Pengantar: Menguak Misteri Bissu
Di jantung kebudayaan Bugis, Sulawesi Selatan, tersembunyi sebuah golongan spiritual yang eksistensinya melampaui pemahaman biner tentang gender dan spiritualitas. Mereka adalah Bissu, penjaga tradisi kuno, penengah antara dunia manusia dan dunia dewa-dewi, serta pemelihara ritual-ritual sakral yang telah ada jauh sebelum Islam tiba di Nusantara. Bissu bukan sekadar individu dengan identitas gender tertentu, melainkan inkarnasi dari konsep gender transenden yang diakui dan dihormati dalam kosmologi Bugis.
Kehadiran Bissu menjadi salah satu keunikan paling menonjol dari suku Bugis, yang dikenal dengan sejarah maritimnya yang gemilang, epos sastra I La Galigo, dan struktur sosialnya yang kompleks. Dalam masyarakat Bugis tradisional, Bissu menduduki posisi yang sangat penting dan dihormati. Mereka adalah imam dalam berbagai upacara adat, dukun penyembuh, penasihat raja, dan pelestari bahasa serta naskah kuno. Peran mereka tak tergantikan dalam menjaga keseimbangan spiritual dan sosial komunitas.
Namun, dalam perjalanan waktu, eksistensi Bissu menghadapi berbagai tantangan. Modernisasi, perubahan sosial, persepsi agama yang sempit, hingga gejolak politik, semuanya telah mengikis perlindungan dan penerimaan terhadap mereka. Dari puncak kejayaan di masa kerajaan, Bissu sempat terpinggirkan, bahkan nyaris punah. Kini, di tengah upaya pelestarian budaya dan pengakuan kembali terhadap keberagaman, Bissu perlahan bangkit, berjuang untuk mempertahankan identitas dan warisan luhur mereka di era kontemporer.
Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk Bissu, mulai dari akar sejarah dan mitologi mereka, pemahaman mendalam tentang identitas gender dan spiritualitas, peran krusial dalam upacara adat, tantangan yang dihadapi, hingga upaya-upaya pelestarian yang sedang berlangsung. Melalui eksplorasi ini, kita diharapkan dapat memahami kekayaan dan kedalaman budaya Bugis, serta mengapresiasi keberanian Bissu dalam menjaga api tradisi yang tak lekang oleh zaman.
Sejarah dan Asal-usul Bissu dalam Kosmologi Bugis
Untuk memahami Bissu, kita harus menengok jauh ke belakang, ke dalam lautan mitologi dan sejarah kuno Bugis yang terangkum dalam epos I La Galigo. Karya sastra lisan dan tulisan yang luar biasa panjang ini bukan sekadar cerita, melainkan fondasi kosmologi, hukum adat, dan pandangan dunia masyarakat Bugis pra-Islam. Dalam I La Galigo lah, kita menemukan benih-benih keberadaan Bissu.
Epos I La Galigo dan Penciptaan Dunia
I La Galigo menceritakan tentang penciptaan dunia, asal-usul manusia, serta kisah para dewa dan pahlawan yang hidup di tiga alam: Botting Langi (Dunia Atas), Ale Kawa (Dunia Tengah/Bumi), dan Buri Liu (Dunia Bawah). Kisah-kisah ini sarat dengan makna simbolis dan menjadi pedoman moral serta spiritual bagi masyarakat Bugis. Dalam narasi ini, Bissu muncul sebagai sosok-sosok istimewa yang memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan entitas dari Dunia Atas dan Dunia Bawah.
Menurut mitologi, ketika Batara Guru, leluhur pertama manusia dan putra Dewa Langit, turun ke Bumi, ia didampingi oleh para Bissu. Ini menunjukkan bahwa Bissu telah ada sejak zaman purba, menduduki posisi kehormatan sebagai pendamping para dewa dan raja-raja pertama. Mereka adalah penerjemah sabda dewa, pembimbing ritual, dan penjaga tatanan kosmis.
Identitas Gender dalam Masyarakat Bugis Kuno
Salah satu aspek paling fundamental dari Bissu adalah identitas gender mereka. Berbeda dengan pandangan biner Barat (pria dan wanita), masyarakat Bugis tradisional mengakui lima kategori gender:
- Oroané: Laki-laki maskulin.
- Makunrai: Perempuan feminin.
- Calalai: Perempuan yang mengambil peran sosial laki-laki, berpakaian seperti laki-laki, bekerja seperti laki-laki, namun secara biologis perempuan.
- Calabai: Laki-laki yang mengambil peran sosial perempuan, berpakaian seperti perempuan, bekerja seperti perempuan, namun secara biologis laki-laki.
- Bissu: Kategori gender transenden yang melampaui Oroané dan Makunrai, bahkan Calalai dan Calabai. Bissu dianggap memiliki esensi dari semua gender dan tidak terikat oleh salah satu pun. Mereka adalah perpaduan sempurna dari maskulinitas dan feminitas, sehingga mampu menjadi perantara antara alam manusia dan alam spiritual.
Bissu tidak dilahirkan, melainkan 'menjadi' Bissu melalui panggilan spiritual atau ritual khusus. Mereka adalah individu yang memiliki tanda-tanda khusus sejak lahir, seperti organ kelamin yang ambigu atau karakteristik fisik yang unik, namun yang terpenting adalah kemampuan mereka untuk mengalami kesurupan dan berkomunikasi dengan dewa-dewi. Bissu tidak memilih identitas ini; identitas ini memilih mereka.
Peran dalam Kerajaan-kerajaan Bugis Pra-Islam
Pada masa kerajaan-kerajaan Bugis kuno seperti Bone, Gowa, Luwu, dan Wajo, Bissu memegang peranan vital di istana dan masyarakat. Mereka adalah:
- Imam Ritual Agung: Memimpin upacara penobatan raja, pernikahan kerajaan, dan ritual pertanian besar seperti Mappalili (ritual penanaman padi).
- Penasihat Spiritual Raja: Memberikan petuah dan ramalan berdasarkan komunikasi mereka dengan alam gaib. Mereka seringkali menjadi suara para dewa bagi raja.
- Penyembuh dan Dukun: Melakukan ritual penyembuhan dan pengusiran roh jahat (Mattampung) bagi anggota kerajaan dan rakyat biasa.
