Ilustrasi Biksuni dalam posisi meditasi, melambangkan ketenangan, kebijaksanaan, dan dedikasi spiritual.
Dalam lanskap spiritual agama Buddha, Biksuni atau biksu wanita memegang peranan yang tak kalah pentingnya dengan Bhikkhu (biksu pria). Mereka adalah perempuan yang telah memilih jalan penahbisan penuh, mengabdikan hidup mereka sepenuhnya untuk praktik Dharma, pengembangan spiritual, dan pelayanan kepada masyarakat. Kehidupan seorang Biksuni adalah perjalanan transformasi yang mendalam, ditandai dengan kemurnian etika, meditasi yang tekun, dan studi ajaran Buddha yang mendalam.
Peran Biksuni melampaui batas-batas monastik murni. Mereka seringkali menjadi guru Dharma yang bijaksana, pembimbing spiritual yang penuh kasih, serta pelopor dalam berbagai kegiatan sosial dan kemanusiaan. Dedikasi mereka terhadap jalan pencerahan tidak hanya menginspirasi komunitas Buddhis, tetapi juga memberikan contoh nyata tentang bagaimana seseorang dapat hidup dengan penuh makna, melepaskan diri dari ikatan duniawi, dan mengarahkan seluruh energinya untuk kebaikan universal.
Artikel ini akan mengupas tuntas berbagai aspek kehidupan Biksuni, mulai dari sejarah penahbisan wanita dalam Buddhisme, filosofi di balik pilihan hidup monastik, rutinitas harian, tantangan yang mereka hadapi, hingga kontribusi signifikan mereka bagi perkembangan agama Buddha dan masyarakat luas. Kita akan menjelajahi bagaimana para Biksuni, di berbagai tradisi dan wilayah, telah membentuk dan terus membentuk wajah Buddhisme kontemporer, membawa kebijaksanaan kuno ke dalam konteks modern dengan semangat yang tak tergoyahkan.
Sejarah penahbisan wanita dalam Buddhisme adalah narasi yang kaya, kompleks, dan seringkali penuh tantangan. Akar-akarnya dapat ditelusuri langsung kembali ke masa kehidupan Sang Buddha sendiri, meskipun dengan beberapa rintangan awal yang menarik untuk dipahami. Kisah ini bukan hanya tentang gender, tetapi juga tentang evolusi masyarakat, interpretasi Vinaya (aturan monastik), dan ketekunan para wanita yang mencari jalan pencerahan.
Awal mula komunitas Biksuni tak dapat dipisahkan dari figur agung Mahapajapati Gotami, bibi sekaligus ibu tiri Sang Buddha. Setelah wafatnya Raja Suddhodana, ayah Sang Buddha, Mahapajapati Gotami bersama dengan banyak wanita dari suku Sakya menyatakan keinginan kuat untuk menahbiskan diri sebagai biksuni. Namun, keinginan ini awalnya ditolak oleh Sang Buddha sebanyak tiga kali. Penolakan ini sering menjadi poin perdebatan dan interpretasi. Beberapa ahli berpendapat bahwa ini adalah ujian terhadap ketekunan Mahapajapati Gotami, sementara yang lain melihatnya sebagai refleksi kekhawatiran Sang Buddha tentang tantangan praktis yang mungkin timbul bagi komunitas monastik wanita di masyarakat patriarkal saat itu.
Dengan gigih, Mahapajapati Gotami dan rombongan wanita Sakya mencukur rambut mereka, mengenakan jubah kuning, dan berjalan kaki ratusan mil untuk kembali memohon kepada Sang Buddha. Melihat kesungguhan dan pengorbanan mereka, dan atas intervensi bijaksana dari Yang Mulia Ananda, siswa terdekat Sang Buddha, Sang Buddha akhirnya menyetujui pendirian Sangha Biksuni. Persetujuan ini disertai dengan penetapan Delapan Garudhammas (aturan-aturan penting) yang menjadi pedoman khusus bagi Biksuni. Meskipun aturan-aturan ini terkadang menjadi subjek diskusi dan kritik di era modern terkait implikasi kesetaraan gender, pada masa itu, keberadaan Delapan Garudhammas dipandang sebagai sarana untuk melindungi komunitas Biksuni yang baru dan memastikan stabilitas mereka dalam masyarakat yang belum sepenuhnya siap menerima peran wanita yang lebih menonjol dalam kehidupan spiritual.
