Borobudur, sebuah mahakarya arsitektur Buddha yang megah dan memukau, berdiri tegak di jantung Pulau Jawa, Indonesia. Lebih dari sekadar tumpukan batu vulkanik, candi ini adalah manifestasi monumental dari filosofi, spiritualitas, dan kecanggihan teknologi peradaban Jawa kuno. Sebagai salah satu situs warisan dunia UNESCO yang paling terkenal, Borobudur tidak hanya menarik jutaan wisatawan dari seluruh penjuru dunia, tetapi juga berfungsi sebagai pusat ziarah spiritual bagi umat Buddha global, khususnya saat perayaan Waisak. Keagungan arsitekturnya, kekayaan reliefnya, dan kedalaman simbolismenya menjadikannya permata tak ternilai yang terus menginspirasi dan memukau setiap generasi.
Sejarah Pembangunan yang Megah: Sebuah Warisan Dinasti Sailendra
Kisah Borobudur dimulai di bawah naungan Dinasti Sailendra, sebuah kerajaan maritim yang kuat dan pengikut ajaran Buddha Mahayana, yang mendominasi Jawa Tengah sekitar abad ke-8 dan ke-9. Pembangunan candi yang kolosal ini diperkirakan berlangsung selama puluhan, bahkan mungkin seratus tahun, dimulai sekitar abad ke-8 dan selesai pada pertengahan abad ke-9. Proyek ini bukan hanya sebuah pencapaian arsitektur, tetapi juga sebuah deklarasi spiritual dan politik yang ambisius, mencerminkan kekayaan dan kekuatan kerajaan pada masanya.
Motivasi di balik pembangunan Borobudur adalah kompleks. Di satu sisi, ia berfungsi sebagai stupa raksasa, sebuah kuil suci bagi umat Buddha untuk berziarah dan bermeditasi. Di sisi lain, Borobudur merupakan mandala kosmis, representasi alam semesta dalam ajaran Buddha, yang dirancang untuk memandu peziarah dalam perjalanan spiritual menuju pencerahan. Setiap batu, setiap relief, dan setiap tingkatannya dirancang dengan presisi filosofis dan artistik yang mendalam, mencerminkan cita-cita tertinggi agama Buddha.
Latar Belakang Dinasti Sailendra dan Ajaran Buddha
Dinasti Sailendra adalah salah satu dinasti paling berpengaruh di Nusantara. Mereka adalah penganut Buddha Mahayana yang taat, dan ajaran ini sangat memengaruhi seni dan arsitektur yang mereka ciptakan. Wilayah Jawa Tengah pada masa itu menjadi pusat perkembangan budaya dan keagamaan yang subur, di mana seni pahat batu mencapai puncaknya. Borobudur adalah puncak dari ekspresi artistik dan spiritual ini, sebuah manifestasi fisik dari ajaran Buddha yang mendalam dan cita-cita pencerahan.
Para penguasa Sailendra tidak hanya memerintahkan pembangunan candi, tetapi juga mendukung penyebaran dan studi ajaran Buddha. Candi ini kemungkinan besar berfungsi sebagai pusat pendidikan dan pengajaran, di mana para biksu dan sarjana berkumpul untuk mempelajari ajaran Buddha yang tergambar dalam relief-reliefnya yang detail. Kekayaan artistik Borobudur juga menunjukkan hubungan erat dengan tradisi seni Gupta di India dan pengaruh dari kerajaan-kerajaan seperti Srivijaya di Sumatera, yang juga merupakan pusat pembelajaran Buddha Mahayana.
Pembangunan Borobudur juga merupakan simbol kekuatan dan kemakmuran dinasti Sailendra. Dengan sumber daya yang besar dan tenaga kerja yang terampil, mereka mampu membangun sebuah struktur yang luar biasa besar dan rumit, sebuah bukti dari organisasi sosial dan teknis yang canggih pada masa itu. Struktur ini tidak hanya bertahan dari gempa bumi dan letusan gunung berapi selama berabad-abad, tetapi juga mempertahankan keindahan arsitektur dan pesan filosofisnya.
Tahapan Konstruksi dan Estimasi Waktu
Pembangunan Borobudur diperkirakan membutuhkan waktu puluhan tahun, mungkin lebih dari 75 tahun, dan melibatkan ribuan pekerja serta ratusan pemahat batu. Batu-batu vulkanik yang diambil dari sungai-sungai terdekat dipotong, diukir, dan disusun tanpa menggunakan adukan semen. Mereka menggunakan sistem interlock, mirip dengan jigsaw puzzle raksasa, yang memungkinkan struktur ini menahan gempa bumi dan pergeseran tanah.
Proyek ini mungkin dimulai oleh Raja Samaratungga sekitar abad ke-8 dan diselesaikan oleh penerusnya. Setiap tahap pembangunan melibatkan perencanaan yang sangat teliti, baik dari segi arsitektur, rekayasa, maupun artistik. Para arsitek, yang dikenal sebagai Undagi, harus memiliki pemahaman mendalam tentang ajaran Buddha, teknik konstruksi, dan astronomi, karena orientasi candi dan penempatan reliefnya memiliki makna kosmis yang spesifik.
Proses pembangunan dimulai dari dasar, membangun teras-teras yang semakin menyempit ke atas. Setiap tingkat diselesaikan sebelum tingkat berikutnya dibangun, memungkinkan para pemahat untuk bekerja pada relief dan patung secara horizontal. Material yang digunakan, yaitu batu andesit, dipilih karena kekuatan dan ketersediaannya yang melimpah di wilayah tersebut. Meskipun candi ini dibangun di atas bukit alami, bukit tersebut dimodifikasi secara ekstensif untuk membentuk fondasi yang kokoh, menopang beban jutaan blok batu.
