Besaoh: Harmoni Gotong Royong Warisan Nusantara
Di tengah hiruk pikuk modernisasi dan individualisme yang kian merajalela, semangat kebersamaan dan tolong-menolong kadang terasa meredup. Namun, di beberapa sudut kepulauan kita, warisan leluhur yang mengedepankan solidaritas masih hidup subur, dijaga dan dilestarikan oleh masyarakatnya. Salah satu tradisi luhur yang memancarkan cahaya persatuan itu adalah Besaoh. Sebuah praktik gotong royong komunal yang telah berakar dalam kehidupan masyarakat di beberapa wilayah Sumatera Selatan, khususnya di daerah seperti Muara Enim, Lahat, Pagaralam, dan sekitarnya. Besaoh bukan sekadar kegiatan tolong-menolong biasa; ia adalah manifestasi kearifan lokal yang mendalam, sebuah filosofi hidup yang mengikat erat individu dengan komunitasnya, manusia dengan alam, dan masa kini dengan tradisi yang telah diwariskan turun-temurun.
Artikel ini akan mengajak Anda menelusuri seluk-beluk Besaoh, mulai dari akar sejarahnya, bagaimana praktik ini dijalankan, nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya, tantangan yang dihadapinya di era modern, hingga upaya-upaya pelestariannya. Dengan memahami Besaoh, kita tidak hanya belajar tentang sebuah tradisi, tetapi juga menemukan kembali makna sejati dari kebersamaan, tanggung jawab sosial, dan harmoni yang seringkali terlupakan.
1. Akar Sejarah dan Filosofi Besaoh
Besaoh, secara harfiah, dapat diartikan sebagai "bersama-sama" atau "berkumpul untuk bekerja." Tradisi ini telah ada sejak zaman nenek moyang masyarakat Sumatera Selatan, khususnya di daerah-daerah yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani, terutama petani padi. Sejarah Besaoh tidak terlepas dari kondisi geografis dan sosial masyarakat pada masa lalu yang sangat bergantung pada sektor pertanian. Keterbatasan alat, tenaga, dan teknologi membuat pekerjaan bertani, seperti mengolah lahan, menanam, hingga memanen, menjadi tugas yang sangat berat jika dilakukan sendiri.
Dari kondisi inilah muncul kebutuhan akan saling bantu-membantu, sebuah kesadaran kolektif bahwa beban berat akan terasa ringan jika dipikul bersama. Maka, Besaoh lahir sebagai solusi adaptif masyarakat untuk bertahan hidup, sekaligus sebagai perekat sosial yang menjaga keutuhan dan harmoni komunitas. Ia bukan sekadar mekanisme kerja, tetapi sebuah sistem nilai yang mengajarkan bahwa setiap individu adalah bagian tak terpisahkan dari komunitas, dan kesejahteraan kolektif adalah tujuan bersama.
Filosofi utama di balik Besaoh adalah gotong royong. Namun, Besaoh memiliki nuansa yang lebih spesifik dibandingkan gotong royong dalam pengertian umum. Dalam Besaoh, bantuan yang diberikan bersifat timbal balik dan sukarela, tanpa mengharapkan upah materiil secara langsung. Konsepnya adalah 'hari ini saya membantu Anda, esok hari Anda akan membantu saya,' atau bahkan 'hari ini saya membantu Anda, dan Anda akan membantu anggota komunitas lain yang membutuhkan'. Ini membentuk sebuah jaring pengaman sosial yang kuat, di mana tidak ada anggota komunitas yang tertinggal atau kesulitan sendirian.
Selain gotong royong, Besaoh juga menanamkan nilai-nilai lain seperti:
- Solidaritas dan Kebersamaan: Memperkuat ikatan antarwarga dan menumbuhkan rasa memiliki terhadap komunitas.
- Musyawarah Mufakat: Sebelum Besaoh dilaksanakan, biasanya ada pertemuan untuk merencanakan dan menyepakati jadwal serta pembagian tugas.
- Tanggung Jawab Sosial: Setiap individu merasa bertanggung jawab terhadap kesejahteraan bersama.
- Keadilan dan Kesetaraan: Bantuan diberikan kepada siapa saja yang membutuhkan, tanpa memandang status sosial.
- Harmoni dengan Alam: Besaoh seringkali selaras dengan siklus alam, khususnya siklus pertanian, menunjukkan penghormatan terhadap lingkungan.