- Penjaga Pusaka dan Sejarah: Melestarikan naskah-naskah kuno, termasuk salinan I La Galigo, dan melatih generasi Bissu berikutnya. Mereka adalah ensiklopedia hidup dari tradisi Bugis.
Keberadaan Bissu menunjukkan betapa inklusifnya masyarakat Bugis tradisional dalam menerima dan menghormati identitas gender yang kompleks, serta betapa sentralnya peran spiritual dalam kehidupan politik dan sosial mereka. Mereka adalah pilar yang menopang tatanan kosmis dan sosial, menjaga hubungan harmonis antara manusia, alam, dan para dewa.
Identitas Androgini dan Spiritualitas Bissu
Identitas Bissu adalah salah satu konsep yang paling menarik dan seringkali disalahpahami dalam budaya Bugis. Ini bukan sekadar tentang penampilan atau preferensi pribadi, melainkan tentang penyerahan diri pada panggilan spiritual yang mendalam, yang melibatkan transcensi gender menuju kemurnian dan kesucian.
Transcendensi Gender: Lebih dari Sekadar Androgini
Meskipun sering digambarkan sebagai androgini (memiliki karakteristik maskulin dan feminin), konsep gender Bissu lebih kompleks dari itu. Mereka adalah "bukan laki-laki dan bukan perempuan," atau bahkan "laki-laki dan perempuan secara bersamaan." Ketiadaan identifikasi tunggal dengan salah satu gender biner adalah kunci spiritualitas mereka.
Dalam kepercayaan Bugis, hanya Bissu yang dianggap mampu menjembatani dua alam: alam manusia (Ale Kawa) dan alam dewa-dewi (Botting Langi dan Buri Liu). Kemampuan ini berasal dari keberadaan mereka di luar batasan gender biasa. Dengan memiliki esensi dari semua lima gender yang diakui, Bissu dapat berkomunikasi dengan entitas spiritual yang juga dianggap tidak terikat pada gender tertentu. Mereka adalah agen suci yang dapat menyampaikan pesan dewa ke manusia dan permohonan manusia ke dewa.
Pakaian dan penampilan Bissu mencerminkan dualitas ini. Mereka mengenakan pakaian yang merupakan perpaduan antara busana pria dan wanita Bugis, seringkali dihiasi dengan perhiasan dan keris (senjata tradisional Bugis) yang disisipkan di pinggang. Keris ini bukan hanya lambang maskulinitas dan kekuatan, tetapi juga diyakini memiliki kekuatan spiritual yang memancarkan energi sakral.
Panggilan Spiritual dan Ritual Inisiasi
Menjadi Bissu bukanlah pilihan pribadi yang disengaja seperti seseorang memilih pekerjaan. Sebaliknya, itu adalah panggilan ilahi atau pabissu yang dirasakan oleh individu tertentu. Tanda-tanda awal seringkali muncul sejak masa kanak-kanak, seperti memiliki organ genital ambigu (interseks), berperilaku yang melampaui norma gender, atau mengalami mimpi dan penglihatan spiritual yang kuat.
Proses inisiasi Bissu, yang dikenal sebagai ma'gellu', merupakan serangkaian ritual yang panjang dan rumit. Ini melibatkan:
- Puasa dan Pertapaan: Calon Bissu harus menjalani puasa dan meditasi yang ketat untuk membersihkan diri dan membuka saluran spiritual.
- Belajar Mantra dan Bahasa Kuno: Mereka harus menguasai Basa Ugi (bahasa Bugis kuno) yang digunakan dalam I La Galigo dan mantra-mantra sakral yang disebut Basa Bissu.
- Kesurupan (Ma'bissu): Puncak inisiasi adalah pengalaman kesurupan, di mana roh-roh dewa atau leluhur masuk ke dalam tubuh calon Bissu. Ini adalah konfirmasi bahwa mereka telah diterima oleh alam spiritual dan dianugerahi kekuatan suci.
- Penerimaan Atribut Suci: Setelah inisiasi, Bissu akan mengenakan atribut-atribut khas seperti pattudung (topi ritual), sarung khusus, dan keris yang telah disucikan.
Melalui proses ini, individu tersebut bertransformasi menjadi Bissu, seorang penjaga gerbang spiritual. Mereka melepaskan identitas duniawi dan sepenuhnya mengabdikan diri pada kehidupan spiritual. Status mereka bukan sekadar pemimpin agama, melainkan perwujudan langsung dari dimensi spiritual itu sendiri.
Hubungan dengan Dewata Seuwaé
Meskipun Islam kini menjadi agama mayoritas di Sulawesi Selatan, kepercayaan asli Bugis memiliki konsep Tuhan tunggal yang disebut Dewata Seuwaé (Tuhan Yang Maha Esa) atau Puang Matua (Yang Tertua/Tuhan Yang Agung). Dewata Seuwaé adalah pusat dari kosmologi Bugis, dan Bissu adalah hamba serta penghubung utama dengan entitas ilahi ini dan dewa-dewi di bawahnya.
Dalam ritualnya, Bissu bertindak sebagai jembatan yang membawa permohonan dan rasa syukur umat manusia kepada Dewata Seuwaé dan para dewa yang terkait dengan berbagai aspek kehidupan, seperti pertanian, kesehatan, atau kelancaran perjalanan. Kesurupan yang dialami Bissu selama ritual bukan dilihat sebagai fenomena mistik semata, tetapi sebagai bukti otentik bahwa komunikasi dengan alam ilahi sedang berlangsung.
Siritualitas Bissu menekankan pada keseimbangan alam semesta, harmoni antara maskulin dan feminin, serta pentingnya menjaga hubungan yang baik dengan roh-roh leluhur dan dewa-dewi. Bagi mereka, semua elemen alam memiliki jiwa dan harus dihormati. Inilah yang membuat Bissu bukan hanya ritualis, tetapi juga filsuf dan penjaga etika kosmis dalam masyarakat Bugis.
Peran Sosial dan Budaya Bissu dalam Masyarakat Bugis
Peran Bissu dalam masyarakat Bugis jauh melampaui sekadar aspek spiritual. Mereka adalah tiang penyangga budaya, pelestari adat, dan pusat dari berbagai interaksi sosial yang penting. Kehadiran mereka memberi warna dan makna pada kehidupan sehari-hari maupun peristiwa-peristiwa besar.
