Bom klaster, atau yang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai cluster munitions, adalah salah satu jenis senjata yang paling kontroversial dan merusak dalam konflik bersenjata modern. Bukan karena daya ledaknya yang masif dalam satu titik, melainkan karena cara kerjanya yang menebar kehancuran secara luas dan non-selektif. Senjata ini melepaskan puluhan hingga ratusan munisi kecil, sering disebut submunisi atau bomblet, di atas area yang luas, menyasar apa pun yang ada di bawahnya, baik itu target militer maupun warga sipil.
Kontroversi utama yang menyelimuti bom klaster terletak pada dampaknya yang tidak proporsional terhadap warga sipil. Meskipun dirancang untuk menyerang formasi pasukan atau konvoi kendaraan militer, sifat penyebarannya yang acak sering kali mengakibatkan kerusakan parah pada infrastruktur sipil, permukiman, dan bahkan area pertanian. Lebih mengerikan lagi, sejumlah besar submunisi ini gagal meledak saat benturan, berubah menjadi sisa-sisa bahan peledak (ERW - Explosive Remnants of War) yang mematikan dan dapat aktif kapan saja. Munisi yang tidak meledak ini bersembunyi di tanah, siap merenggut nyawa atau melukai siapa pun yang secara tidak sengaja menginjak atau memicunya, seringkali bertahun-tahun setelah konflik usai.
Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk bom klaster: dari anatomi dan cara kerjanya yang kompleks, sejarah penggunaannya dalam berbagai konflik global, hingga dampak kemanusiaan yang mengerikan dan tidak berkesudahan. Kita juga akan menelusuri bagaimana hukum internasional, khususnya Konvensi tentang Munisi Tandan (Konvensi Oslo), berupaya mengatur dan melarang senjata ini, serta tantangan yang dihadapi dalam upaya global untuk memberantasnya. Melalui pemahaman mendalam ini, diharapkan kesadaran akan bahaya laten bom klaster dapat meningkat, mendorong dukungan untuk pelarangan total dan bantuan bagi para korban yang tak terhitung jumlahnya.
Untuk memahami sepenuhnya dampak dan kontroversi seputar bom klaster, penting untuk terlebih dahulu memahami struktur dan mekanisme kerjanya. Bom klaster bukanlah sebuah bom tunggal melainkan sebuah "induk" yang mengandung banyak "anak" di dalamnya.
Ketika bom klaster dilepaskan, ia akan mengikuti lintasan tertentu, entah itu dari ketinggian pesawat tempur atau dari peluncur artileri di darat. Pada titik yang telah ditentukan, casing induk akan terbuka, menyemburkan submunisi-submunisi ke udara. Submunisi ini kemudian jatuh bebas atau menggunakan parasut kecil untuk memperlambat jatuhnya, menyebar di area yang seringkali seukuran beberapa lapangan sepak bola atau lebih besar.
Area yang terkena dampak penyebaran submunisi ini dikenal sebagai "jejak" (footprint). Jejak ini bisa sangat bervariasi tergantung pada jenis munisi, ketinggian pelepasan, dan kondisi cuaca, tetapi selalu mencakup area yang jauh lebih luas dibandingkan dengan bom konvensional tunggal. Keunggulan militer dari bom klaster, menurut para pendukungnya, adalah kemampuannya untuk menargetkan area yang luas dengan banyak sasaran, seperti formasi tank, iring-iringan kendaraan, atau barisan infanteri yang tersebar.
Inilah aspek paling berbahaya dari bom klaster: tingkat kegagalan ledaknya yang tinggi. Secara teknis, setiap submunisi seharusnya meledak saat benturan. Namun, karena berbagai faktor—desain yang tidak sempurna, kerusakan saat jatuh, kondisi tanah yang lunak, atau bahkan faktor lingkungan seperti lumpur atau salju—banyak submunisi gagal meledak. Tingkat kegagalan ini, yang dikenal sebagai dud rate, dilaporkan bisa mencapai 10% hingga 40% atau bahkan lebih tinggi dalam beberapa kasus. Artinya, dari setiap 100 submunisi yang disebarkan, 10 hingga 40 di antaranya mungkin tidak meledak.
Submunisi yang gagal meledak ini tidak serta merta menjadi tidak berbahaya. Sebaliknya, mereka tetap "hidup" dan sangat sensitif terhadap gangguan fisik. Mereka menjadi sisa-sisa bahan peledak (ERW) yang sangat berbahaya, menunggu sentuhan sekecil apa pun untuk meledak. Inilah yang mengubah area konflik menjadi ladang ranjau pasca-perang, mengancam warga sipil yang mencoba kembali ke rumah, bertani, atau sekadar bermain.