Nilai-nilai ini bukan hanya teoritis, tetapi terinternalisasi dalam setiap gerak dan interaksi selama kegiatan Besaoh berlangsung, membentuk karakter dan etos kerja masyarakat setempat.
2. Mekanisme Pelaksanaan Besaoh
Pelaksanaan Besaoh tidaklah sembarangan, melainkan mengikuti tahapan dan tata cara tertentu yang telah disepakati dan diwariskan secara turun-temurun. Proses ini mencerminkan keteraturan dan kearifan masyarakat dalam mengelola sumber daya dan tenaga.
2.1. Tahap Perencanaan dan Musyawarah
Segala sesuatu dimulai dengan permufakatan. Ketika seorang petani atau keluarga membutuhkan bantuan untuk pekerjaan besar di lahan pertanian mereka, seperti penanaman atau panen, mereka akan mengajukan permohonan kepada tetua adat, kepala dusun, atau langsung kepada warga di sekitar. Proses ini seringkali dilakukan dalam sebuah forum musyawarah informal di balai desa, pos ronda, atau bahkan di teras rumah tetua. Dalam musyawarah ini, hal-hal krusial akan dibahas dan disepakati:
- Penentuan Jadwal: Kapan waktu terbaik untuk melaksanakan Besaoh, mempertimbangkan kondisi cuaca, kesiapan lahan, dan ketersediaan tenaga dari warga lain. Biasanya, dipilih hari yang tidak bentrok dengan kegiatan besar lain.
- Jenis Pekerjaan: Menentukan secara spesifik pekerjaan apa yang akan dilakukan (misalnya, menanam padi, memanen kopi, membersihkan saluran irigasi, membangun rumah, dll.).
- Jumlah Tenaga yang Dibutuhkan: Estimasi berapa banyak orang yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan dalam waktu yang efisien.
- Logistik: Pembahasan mengenai konsumsi (makan siang, kudapan, minuman) yang akan disediakan oleh pemilik hajat sebagai bentuk rasa terima kasih.
Kesepakatan yang dicapai dalam musyawarah ini bersifat mengikat dan dihormati oleh semua anggota komunitas. Ini menunjukkan bagaimana Besaoh juga merupakan praktik demokrasi lokal yang mengedepankan partisipasi dan konsensus.
2.2. Tahap Pelaksanaan di Lapangan
Pada hari yang telah ditentukan, warga yang terlibat akan berkumpul di lokasi pekerjaan sejak pagi hari. Suasana yang tercipta biasanya penuh semangat dan kebersamaan. Pembagian tugas seringkali terjadi secara alami, berdasarkan keahlian atau kesepakatan spontan di lokasi:
- Kerja Sama dalam Pertanian:
- Menanam Padi: Para ibu-ibu atau kaum perempuan biasanya berperan dalam menanam bibit padi dengan cekatan dan rapi, sementara kaum pria mungkin bertugas menyiapkan lahan atau memperbaiki pematang sawah.
- Memanen Hasil Bumi: Saat panen, semua orang bergotong royong. Ada yang memotong tangkai padi dengan arit, ada yang mengikatnya, ada yang mengangkut ke tempat pengumpulan. Untuk komoditas lain seperti kopi, mereka akan memetik bersama-sama.
- Mengolah Lahan: Membajak sawah secara tradisional dengan kerbau atau sapi, atau membersihkan gulma, semua dilakukan dengan tangan-tangan yang cekatan.
- Pekerjaan Non-Pertanian: Besaoh juga dapat diterapkan untuk membangun atau memperbaiki fasilitas umum seperti masjid, jembatan, jalan desa, atau bahkan membantu membangun rumah bagi anggota komunitas yang tertimpa musibah. Dalam konteks ini, pembagian tugas disesuaikan dengan kebutuhan proyek.
Selama bekerja, tidak jarang terdengar canda tawa, cerita-cerita ringan, bahkan nyanyian atau pantun-pantun lokal yang semakin menghidupkan suasana. Rasa lelah seolah sirna digantikan oleh semangat kebersamaan dan kegembiraan. Ini menunjukkan bahwa Besaoh bukan hanya tentang menyelesaikan pekerjaan, tetapi juga tentang merajut ikatan sosial dan menciptakan memori kolektif yang indah.
