Betahak: Kearifan Lokal Pengolah Sawah untuk Kehidupan

Dalam lanskap pertanian Indonesia yang kaya, tersembunyi berbagai kearifan lokal yang telah diwariskan secara turun-temurun. Salah satu praktik yang memegang peranan vital, khususnya dalam budidaya padi di beberapa wilayah, adalah betahak. Kata ini, yang berasal dari bahasa Sunda, merujuk pada kegiatan penyiangan gulma di sawah secara manual dengan menggunakan alat khusus atau tangan kosong. Lebih dari sekadar metode membersihkan gulma, betahak adalah sebuah sistem pengetahuan, praktik, dan filosofi yang mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat petani, mencerminkan hubungan harmonis antara manusia, alam, dan pangan.

Betahak bukan hanya tentang menghilangkan tanaman pengganggu; ini adalah proses multi-dimensi yang melibatkan pemahaman mendalam tentang ekosistem sawah, siklus hidup padi, jenis-jenis gulma, kondisi tanah, dan manajemen air. Ia mewakili sebuah pendekatan pertanian yang berkelanjutan, meminimalkan ketergantungan pada bahan kimia sintetis dan memaksimalkan potensi alam. Praktik ini menegaskan bahwa keberhasilan panen tidak hanya ditentukan oleh benih unggul atau pupuk, melainkan juga oleh ketekunan, keuletan, dan intervensi manusia yang bijak.

Artikel ini akan membawa kita menyelami dunia betahak secara mendalam. Kita akan mengupas sejarahnya yang panjang, alat-alat yang digunakan, teknik-teknik pelaksanaannya, peran sosial dan ekonomi dalam masyarakat, hingga tantangan yang dihadapi di era modern serta relevansinya untuk masa depan pertanian berkelanjutan. Mari kita telusuri mengapa betahak tetap menjadi harta karun budaya dan praktik agrikultur yang tak ternilai harganya.

Pemandangan sawah hijau dengan pegunungan di latar belakang, mencerminkan lingkungan pertanian betahak.

Pemandangan sawah hijau yang subur, simbol lingkungan tempat praktik betahak dilakukan.

Apa Itu Betahak? Definisi dan Konteks

Secara etimologi, kata betahak berasal dari bahasa Sunda yang secara harfiah dapat diartikan sebagai "membersihkan" atau "mencabut" (gulma) dengan tangan atau alat sederhana. Dalam konteks pertanian, betahak merujuk pada praktik penyiangan gulma di lahan sawah, terutama pada tanaman padi, yang dilakukan secara manual. Ini adalah salah satu kegiatan penting dalam siklus budidaya padi, yang bertujuan untuk menghilangkan tanaman-tanaman liar atau gulma yang berkompetisi dengan padi dalam mendapatkan nutrisi, air, dan cahaya matahari.

Praktik betahak umumnya dilakukan ketika tanaman padi berusia antara 15 hingga 40 hari setelah tanam, tergantung pada kecepatan pertumbuhan gulma dan jenis padi yang dibudidayakan. Penyiangan bisa dilakukan lebih dari satu kali, seringkali dua hingga tiga kali dalam satu musim tanam, untuk memastikan pertumbuhan padi yang optimal. Keteraturan dan ketepatan waktu dalam melakukan betahak sangat menentukan keberhasilan panen, sebab gulma yang tidak ditangani dapat mengurangi hasil panen secara signifikan.

Berbeda dengan metode penyiangan modern yang menggunakan herbisida kimia atau mesin pembajak, betahak adalah metode tradisional yang mengandalkan tenaga manusia. Ini bukan sekadar pilihan tanpa alat canggih, melainkan sebuah filosofi yang mengedepankan keberlanjutan, kesehatan lingkungan, dan kualitas hasil panen. Petani yang melakukan betahak memiliki pemahaman yang mendalam tentang kondisi spesifik lahan mereka, termasuk jenis gulma yang dominan, tekstur tanah, dan tingkat kelembaban, memungkinkan mereka untuk melakukan penyiangan dengan presisi yang tinggi.