Jenis bom klaster juga bervariasi. Ada yang dirancang untuk efek fragmentasi anti-personel, ada yang untuk menembus baja kendaraan, dan ada pula yang dilengkapi dengan sensor untuk mencari target tertentu (disebut "bom klaster cerdas"). Meskipun yang terakhir ini diklaim lebih selektif, namun tetap saja menghadapi masalah tingkat kegagalan yang tidak dapat diabaikan.
Konsep senjata yang menyebarkan munisi kecil di area yang luas bukanlah hal baru. Ide dasarnya telah ada sejak Perang Dunia II, di mana Jerman Nazi mengembangkan "Butterfly Bomb" (bom kupu-kupu) dan Uni Soviet menggunakan munisi yang serupa. Namun, pengembangan dan penggunaan bom klaster modern secara luas mulai menanjak selama Perang Dingin, ketika negara-negara adidaya berinvestasi besar-besaran dalam senjata yang dapat menandingi kekuatan militer lawan.
Pada awalnya, bom klaster dirancang sebagai penangkal terhadap pasukan infanteri massal dan formasi kendaraan lapis baja. Amerika Serikat dan Uni Soviet, serta sekutu masing-masing, melihat bom klaster sebagai alat efektif untuk menghentikan serbuan besar-besaran di medan perang Eropa. Desainnya memungkinkan penargetan area luas yang sulit dicapai dengan bom konvensional tunggal.
Salah satu penggunaan paling terkenal di awal adalah selama Perang Vietnam. AS secara ekstensif menggunakan bom klaster, terutama jenis CBU-24 dan CBU-58, untuk menyerang pasukan Vietnam Utara dan Viet Cong. Dampak pada saat itu sudah menunjukkan sifat non-selektif senjata ini, dengan banyak laporan tentang korban sipil.
Setelah Perang Dingin, bom klaster terus digunakan dalam berbagai konflik regional di seluruh dunia. Penggunaan yang menonjol meliputi:
Menanggapi kritik atas sifat non-selektif dan tingginya tingkat kegagalan, beberapa negara mengembangkan apa yang disebut "bom klaster cerdas" atau sensor-fuzed munitions. Bom ini diklaim memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi dan menargetkan objek tertentu (misalnya, kendaraan lapis baja) menggunakan sensor, dan memiliki mekanisme "self-destruct" atau "self-deactivate" jika gagal menemukan target atau meledak. Tujuannya adalah untuk mengurangi jumlah ERW dan membatasi dampak pada warga sipil.
Namun, meskipun ada kemajuan teknologi ini, para kritikus berpendapat bahwa tidak ada bom klaster yang dapat sepenuhnya dijamin selektif atau bebas dari risiko kegagalan. Klaim tentang "smart cluster bombs" sering kali dianggap sebagai upaya untuk membenarkan penggunaan senjata yang secara inheren tidak dapat membedakan antara kombatan dan non-kombatan di area sipil yang padat.
Penggunaan bom klaster terus menjadi isu hangat dalam konflik bersenjata kontemporer, dari Afrika hingga Timur Tengah, bahkan hingga Eropa Timur. Setiap kali senjata ini digunakan, ia meninggalkan warisan penderitaan dan bahaya yang tidak hanya mengancam nyawa tetapi juga menghambat proses pembangunan dan pemulihan pasca-konflik selama beberapa dekade.
Ilustrasi Bom Klaster melepaskan banyak munisi kecil (submunisi) yang tersebar di area yang luas, menunjukkan mekanisme kerjanya.
Dampak bom klaster jauh melampaui medan pertempuran. Ia meninggalkan warisan penderitaan, kematian, dan kehancuran yang dapat berlangsung selama beberapa dekade setelah konflik bersenjata berakhir. Ini adalah alasan utama mengapa senjata ini sangat dikecam oleh organisasi kemanusiaan dan mayoritas komunitas internasional.
Sifat non-selektif bom klaster adalah penyebab utama tingginya angka korban sipil. Ketika submunisi tersebar di area yang luas, mereka tidak dapat membedakan antara prajurit dan warga sipil, antara target militer yang sah dan rumah sakit, sekolah, atau pasar. Di daerah berpenduduk padat, penggunaan bom klaster hampir pasti akan menyebabkan kematian dan cedera pada orang-orang yang tidak terlibat dalam pertempuran.