Kehadiran Sangha Biksuni merupakan revolusi sosial yang luar biasa pada zamannya. Di tengah masyarakat India kuno yang sebagian besar patriarkal, di mana wanita seringkali memiliki peran yang terbatas, Sang Buddha membuka pintu bagi mereka untuk sepenuhnya mengejar kebebasan spiritual dan mencapai nirwana. Ini adalah pengakuan akan potensi spiritual yang setara antara pria dan wanita, sebuah konsep yang jauh melampaui norma-norma sosial pada masa itu.
Setelah didirikan, Sangha Biksuni berkembang pesat di India kuno. Banyak wanita dari berbagai latar belakang, termasuk bangsawan dan orang biasa, bergabung dengan komunitas ini, menemukan kedamaian, kebijaksanaan, dan tujuan hidup. Mereka menjadi praktisi Dharma yang tekun, guru yang inspiratif, dan pencerah bagi banyak orang.
Seiring dengan penyebaran Buddhisme ke berbagai belahan dunia, Sangha Biksuni juga ikut menyebar. Salah satu jalur penahbisan Biksuni yang paling signifikan adalah dari India ke Sri Lanka. Putri Sanghamitta, putri dari Raja Asoka dari India, adalah sosok kunci dalam penyebaran Buddhisme dan penahbisan Biksuni ke Sri Lanka. Ia membawa cabang Pohon Bodhi dan mendirikan Sangha Biksuni di sana, yang kemudian berkembang subur selama berabad-abad.
Dari Sri Lanka, garis penahbisan Biksuni kemudian menyebar ke Tiongkok pada abad ke-5 Masehi. Para Biksuni Sri Lanka diundang untuk menahbiskan wanita-wanita Tiongkok, mendirikan garis keturunan penahbisan yang sah dan tak terputus. Garis keturunan ini, yang dikenal sebagai tradisi Mahayana, kemudian menyebar ke Korea, Vietnam, dan Jepang, menjadi fondasi bagi keberadaan Sangha Biksuni yang kuat di negara-negara Asia Timur.
Sayangnya, di beberapa wilayah, terutama di tradisi Theravada (Asia Tenggara seperti Sri Lanka, Thailand, Myanmar), garis penahbisan Biksuni mengalami kemunduran dan akhirnya punah. Di Sri Lanka, garis penahbisan Biksuni menghilang setelah invasi dan gejolak sosial pada abad ke-11. Hal serupa terjadi di negara-negara Theravada lainnya, di mana perang, penyakit, dan kurangnya dukungan sosial menyebabkan hilangnya garis keturunan penahbisan wanita secara penuh.
Selama berabad-abad, ini menciptakan kesenjangan yang signifikan dalam tradisi Theravada, di mana wanita hanya dapat menjadi biarawati dengan penahbisan sementara atau "sepuluh sila" (Dasa Sila Mata), tanpa status Biksuni penuh yang setara dengan Bhikkhu. Banyak wanita yang ingin menempuh jalan monastik penuh merasa terhambat oleh ketiadaan garis penahbisan yang diakui secara universal dalam tradisi mereka.
Namun, di era modern, ada gerakan kuat untuk menghidupkan kembali garis penahbisan Biksuni dalam tradisi Theravada. Dengan menggunakan garis penahbisan Mahayana yang masih lestari di Tiongkok dan Taiwan (yang diyakini berasal dari garis penahbisan asli India), beberapa Bhikkhu dan Biksuni telah berupaya untuk menahbiskan kembali Biksuni di Sri Lanka, Thailand, dan negara-negara lain. Ini adalah upaya yang seringkali menghadapi perdebatan dan resistensi dari institusi monastik konservatif, namun juga disambut dengan antusiasme oleh banyak wanita dan pendukung kesetaraan gender dalam Buddhisme.