Konteks betahak juga meluas hingga ke dimensi sosial dan budaya. Di banyak komunitas pedesaan, betahak sering kali menjadi ajang gotong royong atau kerja sama komunal. Tetangga atau anggota keluarga saling membantu di sawah, menciptakan ikatan sosial yang kuat. Kegiatan ini bukan hanya tentang kerja keras, tetapi juga tentang berbagi tawa, cerita, dan bahkan makanan di tengah teriknya matahari atau sejuknya pagi di sawah. Oleh karena itu, betahak tidak hanya menjaga kesehatan tanaman padi, tetapi juga menjaga kesehatan sosial dan budaya masyarakat petani.

Sejarah dan Evolusi Betahak dalam Pertanian Indonesia

Praktik betahak memiliki akar sejarah yang sangat dalam di Nusantara, seiring dengan dimulainya budidaya padi sawah ribuan tahun lalu. Sebelum masuknya teknologi pertanian modern dan bahan kimia, betahak adalah metode utama dan hampir satu-satunya untuk mengelola gulma di sawah. Sejarahnya erat kaitannya dengan perkembangan peradaban agraris di Indonesia, khususnya di Jawa dan Bali, yang dikenal dengan sistem irigasi subak dan teraseringnya yang rumit.

Akar Historis dan Kearifan Nenek Moyang

Sejak zaman dahulu, masyarakat petani telah menyadari pentingnya mengendalikan gulma. Tanpa pengetahuan modern tentang fotosintesis atau nutrisi tanaman, mereka secara intuitif memahami bahwa tanaman liar berkompetisi dengan tanaman pangan utama. Pengamatan empiris ini mendorong pengembangan alat dan teknik sederhana yang efektif. Betahak, dalam berbagai bentuk dan nama lokal, kemungkinan besar telah dipraktikkan sejak masa kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Jawa, yang catatan prasasti dan relief candinya sering menggambarkan aktivitas pertanian.

Kearifan ini diturunkan dari generasi ke generasi melalui praktik langsung, cerita rakyat, dan ritual-ritual pertanian. Para sesepuh mengajarkan bagaimana mengenali jenis-jenis gulma, kapan waktu terbaik untuk menyingkirkannya, dan bagaimana cara membedakan gulma dari bibit padi muda. Pengetahuan ini menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya petani.

Betahak di Era Kolonial dan Pasca-Kemerdekaan

Selama era kolonial, praktik betahak terus berlanjut, meskipun dengan beberapa perubahan seiring dengan introduksi varietas padi baru atau sistem pertanian yang lebih terstruktur untuk memenuhi kebutuhan ekspor. Namun, esensi penyiangan manual tetap dipertahankan karena keterbatasan teknologi. Setelah kemerdekaan, program intensifikasi pertanian, seperti Revolusi Hijau pada tahun 1960-an dan 1970-an, membawa perubahan signifikan. Pengenalan varietas unggul, pupuk kimia, dan pestisida, termasuk herbisida, mulai mengubah lanskap pertanian tradisional.

Herbisida menawarkan solusi yang lebih cepat dan kurang padat karya untuk pengendalian gulma. Banyak petani beralih ke metode ini, terutama di wilayah-wilayah yang mengalami urbanisasi cepat atau kekurangan tenaga kerja pertanian. Akibatnya, praktik betahak mulai terkikis, dianggap kuno dan tidak efisien oleh sebagian kalangan. Generasi muda kurang tertarik pada pekerjaan fisik yang berat dan lebih memilih profesi lain.

Kebangkitan Minat dan Pertanian Berkelanjutan

Dalam beberapa dekade terakhir, kesadaran akan dampak negatif penggunaan bahan kimia dalam pertanian mulai meningkat. Isu-isu seperti degradasi tanah, resistensi gulma terhadap herbisida, dan kekhawatiran konsumen terhadap residu kimia pada pangan, mendorong munculnya gerakan pertanian organik dan berkelanjutan. Dalam konteks ini, praktik betahak mengalami semacam kebangkitan.

Banyak kelompok petani, lembaga swadaya masyarakat, dan bahkan pemerintah daerah mulai mempromosikan kembali metode tradisional seperti betahak sebagai bagian dari upaya pelestarian lingkungan dan peningkatan kualitas pangan. Betahak dipandang sebagai solusi yang ramah lingkungan, mendukung keanekaragaman hayati, dan menghasilkan produk pertanian yang lebih sehat. Ini bukan hanya tentang kembali ke masa lalu, tetapi tentang mengintegrasikan kearifan lama dengan pemahaman ilmiah modern untuk menciptakan sistem pertanian yang lebih tangguh dan berkelanjutan.

