Biatah: Jejak Budaya dan Sejarah Suku Dayak Bidayuh yang Memukau

Baruk (Rumah Panjang Tradisional)
Ilustrasi Baruk atau rumah panjang tradisional suku Biatah, pusat kehidupan komunal dan ritual.

Di jantung Borneo, pulau dengan keanekaragaman hayati dan budaya yang tak terhingga, terhampar permadani kehidupan suku-suku adat yang memegang teguh tradisi leluhur mereka. Salah satu permata dalam mosaik budaya ini adalah suku Biatah, sebuah komunitas yang merupakan bagian integral dari kelompok etnis Dayak Bidayuh. Mereka dikenal karena bahasa yang unik, adat istiadat yang kaya, serta ikatan kuat dengan tanah dan alam sekitarnya. Artikel ini akan membawa kita menyelami dunia Biatah, mengungkap jejak sejarah, keindahan budaya, dan tantangan yang mereka hadapi di era modern.

Suku Biatah, seperti banyak kelompok Dayak lainnya, memiliki sejarah panjang yang terukir dalam mitos, legenda, dan cerita lisan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Kisah-kisah ini seringkali berbicara tentang migrasi, perjuangan, dan adaptasi di tengah hutan hujan tropis yang lebat. Kehidupan mereka terikat erat dengan siklus alam, di mana setiap aspek kehidupan, dari menanam padi hingga upacara kelahiran dan kematian, diatur oleh keyakinan spiritual dan ritual yang mendalam. Memahami Biatah berarti memahami salah satu pilar kebudayaan Borneo yang tak ternilai harganya.

Pendahuluan: Mengenal Biatah dan Latar Belakang Geografisnya

Suku Biatah merupakan salah satu sub-etnis dari kelompok Dayak Bidayuh, yang secara harfiah berarti "penduduk daratan" atau "orang darat". Kelompok Bidayuh sendiri tersebar di wilayah Sarawak, Malaysia, dan sebagian kecil di Kalimantan Barat, Indonesia. Khususnya Biatah, mereka umumnya mendiami wilayah di sekitar Serian, Padawan, dan beberapa daerah perbatasan di Sarawak, serta di beberapa komunitas di sisi Kalimantan Barat yang berdekatan. Identitas mereka kuat, ditandai dengan dialek bahasa Bidayuh yang khas, yaitu dialek Biatah, yang membedakannya dari sub-etnis Bidayuh lainnya seperti Jagoi, Selako, atau Bukar-Sadong.

Geografi tempat tinggal mereka sebagian besar terdiri dari perbukitan, lembah sungai, dan hutan hujan tropis yang subur. Kondisi geografis ini telah membentuk cara hidup mereka selama berabad-abad, mendorong mereka untuk mengembangkan pengetahuan yang mendalam tentang flora dan fauna lokal, teknik pertanian tadah hujan yang berkelanjutan (terutama padi bukit), serta sistem sosial yang berpusat pada komunitas dan gotong royong. Akses yang terbatas ke dunia luar di masa lalu juga turut melestarikan banyak aspek budaya Biatah yang otentik hingga saat ini.

Keberadaan mereka di wilayah perbatasan antara dua negara, Malaysia dan Indonesia, menambah dimensi unik pada identitas mereka. Meskipun garis politik memisahkan, ikatan kekerabatan, budaya, dan sejarah seringkali melintasi batas-batas ini, menciptakan jaringan komunitas yang saling terkait. Pemahaman mendalam tentang lanskap sosial dan geografis ini sangat penting untuk mengapresiasi keunikan dan ketahanan budaya suku Biatah.

Sejarah dan Asal Usul Suku Biatah

Sejarah lisan suku Biatah, seperti banyak suku adat lainnya, diwarnai dengan cerita-cerita migrasi dan perjuangan. Konon, nenek moyang mereka berasal dari dataran tinggi yang kemudian menyebar ke lembah-lembah sungai. Salah satu kisah populer menceritakan tentang asal-usul dari sebuah tempat bernama 'Gunung Bung Bratak', sebuah situs keramat bagi banyak kelompok Bidayuh, termasuk Biatah. Dari sana, mereka menyebar mencari lahan subur dan tempat tinggal yang aman dari ancaman suku lain atau serangan hewan buas.