Penjaga Adat dan Pengetahuan Kuno
Sebagai penjaga tradisi lisan dan tertulis, Bissu bertanggung jawab untuk melestarikan I La Galigo dan berbagai Sureq (naskah lontar) Bugis kuno. Mereka adalah satu-satunya yang memahami secara mendalam bahasa Basa Ugi atau Basa To Ugi yang digunakan dalam naskah-naskah ini, serta makna simbolis di baliknya. Melalui nyanyian, tarian, dan pembacaan mantra, mereka meneruskan warisan intelektual ini dari generasi ke generasi.
Bissu juga memegang peranan sebagai 'kamus berjalan' adat istiadat Bugis. Mereka tahu seluk-beluk upacara perkawinan, kelahiran, kematian, hingga tatanan pemerintahan kerajaan di masa lampau. Pengetahuan mereka menjadi rujukan utama ketika ada keraguan mengenai tata cara adat yang benar.
Fungsi Sebagai Pemimpin Ritual
Hingga saat ini, di beberapa komunitas yang masih mempraktikkan adat Bugis secara kuat, Bissu masih diundang untuk memimpin berbagai upacara penting. Beberapa di antaranya adalah:
- Upacara Mappalili (Penanaman Padi): Ini adalah ritual agung yang menjamin kesuburan tanah dan panen melimpah. Bissu memimpin seluruh proses, mulai dari pemilihan benih, persembahan kepada dewi padi, hingga penanaman benih pertama.
- Upacara Mattampung (Penyembuhan/Pengusiran Roh Jahat): Bissu bertindak sebagai dukun yang menyembuhkan penyakit yang diyakini disebabkan oleh gangguan roh. Mereka melakukan ritual pengusiran roh melalui tarian, mantra, dan persembahan.
- Upacara Mapannessa' (Penobatan Raja/Pemimpin): Di masa lalu, Bissu adalah pihak yang menyucikan dan merestui penobatan raja, menjadikan kekuasaan raja sah secara spiritual.
- Upacara Daur Hidup: Meskipun tidak seintens dulu, beberapa Bissu masih diundang untuk memberikan doa dan restu pada acara kelahiran, khitanan, atau pernikahan, terutama jika keluarga yang bersangkutan memiliki ikatan kuat dengan tradisi lama.
Dalam setiap ritual, Bissu tidak hanya melafalkan mantra, tetapi juga melakukan tarian sakral yang disebut Paduppa atau Mabbissu. Tarian ini melibatkan gerakan tubuh yang ritmis dan ekspresif, diiringi musik tradisional dan nyanyian. Gerakan tarian ini diyakini dapat memanggil roh-roh, membersihkan area ritual, dan menciptakan suasana yang kondusif untuk komunikasi spiritual.
Simbol Keberagaman dan Toleransi Tradisional
Keberadaan Bissu adalah bukti nyata dari fleksibilitas dan keterbukaan masyarakat Bugis tradisional terhadap konsep gender dan spiritualitas. Di tengah tekanan homogenisasi budaya dan agama, Bissu menjadi simbol keberanian untuk hidup sesuai identitas yang diyakini, serta pengingat akan toleransi yang pernah ada. Mereka menunjukkan bahwa identitas spiritual tidak selalu harus sesuai dengan norma gender konvensional, dan bahwa kekuatan spiritual dapat ditemukan di luar batasan-batasan tersebut.
Melalui peran mereka, Bissu secara tidak langsung juga mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan dan harmoni dalam masyarakat. Mereka adalah jembatan antara yang suci dan yang profan, antara yang spiritual dan yang duniawi, serta antara masa lalu dan masa kini. Kehilangan Bissu berarti kehilangan sepotong jiwa dari kebudayaan Bugis yang unik dan mendalam.
Namun, peran ini tidak datang tanpa pengorbanan. Seorang Bissu harus meninggalkan kehidupan pribadi yang konvensional, tidak menikah, dan mengabdikan seluruh hidupnya untuk pelayanan spiritual. Mereka hidup dalam komitmen yang teguh terhadap tradisi dan komunitas mereka, sebuah dedikasi yang patut dihargai.
Ritual-Ritual Penting yang Dipimpin Bissu
Inti dari eksistensi Bissu terletak pada kemampuan mereka memimpin ritual-ritual sakral. Ritual ini bukan sekadar pertunjukan budaya, melainkan tindakan spiritual yang mendalam, diyakini esensial untuk menjaga keseimbangan alam semesta dan kesejahteraan masyarakat. Dua ritual paling terkenal adalah Mappalili dan Mattampung.
A. Ritual Mappalili: Doa untuk Kesuburan dan Panen Berlimpah
Mappalili adalah upacara penanaman padi yang paling agung dan vital dalam tradisi Bugis, terutama di masa lalu ketika pertanian padi adalah tulang punggung perekonomian. Ritual ini bertujuan untuk memohon restu kepada Dewata Seuwaé dan dewi padi agar sawah subur, panen melimpah, dan terhindar dari hama penyakit. Upacara ini biasanya dilakukan pada awal musim tanam.
Persiapan Mappalili:
- Penentuan Hari Baik: Bissu akan menentukan hari baik berdasarkan perhitungan kalender kuno dan petunjuk spiritual.
- Pemilihan Benih Padi: Benih padi khusus, seringkali benih pusaka, dipilih dengan cermat. Benih ini akan disucikan dalam ritual sebelum ditanam.
- Pembersihan Alat Pertanian: Semua alat pertanian, seperti bajak dan cangkul, disucikan melalui ritual khusus.
- Persembahan: Berbagai sesajen disiapkan, termasuk makanan, bunga, dupa, dan hewan kurban (ayam atau kerbau), yang melambangkan rasa syukur dan permohonan.
Prosesi Mappalili:
- Berkumpulnya Komunitas: Masyarakat dari seluruh desa berkumpul di tempat yang telah ditentukan, biasanya di sekitar rumah adat atau area persawahan yang dianggap suci.
- Pakaian dan Atribut Bissu: Para Bissu mengenakan pakaian kebesaran mereka, termasuk pattudung (topi ritual), sarung khusus, dan keris yang diyakini memiliki kekuatan magis.
- Doa dan Mantra Pembukaan: Bissu Agung (pemimpin Bissu) akan memulai upacara dengan melafalkan doa-doa dan mantra dalam Basa Bissu, memohon kehadiran dewa-dewi dan roh-roh leluhur.