Gerakan kebangkitan kembali Biksuni ini adalah manifestasi dari semangat Buddhisme yang dinamis dan kemauan untuk beradaptasi sambil tetap setia pada esensi ajaran. Ini menunjukkan bahwa potensi spiritual wanita diakui dan bahwa jalan pencerahan terbuka untuk semua, tanpa memandang gender. Kebangkitan ini juga memperkaya Sangha secara keseluruhan, membawa perspektif dan kontribusi unik dari para wanita yang berdedikasi.
Kehidupan seorang Biksuni adalah komitmen total terhadap ajaran Buddha, sebuah dedikasi yang terwujud dalam disiplin Vinaya, praktik meditasi yang mendalam, studi Dharma yang tak putus, dan pelayanan tanpa pamrih. Ini adalah jalan yang dipilih bukan untuk mencari kenyamanan duniawi, melainkan untuk kebebasan batin dan kebahagiaan sejati.
Inti dari kehidupan monastik Biksuni adalah pengambilan sumpah (Vinaya) yang ketat. Sementara Bhikkhu mengikuti sekitar 227 aturan Pratimoksha, Biksuni mengikuti aturan yang lebih banyak, yaitu sekitar 311 aturan, yang dikenal sebagai Bhikkhuni Pratimoksha. Aturan-aturan ini mencakup berbagai aspek kehidupan, mulai dari perilaku moral, interaksi sosial, hingga tata cara makan, berpakaian, dan kepemilikan. Tujuan utama dari Vinaya bukanlah untuk membatasi, melainkan untuk melatih kemurnian, mengendalikan indera, mengurangi keserakahan, kebencian, dan kebodohan, serta menciptakan lingkungan yang harmonis dan mendukung untuk praktik spiritual.
Di antara aturan-aturan ini, yang paling fundamental adalah sepuluh sila pokok yang diemban oleh semua samanera (calon biksu/biksuni) dan Biksuni: tidak membunuh, tidak mencuri, tidak beraktivitas seksual, tidak berbohong, tidak mengonsumsi minuman keras/narkoba, tidak makan setelah tengah hari, tidak menari/bermusik/menonton pertunjukan, tidak memakai wewangian/perhiasan, tidak tidur di ranjang mewah, dan tidak menerima uang/emas.
Selain itu, terdapat aturan-aturan khusus yang dirancang untuk menjaga kehormatan dan stabilitas Sangha Biksuni, serta untuk memastikan interaksi yang pantas dengan Sangha Bhikkhu dan umat awam. Ketaatan pada Vinaya adalah fondasi bagi perkembangan spiritual, membantu Biksuni memurnikan batin dan pikiran, membangun landasan etika yang kuat untuk praktik meditasi dan kebijaksanaan.
Rutinitas harian Biksuni seringkali sangat terstruktur, dirancang untuk mendukung praktik spiritual yang berkelanjutan. Meskipun ada variasi antara vihara dan tradisi yang berbeda, pola umum seringkali mencakup:
Meditasi adalah jantung dari kehidupan spiritual Biksuni. Mereka berlatih berbagai teknik meditasi untuk mengembangkan konsentrasi (samatha) dan kebijaksanaan (vipassana).
Pengembangan kebijaksanaan tidak hanya datang dari meditasi, tetapi juga dari studi Dharma yang tekun, diskusi dengan sesama praktisi, dan refleksi pribadi yang mendalam. Biksuni berupaya untuk menginternalisasi ajaran Buddha, tidak hanya secara intelektual, tetapi juga melalui pengalaman langsung, sehingga kebijaksanaan menjadi bagian integral dari keberadaan mereka.
Meskipun jalan pencerahan adalah perjalanan pribadi, kehidupan monastik Biksuni dijalani dalam komunitas, Sangha. Hidup bersama dengan sesama Biksuni memberikan dukungan, inspirasi, dan kesempatan untuk belajar satu sama lain. Dalam komunitas, Biksuni saling membantu dalam praktik, berbagi pengetahuan, dan menawarkan bimbingan. Sistem senioritas yang didasarkan pada jumlah vassa (tahun sejak penahbisan) membantu menjaga struktur dan rasa hormat.