2.3. Konsumsi dan Hiburan Sederhana
Sebagai bentuk terima kasih, pemilik hajat akan menyediakan makanan dan minuman untuk seluruh warga yang membantu. Makanan ini seringkali disiapkan oleh anggota keluarga pemilik hajat dan dibantu oleh para tetangga perempuan yang tidak ikut bekerja di lapangan. Santapan disajikan secara sederhana, kadang di tengah sawah atau di bawah pohon rindang, namun terasa sangat nikmat karena dinikmati bersama setelah bekerja keras. Momen makan bersama ini menjadi jeda yang penting, di mana interaksi sosial lebih intens terjadi, memperkuat rasa kekeluargaan.
Di beberapa daerah, setelah pekerjaan besar selesai, kadang diikuti dengan hiburan sederhana seperti pertunjukan musik tradisional, cerita rakyat, atau sekadar berkumpul dan bercengkrama hingga petang. Ini adalah penutup yang sempurna untuk hari Besaoh, meninggalkan kesan kebahagiaan dan kebanggaan akan hasil kerja keras kolektif.
3. Ragam Besaoh dan Adaptasinya
Meskipun inti dari Besaoh adalah gotong royong dan tolong-menolong, praktik ini dapat bervariasi dalam bentuk dan nama di berbagai sub-etnis atau desa di Sumatera Selatan. Perbedaan ini mencerminkan adaptasi lokal terhadap kondisi geografis, sosial, dan ekonomi masing-masing wilayah.
3.1. Besaoh dalam Siklus Pertanian
Mayoritas praktik Besaoh masih sangat terikat dengan siklus pertanian, terutama pertanian padi sawah dan ladang. Beberapa contoh spesifik:
- Besaoh Nanam (Menanam): Fokus pada kegiatan penanaman bibit padi atau komoditas pertanian lainnya. Ini adalah fase yang membutuhkan banyak tenaga dan ketelitian, sehingga Besaoh sangat membantu meringankan beban.
- Besaoh Matun (Menyiangi Gulma): Membersihkan rumput liar atau gulma yang tumbuh di antara tanaman padi. Pekerjaan ini memerlukan kesabaran dan ketelatenan.
- Besaoh Ngetam/Ngunci (Memanen): Puncak dari siklus pertanian, di mana hasil panen diambil bersama-sama. Momen ini seringkali dianggap sebagai perayaan hasil kerja keras.
- Besaoh Ngolah Tanah: Membantu mengolah lahan sebelum penanaman, seperti membajak atau meratakan tanah.
Dalam konteks ini, Besaoh menjadi semacam ritual tahunan yang memperbaharui ikatan sosial dan ekonomi masyarakat petani. Keberlangsungan Besaoh memastikan bahwa setiap petani memiliki kesempatan yang sama untuk mengolah lahannya dan mendapatkan hasil panen, tanpa terbebani biaya tenaga kerja yang tinggi.
3.2. Besaoh dalam Kehidupan Sosial Kemasyarakatan
Di luar sektor pertanian, prinsip Besaoh juga diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan sosial:
- Membangun/Memperbaiki Rumah: Ketika ada warga yang membangun atau merenovasi rumah, tetangga dan kerabat akan datang membantu, mulai dari mengangkat material hingga memasang atap.
- Membangun Fasilitas Umum: Pembangunan jembatan, mushola, balai pertemuan, atau perbaikan jalan desa seringkali dilakukan melalui Besaoh, di mana setiap keluarga menyumbangkan tenaga atau kadang sedikit material.
- Persiapan Pesta/Acara Adat: Dalam persiapan hajatan besar seperti pernikahan, sunatan, atau upacara adat, tetangga akan bahu-membahu membantu memasak, menata tenda, atau mengatur logistik lainnya. Ini adalah bentuk Besaoh yang lebih ringan namun tetap krusial dalam mempererat tali silaturahmi.
- Menangani Musibah: Jika ada warga yang tertimpa musibah (misalnya kebakaran, banjir, atau kematian), masyarakat akan segera mengorganisir diri untuk memberikan bantuan, baik berupa tenaga, materi, maupun dukungan moral.
Fleksibilitas Besaoh menunjukkan bahwa nilai-nilai gotong royong dapat diaplikasikan dalam berbagai situasi, menjadikannya sistem pendukung sosial yang komprehensif bagi masyarakat pedesaan.