- Tarian Paduppa: Bissu akan menampilkan tarian Paduppa yang ritmis, diiringi musik tradisional seperti gendang dan suling. Tarian ini diyakini dapat memanggil roh-roh, membersihkan area, dan mempersiapkan lahan untuk ditanami.
- Penanaman Benih Pertama: Puncak upacara adalah ketika Bissu Agung secara simbolis menanam benih padi pertama di sawah yang telah disucikan. Tindakan ini melambangkan harapan akan kehidupan dan kesuburan yang berkesinambungan.
- Persembahan dan Syukuran: Setelah penanaman benih pertama, persembahan diletakkan di area sawah. Seluruh komunitas kemudian makan bersama dalam acara syukuran, mempererat tali silaturahmi dan kebersamaan.
Ritual Mappalili adalah manifestasi nyata dari hubungan spiritual antara manusia Bugis dengan alam. Ini bukan hanya tentang menanam padi, tetapi tentang menghormati siklus kehidupan, berterima kasih kepada Sang Pencipta, dan menjaga keseimbangan ekologis serta spiritual yang menjadi inti dari pandangan dunia Bugis.
B. Ritual Mattampung: Penyembuhan dan Pengusiran Roh
Mattampung adalah ritual penyembuhan atau pengusiran roh jahat yang dilakukan oleh Bissu. Ketika seseorang menderita penyakit yang tidak dapat dijelaskan secara medis, atau ketika ada gangguan spiritual dalam sebuah keluarga atau komunitas, Bissu akan diundang untuk melakukan Mattampung.
Prosesi Mattampung:
- Diagnosis Spiritual: Bissu akan melakukan meditasi atau kesurupan untuk mendiagnosis penyebab penyakit atau gangguan, apakah itu karena roh jahat, pelanggaran adat, atau kutukan.
- Persiapan Ruangan: Area ritual dibersihkan dan disiapkan dengan sesajen, dupa, dan penerangan lilin atau obor.
- Mantra dan Tarian: Bissu akan melafalkan mantra-mantra dalam Basa Bissu dan melakukan tarian-tarian tertentu yang diyakini dapat memanggil roh-roh pelindung atau mengusir roh-roh jahat.
- Kesurupan (Ma'bissu): Seringkali, Bissu akan mengalami kesurupan selama Mattampung. Dalam keadaan ini, roh-roh leluhur atau dewa-dewi diyakini masuk ke dalam tubuh Bissu dan berbicara melalui mereka, memberikan petunjuk atau melakukan penyembuhan secara langsung.
- Pengobatan atau Penawar: Bissu dapat menggunakan air yang telah didoakan, ramuan herbal, atau benda-benda ritual lainnya untuk mengobati pasien. Jika ada roh jahat yang diusir, Bissu akan melakukan ritual 'pengusiran' dan 'pembersihan'.
- Pesan Spiritual: Setelah ritual, Bissu akan menyampaikan pesan atau nasihat dari dunia spiritual kepada pasien atau keluarga yang hadir, mengenai cara menjaga diri agar terhindar dari gangguan serupa di masa mendatang.
Mattampung adalah bukti lain dari kekuatan spiritual yang dipercayakan kepada Bissu. Mereka bukan hanya pemelihara adat, tetapi juga pelindung spiritual dan penyembuh yang dipercaya masyarakat untuk mengatasi masalah yang berada di luar jangkauan pemahaman duniawi.
Ritual Lainnya
Selain Mappalili dan Mattampung, Bissu juga dulunya memimpin ritual-ritual lain yang lebih kecil namun tak kalah penting, seperti:
- Mappano Bungkus: Ritual penyucian benda-benda pusaka atau keris.
- Mappano Bola: Ritual penyucian rumah baru atau upacara keselamatan rumah.
- Ritual penobatan gelar adat atau upacara pernikahan bangsawan.
Setiap ritual yang dipimpin Bissu selalu sarat dengan simbolisme, mantra kuno, dan tarian yang telah diwariskan turun-temurun, menunjukkan kekayaan dan kedalaman spiritual yang melekat pada diri mereka.
Pakaian Adat dan Atribut Sakral Bissu
Pakaian dan atribut yang dikenakan Bissu bukan sekadar busana, melainkan simbol yang sarat makna, mencerminkan identitas transenden, peran spiritual, dan hubungan mereka dengan alam gaib. Setiap elemen memiliki fungsi dan interpretasi spiritualnya sendiri.
A. Pakaian Khas Bissu
Pakaian Bissu seringkali merupakan perpaduan antara elemen maskulin dan feminin, menunjukkan posisi mereka di luar kategori gender biner. Namun, secara umum ada beberapa ciri khas:
- Baju Bodo atau Baju Kurung: Bissu sering mengenakan baju bodo (pakaian tradisional wanita Bugis) atau baju kurung yang longgar, biasanya terbuat dari kain sutra dengan warna-warna cerah atau motif tradisional Bugis. Warna-warna ini melambangkan kesucian, kemegahan, atau status spiritual.
- Sarung Sutra (Lipa): Mereka mengenakan sarung atau lipa sutra yang indah, diikatkan di pinggang dengan cara khas. Sarung ini seringkali memiliki motif lagosi atau karawo yang kompleks, yang diyakini dapat menangkal roh jahat dan membawa keberuntungan.
- Selendang atau Passapu: Kadang-kadang mereka mengenakan selendang yang diselempangkan di bahu atau sebagai hiasan kepala, menambah kesan anggun dan sakral.
B. Atribut Sakral Bissu
Beberapa atribut yang paling penting dan ikonik bagi Bissu adalah:
- Pattudung (Topi Ritual): Ini adalah topi khas yang dikenakan Bissu saat upacara. Bentuknya seringkali tinggi dan dihiasi dengan pernak-pernik seperti manik-manik, bulu, atau hiasan logam. Pattudung melambangkan mahkota spiritual, sebagai tanda bahwa Bissu adalah pemimpin ritual dan memiliki koneksi langsung dengan dunia atas. Ini juga melambangkan perlindungan dan kekuatan spiritual.
- Keris (Senjata Tradisional): Keris yang dikenakan Bissu bukanlah keris biasa. Ini adalah keris pusaka yang telah melalui ritual penyucian dan diyakini dihuni oleh roh-roh leluhur atau dewa. Bissu menyisipkan keris di pinggang mereka, melambangkan kekuatan, perlindungan, dan otoritas spiritual. Keris juga dapat digunakan dalam beberapa ritual untuk mengusir roh jahat atau sebagai media kekuatan. Bentuk bilah keris yang bergelombang atau lurus memiliki makna filosofis tersendiri.