Periode Pra-Kolonial: Kehidupan Komunal dan Peperangan Suku

Sebelum kedatangan bangsa Eropa, kehidupan suku Biatah didominasi oleh sistem komunal yang kuat. Mereka tinggal di rumah panjang atau 'baruk' yang menjadi pusat kehidupan sosial, ekonomi, dan spiritual. Pertanian padi bukit adalah tulang punggung ekonomi mereka, dilengkapi dengan berburu, memancing, dan mengumpul hasil hutan. Masa ini juga ditandai dengan seringnya konflik antar-suku, di mana perburuan kepala (ngayau) merupakan praktik yang lazim untuk menunjukkan keberanian, membalas dendam, atau mendapatkan status sosial.

Struktur sosial mereka cenderung egaliter, meskipun ada pemimpin yang dihormati (ketua kampung atau 'orang kaya') yang bertanggung jawab atas pengelolaan desa, ritual, dan penyelesaian sengketa. Keputusan penting selalu diambil melalui musyawarah mufakat di antara para tetua adat. Sistem kepercayaan mereka adalah animisme, di mana roh-roh diyakini menghuni alam, dan upacara-upacara dilakukan untuk memohon perlindungan atau keberkahan dari roh-roh tersebut.

Pengaruh Kolonial: Kedatangan James Brooke dan Misi Kristen

Abad ke-19 membawa perubahan besar dengan kedatangan James Brooke, seorang petualang Inggris yang kemudian menjadi Raja Putih Sarawak. Pemerintahan Brooke membawa perdamaian relatif dengan melarang praktik perburuan kepala, yang secara signifikan mengubah dinamika sosial antar-suku. Batas-batas wilayah mulai ditetapkan, dan sistem administrasi yang lebih terstruktur diperkenalkan. Bagi suku Biatah, ini berarti akhir dari era konflik antar-suku yang konstan, namun juga awal dari pengaruh budaya luar.

Bersamaan dengan pemerintahan Brooke, misi-misi Kristen mulai masuk ke wilayah Bidayuh. Misionaris dari berbagai denominasi, terutama Anglikan dan Katolik, memperkenalkan agama Kristen. Proses Kristenisasi ini berlangsung secara bertahap, dan banyak orang Biatah mulai memeluk agama baru ini. Meskipun demikian, elemen-elemen kepercayaan animisme lama seringkali masih terjalin dalam praktik keagamaan mereka, menciptakan sinkretisme budaya yang unik. Pendidikan formal juga mulai diperkenalkan oleh para misionaris, membuka jalan bagi generasi Biatah untuk mendapatkan akses ke pengetahuan modern.

Masa Kemerdekaan dan Pembangunan Modern

Pasca-Perang Dunia II dan setelah pembentukan Malaysia pada tahun 1963, suku Biatah, seperti komunitas adat lainnya, menghadapi tantangan dan peluang pembangunan modern. Infrastruktur seperti jalan, listrik, dan air bersih mulai masuk ke desa-desa mereka, meskipun seringkali lambat. Akses ke pendidikan dan layanan kesehatan meningkat, memungkinkan generasi muda Biatah untuk mencari pekerjaan di kota-kota besar.

Namun, pembangunan juga membawa dampak. Penebangan hutan untuk perkebunan kelapa sawit dan industri lainnya mengancam mata pencarian tradisional dan lingkungan mereka. Perebutan lahan adat menjadi isu sensitif. Di sisi lain, semakin banyak orang Biatah yang berhasil dalam pendidikan dan profesional, menjadi dokter, guru, insinyur, dan pemimpin komunitas, yang berupaya menjembatani kesenjangan antara tradisi dan modernitas.

Budaya dan Adat Istiadat Suku Biatah

Kebudayaan Biatah adalah tapestry yang kaya akan tradisi, bahasa, seni, dan ritual yang mencerminkan hubungan mendalam mereka dengan alam dan leluhur. Ini adalah jantung dari identitas mereka.

Bahasa Biatah: Sebuah Warisan Linguistik

Bahasa Biatah adalah dialek dari rumpun bahasa Bidayuh, yang merupakan bagian dari keluarga bahasa Austronesia. Dialek ini memiliki ciri khas fonologis dan leksikal yang membedakannya dari dialek Bidayuh lainnya. Bahasa ini adalah media utama untuk menyampaikan pengetahuan, sejarah lisan, dan nilai-nilai budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Namun, seperti banyak bahasa minoritas di dunia, bahasa Biatah menghadapi tantangan serius dari dominasi bahasa nasional (Bahasa Malaysia) dan global (Bahasa Inggris), terutama di kalangan generasi muda yang terpapar media modern.