Alat dan Teknik Pelaksanaan Betahak

Pelaksanaan betahak memerlukan pemahaman tentang alat dan teknik yang tepat agar efektif dan efisien. Meskipun seringkali diasosiasikan dengan tangan kosong, ada beberapa alat sederhana namun sangat fungsional yang digunakan dalam praktik ini.

Alat-alat Betahak

Alat utama yang sering digunakan dalam betahak adalah jenis cangkul kecil atau garu tangan. Di Sunda, alat ini sering disebut tajak, landuk, atau bahkan secara umum disebut "betahak" itu sendiri karena identifikasi kuat antara alat dan aktivitasnya. Variasinya tergantung pada daerah, namun prinsip dasarnya sama:

Ilustrasi alat betahak tradisional dan tangkai padi yang subur, melambangkan praktik pertanian manual.

Alat betahak tradisional (tajak) dan tangkai padi, menunjukkan kesederhanaan namun efektivitasnya.

Teknik Pelaksanaan Betahak

Proses betahak tidak dilakukan sembarangan; ada teknik-teknik tertentu yang dikembangkan berdasarkan pengalaman dan pengamatan bertahun-tahun:

  1. Persiapan Lahan: Sebelum penanaman padi, lahan sawah biasanya diolah dan diratakan. Setelah padi ditanam, air dipertahankan pada ketinggian tertentu. Ketinggian air ini penting; terlalu banyak air akan menyulitkan identifikasi gulma, sementara terlalu sedikit air bisa membuat tanah mengeras dan menyulitkan pencabutan gulma.
  2. Waktu Penyiangan: Betahak biasanya dilakukan pada pagi hari atau sore hari saat matahari tidak terlalu terik. Waktu yang paling efektif adalah ketika gulma masih muda dan akarnya belum terlalu dalam atau kuat. Penyiangan pertama dilakukan sekitar 15-20 hari setelah tanam, diikuti oleh penyiangan kedua dan ketiga pada interval 10-15 hari berikutnya, tergantung kondisi gulma.
  3. Posisi dan Gerakan: Petani yang melakukan betahak biasanya membungkuk atau berjongkok, bergerak perlahan di antara barisan padi. Dengan menggunakan tajak, mereka akan memotong atau mencabut gulma dari pangkalnya, seringkali di bawah permukaan air atau tanah dangkal. Gulma yang tercabut biasanya dibiarkan membusuk di sawah sebagai pupuk hijau atau dikumpulkan untuk pakan ternak. Gerakan harus hati-hati agar tidak merusak akar atau batang padi.
  4. Identifikasi Gulma: Salah satu keterampilan krusial adalah kemampuan untuk membedakan antara bibit padi yang baru tumbuh dengan gulma yang mirip. Beberapa gulma, seperti jajagoan (Echinochloa crus-galli), sangat mirip dengan padi muda. Petani tradisional memiliki pengetahuan visual yang tajam untuk membedakan keduanya, seringkali berdasarkan bentuk daun, warna, atau pola pertumbuhan awal.
  5. Pengelolaan Air: Ketinggian air di sawah sangat berpengaruh. Untuk mempermudah penyiangan, air di sawah kadang dikeringkan atau diturunkan levelnya sesaat sebelum betahak, kemudian diisi kembali setelah selesai. Air yang menggenang juga membantu menekan pertumbuhan beberapa jenis gulma dan mempercepat pembusukan gulma yang telah dicabut.

Teknik-teknik ini, meskipun tampak sederhana, membutuhkan pengalaman, kesabaran, dan fisik yang prima. Betahak adalah pekerjaan yang melelahkan namun memberikan hasil yang sangat memuaskan, yaitu sawah yang bersih dan padi yang tumbuh subur.

Peran Sosial dan Ekonomi Betahak

Lebih dari sekadar teknik pertanian, betahak memiliki dimensi sosial dan ekonomi yang mendalam, terutama di masyarakat pedesaan Indonesia. Praktik ini tidak hanya memengaruhi produktivitas lahan, tetapi juga membentuk struktur sosial, nilai-nilai komunal, dan keberlanjutan ekonomi rumah tangga petani.