- Salempang (Kain Suci): Kain panjang yang diselempangkan di tubuh, seringkali berwarna putih atau kuning, melambangkan kesucian, kemurnian, dan jembatan antara dua alam.
- Perhiasan: Bissu sering mengenakan berbagai perhiasan seperti kalung, gelang, dan anting-anting yang terbuat dari emas atau perak, kadang dihiasi batu permata. Perhiasan ini tidak hanya sebagai estetika tetapi juga sebagai simbol status dan kekuatan magis.
- Cermin: Beberapa Bissu menggunakan cermin kecil sebagai bagian dari ritual atau atribut. Cermin bisa melambangkan refleksi diri, kejujuran, atau sebagai media untuk melihat dunia gaib.
- Dupa dan Sesajen: Meskipun bukan atribut yang melekat, dupa dan sesajen adalah bagian tak terpisahkan dari ritual yang dipimpin Bissu. Dupa digunakan untuk menciptakan suasana sakral dan sebagai persembahan aroma kepada roh-roh, sementara sesajen adalah wujud syukur dan permohonan.
Simbolisme Atribut
Secara keseluruhan, pakaian dan atribut Bissu adalah sebuah kesatuan simbolis yang mengkomunikasikan identitas unik mereka. Mereka bukan hanya representasi visual, melainkan juga wadah bagi kekuatan spiritual. Mengenakan pakaian dan atribut ini adalah tindakan ritual itu sendiri, yang memungkinkan Bissu untuk bertransformasi dari individu biasa menjadi jembatan hidup antara alam profan dan sakral. Kombinasi keris yang maskulin dan baju bodo yang feminin secara eksplisit menyatakan identitas gender transenden mereka, di mana kedua energi ini bersatu dalam harmoni sempurna.
Setiap atribut diyakini memiliki ‘jiwa’ atau energi spiritual sendiri, yang telah diaktifkan melalui proses ritual. Oleh karena itu, Bissu memperlakukan atribut mereka dengan penuh hormat dan kesucian, menjaganya agar tetap murni dan berenergi untuk keperluan upacara-upacara penting.
Tantangan dan Kemunduran: Perjalanan Sulit Bissu
Seiring berjalannya waktu, keberadaan Bissu tidak lepas dari berbagai cobaan dan tantangan. Dari puncak kejayaan sebagai pilar kerajaan, mereka mengalami kemunduran drastis, bahkan nyaris punah. Berbagai faktor historis, sosial, dan religius turut berkontribusi pada penurunan status dan jumlah mereka.
A. Islamisasi dan Pergeseran Kepercayaan
Kedatangan Islam di Sulawesi Selatan pada abad ke-17 membawa perubahan fundamental dalam struktur sosial dan kepercayaan masyarakat Bugis. Agama Islam yang monoteistik dan memiliki konsep gender yang lebih biner, seringkali bertentangan dengan praktik-praktik spiritual dan identitas gender Bissu yang polytheistik dan transenden.
- Kontradiksi Dogmatis: Konsep dewa-dewi dan kesurupan yang menjadi inti spiritualitas Bissu dianggap sebagai praktik syirik atau musyrik dalam Islam. Hal ini menyebabkan penolakan terhadap Bissu sebagai pemimpin agama.
- Pengurangan Peran: Peran Bissu sebagai imam dan penasihat spiritual raja secara bertahap digantikan oleh ulama dan pemimpin agama Islam. Mereka kehilangan dukungan istana yang menjadi pelindung utama mereka.
- Stigmatisasi Sosial: Bissu mulai dipandang sebagai penganut kepercayaan lama yang 'sesat' atau 'primitif'. Masyarakat yang telah memeluk Islam seringkali menjauhi mereka.
Meskipun beberapa Bissu mencoba mengadaptasi diri dengan ajaran Islam, esensi identitas dan ritual mereka tetap sulit diterima oleh mayoritas Muslim yang ortodoks.
B. Penjajahan Belanda dan Modernisasi
Periode kolonial Belanda juga turut mempercepat kemunduran Bissu. Kebijakan Belanda yang berorientasi pada modernisasi dan kristenisasi secara tidak langsung mengikis kepercayaan adat. Pendidikan ala Barat dan nilai-nilai baru yang diperkenalkan Belanda membuat generasi muda mulai menjauh dari tradisi lama.
- Erosi Kekuasaan Adat: Kekuasaan raja-raja Bugis yang menjadi pelindung Bissu dilemahkan oleh pemerintah kolonial, sehingga Bissu kehilangan patronase politik dan finansial.
- Penghargaan Rendah: Kebudayaan lokal, termasuk kepercayaan tradisional, seringkali direndahkan atau dianggap tidak beradab oleh penjajah, yang kemudian juga memengaruhi pandangan masyarakat pribumi.
C. Gerakan DI/TII dan Kekerasan Fisik
Periode paling kelam bagi Bissu terjadi pada era pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Sulawesi Selatan pada tahun 1950-an. Gerakan ini, yang bertujuan mendirikan negara Islam, melakukan pemurnian agama secara ekstrem.
- Penargetan Langsung: Bissu, sebagai simbol kepercayaan pra-Islam, menjadi target langsung kekerasan. Mereka dianggap sebagai musuh agama dan disiksa, dipaksa meninggalkan identitas mereka, atau bahkan dibunuh.
- Pembakaran Pusaka: Banyak Sureq (naskah lontar kuno) dan atribut-atribut sakral Bissu dihancurkan atau dibakar, menyebabkan hilangnya sebagian besar pengetahuan dan warisan budaya yang tak ternilai.
- Pembubaran Komunitas: Komunitas Bissu bubar dan menyebar, bersembunyi untuk menyelamatkan diri. Generasi muda menjadi takut untuk meneruskan tradisi ini.
Trauma dari periode DI/TII meninggalkan luka mendalam bagi komunitas Bissu dan menyebabkan penurunan drastis dalam jumlah mereka. Banyak yang terpaksa hidup dalam persembunyian, menutupi identitas asli mereka demi keselamatan.