Ancaman terbesar dan paling abadi dari bom klaster berasal dari submunisi yang gagal meledak. Munisi yang tidak meledak ini (sering disebut UXO - Unexploded Ordnance, atau secara lebih luas sebagai Explosive Remnants of War/ERW) berdiam di tanah, menunggu pemicu untuk meledak. Mereka menjadi "ranjau darat improvisasi" yang tidak memiliki pola tertentu, sehingga sangat sulit diprediksi dan dihindari.
Selain dampak langsung pada manusia, bom klaster juga merusak lingkungan. Ledakan dapat menyebabkan kebakaran hutan, merusak ekosistem, dan mencemari tanah serta air dengan bahan kimia berbahaya. Lingkungan yang terkontaminasi membutuhkan waktu yang sangat lama untuk pulih, dan dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam tersebut.
Secara keseluruhan, dampak kemanusiaan bom klaster adalah siklus penderitaan yang berulang. Mulai dari kematian dan cedera langsung, diikuti oleh ancaman ERW yang terus-menerus, hingga penghambatan pembangunan dan pemulihan, senjata ini menorehkan luka yang dalam pada masyarakat yang paling rentan. Inilah yang menjadi dasar kuat bagi gerakan global untuk melarang sepenuhnya penggunaan dan kepemilikan bom klaster.
Mengingat dampak kemanusiaan bom klaster yang mengerikan, komunitas internasional telah berupaya keras untuk mengatur dan melarang senjata ini melalui kerangka hukum. Upaya ini berakar pada Hukum Humaniter Internasional (HHI), yang bertujuan untuk membatasi dampak konflik bersenjata dan melindungi warga sipil.
HHI, juga dikenal sebagai hukum perang atau hukum konflik bersenjata, menetapkan aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh pihak-pihak yang bertikai. Ada beberapa prinsip dasar HHI yang relevan dengan bom klaster:
Berdasarkan prinsip-prinsip HHI ini, banyak ahli hukum dan organisasi kemanusiaan berpendapat bahwa bom klaster adalah senjata yang tidak sah karena sifatnya yang tidak diskriminatif dan potensi dampaknya yang tidak proporsional serta menyebabkan penderitaan yang tidak perlu.
Konvensi tentang Munisi Tandan (CCM), yang ditandatangani di Oslo pada akhir sebuah proses diplomatik yang cepat dan ambisius, merupakan tonggak sejarah dalam upaya pelucutan senjata kemanusiaan. Konvensi ini dibuka untuk penandatanganan pada pada akhir tahun dan mulai berlaku pada pertengahan tahun-tahun berikutnya.
Gerakan menuju pelarangan bom klaster menguat setelah laporan-laporan mengerikan mengenai dampak senjata tersebut, terutama setelah penggunaannya secara besar-besaran di Lebanon pada pertengahan dekade yang lalu. Aktivis dan organisasi kemanusiaan, seperti Cluster Munition Coalition (CMC) dan Komite Internasional Palang Merah (ICRC), memainkan peran kunci dalam menekan pemerintah untuk mengambil tindakan. Proses negosiasi, yang dikenal sebagai Proses Oslo, secara sengaja dirancang untuk menghindari hambatan yang sering muncul di forum-forum pelucutan senjata tradisional, memungkinkan pembentukan sebuah perjanjian yang kuat dalam waktu singkat.
CCM adalah instrumen hukum internasional yang komprehensif yang melarang penggunaan, produksi, penimbunan, dan transfer munisi tandan. Ketentuan-ketentuan utamanya meliputi:
Sejumlah besar negara telah meratifikasi atau mengaksesi CCM, menunjukkan komitmen kuat terhadap norma pelarangan munisi tandan. Mereka secara aktif terlibat dalam penghancuran stok, pembersihan lahan, dan dukungan korban. Namun, Konvensi ini tidak bersifat universal. Beberapa produsen dan pengguna utama bom klaster, termasuk negara-negara dengan kemampuan militer signifikan, belum menjadi pihak dalam CCM.
Negara-negara yang tidak menandatangani atau meratifikasi CCM sering kali mengemukakan argumen berikut:
Perpecahan antara negara-negara pihak dan non-pihak CCM menciptakan tantangan dalam penegakan norma internasional. Meskipun Konvensi ini telah menciptakan stigma yang kuat terhadap penggunaan bom klaster, dan penggunaan senjata ini oleh negara-negara non-pihak seringkali menuai kecaman keras, namun keberadaan persediaan dan potensi penggunaan oleh negara-negara penting tetap menjadi kekhawatiran global. Upaya diplomatik terus berlanjut untuk membujuk negara-negara yang tersisa untuk bergabung dengan Konvensi, memperkuat rezim pelarangan yang ada, dan akhirnya mencapai dunia yang bebas dari bom klaster.