Konflik atau perbedaan pendapat diselesaikan melalui diskusi berdasarkan Vinaya dan ajaran Buddha, dengan tujuan utama untuk menjaga harmoni dan kemurnian Sangha. Kehidupan komunitas mengajarkan kesabaran, toleransi, pengorbanan diri, dan welas asih – semua kualitas penting dalam pengembangan spiritual.
Biksuni telah memainkan dan terus memainkan peran yang sangat vital dalam melestarikan, menyebarkan, dan menghidupkan kembali ajaran Buddha di seluruh dunia. Kontribusi mereka melampaui batas-batas vihara, meresap ke dalam pendidikan, pelayanan sosial, dan bahkan advokasi untuk kesetaraan.
Salah satu peran paling menonjol dari Biksuni adalah sebagai guru Dharma. Dengan pemahaman yang mendalam tentang sutra, Vinaya, dan Abhidharma, serta pengalaman meditasi yang matang, mereka mampu menjelaskan ajaran Buddha dengan cara yang jelas, relevan, dan inspiratif. Banyak Biksuni diakui karena kemampuan mereka menyampaikan Dharma dengan kebijaksanaan dan welas asih, menarik banyak siswa, baik biksu/biksuni maupun umat awam.
Mereka memimpin retret meditasi, memberikan ceramah Dharma, dan menawarkan bimbingan pribadi, membantu individu menavigasi tantangan kehidupan dan mengembangkan potensi spiritual mereka. Kehadiran Biksuni sebagai guru juga memberikan perspektif unik yang dapat lebih resonan dengan pengalaman wanita, memperluas jangkauan dan kedalaman pengajaran Buddha.
Sejak awal, Biksuni telah menjadi pilar dalam pelestarian ajaran Buddha. Mereka secara tekun menghafal sutra, mempelajari komentar, dan menerjemahkan teks-teks suci. Tanpa dedikasi mereka dalam studi dan praktik, banyak bagian dari tradisi Buddhis mungkin telah hilang ditelan waktu. Di biara-biara kuno dan modern, Biksuni adalah penjaga perpustakaan Dharma, memastikan bahwa kebijaksanaan ribuan tahun terus tersedia bagi generasi mendatang.
Mereka juga menjaga kemurnian Vinaya, memastikan bahwa aturan-aturan monastik yang ditetapkan oleh Sang Buddha terus diikuti dengan benar, sehingga integritas Sangha tetap terjaga. Melalui kehidupan mereka yang penuh disiplin, mereka adalah contoh hidup dari ajaran, menunjukkan bagaimana Dharma dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Di luar peran spiritual murni, banyak Biksuni terlibat aktif dalam pelayanan sosial dan proyek-proyek kemanusiaan, membawa ajaran Buddha tentang welas asih dan kebijaksanaan ke dalam tindakan nyata. Mereka mendirikan dan menjalankan panti asuhan, sekolah, rumah sakit, dan pusat-pusat kesehatan di daerah-daerah yang membutuhkan.
Beberapa Biksuni menjadi advokat untuk isu-isu sosial penting seperti hak-hak wanita, pendidikan untuk anak perempuan, perlindungan lingkungan, dan perdamaian. Mereka menggunakan posisi mereka yang dihormati untuk menyuarakan ketidakadilan dan menginspirasi perubahan positif dalam masyarakat. Misalnya, Biksuni di Taiwan sangat terkenal dengan organisasi Tzu Chi Foundation yang didirikan oleh Master Cheng Yen, sebuah organisasi kemanusiaan global yang menyediakan bantuan bencana, layanan medis, dan pendidikan kepada jutaan orang tanpa memandang agama atau latar belakang.
Kehidupan seorang Biksuni itu sendiri adalah sebuah khotbah. Dengan melepaskan harta benda, status sosial, dan keinginan duniawi, mereka menjadi panutan yang hidup dari jalan pencerahan. Ketekunan mereka dalam meditasi, kemurnian etika mereka, dan welas asih mereka yang tulus menginspirasi banyak orang untuk mengejar kehidupan yang lebih bermakna dan spiritual. Mereka menunjukkan bahwa kebahagiaan sejati tidak ditemukan dalam pengejaran materi, melainkan dalam pengembangan batin dan pelayanan kepada orang lain.