Dimensi Sosial: Gotong Royong dan Solidaritas

Di banyak daerah, betahak adalah salah satu kegiatan pertanian yang paling sering dilakukan secara gotong royong atau kerja sama saling bantu. Fenomena ini bukan hanya tentang efisiensi kerja, melainkan juga penguatan ikatan sosial. Ketika satu keluarga membutuhkan bantuan untuk menyiangi sawah yang luas, tetangga, kerabat, atau anggota komunitas lain akan datang membantu tanpa mengharapkan upah langsung. Sebagai gantinya, bantuan ini akan dibalas di kemudian hari ketika keluarga lain memerlukan bantuan serupa.

Gotong royong dalam betahak memiliki beberapa fungsi sosial:

Selain gotong royong, betahak juga sering melibatkan pembagian kerja yang tradisional. Wanita dan pria sama-sama terlibat, meskipun kadang ada spesialisasi tugas. Wanita seringkali lebih terampil dalam penyiangan yang detail dan presisi, sementara pria mungkin lebih banyak terlibat dalam persiapan lahan atau tugas yang membutuhkan tenaga lebih besar.

Dampak Ekonomi: Peningkatan Produktivitas dan Kualitas

Dari segi ekonomi, betahak memiliki dampak langsung dan tidak langsung terhadap kesejahteraan petani:

Meskipun membutuhkan investasi waktu dan tenaga yang besar, betahak merupakan strategi ekonomi yang cerdas bagi petani skala kecil yang mengedepankan kualitas, keberlanjutan, dan kemandirian dari input eksternal yang mahal.

Betahak dan Keberlanjutan Lingkungan

Di tengah krisis lingkungan global dan perubahan iklim, praktik pertanian berkelanjutan menjadi semakin relevan. Betahak, sebagai salah satu bentuk kearifan lokal, menawarkan solusi yang selaras dengan prinsip-prinsip keberlanjutan dan ekologi.

Alternatif Ramah Lingkungan untuk Pengendalian Gulma

Peran utama betahak dalam keberlanjutan lingkungan adalah sebagai alternatif pengendalian gulma non-kimiawi. Herbisida sintetis, meskipun efektif secara instan, membawa berbagai dampak negatif:

Betahak menghindari semua masalah ini. Dengan penyiangan manual, tidak ada bahan kimia yang masuk ke lingkungan. Gulma yang dicabut dapat dibiarkan membusuk di sawah, mengembalikan nutrisi ke tanah dan meningkatkan bahan organik. Ini membantu menjaga siklus nutrisi alami dan kesehatan ekosistem sawah secara keseluruhan.

Meningkatkan Kesehatan dan Struktur Tanah

Proses betahak tidak hanya mencabut gulma, tetapi juga secara tidak langsung berkontribusi pada kesehatan tanah. Ketika petani bergerak di antara barisan padi dan mengolah tanah dengan tajak atau tangan, mereka melakukan aerasi ringan pada lapisan permukaan tanah. Aerasi ini penting untuk:

Dengan demikian, betahak adalah praktik holistik yang tidak hanya mengatasi gulma, tetapi juga merawat tanah, menjadikannya lebih subur dan produktif secara alami.

Mendukung Keanekaragaman Hayati Lahan Sawah

Ekosistem sawah yang dikelola secara tradisional, seperti yang menerapkan betahak, cenderung memiliki keanekaragaman hayati yang lebih tinggi dibandingkan dengan sawah yang dikelola secara intensif dengan bahan kimia. Keanekaragaman ini mencakup:

Betahak, dengan demikian, merupakan contoh nyata bagaimana praktik pertanian tradisional dapat menjadi kunci untuk menciptakan sistem pangan yang tidak hanya produktif tetapi juga harmonis dengan alam.

Tantangan dan Masa Depan Betahak

Meskipun memiliki nilai historis, budaya, dan ekologis yang tak terbantahkan, praktik betahak menghadapi berbagai tantangan di era modern. Namun, di tengah tantangan ini, muncul pula peluang dan harapan untuk masa depannya.

Tantangan Modern

Beberapa tantangan utama yang dihadapi betahak meliputi:

Peluang dan Relevansi untuk Masa Depan

Meskipun menghadapi tantangan, betahak juga memiliki peluang besar dan relevansi yang semakin meningkat di masa depan:

Ilustrasi petani yang sedang melakukan betahak di sawah, bekerja keras untuk merawat tanamannya.