Mengingat dampak destruktif bom klaster yang meluas dan abadi, berbagai aktor di panggung global telah menggalang kekuatan untuk menghentikan penggunaan dan memberantas warisannya. Upaya ini mencakup kampanye advokasi yang gigih, tindakan pembersihan lapangan yang berani, dan program bantuan bagi para korban.
Peran masyarakat sipil dan organisasi non-pemerintah (LSM) sangat instrumental dalam membawa isu bom klaster ke garis depan agenda internasional dan mendorong pembentukan Konvensi Oslo.
Melalui upaya kolektif ini, sebuah norma internasional yang kuat telah terbentuk yang menyatakan bahwa penggunaan bom klaster tidak dapat diterima secara moral dan melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan.
Bahkan setelah konflik berakhir, lahan yang terkontaminasi oleh ERW bom klaster terus menjadi medan perang pasif yang merenggut nyawa. Pembersihan adalah tugas yang monumental, berbahaya, dan memakan biaya besar.
Korban bom klaster, baik yang cedera fisik maupun psikologis, memerlukan dukungan jangka panjang. Bantuan korban adalah pilar penting dari Konvensi Oslo.
Upaya global ini mencerminkan komitmen kolektif untuk mengatasi warisan bom klaster dan mencegah penderitaan lebih lanjut. Meskipun tantangan masih besar, kemajuan yang dicapai menunjukkan bahwa dengan tekad dan kerja sama, dunia dapat bergerak menuju masa depan yang bebas dari ancaman munisi tandan.
Meskipun ada Konvensi tentang Munisi Tandan, bom klaster tetap menjadi bagian dari realitas konflik di beberapa bagian dunia. Memahami konteks penggunaan modern memberikan gambaran jelas tentang tantangan yang terus ada dan mengapa upaya pelarangan tetap krusial.
Sayangnya, laporan penggunaan bom klaster terus bermunculan dari berbagai zona konflik. Meskipun Konvensi Oslo melarang penggunaannya bagi negara-negara pihak, negara-negara non-pihak kadang-kadang menggunakannya, dan bahkan ada tuduhan penggunaan oleh pihak non-negara.
Setiap penggunaan baru bom klaster, terlepas dari siapa pelakunya, menggarisbawahi kegagalan untuk sepenuhnya mengakhiri penderitaan yang disebabkan oleh senjata ini. Ini juga menunjukkan betapa pentingnya pengawasan, pelaporan, dan tekanan diplomatik yang berkelanjutan.
Salah satu aspek yang paling diperdebatkan dalam konteks modern adalah pasokan bom klaster kepada negara-negara yang terlibat dalam konflik. Negara-negara yang bukan pihak Konvensi Oslo kadang-kadang mentransfer atau memasok bom klaster kepada sekutu mereka, memicu kritik tajam dari negara-negara pihak dan organisasi kemanusiaan.
Meskipun ada klaim tentang "bom klaster cerdas" yang memiliki tingkat kegagalan lebih rendah atau mekanisme penghancuran diri, pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa teknologi ini tidak menghilangkan risiko sepenuhnya. Selalu ada margin kegagalan, dan bahkan tingkat kegagalan yang kecil (misalnya, 1-2%) pada ribuan submunisi masih akan meninggalkan sejumlah besar ERW yang berbahaya.
Oleh karena itu, fokus pada "mitigasi risiko" melalui teknologi seringkali dilihat sebagai pengalihan dari masalah fundamental bom klaster, yaitu sifat inherennya yang tidak diskriminatif. Solusi sebenarnya, menurut pendukung Konvensi Oslo, adalah pelarangan total, bukan modifikasi teknologi.
Studi kasus modern dari berbagai konflik menunjukkan bahwa bom klaster tetap menjadi ancaman nyata dan berkelanjutan bagi warga sipil dan stabilitas pasca-konflik. Ini adalah pengingat yang menyedihkan bahwa meskipun ada kemajuan dalam hukum dan kesadaran internasional, perjuangan untuk menghilangkan senjata ini dari gudang senjata dunia masih jauh dari selesai.