4. Besaoh dalam Konteks Kearifan Lokal dan Lingkungan
Besaoh tidak hanya tentang interaksi sosial antarmanusia, tetapi juga mencerminkan kearifan masyarakat dalam berinteraksi dengan lingkungan alamnya. Di banyak daerah, Besaoh dijalankan dengan mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan dan keseimbangan ekosistem.
4.1. Siklus Pertanian Berkelanjutan
Tradisi Besaoh secara tidak langsung mendukung praktik pertanian berkelanjutan. Dengan adanya gotong royong, petani cenderung tidak terlalu mengandalkan alat berat atau bahan kimia secara berlebihan karena tenaga manual yang melimpah tersedia. Mereka memanfaatkan pengetahuan tradisional tentang tanah, air, dan iklim untuk menentukan waktu tanam dan panen yang tepat. Penggunaan pupuk organik dan pestisida alami lebih sering dijumpai dalam komunitas yang masih kuat menjalankan Besaoh, karena mereka percaya pada harmoni dengan alam dan menghindari kerusakan jangka panjang.
Misalnya, dalam membersihkan saluran irigasi atau membuat terasering di lahan miring, Besaoh memungkinkan pekerjaan-pekerjaan fisik yang sulit itu terlaksana tanpa perlu merusak struktur tanah atau menggunakan mesin yang berpotensi mencemari. Ini adalah bentuk pengelolaan sumber daya alam secara komunal yang efektif dan ramah lingkungan.
4.2. Pengetahuan Tradisional dan Pelestarian Sumber Daya Alam
Praktik Besaoh seringkali disertai dengan transmisi pengetahuan tradisional dari generasi tua ke generasi muda. Saat bekerja di sawah atau ladang, para sesepuh akan berbagi tips tentang cara menanam yang baik, membaca tanda-tanda alam, mengidentifikasi hama dan penyakit, serta cara mengatasinya secara alami. Pengetahuan ini tidak hanya berguna untuk pertanian, tetapi juga membentuk kesadaran ekologis di kalangan warga.
Misalnya, ada ritual-ritual sederhana sebelum atau sesudah Besaoh yang berkaitan dengan kesuburan tanah atau syukur atas hasil panen. Ini bukan sekadar takhayul, melainkan cara masyarakat menghormati alam dan mengingatkan diri akan ketergantungan mereka pada lingkungan. Penanaman pohon di sekitar sumber air atau pelestarian hutan adat juga kadang dilakukan melalui Besaoh, menunjukkan peran tradisi ini dalam menjaga keberlanjutan sumber daya alam.
5. Tantangan dan Ancaman terhadap Besaoh di Era Modern
Di tengah gelombang modernisasi yang begitu cepat, tradisi Besaoh tidak luput dari berbagai tantangan dan ancaman. Perkembangan zaman membawa perubahan sosial, ekonomi, dan budaya yang secara perlahan mengikis praktik-praktik tradisional ini.
5.1. Migrasi dan Urbanisasi
Salah satu ancaman terbesar adalah migrasi penduduk desa, khususnya kaum muda, ke kota-kota besar untuk mencari pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik. Perpindahan ini mengakibatkan berkurangnya tenaga kerja produktif di desa, yang mana tenaga merekalah yang menjadi tulang punggung pelaksanaan Besaoh. Desa-desa menjadi didominasi oleh penduduk usia lanjut, yang fisik mereka tidak sekuat dulu untuk melakukan pekerjaan berat di pertanian.
Selain itu, generasi muda yang telah merantau ke kota cenderung kehilangan ikatan emosional dan praktis dengan tradisi Besaoh. Mereka mungkin tidak lagi memahami nilai-nilai di baliknya atau tidak memiliki waktu dan kesempatan untuk kembali ke desa dan berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.
5.2. Mekanisasi Pertanian dan Perubahan Gaya Hidup
Perkembangan teknologi pertanian, seperti penggunaan traktor, mesin penanam, dan mesin panen, mengurangi ketergantungan petani pada tenaga manual. Meskipun mekanisasi dapat meningkatkan efisiensi dan mengurangi waktu kerja, ia juga secara langsung mengurangi kebutuhan akan Besaoh. Petani, terutama yang memiliki modal, cenderung memilih menyewa mesin daripada mengandalkan tenaga gotong royong yang memerlukan koordinasi dan waktu yang lebih fleksibel.