Petani melakukan betahak di sawah, sebuah praktik yang membutuhkan ketekunan dan kerja keras.

Strategi Pelestarian dan Pengembangan

Untuk memastikan betahak tetap relevan dan lestari, beberapa strategi dapat diimplementasikan:

Dengan upaya kolektif, betahak bukan hanya akan bertahan sebagai warisan masa lalu, tetapi juga akan terus berkembang sebagai solusi masa depan untuk pertanian yang lebih sehat, berkelanjutan, dan berdaya saing.

Betahak dalam Konteks Pertanian Global

Meskipun istilah "betahak" spesifik untuk konteks Indonesia, terutama Sunda, praktik penyiangan gulma manual adalah fenomena global yang ditemukan di berbagai budaya pertanian di seluruh dunia. Variasinya mungkin berbeda dalam nama, alat, atau teknik, tetapi filosofi dasarnya sama: intervensi manusia yang cermat untuk memelihara tanaman pangan.

Paralel dengan Praktik Pertanian Tradisional Lainnya

Di Asia, khususnya di negara-negara produsen padi seperti Filipina (misalnya dengan alat weeder manual), Vietnam, Thailand, dan India, petani juga telah lama mempraktikkan penyiangan gulma secara manual. Di Jepang, ada tradisi penyiangan tangan yang sangat teliti, terutama dalam budidaya padi organik atau beras berkualitas tinggi. Di Afrika dan Amerika Latin, petani juga menggunakan alat sederhana dan tangan untuk membersihkan lahan dari gulma di berbagai tanaman pangan.

Kesamaan praktik ini di seluruh dunia menunjukkan bahwa betahak adalah respons alami dan universal terhadap tantangan gulma dalam pertanian. Ini adalah bukti kearifan petani yang, terlepas dari perbedaan geografis dan budaya, mencapai solusi serupa berdasarkan pengamatan dan pengalaman praktis.

Relevansi di Era Modernisasi Pertanian

Pada abad ke-20, Revolusi Hijau mempopulerkan penggunaan herbisida sebagai cara yang "efisien" untuk mengendalikan gulma. Namun, seiring waktu, dampak negatif dari pendekatan ini menjadi semakin jelas. Resistensi gulma, kerusakan lingkungan, dan kekhawatiran kesehatan mendorong pencarian alternatif. Dalam konteks inilah, praktik seperti betahak kembali menarik perhatian ilmuwan pertanian, pembuat kebijakan, dan konsumen.

Betahak menawarkan model pertanian yang lebih resilien dan adaptif terhadap perubahan. Ini adalah contoh sempurna dari pertanian presisi yang dilakukan secara manual, di mana petani membuat keputusan berdasarkan kondisi mikro lahan mereka. Di era yang menuntut sistem pangan yang lebih berkelanjutan, aman, dan berkeadilan, betahak menjadi inspirasi global untuk membangun kembali hubungan yang lebih sehat antara manusia dan makanan yang mereka konsumsi.

Integrasi Pengetahuan Tradisional dan Sains Modern

Masa depan betahak dan praktik pertanian tradisional lainnya kemungkinan besar terletak pada integrasi dengan sains modern. Penelitian dapat membantu memahami mekanisme ekologis di balik efektivitas betahak, mengidentifikasi gulma spesifik, dan mengembangkan varietas padi yang lebih toleran terhadap penyiangan manual atau lebih kompetitif terhadap gulma. Inovasi juga dapat berfokus pada pengembangan alat bantu yang meringankan beban fisik betahak tanpa mengorbankan prinsip-prinsip keberlanjutan.

Misalnya, penggunaan robot penyiang gulma kecil yang bertenaga surya, yang meniru gerakan penyiangan manual, mulai dikembangkan di beberapa negara maju. Meskipun ini adalah teknologi tinggi, esensinya meniru efisiensi dan ketepatan intervensi manual yang telah lama dipraktikkan melalui betahak. Ini menunjukkan bahwa kearifan lama dapat menjadi fondasi bagi inovasi baru.

Aspek Budaya dan Filosofis Betahak

Betahak bukan hanya teknik praktis, tetapi juga cerminan dari filosofi hidup dan nilai-nilai budaya masyarakat Sunda dan petani di Indonesia pada umumnya. Aktivitas ini mengajarkan kesabaran, ketekunan, dan hubungan mendalam dengan alam.