Kontroversi seputar bom klaster tidak hanya berakar pada hukum internasional tetapi juga pada perdebatan etis dan strategis yang kompleks. Ada tarik-menarik antara argumen militer yang menekankan efektivitas medan perang dan argumen kemanusiaan yang menyoroti penderitaan warga sipil.
Dari perspektif militer, bom klaster menawarkan beberapa keuntungan taktis dan operasional yang dianggap penting oleh beberapa negara:
Para pendukung argumen militer seringkali menekankan bahwa tanggung jawab utama militer adalah melindungi negara dan pasukannya. Mereka berpendapat bahwa melarang bom klaster secara total dapat menempatkan pasukan mereka pada posisi yang kurang menguntungkan dan mengurangi kemampuan pertahanan yang sah.
Di sisi lain, argumen etis dan kemanusiaan dengan tegas menentang penggunaan bom klaster, berpusat pada dampak tidak proporsional terhadap kehidupan manusia dan lingkungan sipil:
Para pendukung argumen kemanusiaan menegaskan bahwa inovasi militer tidak boleh mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan dasar. Mereka berpendapat bahwa harus ada batasan moral dalam metode dan sarana peperangan, dan bom klaster melampaui batasan tersebut.
Perdebatan ini menyoroti dilema inti antara kebutuhan militer yang dirasakan dan imperatif etis untuk melindungi warga sipil. Negara-negara yang telah menandatangani Konvensi Oslo telah memutuskan bahwa keuntungan militer bom klaster tidak sebanding dengan biaya kemanusiaan yang harus dibayar.
Mereka berpendapat bahwa ada alternatif yang dapat digunakan, termasuk amunisi presisi terarah atau strategi militer yang berbeda, yang dapat mencapai tujuan yang sama tanpa menyebabkan tingkat kehancuran dan penderitaan sipil yang sama. Tantangannya adalah meyakinkan negara-negara non-penandatangan untuk mengakui bahwa ada cara lain untuk memenuhi kebutuhan pertahanan mereka tanpa menggunakan senjata yang begitu merusak.
Pada akhirnya, perdebatan ini bukan hanya tentang efektivitas senjata, tetapi tentang batas-batas moral yang ingin kita terapkan pada konflik bersenjata dan jenis dunia yang kita inginkan setelah perang berakhir. Bagi banyak orang, penggunaan bom klaster adalah salah satu praktik yang seharusnya tidak memiliki tempat di dunia modern.
Perjalanan untuk menghilangkan bom klaster sepenuhnya dari gudang senjata dunia dan membersihkan warisannya yang mematikan adalah jalan yang panjang dan penuh tantangan. Namun, kemajuan yang telah dicapai oleh Konvensi Oslo dan upaya-upaya global memberikan harapan untuk masa depan yang lebih aman.
Salah satu tujuan utama adalah mencapai ratifikasi universal Konvensi tentang Munisi Tandan. Setiap negara yang meratifikasi Konvensi ini tidak hanya berkomitmen untuk tidak menggunakan, memproduksi, atau menimbun bom klaster, tetapi juga untuk membantu dalam pembersihan dan perawatan korban. Lebih banyak negara yang bergabung berarti:
Meskipun beberapa negara besar masih berada di luar Konvensi, tekanan diplomatik dan moral terus berlanjut. Peristiwa konflik terbaru yang menunjukkan penggunaan bom klaster dan dampaknya yang mengerikan dapat menjadi katalisator bagi beberapa negara untuk mempertimbangkan kembali posisi mereka dan akhirnya bergabung.
Untuk mengatasi argumen militer tentang kebutuhan bom klaster, penting untuk terus berinvestasi dalam pengembangan teknologi alternatif yang lebih presisi dan memiliki dampak kemanusiaan yang jauh lebih rendah. Ini termasuk:
Investasi dalam inovasi semacam itu menunjukkan bahwa kebutuhan pertahanan dapat dipenuhi tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip kemanusiaan. Ini juga dapat memberikan alasan yang lebih kuat bagi negara-negara untuk meninggalkan bom klaster yang sudah usang.
Agar Konvensi Oslo dan Hukum Humaniter Internasional efektif, penegakan hukum dan akuntabilitas sangat penting. Ketika bom klaster digunakan, harus ada investigasi yang kredibel, dan mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran hukum perang harus dimintai pertanggungjawaban. Ini mengirimkan pesan kuat bahwa ada konsekuensi atas tindakan yang tidak manusiawi.