Upaya pelestarian bahasa meliputi pengajaran di rumah, penggunaan dalam upacara adat, dan kadang-kadang inisiatif komunitas untuk mendokumentasikan kosa kata dan tata bahasa. Pentingnya bahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai gudang pengetahuan lokal, mitos, dan cara pandang dunia Biatah.

Sistem Kepercayaan dan Ritual

Meskipun sebagian besar suku Biatah saat ini memeluk agama Kristen, jejak-jejak animisme dan kepercayaan tradisional masih sangat kuat. Dalam sistem kepercayaan tradisional, alam semesta dihuni oleh berbagai roh (semangat) — baik yang baik maupun yang jahat — serta arwah leluhur. Roh-roh ini diyakini mempengaruhi keberuntungan panen, kesehatan, dan nasib individu.

Upacara Panen Padi (Gawai Padi)

Gawai Padi adalah salah satu ritual terpenting dalam kehidupan Biatah. Ini adalah perayaan setelah panen padi, ungkapan terima kasih kepada roh padi (semangat padi) dan dewa-dewa yang telah memberikan panen melimpah. Upacara ini melibatkan persembahan makanan dan minuman (termasuk tuak, arak beras tradisional), tarian, musik, dan doa oleh tetua adat atau pemimpin ritual. Gawai Padi bukan hanya perayaan, tetapi juga cara untuk memperbarui ikatan spiritual dengan alam dan memastikan kesuburan tanah untuk musim tanam berikutnya.

Upacara Kelahiran, Pernikahan, dan Kematian

Setiap tahapan kehidupan manusia dalam budaya Biatah diiringi dengan serangkaian ritual. Upacara kelahiran bertujuan untuk melindungi bayi dari roh jahat dan memberinya nama yang baik. Pernikahan, meskipun kini banyak dipengaruhi oleh tata cara Kristen, secara tradisional melibatkan negosiasi antara keluarga mempelai, pertukaran hadiah, dan upacara untuk menyatukan dua jiwa. Ritual kematian sangat kompleks, dirancang untuk memastikan perjalanan arwah ke alam baka dengan damai dan untuk menenangkan keluarga yang ditinggalkan. Praktik-praktik ini menegaskan pentingnya siklus kehidupan dan kematian dalam pandangan dunia Biatah.

Baruk: Pusat Spiritual dan Sosial

Baruk adalah rumah bulat atau persegi yang biasanya dibangun di atas tiang tinggi, berfungsi sebagai balai pertemuan komunal dan tempat penyimpanan tengkorak (hasil ngayau di masa lalu). Lebih dari sekadar bangunan fisik, baruk adalah jantung spiritual desa. Di sinilah ritual-ritual penting dilakukan, keputusan komunitas diambil, dan pemuda diajari nilai-nilai budaya. Meskipun praktik perburuan kepala telah lama ditinggalkan, baruk tetap menjadi simbol identitas dan kontinuitas budaya Biatah.

Figur Penari Tradisional Biatah
Ilustrasi figur penari atau pejuang tradisional Biatah, melambangkan kekuatan dan keanggunan budaya.

Seni Pertunjukan: Musik dan Tari

Musik dan tari adalah ekspresi vital dari budaya Biatah. Alat musik tradisional meliputi gong, gendang, serunai (sejenis suling), dan engkerurai (sejenis alat musik tiup multifungsi). Musik sering mengiringi upacara adat, festival, atau sekadar hiburan komunal. Tarian Biatah biasanya dinamis dan ekspresif, seringkali meniru gerakan hewan atau menceritakan kisah-kisah heroik atau kehidupan sehari-hari.

Tarian perayaan seperti tarian Gawai Padi melambangkan kegembiraan dan rasa syukur. Ada pula tarian yang lebih serius, dilakukan dalam konteks ritual penyembuhan atau upacara penghormatan leluhur. Gerakan yang berulang, irama yang kuat, dan kostum tradisional yang berwarna-warni menciptakan tontonan yang memukau dan penuh makna.