Selain itu, perubahan gaya hidup yang semakin individualistis juga menjadi faktor. Masyarakat kini cenderung lebih sibuk dengan pekerjaan masing-masing dan kurang memiliki waktu luang untuk berpartisipasi dalam kegiatan komunal yang tidak memberikan imbalan materiil langsung. Konsep 'waktu adalah uang' semakin mengakar, membuat banyak orang enggan menyumbangkan tenaga tanpa bayaran.
5.3. Komersialisasi dan Degradasi Nilai
Di beberapa tempat, Besaoh mulai mengalami komersialisasi. Alih-alih sukarela, bantuan tenaga mulai dihitung sebagai upah harian. Meskipun ini bisa menjadi solusi bagi petani yang benar-benar kesulitan mendapatkan tenaga, namun hal ini mengikis esensi dari Besaoh sebagai praktik tanpa pamrih dan timbal balik. Ketika uang menjadi faktor utama, nilai-nilai kebersamaan dan solidaritas perlahan memudar, digantikan oleh hubungan kerja yang transaksional.
Selain itu, masuknya budaya konsumerisme dan hiburan modern juga dapat menggeser minat masyarakat dari tradisi lokal. Anak-anak muda mungkin lebih tertarik pada hiburan digital atau budaya populer daripada ikut serta dalam Besaoh atau mempelajari kearifan lokal.
6. Upaya Pelestarian dan Revitalisasi Besaoh
Meskipun menghadapi banyak tantangan, semangat untuk melestarikan dan merevitalisasi Besaoh tetap ada. Berbagai pihak, mulai dari komunitas adat, pemerintah daerah, hingga akademisi, menyadari pentingnya menjaga tradisi ini agar tidak punah.
6.1. Peran Komunitas Adat dan Tokoh Masyarakat
Komunitas adat dan para tetua masyarakat memegang peran sentral dalam menjaga Besaoh. Mereka terus mengadvokasi pentingnya tradisi ini melalui ceramah, pertemuan adat, dan teladan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan aktif mengorganisir Besaoh secara berkala, bahkan untuk kegiatan kecil, mereka menunjukkan bahwa tradisi ini masih relevan dan dibutuhkan.
Melalui musyawarah dan pendidikan informal, mereka berusaha menanamkan kembali nilai-nilai Besaoh kepada generasi muda. Beberapa komunitas bahkan membuat aturan adat yang mengikat untuk memastikan partisipasi warga dalam Besaoh, setidaknya pada momen-momen krusial.
6.2. Dukungan Pemerintah Daerah dan Kebijakan Budaya
Pemerintah daerah di Sumatera Selatan mulai menyadari potensi Besaoh sebagai aset budaya dan sosial. Beberapa inisiatif yang dapat dilakukan atau telah dilakukan meliputi:
- Pengakuan dan Dokumentasi: Mengakui Besaoh sebagai warisan budaya takbenda dan mendokumentasikannya secara resmi untuk tujuan pendidikan dan pelestarian.
- Program Revitalisasi: Mendorong dan mendukung kegiatan Besaoh melalui program-program desa, misalnya dengan menyediakan bantuan logistik sederhana atau mengintegrasikannya ke dalam program pembangunan desa.
- Pariwisata Budaya: Mengembangkan Besaoh sebagai bagian dari paket pariwisata budaya, di mana wisatawan dapat berpartisipasi atau menyaksikan langsung praktik gotong royong ini. Ini tidak hanya melestarikan tradisi tetapi juga membuka peluang ekonomi bagi masyarakat.
Dengan dukungan kebijakan yang tepat, Besaoh dapat mendapatkan ruang dan perhatian yang lebih besar untuk terus hidup dan berkembang.
6.3. Peran Pendidikan dan Media
Pendidikan formal maupun informal memiliki peran penting. Sekolah-sekolah di daerah dapat memasukkan materi tentang Besaoh dan kearifan lokal lainnya ke dalam kurikulum, sehingga generasi muda sejak dini mengenal dan memahami nilai-nilai tersebut. Kegiatan ekstrakurikuler yang melibatkan praktik Besaoh sederhana juga bisa menjadi jembatan.
Media massa dan media sosial juga dapat dimanfaatkan untuk mempromosikan Besaoh. Dokumenter, artikel, atau konten kreatif tentang Besaoh dapat menjangkau audiens yang lebih luas, membangkitkan kesadaran, dan menginspirasi masyarakat untuk kembali mengapresiasi nilai-nilai gotong royong.