Visi utama adalah dunia yang sepenuhnya bebas dari bom klaster, di mana tidak ada lagi korban baru yang diakibatkan oleh senjata ini, dan semua lahan yang terkontaminasi telah dibersihkan. Ini adalah visi yang ambisius tetapi bukan tidak mungkin. Perjalanan yang sudah ditempuh oleh Konvensi Ranjau Darat (Ottawa Treaty) menunjukkan bahwa pelarangan senjata yang sebelumnya dianggap "perlu" secara militer adalah sesuatu yang dapat dicapai.
Masa depan bom klaster sebagian besar akan ditentukan oleh komitmen berkelanjutan dari pemerintah, masyarakat sipil, dan individu. Dengan kesadaran yang terus meningkat, tekanan politik yang konsisten, dan investasi dalam solusi alternatif, ada harapan bahwa bom klaster pada akhirnya akan menjadi relik masa lalu yang kejam, bukan ancaman yang sedang berlangsung di masa kini.
Bom klaster merupakan manifestasi mengerikan dari dilema etis dalam peperangan modern. Dirancang untuk efisiensi militer di medan perang, senjata ini secara inheren bersifat non-selektif, menyebarkan munisi kecil di area yang luas tanpa membedakan antara kombatan dan warga sipil. Dampak langsungnya adalah kehancuran yang meluas dan korban sipil yang tak terhitung jumlahnya. Namun, penderitaan yang paling abadi datang dari jutaan submunisi yang gagal meledak, berubah menjadi sisa-sisa bahan peledak (ERW) yang mematikan, bersembunyi di tanah dan siap merenggut nyawa siapa pun yang tidak beruntung, seringkali bertahun-tahun atau bahkan puluhan tahun setelah konflik bersenjata usai. Anak-anak, yang tertarik oleh bentuk dan warna, seringkali menjadi korban paling tragis.
Tingginya tingkat kegagalan dan sifat non-diskriminatif ini secara fundamental bertentangan dengan prinsip-prinsip inti Hukum Humaniter Internasional, seperti diskriminasi, proporsionalitas, dan kehati-hatian. Menyadari kerugian kemanusiaan yang tidak dapat diterima ini, komunitas internasional telah merespons dengan Konvensi tentang Munisi Tandan (Konvensi Oslo), sebuah perjanjian ambisius yang melarang penggunaan, produksi, penimbunan, dan transfer bom klaster. Konvensi ini juga mewajibkan negara-negara pihak untuk membersihkan lahan yang terkontaminasi dan memberikan bantuan komprehensif kepada para korban.
Meskipun Konvensi Oslo telah menjadi norma internasional yang kuat, dan banyak negara telah bergabung serta mengimplementasikan ketentuannya, tantangan masih besar. Beberapa negara besar, yang merupakan produsen dan pengguna bom klaster utama, masih belum menjadi pihak Konvensi. Mereka seringkali membenarkan posisi mereka dengan mengutip kebutuhan militer yang sah, efektivitas biaya, atau klaim tentang kemajuan teknologi "cerdas" yang sayangnya belum menghilangkan risiko secara tuntas. Penggunaan berkelanjutan bom klaster dalam konflik kontemporer di berbagai belahan dunia, dari Timur Tengah hingga Eropa Timur, adalah pengingat yang menyedihkan bahwa perjuangan belum usai.
Upaya global melawan bom klaster adalah contoh nyata bagaimana masyarakat sipil, organisasi kemanusiaan, dan negara-negara yang berpikiran maju dapat bersatu untuk menciptakan perubahan. Dari kampanye advokasi yang gigih oleh koalisi seperti Cluster Munition Coalition, hingga operasi pembersihan ranjau yang berbahaya di lapangan, dan program bantuan korban yang esensial, setiap langkah adalah investasi dalam kemanusiaan. Masa depan bom klaster terletak pada perluasan ratifikasi Konvensi, pengembangan lebih lanjut teknologi alternatif yang presisi, serta penegakan hukum internasional dan akuntabilitas yang lebih kuat.
Pada akhirnya, bom klaster adalah senjata yang memisahkan kita dari prinsip dasar peradaban manusia. Ia meninggalkan warisan kehancuran yang tidak hanya merenggut nyawa tetapi juga menghambat pembangunan, menghalangi pemulihan, dan merusak masa depan generasi mendatang. Komitmen untuk mengakhiri ancaman ini adalah komitmen untuk melindungi yang tak bersalah dan membangun dunia yang lebih aman dan lebih manusiawi bagi semua.
"Tidak ada keuntungan militer yang bisa membenarkan penderitaan dan kehancuran tak berujung yang disebabkan oleh bom klaster."