Pakaian Adat dan Ornamen

Pakaian adat Biatah sangat khas, terbuat dari bahan alami seperti kulit kayu atau tenunan kapas yang dihias dengan manik-manik, kerang, dan bordiran yang rumit. Wanita mengenakan rok panjang yang dihias indah, blus, dan hiasan kepala yang bervariasi. Pria sering mengenakan cawat (bahagian), jaket kulit kayu, dan topi yang dihiasi bulu burung. Perhiasan tradisional seperti kalung manik-manik, gelang tembaga, dan anting-anting berat juga merupakan bagian penting dari identitas mereka.

Setiap ornamen dan pola pada pakaian seringkali memiliki makna simbolis, merepresentasikan status sosial, klan, atau kepercayaan spiritual. Pakaian adat ini tidak hanya dipakai saat upacara dan festival, tetapi juga menjadi bagian dari warisan yang dijaga dan ditampilkan dengan bangga, terutama dalam acara-acara kebudayaan modern.

Kerajinan Tangan dan Kesenian

Suku Biatah juga terkenal dengan keterampilan kerajinan tangan mereka. Anyaman rotan dan bambu menghasilkan berbagai benda fungsional dan artistik seperti keranjang, topi, dan tikar. Ukiran kayu sering digunakan untuk membuat figur-figur spiritual atau dekorasi rumah. Manik-manik ditenun menjadi perhiasan yang indah atau diaplikasikan pada pakaian. Kerajinan ini tidak hanya memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi juga menjadi sarana ekspresi artistik dan pelestarian pola-pola tradisional yang diwariskan.

Struktur Sosial dan Ekonomi

Kehidupan sosial dan ekonomi suku Biatah secara tradisional didasarkan pada prinsip komunal, meskipun terjadi pergeseran signifikan seiring modernisasi.

Organisasi Masyarakat dan Kepemimpinan

Unit dasar masyarakat Biatah adalah keluarga besar yang tinggal dalam satu rumah panjang atau beberapa rumah tangga yang berdekatan. Setiap desa (kampung) memiliki seorang kepala desa atau 'Tuai Rumah' (secara harfiah 'pemilik rumah', merujuk pada kepala rumah panjang) yang dihormati. Pemimpin ini bertanggung jawab atas administrasi desa, menjaga ketertiban, dan menjadi jembatan antara komunitas dan pemerintah luar.

Selain Tuai Rumah, ada juga tetua adat ('Orang Kaya' atau 'Pemanca') yang berperan dalam ritual, menjaga hukum adat (adat istiadat), dan menyelesaikan sengketa berdasarkan tradisi. Keputusan penting seringkali diambil secara kolektif melalui musyawarah dewan tetua. Solidaritas komunitas sangat kuat, tercermin dalam praktik gotong royong (bedurok) untuk membantu sesama dalam pekerjaan pertanian atau pembangunan.

Mata Pencarian Tradisional

Pertanian subsisten, khususnya budidaya padi bukit, adalah inti dari ekonomi tradisional Biatah. Siklus hidup mereka sangat terikat pada musim tanam dan panen padi. Selain padi, mereka juga menanam tanaman lain seperti jagung, ubi, dan sayuran untuk konsumsi pribadi. Berburu binatang hutan, memancing di sungai, dan mengumpul hasil hutan seperti rotan, damar, dan buah-buahan liar melengkapi diet dan menyediakan bahan baku untuk kerajinan tangan.

Sistem ini bersifat mandiri dan berkelanjutan, dengan pengetahuan mendalam tentang ekosistem hutan yang diwariskan secara lisan. Pembagian kerja umumnya berdasarkan gender, dengan pria bertanggung jawab untuk pekerjaan berat seperti membersihkan hutan dan berburu, sementara wanita fokus pada pertanian, mengumpul, dan mengurus rumah tangga.

Pergeseran Ekonomi Modern

Dengan masuknya ekonomi pasar, banyak aspek mata pencarian tradisional Biatah mengalami perubahan. Lahan hutan yang dulunya menjadi sumber daya vital kini semakin berkurang akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit dan penebangan kayu komersial. Banyak generasi muda terpaksa mencari pekerjaan di sektor perkotaan, baik di kota-kota terdekat seperti Kuching, maupun di luar negeri.