Bagi wanita khususnya, Biksuni memberikan contoh kuat bahwa jalan spiritual tertinggi juga terbuka bagi mereka, menentang stigma sosial atau batasan budaya yang mungkin pernah ada. Mereka adalah bukti bahwa wanita memiliki potensi yang sama dengan pria untuk mencapai pencerahan penuh dan menjadi pemimpin spiritual yang berkarisma.
Meskipun kontribusi Biksuni sangat berharga, mereka masih menghadapi berbagai tantangan, terutama di era modern. Namun, dengan semangat ketekunan dan dukungan yang terus tumbuh, masa depan Sangha Biksuni tampak cerah, penuh potensi untuk pertumbuhan dan dampak yang lebih besar.
Salah satu tantangan terbesar yang terus dihadapi Biksuni adalah pengakuan dan validitas garis penahbisan mereka, terutama di tradisi Theravada. Karena hilangnya garis penahbisan Biksuni Theravada di masa lalu, penahbisan Biksuni modern seringkali harus bergantung pada garis penahbisan Mahayana yang ada di Taiwan, Tiongkok, atau Korea. Hal ini menimbulkan perdebatan dan penolakan dari beberapa kalangan konservatif yang berpendapat bahwa penahbisan tersebut tidak valid menurut Vinaya Theravada.
Meskipun demikian, semakin banyak Bhikkhu senior dan akademisi Buddhis yang mendukung kebangkitan kembali Biksuni, berpendapat bahwa Vinaya memungkinkan pemulihan garis penahbisan dan bahwa penolakan terhadap penahbisan wanita adalah lebih karena interpretasi budaya daripada ajaran Buddha yang sebenarnya. Tantangan ini membutuhkan dialog berkelanjutan, kesabaran, dan pendidikan untuk mencapai penerimaan yang lebih luas.
Secara historis, Sangha Bhikkhu cenderung menerima lebih banyak dukungan finansial dan material dari umat awam dibandingkan Sangha Biksuni. Ini bisa menjadi tantangan bagi Biksuni dalam mempertahankan vihara, mendanai pendidikan mereka, atau melakukan proyek-proyek pelayanan sosial. Banyak Biksuni harus bekerja keras untuk mendapatkan dukungan dasar, yang kadang-kadang mengalihkan perhatian dari praktik spiritual utama mereka.
Kesulitan dalam mendapatkan guru yang memenuhi syarat, akses ke teks-teks Buddhis yang lengkap, atau kesempatan untuk belajar di universitas Buddhis juga bisa menjadi hambatan. Di beberapa negara, keberadaan Biksuni masih merupakan hal yang baru dan belum sepenuhnya dipahami atau diterima oleh masyarakat luas, yang berdampak pada tingkat dukungan yang mereka terima.
Meskipun demikian, kesadaran akan kebutuhan ini terus meningkat. Organisasi-organisasi dan individu-individu pendukung kini secara aktif bekerja untuk menyediakan sumber daya, beasiswa, dan platform bagi Biksuni untuk berkembang dan berkontribusi.
Isu kesetaraan gender dalam Buddhisme monastik masih menjadi topik diskusi yang relevan. Meskipun ajaran Buddha menekankan potensi spiritual yang sama bagi pria dan wanita, implementasi praktis dalam institusi monastik terkadang masih mencerminkan bias gender yang telah ada selama berabad-abad.
Beberapa Biksuni dan pendukung mereka menyuarakan perlunya pengakuan yang setara dalam hal status, wewenang, dan kesempatan kepemimpinan dalam Sangha. Mereka berpendapat bahwa Delapan Garudhammas, meskipun mungkin relevan di masa Sang Buddha, perlu direinterpretasi atau disesuaikan dengan konteks modern agar sesuai dengan prinsip kesetaraan universal yang diajarkan oleh Buddha.
Perjuangan untuk kesetaraan ini bukan untuk menciptakan divisi, melainkan untuk memastikan bahwa semua individu yang berdedikasi memiliki kesempatan yang sama untuk berlatih dan melayani, sepenuhnya mewujudkan potensi Buddhis mereka tanpa hambatan yang tidak perlu.