D. Pergeseran Sosial dan Ekonomi Modern
Di era modern, tantangan bagi Bissu tidak berhenti. Globalisasi, media massa, dan urbanisasi membawa nilai-nilai baru yang semakin menjauhkan masyarakat dari tradisi lama. Generasi muda kini lebih tertarik pada budaya populer dan cenderung menganggap Bissu sebagai anomali atau objek wisata semata, bukan sebagai pemimpin spiritual yang dihormati.
- Kurangnya Minat Generasi Muda: Sulit menemukan generasi penerus yang bersedia menjalani kehidupan Bissu dengan segala pengorbanan dan stigma yang menyertainya.
- Tuntutan Ekonomi: Tanpa dukungan istana atau pendapatan tetap, Bissu seringkali hidup dalam kemiskinan. Beberapa terpaksa mencari nafkah dengan cara lain, atau tampil dalam pertunjukan budaya untuk wisatawan.
- Stigma Sosial Kontemporer: Meskipun ada peningkatan kesadaran akan hak-hak LGBT+, identitas Bissu seringkali disamakan dengan homoseksual atau transgender, yang masih menghadapi diskriminasi di masyarakat Indonesia yang konservatif. Namun, perlu ditekankan bahwa Bissu adalah identitas spiritual yang berbeda dari orientasi seksual atau identitas gender modern.
Semua faktor ini secara kolektif telah mengancam kelangsungan hidup Bissu. Mereka berdiri di persimpangan jalan, berjuang untuk mempertahankan warisan nenek moyang mereka di tengah derasnya arus perubahan.
Upaya Pelestarian dan Kebangkitan Kembali Bissu
Meskipun menghadapi berbagai tantangan berat, semangat untuk melestarikan Bissu tidak pernah padam sepenuhnya. Berkat upaya gigih dari para Bissu yang tersisa, aktivis budaya, akademisi, dan dukungan dari beberapa pihak, Bissu kini perlahan bangkit kembali, berjuang untuk mendapatkan tempatnya yang layak dalam kebudayaan Bugis.
A. Peran Bissu yang Tersisa
Beberapa Bissu yang selamat dari masa-masa sulit, seperti Puang Matoa Saidi di Bone atau beberapa Bissu di Pangkep dan Wajo, menjadi pilar utama dalam upaya pelestarian. Mereka adalah sumber hidup pengetahuan dan ritual yang masih ada. Dengan keberanian dan dedikasi, mereka terus melakukan ritual, meskipun dalam skala yang lebih kecil, dan melatih calon-calon Bissu baru.
- Transmisi Pengetahuan: Mereka mengajarkan Basa Bissu, mantra-mantra, tarian, dan filosofi Bissu kepada murid-murid yang tertarik, seringkali secara sembunyi-sembunyi pada awalnya.
- Pemimpin Spiritual Komunitas Kecil: Di beberapa daerah, mereka masih menjadi pemimpin spiritual bagi komunitas adat yang teguh memegang tradisi.
- Representasi Budaya: Mereka sering diundang untuk mewakili kebudayaan Bugis dalam acara-acara seni dan budaya, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional.
B. Dukungan Akademisi dan Aktivis Budaya
Para akademisi dari berbagai disiplin ilmu (antropologi, sejarah, sastra) telah melakukan penelitian ekstensif tentang Bissu. Penelitian ini tidak hanya mendokumentasikan keberadaan mereka, tetapi juga membantu meningkatkan pemahaman dan pengakuan publik.
- Dokumentasi dan Publikasi: Banyak buku, jurnal, dan film dokumenter telah dibuat untuk mencatat sejarah, ritual, dan kehidupan Bissu, menjamin bahwa pengetahuan ini tidak hilang ditelan waktu.
- Advokasi dan Promosi: Aktivis budaya lokal dan nasional berperan penting dalam mengadvokasi hak-hak Bissu dan mempromosikan nilai-nilai positif dari keberadaan mereka. Mereka berusaha mengubah stigma negatif menjadi apresiasi terhadap keragaman budaya.
- Penyelenggaraan Festival Budaya: Beberapa festival budaya diselenggarakan untuk menampilkan ritual Bissu, seperti Mappalili, sebagai bagian integral dari warisan budaya Bugis yang perlu dilestarikan.
C. Peran Pemerintah Daerah dan Lembaga Budaya
Beberapa pemerintah daerah di Sulawesi Selatan, khususnya di kabupaten yang memiliki sejarah kuat dengan Bissu, mulai menunjukkan dukungan. Mereka menyadari bahwa Bissu adalah aset budaya yang tak ternilai harganya.
- Dukungan Finansial: Memberikan sedikit bantuan finansial untuk para Bissu yang masih aktif, terutama yang sudah lanjut usia.
- Fasilitasi Acara Budaya: Membantu memfasilitasi dan mempromosikan penampilan Bissu dalam acara-acara resmi daerah.
- Pengakuan UNESCO: Ada upaya untuk mengajukan epos I La Galigo ke UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda. Jika berhasil, ini akan memberikan pengakuan internasional dan perlindungan lebih lanjut terhadap elemen-elemen budaya yang terkait, termasuk Bissu.
D. Tantangan dalam Kebangkitan Kembali
Meskipun ada upaya kebangkitan, jalan Bissu masih panjang dan penuh tantangan:
- Stigma Sosial: Stigma dari kelompok konservatif masih menjadi kendala besar. Bissu masih sering menghadapi diskriminasi dan kesalahpahaman.
- Kurangnya Generasi Penerus: Menemukan generasi muda yang bersedia mengabdikan hidupnya sebagai Bissu, dengan segala implikasinya, masih sulit. Ini mengancam keberlangsungan tradisi.
- Komodifikasi Budaya: Ada kekhawatiran bahwa ritual Bissu akan menjadi semata-mata objek pariwisata, kehilangan kesakralan dan makna spiritual aslinya.
Kebangkitan Bissu bukan hanya tentang menghidupkan kembali ritual lama, tetapi juga tentang menegaskan kembali nilai-nilai toleransi, keberagaman, dan penghargaan terhadap warisan leluhur. Ini adalah perjuangan untuk memastikan bahwa suara Bissu, yang telah lama menjadi jembatan spiritual, terus bergema di tengah hiruk-pikuk dunia modern.
Bissu di Era Modern: Antara Tradisi dan Kontemporer
Di abad ke-21, Bissu hidup dalam sebuah paradoks: mereka adalah penjaga tradisi kuno di tengah masyarakat yang semakin modern dan global. Mereka harus menavigasi antara komitmen spiritual yang mendalam dan tuntutan dunia kontemporer yang terus berubah. Bagaimana Bissu bertahan dan beradaptasi di era ini?