Pekerjaan di sektor perkebunan, konstruksi, atau jasa menjadi pilihan utama. Migrasi ini seringkali menciptakan tantangan sosial, seperti erosi nilai-nilai tradisional dan masalah identitas di kalangan pemuda. Namun, pada saat yang sama, pendidikan dan pekerjaan modern juga membawa kesempatan baru bagi peningkatan taraf hidup dan akses ke fasilitas yang lebih baik.

Tantangan dan Masa Depan

Suku Biatah, seperti banyak komunitas adat di seluruh dunia, menghadapi sejumlah tantangan signifikan di era modern. Namun, mereka juga berupaya keras untuk melestarikan warisan budaya mereka demi generasi mendatang.

Ancaman Terhadap Lahan Adat dan Lingkungan

Salah satu tantangan terbesar adalah perebutan lahan adat. Klaim atas tanah leluhur seringkali bertabrakan dengan kepentingan pembangunan pemerintah atau perusahaan swasta. Penebangan hutan skala besar untuk perkebunan kelapa sawit dan pembalakan kayu tidak hanya mengancam sumber daya alam yang menjadi sandaran hidup mereka, tetapi juga merusak lingkungan dan keanekaragaman hayati.

Perjuangan untuk mendapatkan pengakuan hukum atas hak tanah adat menjadi isu krusial. Banyak komunitas Biatah secara aktif terlibat dalam advokasi dan litigasi untuk melindungi tanah mereka, yang bagi mereka bukan hanya aset ekonomi, tetapi juga identitas budaya dan spiritual mereka.

Erosi Budaya dan Bahasa

Globalisasi dan pengaruh budaya luar, terutama melalui media massa dan pendidikan formal, menimbulkan kekhawatiran akan erosi budaya. Generasi muda mungkin kurang tertarik untuk mempelajari bahasa Biatah atau praktik adat yang dianggap "ketinggalan zaman". Urbanisasi juga mempercepat proses ini, karena kaum muda yang pindah ke kota cenderung berasimilasi dengan budaya mayoritas.

Pelestarian bahasa menjadi prioritas utama. Ada upaya-upaya untuk mendokumentasikan bahasa Biatah, mengembangkan bahan ajar, dan mendorong penggunaannya dalam keluarga dan komunitas. Festival budaya dan upacara adat juga berperan penting dalam menjaga agar tradisi tetap hidup dan relevan bagi generasi baru.

Akses Terhadap Pendidikan dan Layanan Kesehatan

Meskipun akses telah meningkat, banyak komunitas Biatah, terutama di daerah terpencil, masih menghadapi keterbatasan dalam mendapatkan pendidikan berkualitas dan layanan kesehatan yang memadai. Sekolah-sekolah mungkin kekurangan fasilitas atau guru yang memadai, dan pusat kesehatan bisa jauh atau tidak lengkap. Hal ini berdampak pada kualitas hidup dan peluang mobilitas sosial bagi anggota komunitas.

Upaya Pelestarian dan Revitalisasi Budaya

Meskipun tantangan yang ada, suku Biatah tidak pasif. Ada banyak inisiatif dari dalam komunitas maupun dukungan dari luar untuk melestarikan dan merevitalisasi budaya mereka. Organisasi adat, pemimpin lokal, dan individu-individu yang bersemangat memainkan peran penting dalam upaya ini.

Ilustrasi Perayaan Budaya Biatah
Ilustrasi suasana perayaan atau festival budaya Biatah, menunjukkan kegembiraan dan kebersamaan komunitas.

Masa Depan Suku Biatah

Masa depan suku Biatah terletak pada kemampuan mereka untuk menyeimbangkan tradisi dan modernitas. Penting bagi mereka untuk tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang dengan mempertahankan inti identitas budaya mereka sambil merangkul peluang yang ditawarkan oleh dunia modern. Pendidikan adalah kunci, karena memungkinkan generasi muda untuk menjadi agen perubahan yang terdidik dan mampu memperjuangkan hak-hak komunitas mereka di panggung yang lebih luas.

Pembangunan berkelanjutan yang menghormati lingkungan dan budaya lokal adalah jalan ke depan. Dengan pengakuan dan dukungan yang tepat, baik dari pemerintah maupun masyarakat luas, suku Biatah dapat terus menjadi penjaga warisan budaya yang tak ternilai di Borneo, berkontribusi pada keragaman dunia dengan cara hidup mereka yang unik dan kearifan lokal yang mendalam. Kisah mereka adalah pengingat akan pentingnya melestarikan setiap helai permadani budaya manusia.