Akademisi dan peneliti juga berperan dalam mengkaji Besaoh secara mendalam, menganalisis tantangan dan peluangnya, serta menawarkan solusi-solusi inovatif untuk adaptasi dan pelestariannya di tengah perubahan zaman.
7. Besaoh di Masa Depan: Adaptasi dan Relevansi
Pertanyaan besar yang sering muncul adalah: apakah Besaoh masih relevan di masa depan yang serba cepat dan modern ini? Jawabannya adalah, ya, sangat relevan, namun mungkin dengan adaptasi tertentu.
7.1. Relevansi Nilai-Nilai Besaoh
Nilai-nilai inti dari Besaoh—gotong royong, solidaritas, kebersamaan, musyawarah mufakat, dan tanggung jawab sosial—adalah nilai-nilai universal yang abadi dan sangat dibutuhkan dalam masyarakat manapun. Di era ketika individualisme dan kesenjangan sosial semakin melebar, semangat Besaoh dapat menjadi penawar yang ampuh. Ia mengajarkan kita untuk tidak hanya memikirkan diri sendiri, tetapi juga peduli terhadap orang lain dan lingkungan sekitar.
Dalam konteks modern, semangat Besaoh dapat diadaptasi untuk mengatasi berbagai masalah baru, seperti:
- Pengelolaan Lingkungan: Gotong royong untuk membersihkan sampah, menanam pohon, atau mengelola limbah di desa.
- Penanggulangan Bencana: Membangun kesiapsiagaan bencana di tingkat komunitas dan saling membantu saat terjadi musibah.
- Pengembangan Ekonomi Kreatif: Kolaborasi antarwarga untuk mengembangkan produk lokal, pemasaran bersama, atau pembentukan koperasi.
- Infrastruktur Digital: Membangun dan mengelola akses internet atau fasilitas digital secara komunal di daerah terpencil.
Artinya, Besaoh tidak harus selalu identik dengan pekerjaan di sawah, tetapi semangatnya dapat diimplementasikan dalam berbagai bentuk kolaborasi modern.
7.2. Besaoh sebagai Model Pembangunan Berbasis Komunitas
Besaoh dapat menjadi model yang kuat untuk pembangunan berbasis komunitas. Daripada menunggu bantuan dari pemerintah atau pihak luar, masyarakat dapat mengidentifikasi masalah mereka sendiri dan menyelesaikannya dengan kekuatan kolektif yang terinspirasi dari Besaoh. Ini menumbuhkan kemandirian, rasa memiliki, dan keberdayaan di tingkat desa.
Contohnya, di beberapa desa, Besaoh sudah diterapkan untuk kegiatan non-pertanian seperti pembangunan sanitasi, penyediaan air bersih, atau bahkan pengembangan pendidikan anak usia dini. Dengan demikian, Besaoh bukan hanya melestarikan tradisi, tetapi juga menjadi motor penggerak pembangunan yang berkelanjutan dari bawah.
Penutup
Besaoh adalah lebih dari sekadar tradisi; ia adalah jantung budaya masyarakat Sumatera Selatan yang memancarkan kearifan, solidaritas, dan harmoni. Di dalamnya terkandung pelajaran berharga tentang bagaimana manusia dapat hidup berdampingan, saling membantu, dan menjaga keseimbangan dengan alam.
Meski menghadapi derasnya arus modernisasi, Besaoh memiliki daya tahan yang luar biasa. Ia terus berevolusi, beradaptasi, dan menemukan relevansinya di setiap zaman. Tugas kita, sebagai pewaris nilai-nilai luhur ini, adalah untuk terus menjaga api semangat Besaoh agar tidak padam. Dengan pemahaman yang mendalam, dukungan yang tepat, dan kemauan untuk beradaptasi, Besaoh akan terus menjadi pilar kekuatan sosial dan budaya yang tak ternilai harganya bagi bangsa ini, sebuah warisan kebersamaan yang tak lekang oleh waktu, memancarkan harmoni gotong royong di tengah belantara modernitas.
Semoga artikel ini menginspirasi kita semua untuk merenungkan kembali makna sejati dari kebersamaan dan tolong-menolong, serta mendorong upaya-upaya pelestarian kearifan lokal yang tak terhingga nilainya.