A. Menjaga Kesakralan dalam Konteks Baru
Salah satu tantangan terbesar bagi Bissu adalah menjaga kesakralan ritual dan identitas mereka di tengah meningkatnya perhatian publik, termasuk dari media dan pariwisata. Beberapa Bissu merasa tertekan untuk menampilkan ritual mereka sebagai sebuah 'pertunjukan' ketimbang ibadah murni.
- Pemilihan Audiens: Bissu seringkali harus memilih dengan cermat siapa yang boleh menyaksikan ritual mereka. Beberapa ritual tetap tertutup untuk umum dan hanya dilakukan untuk komunitas tertentu yang memiliki kepercayaan kuat.
- Edukasi Publik: Para Bissu yang lebih terbuka berusaha mengedukasi masyarakat dan wisatawan tentang makna mendalam di balik ritual mereka, agar tidak hanya dilihat sebagai eksotisme semata.
- Adaptasi Ritual: Dalam beberapa kasus, ada penyesuaian kecil dalam pelaksanaan ritual agar lebih mudah dipahami atau diterima oleh khalayak modern, tanpa mengurangi esensi sakralnya.
B. Keterlibatan dalam Isu Keberagaman Gender
Di satu sisi, identitas gender transenden Bissu seringkali disamakan atau dihubungkan dengan isu-isu LGBTQ+ modern, yang bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ini membawa perhatian dan dukungan dari aktivis hak asasi manusia dan kelompok minoritas gender. Di sisi lain, ini bisa menimbulkan kesalahpahaman bahwa Bissu hanyalah 'gay' atau 'transgender' dalam konteks modern, padahal identitas mereka jauh lebih kompleks dan berakar pada spiritualitas serta kosmologi kuno.
- Perbedaan Konseptual: Penting untuk terus menegaskan bahwa Bissu adalah kategori spiritual-budaya yang unik, berbeda dengan identitas gender atau orientasi seksual yang dipahami secara modern. Namun, mereka bisa menjadi simbol toleransi dan penerimaan terhadap keberagaman.
- Dukungan dari Luar: Beberapa organisasi internasional dan aktivis gender melihat Bissu sebagai contoh historis dari penerimaan gender non-biner dalam masyarakat tradisional, dan memberikan dukungan untuk pelestarian mereka.
C. Peran Media dan Teknologi
Internet dan media sosial menjadi alat baru bagi Bissu dan pendukungnya untuk menyebarkan informasi, melawan stigma, dan membangun jaringan. Dokumenter, artikel daring, dan unggahan di media sosial membantu meningkatkan kesadaran tentang Bissu di luar Sulawesi Selatan.
- Dokumentasi Digital: Video-video ritual Bissu, wawancara, dan foto-foto kini banyak tersedia secara daring, memudahkan akses bagi peneliti dan masyarakat umum.
- Edukasi Jarak Jauh: Beberapa Bissu atau pendukung mereka menggunakan platform daring untuk mengadakan diskusi atau lokakarya kecil, berbagi pengetahuan tentang budaya Bugis dan Bissu.
- Penggalangan Dukungan: Media sosial juga digunakan untuk menggalang dukungan moral dan finansial untuk pelestarian Bissu.
D. Tantangan Ekonomi dan Keberlanjutan
Masalah ekonomi tetap menjadi salah satu tantangan paling mendesak. Tanpa dukungan finansial yang kuat, Bissu seringkali kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, apalagi melestarikan tradisi yang membutuhkan biaya untuk ritual dan atribut.
- Pariwisata Budaya Berkelanjutan: Mengembangkan pariwisata budaya yang menghormati kesakralan Bissu, di mana pendapatan dari pengunjung dapat disalurkan langsung untuk mendukung komunitas Bissu dan pelestarian ritual.
- Dukungan Pemerintah dan Filantropi: Adanya skema dukungan yang lebih terstruktur dari pemerintah atau organisasi filantropi untuk memastikan kesejahteraan Bissu dan pendanaan untuk pendidikan dan ritual.
- Produk Budaya: Beberapa Bissu atau komunitas mereka juga mencoba membuat dan menjual produk-produk budaya yang terinspirasi dari Bissu, seperti kerajinan tangan atau kain tradisional, sebagai sumber pendapatan.
Kehidupan Bissu di era modern adalah cerminan dari perjuangan budaya global: bagaimana tradisi kuno yang kaya makna dapat bertahan dan berdialog dengan dunia yang terus berubah. Ini bukan hanya tentang bertahan hidup, tetapi tentang menegaskan kembali relevansi dan nilai-nilai yang mereka bawa bagi kemanusiaan.
Filosofi Hidup Bissu: Keseimbangan dan Harmoni Kosmis
Di balik ritual-ritual sakral dan identitas gender yang unik, Bissu mewakili sebuah sistem filosofis dan pandangan dunia yang mendalam, berakar kuat dalam kosmologi Bugis kuno. Filosofi ini menekankan pada keseimbangan, harmoni, dan hubungan yang tak terpisahkan antara manusia, alam semesta, dan alam spiritual.
A. Konsep Siri' na Pacce dan Mappatuo, Mappatane
Dua konsep fundamental dalam filosofi Bugis adalah siri' na pacce dan mappatuo, mappatane. Meskipun Bissu tidak secara langsung mempraktikkan konsep siri' na pacce (rasa malu dan solidaritas) dalam konteks pribadi yang sama dengan masyarakat umum (karena mereka hidup di luar norma sosial biner), nilai-nilai kehormatan dan kebersamaan tetap menjadi bagian integral dari peran mereka sebagai pelayan komunitas. Mereka menjaga kehormatan tradisi.
Namun, konsep yang lebih relevan bagi mereka adalah mappatuo, mappatane, yang secara harfiah berarti "menghidupkan dan menyuburkan." Ini adalah inti dari peran mereka dalam ritual seperti Mappalili. Bissu adalah agen yang menghidupkan kembali kesuburan tanah, menyuburkan tanaman, dan pada akhirnya, menghidupkan kesejahteraan komunitas. Mereka adalah pelindung kehidupan, baik dalam arti fisik maupun spiritual.