Nilai-nilai Filosofis

Dalam praktik betahak terkandung beberapa nilai filosofis yang penting:

Betahak dalam Ekspresi Budaya

Aktivitas pertanian, termasuk betahak, seringkali menjadi inspirasi bagi berbagai ekspresi budaya. Meskipun tidak selalu terekam secara formal, nyanyian kerja (kawih rengkong atau sejenisnya), pantun, atau cerita rakyat seringkali menyertai kegiatan di sawah. Nyanyian ini dapat berfungsi untuk:

Selain itu, betahak juga mengajarkan pentingnya kearifan lokal dalam mengatasi masalah. Sebelum ada solusi kimiawi yang mudah, nenek moyang kita telah mengembangkan metode yang cerdas dan berkelanjutan. Praktik ini adalah pengingat bahwa seringkali solusi terbaik sudah ada dalam warisan budaya kita.

Dalam dunia yang semakin cepat dan serba instan, betahak adalah pengingat akan nilai-nilai yang berharga: kesabaran, kerja keras, kebersamaan, dan rasa hormat terhadap alam. Melalui praktik ini, kita tidak hanya memelihara tanaman padi, tetapi juga memelihara jiwa dan budaya kita.

Penutup: Betahak, Jembatan Masa Lalu dan Masa Depan

Perjalanan kita menelusuri seluk-beluk betahak mengungkapkan sebuah praktik pertanian yang jauh melampaui sekadar pekerjaan fisik. Betahak adalah pilar kearifan lokal yang menopang ketahanan pangan, memperkuat ikatan sosial, dan menjaga keseimbangan ekologis di banyak komunitas petani di Indonesia. Dari definisi dasarnya sebagai penyiangan gulma manual hingga akarnya yang dalam dalam sejarah agraris Nusantara, betahak telah membentuk lanskap pertanian dan budaya selama berabad-abad.

Kita telah melihat bagaimana alat sederhana seperti tajak, dipadu dengan teknik yang teliti dan pengetahuan mendalam tentang ekosistem sawah, dapat menghasilkan panen yang subur tanpa merusak lingkungan. Peran sosial betahak, yang terwujud dalam tradisi gotong royong, menyoroti pentingnya kebersamaan dan solidaritas dalam menghadapi tantangan pertanian. Secara ekonomi, betahak menawarkan jalan menuju produktivitas berkelanjutan dan kemandirian dari input luar yang mahal, sekaligus meningkatkan kualitas pangan yang dihasilkan.

Namun, di era modern ini, betahak menghadapi gelombang tantangan: daya saing herbisida kimia, berkurangnya tenaga kerja pertanian, dan pergeseran pola pikir ke arah "kemajuan" yang seringkali mengabaikan nilai-nilai tradisional. Kendati demikian, muncul pula harapan baru. Kebangkitan pertanian organik, meningkatnya kesadaran konsumen akan pangan sehat, dan pencarian solusi berkelanjutan untuk krisis iklim global, memberikan peluang emas bagi betahak untuk kembali bersinar. Ia adalah sebuah contoh nyata bahwa solusi terbaik seringkali ditemukan dalam praktik yang telah teruji waktu, yang selaras dengan alam.

Betahak adalah lebih dari sekadar metode penyiangan; ia adalah sebuah warisan. Ia mengajarkan kita tentang kesabaran, ketekunan, rasa syukur, dan hubungan harmonis dengan alam. Melalui setiap gerakan tajak dan setiap cabutan gulma, petani tidak hanya menumbuhkan padi, tetapi juga memelihara nilai-nilai yang membentuk fondasi masyarakat yang kuat dan berkelanjutan.

Oleh karena itu, adalah tanggung jawab kita bersama untuk memahami, menghargai, dan mendukung pelestarian betahak. Ini bukan hanya tentang menjaga tradisi, tetapi tentang menjembatani kearifan masa lalu dengan kebutuhan masa depan. Dengan demikian, betahak dapat terus menjadi sumber kehidupan, inspirasi, dan harapan bagi generasi mendatang, memastikan bahwa sawah-sawah di Nusantara akan tetap hijau, subur, dan lestari, menghasilkan pangan yang bermartabat untuk semua.