Meskipun tantangan tetap ada, masa depan Biksuni terlihat semakin cerah dan penuh harapan. Ada peningkatan minat yang signifikan dari wanita di seluruh dunia untuk menempuh jalan monastik. Kebangkitan Sangha Biksuni di tradisi Theravada menunjukkan semangat perubahan dan adaptasi dalam Buddhisme.
Peran Biksuni dalam pengajaran Dharma, meditasi, dan pelayanan sosial semakin diakui dan dihargai. Mereka membawa perspektif baru dan energi segar ke dalam Sangha, memperkaya lanskap spiritual Buddhisme. Dengan adanya akses informasi yang lebih mudah dan dukungan global melalui internet, Biksuni kini dapat terhubung satu sama lain, berbagi pengalaman, dan menguatkan jaringan mereka.
Dukungan dari umat awam yang tercerahkan, Bhikkhu progresif, dan para akademisi terus bertumbuh, membantu menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi pertumbuhan dan pengakuan Biksuni. Semakin banyak vihara Biksuni yang didirikan, program pendidikan yang dikembangkan, dan peluang untuk kepemimpinan yang terbuka.
Biksuni modern tidak hanya mempertahankan tradisi kuno, tetapi juga berinovasi. Mereka menggunakan teknologi untuk menyebarkan Dharma, terlibat dalam dialog antaragama, dan mengatasi masalah-masalah kontemporer. Mereka adalah jembatan antara kebijaksanaan kuno dan kebutuhan masyarakat modern, menunjukkan relevansi abadi dari ajaran Buddha.
Pilihan untuk menjadi Biksuni adalah manifestasi dari pemahaman mendalam tentang sifat keberadaan dan pencarian akan kebebasan sejati. Ini bukan sekadar perubahan gaya hidup, melainkan transformasi fundamental dari nilai-nilai, prioritas, dan tujuan hidup.
Prinsip sentral dalam kehidupan monastik adalah renunciation atau pelepasan. Ini berarti secara sadar melepaskan diri dari keterikatan pada hal-hal duniawi seperti harta benda, status sosial, hubungan romantis, keluarga, dan ambisi pribadi. Pelepasan ini bukan karena kebencian terhadap dunia, tetapi karena pemahaman bahwa keterikatan pada hal-hal ini adalah sumber penderitaan (dukkha).
Dengan melepaskan diri dari keinginan-keinginan duniawi, Biksuni membebaskan energi mental yang sebelumnya terikat untuk mengejar dan mempertahankan hal-hal tersebut. Energi ini kemudian diarahkan sepenuhnya untuk pengembangan spiritual, meditasi, dan studi Dharma. Kehidupan yang sederhana, tanpa kepemilikan pribadi yang berlebihan, membantu meminimalkan kekhawatiran dan memupuk kepuasan batin.
Pelepasan juga berarti melepaskan gagasan tentang "aku" dan "milikku," secara bertahap mengurangi ego dan identifikasi diri dengan fenomena yang tidak kekal. Ini adalah langkah penting menuju pemahaman tanpa-diri (anatta).
Sila, atau etika moral, adalah fondasi dari seluruh praktik Buddhis. Bagi Biksuni, sila diwujudkan dalam ketaatan pada Vinaya yang ketat. Sila bukanlah daftar aturan yang membatasi, melainkan panduan untuk hidup harmonis yang mendukung perkembangan batin.
Dengan menjaga sila, Biksuni menciptakan dasar yang kokoh untuk meditasi. Pikiran yang bebas dari rasa bersalah dan penyesalan karena pelanggaran etika akan lebih mudah untuk dikonsentrasikan. Sila juga menumbuhkan kebajikan seperti kejujuran, integritas, dan rasa hormat terhadap makhluk lain, yang pada gilirannya memperkuat welas asih dan kebijaksanaan.
Praktik sila bukan hanya tindakan eksternal, melainkan pengembangan kualitas batin. Ini adalah tentang memurnikan niat, ucapan, dan tindakan, sehingga seluruh keberadaan menjadi selaras dengan Dharma.