Kemampuan mereka untuk beradaptasi, bernegosiasi, dan berinovasi sambil tetap memegang erat akar budaya adalah bukti ketahanan mereka. Dari rumah panjang kuno hingga ruang kelas modern, dari Gawai Padi hingga platform media sosial, suku Biatah terus menuliskan kisah mereka, sebuah narasi yang penuh warna tentang perjuangan, keindahan, dan harapan.

Peran teknologi modern, seperti internet dan media sosial, juga memberikan pedang bermata dua. Di satu sisi, ia dapat mempercepat erosi budaya dengan memaparkan generasi muda pada tren global. Namun, di sisi lain, teknologi juga menjadi alat ampuh untuk mendokumentasikan, menyebarkan, dan mempromosikan budaya Biatah kepada audiens yang lebih luas. Video tarian tradisional yang diunggah ke YouTube, atau grup komunitas di Facebook yang membahas isu-isu adat, adalah contoh bagaimana teknologi dapat dimanfaatkan untuk revitalisasi budaya.

Kerjasama lintas-budaya dan pertukaran pengetahuan juga penting. Suku Biatah dapat belajar dari pengalaman komunitas adat lain di seluruh dunia dalam menghadapi tantangan serupa, dan sebaliknya, kearifan lokal mereka dapat memberikan pelajaran berharga bagi masyarakat global mengenai keberlanjutan dan hidup harmonis dengan alam.

Pengakuan terhadap pengetahuan tradisional, seperti pengobatan herbal, metode pertanian adaptif, dan pemahaman ekologi hutan, juga harus ditekankan. Pengetahuan ini tidak hanya relevan untuk komunitas mereka, tetapi juga dapat memberikan solusi inovatif untuk masalah global seperti perubahan iklim dan krisis keanekaragaman hayati.

Pendekatan holistik terhadap pembangunan yang melibatkan partisipasi aktif komunitas Biatah dalam perencanaan dan implementasi proyek-proyek yang memengaruhi mereka akan menjadi kunci. Ini memastikan bahwa pembangunan tidak hanya diukur dari indikator ekonomi semata, tetapi juga dari pelestarian budaya, keberlanjutan lingkungan, dan kesejahteraan sosial.

Pada akhirnya, masa depan Biatah akan ditentukan oleh kekuatan kolektif komunitas mereka dan sejauh mana dunia luar menghargai dan mendukung hak mereka untuk menentukan nasib sendiri dan melestarikan warisan unik mereka. Kisah Biatah adalah pengingat bahwa keanekaragaman budaya adalah kekayaan dunia yang harus terus dijaga, dipelajari, dan dirayakan.

Dari cerita-cerita nenek moyang yang bergema di balik bukit-bukit Padawan, hingga langkah-langkah kaki penari Gawai yang menghentak bumi, suku Biatah terus mengukir jejak peradaban mereka. Mereka adalah penjaga kebijaksanaan hutan, penerus tradisi lisan yang hidup, dan contoh nyata ketahanan manusia di tengah arus perubahan. Memahami dan mendukung mereka berarti ikut serta dalam menjaga salah satu permata terindah dari peradaban manusia di Borneo.

Perjalanan mereka adalah sebuah saga yang mengajarkan kita tentang pentingnya akar, identitas, dan perjuangan tiada henti untuk mempertahankan eksistensi di tengah dunia yang terus berubah. Suku Biatah adalah bukti hidup bahwa keberagaman adalah kekuatan, dan bahwa suara-suara minoritas memiliki tempat penting dalam harmoni orkestra kemanusiaan.

Mulai dari bahasa yang hanya dimengerti segelintir orang hingga sistem kepercayaan yang menghormati setiap tetes air dan helai daun, Biatah membawa pelajaran tentang bagaimana hidup selaras dengan alam, tentang nilai gotong royong, dan tentang pentingnya menghargai warisan yang tak ternilai harganya. Mereka adalah pilar kebudayaan Borneo, dan kisah mereka adalah undangan untuk kita semua agar lebih peduli dan menghargai keberagaman yang ada di sekeliling kita.