional (Filipina, Malaysia, Kamboja, Vietnam):
    • Deskripsi: Di banyak negara Asia Tenggara, rumah tinggal tradisional dibangun dalam bentuk panggung (stilt house) untuk menghindari banjir dan serangga, serta untuk sirkulasi udara. Bagian bawah panggung seringkali kosong atau digunakan untuk kandang ternak.
    • Persamaan: Konsep panggung sebagai adaptasi terhadap lingkungan tropis.
    • Perbedaan: Berugak adalah bangunan terpisah yang didesain secara khusus sebagai ruang terbuka tanpa dinding, berbeda dengan rumah panggung yang memiliki dinding dan berfungsi sebagai tempat tinggal utama. Berugak lebih pada fungsi tambahan komunal, bukan fungsi hunian inti.

Dari perbandingan ini, kita bisa melihat bahwa konsep ruang terbuka panggung adalah kearifan lokal yang umum di Asia Tenggara sebagai respons terhadap iklim tropis dan kebutuhan sosial. Namun, berugak memiliki keunikan tersendiri dalam kesederhanaan desainnya, material yang sangat lokal, dan kedalaman filosofi kebersamaan serta keterbukaannya yang sangat kental dengan identitas masyarakat Sasak dan Samawa.

Berugak adalah bukti nyata bahwa arsitektur tradisional bukan hanya tentang bentuk fisik, tetapi juga tentang bagaimana sebuah bangunan dapat mencerminkan jiwa dan nilai-nilai sebuah kebudayaan.

Kesimpulan: Berugak, Jantung Budaya yang Tak Lekang Waktu

Dari penelusuran mendalam ini, jelaslah bahwa berugak bukan sekadar bangunan fisik. Ia adalah jantung dari kehidupan sosial, budaya, dan spiritual masyarakat Nusa Tenggara Barat, khususnya suku Sasak di Lombok dan Samawa di Sumbawa. Dengan sejarah yang mengakar kuat pada kebutuhan praktis masyarakat agraris dan filosofi yang mendalam tentang keterbukaan, kebersamaan, kesederhanaan, serta harmoni dengan alam, berugak telah membuktikan relevansinya lintas generasi.

Ragam fungsinya yang luar biasa—mulai dari tempat istirahat petani, ruang menerima tamu, pusat musyawarah adat, hingga panggung upacara sakral—menjadikannya struktur yang esensial. Desain arsitekturnya yang adaptif dengan iklim tropis, serta penggunaan material alami seperti kayu, bambu, ijuk, dan alang-alang, menunjukkan kearifan lokal dalam memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan.

Di era modern, berugak menunjukkan kapasitasnya untuk beradaptasi. Ia tidak hanya bertahan di desa-desa adat, tetapi juga menemukan tempat di resor mewah, kafe urban, hingga desain rumah kontemporer, menjadi simbol estetika lokal yang dihargai secara universal. Meskipun menghadapi tantangan seperti ketersediaan material dan pergeseran nilai, upaya pelestarian melalui edukasi, pariwisata berkelanjutan, dan inovasi desain terus dilakukan untuk memastikan warisan ini tidak punah.

Berugak adalah pengingat akan pentingnya ruang komunal dalam membangun kohesi sosial, mengajarkan kita untuk hidup lebih sederhana, lebih terbuka, dan lebih dekat dengan alam. Ia adalah mahakarya yang terus bernapas, membawa cerita masa lalu dan harapan masa depan bagi masyarakatnya. Melestarikan berugak berarti menjaga api budaya yang telah menyala selama berabad-abad, memastikan bahwa nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya akan terus menginspirasi generasi mendatang.

Semoga artikel ini memberikan pemahaman yang komprehensif tentang keindahan dan kedalaman makna berugak, dan menginspirasi kita semua untuk turut serta menjaga kelestarian warisan budaya yang tak ternilai ini.