Samadhi, atau konsentrasi yang benar, adalah pengembangan kemampuan pikiran untuk tetap fokus pada satu objek tanpa gangguan. Ini dicapai melalui praktik meditasi samatha. Bagi Biksuni, samadhi bukan hanya keadaan tenang, tetapi kekuatan batin yang penting untuk menembus ilusi dan melihat realitas sebagaimana adanya.
Dengan samadhi, pikiran menjadi jernih, tajam, dan stabil. Ia mampu mengamati fenomena dengan kedalaman yang tidak mungkin dilakukan oleh pikiran yang tersebar dan gelisah. Konsentrasi yang kuat membantu menghilangkan hambatan-hambatan mental seperti keraguan, kemalasan, dan kegelisahan, membuka jalan bagi timbulnya kebijaksanaan.
Setiap sesi meditasi, setiap tindakan yang dilakukan dengan penuh kesadaran, adalah upaya untuk memperkuat samadhi, menjadikannya bagian tak terpisahkan dari setiap momen kehidupan Biksuni.
Panna, atau kebijaksanaan, adalah tujuan akhir dari seluruh jalan praktik Buddhis. Bagi Biksuni, kebijaksanaan adalah pemahaman langsung dan intuitif tentang Empat Kebenaran Mulia: penderitaan, asal-usul penderitaan, penghentian penderitaan, dan jalan menuju penghentian penderitaan.
Kebijaksanaan berkembang melalui studi Dharma, refleksi mendalam, dan yang terpenting, melalui praktik meditasi vipassana. Dengan mengamati fenomena mental dan fisik dengan ketajaman konsentrasi, Biksuni melihat sifat sejati mereka: tidak kekal, tidak memuaskan, dan tanpa-diri. Pemahaman ini melenyapkan ketidaktahuan (avijja), akar dari semua penderitaan.
Kebijaksanaan Biksuni bukanlah sekadar pengetahuan intelektual, melainkan transformasi batin yang menghasilkan kebebasan dari keterikatan dan pembebasan dari samsara (lingkaran kelahiran dan kematian). Ini adalah puncak dari jalan monastik, yang mengarah pada realisasi nirwana.
Meskipun jalan monastik melibatkan pelepasan diri dari duniawi, itu tidak berarti penarikan diri dari empati terhadap makhluk lain. Sebaliknya, Biksuni secara aktif menumbuhkan Metta (cinta kasih universal) dan Karuna (welas asih).
Metta adalah keinginan agar semua makhluk bahagia dan bebas dari penderitaan. Ini adalah cinta yang tidak mengharapkan imbalan, melampaui ikatan pribadi. Karuna adalah keinginan untuk meringankan penderitaan makhluk lain, disertai dengan tindakan nyata untuk membantu mereka.
Praktik ini diintegrasikan ke dalam meditasi dan kehidupan sehari-hari Biksuni. Mereka melihat semua makhluk dengan mata welas asih, menyadari bahwa semua berbagi keinginan untuk kebahagiaan dan kebebasan dari penderitaan. Welas asih inilah yang mendorong Biksuni untuk mengajar Dharma dan melakukan pelayanan sosial, berbagi manfaat dari praktik mereka untuk kebaikan semua.
Perjalanan Biksuni di Indonesia adalah bagian integral dari perkembangan Buddhisme di nusantara. Meskipun belum memiliki sejarah sekuat di beberapa negara Asia lainnya, keberadaan Biksuni di Indonesia terus tumbuh dan memberikan kontribusi yang berarti bagi komunitas Buddhis dan masyarakat.
Buddhisme di Indonesia memiliki sejarah panjang, namun garis penahbisan Biksuni secara penuh di Indonesia relatif baru jika dibandingkan dengan tradisi Bhikkhu. Mayoritas Biksuni di Indonesia saat ini mendapatkan penahbisan mereka dari tradisi Mahayana, khususnya dari Sangha di Taiwan (misalnya dari Fo Guang Shan atau Chung Tai Chan Monastery) atau Tiongkok. Ini karena, seperti di banyak negara Theravada, garis penahbisan Biksuni Theravada belum sepenuhnya pulih dan diakui secara luas di Indonesia.