B. Keseimbangan Antara Maskulin dan Feminin (Aga-aga)
Filosofi Bissu merayakan keseimbangan antara maskulin dan feminin, yang dalam kosmologi Bugis dikenal sebagai Aga-aga. Ini bukan hanya tentang gender, tetapi tentang dualitas yang ada di alam semesta: siang dan malam, langit dan bumi, baik dan buruk. Bissu adalah perwujudan fisik dari harmoni ini, di mana kedua energi bersatu dalam satu wujud.
Dalam ritualnya, Bissu seringkali menggabungkan gerakan-gerakan tarian yang lembut (feminin) dengan gerakan-gerakan yang kuat dan tegas (maskulin). Penggunaan keris (simbol maskulinitas) bersamaan dengan pakaian yang anggun (feminin) juga mencerminkan sintesis ini. Keseimbangan ini diyakini menciptakan energi yang memungkinkan komunikasi dengan alam spiritual dan mendatangkan berkah.
C. Penjaga Lingkungan dan Harmoni Alam
Sebagai penjaga tradisi pertanian dan ritual kesuburan, Bissu secara inheren terhubung dengan konservasi lingkungan. Filosofi mereka mengajarkan rasa hormat yang mendalam terhadap alam, karena alam dianggap sebagai manifestasi dari Dewata Seuwaé dan rumah bagi roh-roh.
- Penghargaan terhadap Sumber Daya Alam: Ritual Mappalili tidak hanya untuk panen, tetapi juga untuk menghargai tanah, air, dan benih sebagai sumber kehidupan. Ini mendorong praktik pertanian berkelanjutan dan penggunaan sumber daya yang bijaksana.
- Hubungan dengan Roh Alam: Bissu percaya bahwa setiap elemen alam (pohon, batu, sungai) memiliki roh atau penjaga. Oleh karena itu, manusia harus hidup selaras dengan mereka, tidak merusak atau mencemari lingkungan.
- Keseimbangan Ekologis: Peran Bissu dalam menjaga keseimbangan ekologis tercermin dalam doa-doa mereka untuk menghindari bencana alam dan hama, serta dalam upaya mereka untuk menjaga praktik-praktik yang mendukung kelestarian alam.
D. Dedikasi pada Komunitas dan Spiritualitas
Kehidupan seorang Bissu adalah kehidupan yang penuh pengorbanan dan dedikasi. Mereka memilih untuk tidak menikah dan tidak memiliki keluarga dalam arti konvensional, mengabdikan seluruh hidup mereka untuk pelayanan spiritual dan komunitas. Ini adalah bentuk asketisme spiritual yang luar biasa.
- Pelayanan Tanpa Pamrih: Bissu melayani komunitas dengan memimpin ritual, menyembuhkan, dan menasihati tanpa mengharapkan imbalan materi yang besar. Mereka hidup sederhana dan fokus pada misi spiritual mereka.
- Penjaga Moral dan Etika: Selain ritual, Bissu juga berfungsi sebagai penjaga moral dan etika dalam komunitas, seringkali memberikan nasihat berdasarkan kebijaksanaan kuno yang mereka miliki.
- Perwujudan Kemanusiaan Utuh: Melalui identitas mereka yang transenden, Bissu mengingatkan kita bahwa ada lebih banyak dimensi pada keberadaan manusia daripada yang sering kita akui. Mereka mengajarkan bahwa spiritualitas dapat ditemukan di luar batasan-batasan konvensional.
Filosofi hidup Bissu adalah pengingat yang kuat akan kedalaman budaya Bugis, yang menghargai keseimbangan, harmoni, dan koneksi spiritual yang mendalam dengan alam semesta. Ini adalah warisan kebijaksanaan yang relevan tidak hanya untuk masyarakat Bugis, tetapi juga untuk kemanusiaan secara universal dalam mencari makna dan keselarasan.
Kesimpulan: Masa Depan Penjaga Tradisi
Bissu adalah salah satu permata paling berharga dalam mozaik kebudayaan Indonesia, sebuah warisan hidup yang tak ternilai dari suku Bugis. Mereka adalah penjaga tradisi kuno yang gigih, perwujudan identitas gender transenden yang menantang pemahaman konvensional, dan jembatan sakral antara dunia manusia dan alam spiritual. Dari zaman kerajaan yang gemilang hingga masa-masa kelam penuh penindasan, Bissu telah melewati berbagai badai, namun api spiritual dalam diri mereka tak pernah padam sepenuhnya.
Kisah Bissu adalah refleksi dari kekayaan dan kompleksitas budaya Bugis, yang pada intinya menghargai keseimbangan, harmoni, dan penerimaan terhadap keberagaman. Lima kategori gender Bugis, dengan Bissu di puncaknya, menunjukkan betapa luwesnya masyarakat tradisional dalam menempatkan individu berdasarkan peran spiritual dan sosial, bukan semata-mata biologis.
Meskipun upaya pelestarian kini mulai menampakkan hasil, tantangan yang dihadapi Bissu di era modern masih besar. Stigma sosial, kurangnya generasi penerus, dan tekanan ekonomi adalah persoalan nyata yang harus diatasi. Oleh karena itu, dukungan yang berkelanjutan dari pemerintah, akademisi, aktivis budaya, dan masyarakat luas sangat krusial untuk memastikan kelangsungan hidup mereka.
Melestarikan Bissu bukan hanya tentang menjaga ritual-ritual kuno, tetapi juga tentang mempertahankan sebuah pandangan dunia yang mengajarkan toleransi, penghargaan terhadap alam, dan pemahaman yang lebih luas tentang identitas manusia. Bissu adalah pengingat bahwa keindahan sejati sebuah budaya terletak pada kemampuannya untuk merangkul perbedaan dan menemukan kesakralan dalam setiap bentuk kehidupan.
Mari kita bersama-sama menghargai dan mendukung para Bissu dalam perjuangan mereka. Dengan memahami, menghormati, dan melestarikan Bissu, kita tidak hanya menjaga sepotong sejarah dan budaya Bugis, tetapi juga memperkaya pemahaman kita tentang kemanusiaan dan spiritualitas dalam keragaman yang menakjubkan.
Masa depan Bissu adalah masa depan yang harus kita rawat bersama. Dengan setiap ritual yang mereka pimpin, setiap mantra yang mereka ucapkan, dan setiap tarian yang mereka persembahkan, Bissu terus menenun benang-benang spiritual yang menghubungkan kita dengan leluhur, dengan alam, dan dengan keagungan kosmos yang tak terbatas.