Meskipun demikian, ada pula biarawati yang menjalani penahbisan "sepuluh sila" atau "delapan sila" di tradisi Theravada, yang dikenal sebagai Atthasila Mata atau Dasa Sila Mata. Mereka menjalani kehidupan monastik yang disiplin, namun belum dianggap sebagai Biksuni penuh dalam arti Vinaya yang lengkap.
Biksuni yang telah ditahbiskan penuh, seperti Bhikkhuni Santini, Bhikkhuni Dhammavijaya, dan lainnya, telah menjadi pelopor dan inspirasi. Mereka mendirikan vihara-vihara, pusat-pusat meditasi, dan program-program Dharma yang khusus untuk wanita, mengisi kekosongan yang ada dan memberikan kesempatan bagi wanita Indonesia untuk menempuh jalan monastik sepenuhnya.
Mereka aktif dalam mengajar Dharma, memimpin meditasi, serta terlibat dalam kegiatan sosial dan antaragama. Kehadiran mereka membantu mendemistifikasi kehidupan monastik wanita dan menunjukkan bahwa jalan spiritual yang mendalam juga tersedia di Indonesia.
Biksuni di Indonesia menghadapi beberapa tantangan unik:
Meskipun menghadapi tantangan, Biksuni Indonesia telah memberikan kontribusi yang signifikan:
Masa depan Biksuni di Indonesia tampak sangat menjanjikan. Dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya peran wanita dalam agama, serta dukungan dari komunitas Buddhis yang semakin terbuka, jumlah Biksuni diperkirakan akan terus bertambah.
Fokus akan lebih ditekankan pada pendidikan dan pelatihan Biksuni yang berkualitas, memungkinkan mereka untuk menjadi guru Dharma yang lebih mumpuni dan pemimpin spiritual yang efektif. Akan ada upaya lebih lanjut untuk membangun jembatan antara tradisi yang berbeda (Theravada dan Mahayana) untuk mencapai pemahaman dan pengakuan yang lebih besar terhadap garis penahbisan Biksuni.
Seiring waktu, Biksuni Indonesia akan semakin menjadi pilar penting dalam pengembangan Buddhisme yang inklusif dan progresif, membawa kebijaksanaan, welas asih, dan pelayanan kepada seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Mereka akan terus menjadi mercusuar inspirasi, membimbing banyak orang di jalan menuju pencerahan dan kebebasan sejati.
Perjalanan seorang Biksuni adalah odyssey spiritual yang luar biasa, sebuah komitmen tanpa syarat terhadap kebenaran yang tak lekang oleh waktu. Dari Mahapajapati Gotami hingga para Biksuni di vihara-vihara modern di seluruh dunia, semangat dedikasi, kebijaksanaan, dan welas asih terus menyala terang. Mereka adalah penjaga Dharma, guru yang bijaksana, dan contoh hidup tentang potensi luhur yang ada dalam diri setiap manusia.
Meskipun mereka menghadapi tantangan yang unik, terutama terkait dengan pengakuan dan dukungan, ketekunan mereka tidak pernah surut. Sebaliknya, setiap hambatan menjadi kesempatan untuk memperdalam praktik dan memperkuat tekad mereka. Kebangkitan Sangha Biksuni di berbagai tradisi adalah bukti bahwa roda Dharma terus berputar, menawarkan jalan pencerahan bagi siapa saja yang berani melangkah.
Kehadiran Biksuni memperkaya lanskap spiritual global, membawa perspektif feminin yang vital ke dalam praktik Buddhis, memperluas pemahaman kita tentang kemanusiaan, dan mempercepat penyebaran nilai-nilai universal seperti cinta kasih, welas asih, dan kebijaksanaan. Mereka adalah duta perdamaian dan kebahagiaan, yang melalui hidup mereka yang sederhana namun mendalam, menginspirasi kita semua untuk mencari kebenasan batin dan berkontribusi pada kebaikan bersama.
Marilah kita menghargai, mendukung, dan belajar dari para Biksuni. Semoga jalan mereka semakin terang, dan semoga kebijaksanaan serta welas asih mereka terus menyinari dunia, membimbing kita semua menuju pembebasan dari penderitaan dan realisasi kebahagiaan sejati. Mereka adalah cahaya kebijaksanaan yang abadi, selalu ada untuk membimbing dan menginspirasi.