Teknik Pembangunan Tanpa Mortar dan Sistem Drainase
Salah satu keajaiban teknis Borobudur adalah konstruksinya yang sepenuhnya tanpa mortar atau perekat. Setiap blok batu dipahat sedemikian rupa sehingga saling mengunci satu sama lain, menciptakan struktur yang sangat stabil dan tahan terhadap gempa. Teknik ini dikenal sebagai interlocking, yang menunjukkan tingkat keahlian insinyur dan pemahat pada masa itu yang luar biasa. Bagian-bagian batu yang saling mengunci membentuk sebuah kesatuan yang solid, mendistribusikan beban secara merata.
Selain itu, Borobudur juga dilengkapi dengan sistem drainase yang canggih untuk mengelola air hujan. Ratusan gargoyle atau pancuran air berbentuk kepala singa atau makhluk mitologi lainnya ditempatkan di setiap teras untuk mengalirkan air hujan. Sistem ini sangat penting untuk mencegah erosi dan kerusakan struktur candi, menjaga kestabilan dan integritas arsitekturnya selama berabad-abad. Tanpa sistem drainase yang efektif, air akan merembes ke dalam struktur, menyebabkan pelapukan dan keruntuhan.
Pemilihan lokasi di atas bukit, di antara dua gunung berapi aktif (Merapi dan Merbabu) dan dua sungai (Elo dan Progo), juga bukan kebetulan. Lokasi ini dianggap memiliki energi kosmis yang kuat dalam kepercayaan Jawa kuno. Selain itu, bukit tersebut memberikan elevasi yang diperlukan untuk menciptakan struktur yang mendominasi lanskap, menegaskan kekuasaan dan spiritualitas yang terkandung di dalamnya. Keberadaan sungai-sungai tersebut juga memudahkan transportasi material batu yang dibutuhkan untuk pembangunan.
Arsitektur dan Filosofi Sebuah Mandala Kosmis
Borobudur adalah sebuah stupa besar berbentuk piramida berundak, namun secara konseptual, ia adalah sebuah mandala tiga dimensi, sebuah diagram kosmis yang memvisualisasikan perjalanan spiritual manusia dari dunia profan menuju pencerahan nirwana. Candi ini terdiri dari sembilan teras berundak: enam teras persegi di bagian bawah dan tiga teras melingkar di bagian atas, puncaknya adalah sebuah stupa utama.
Struktur ini dirancang sedemikian rupa sehingga setiap peziarah harus berjalan searah jarum jam (pradakshina) mengelilingi setiap teras, melewati ribuan relief yang menceritakan kisah-kisah moral dan ajaran Buddha. Perjalanan ini melambangkan tahap-tahap pendakian jiwa menuju kesempurnaan spiritual, dari dunia hasrat material (Kamadhatu), melalui dunia bentuk (Rupadhatu), hingga mencapai dunia tanpa bentuk (Arupadhatu).
Struktur Umum: Piramida Bertingkat, Denah Lingkaran dan Persegi
Borobudur memiliki denah dasar persegi dengan sisi sekitar 123 meter, yang secara bertahap menyempit ke atas. Bagian bawah candi adalah sebuah alas besar, disusul oleh enam teras persegi yang berukirkan relief-relief rumit. Di atas teras-teras persegi ini terdapat tiga teras melingkar yang dihiasi dengan stupa-stupa berlubang, dan puncaknya adalah stupa utama yang besar dan tertutup. Tinggi total candi dari dasar hingga puncak stupa utama adalah sekitar 34,5 meter setelah restorasi.
Gabungan bentuk persegi dan lingkaran dalam satu struktur mencerminkan filosofi kosmologi Buddha yang kompleks. Bentuk persegi melambangkan dunia material dan aspek-aspek kehidupan duniawi, sementara bentuk lingkaran melambangkan aspek spiritual, keabadian, dan kesempurnaan. Transisi dari bentuk persegi ke lingkaran melambangkan perjalanan dari dunia materi menuju dunia spiritual, atau dari samsara menuju nirwana. Orientasi candi yang tepat menghadap empat mata angin juga memiliki makna kosmis dan religius yang dalam.
Setiap teras dan setiap sudut candi dirancang dengan presisi matematis dan artistik yang luar biasa. Proporsi yang harmonis dan simetri yang sempurna menunjukkan pemahaman mendalam para arsitek tentang geometri suci. Seluruh struktur Borobudur juga dapat dilihat sebagai sebuah stupa raksasa yang diperluas, dengan elemen-elemennya yang membentuk suatu kesatuan yang koheren dan bermakna.
Tiga Tingkat Dunia dalam Kosmologi Buddha
Konsep utama Borobudur adalah representasi tiga alam atau tingkatan dalam kosmologi Buddha: Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu. Setiap tingkat memiliki arsitektur, relief, dan patung Buddha yang berbeda, yang secara simbolis memandu peziarah melalui tahap-tahap pencerahan.
Kamadhatu: Dunia Nafsu dan Hasrat
Kamadhatu adalah tingkatan paling bawah Borobudur, yang secara simbolis mewakili "Dunia Hasrat". Tingkatan ini melambangkan kehidupan manusia yang masih terikat pada nafsu dan keinginan duniawi. Kamadhatu awalnya tersembunyi di balik tumpukan batu yang membentuk fondasi candi, sebuah dinding penopang yang disebut "kaki tersembunyi." Meskipun tersembunyi, dinding ini tidak kosong. Di sana terdapat serangkaian 160 relief yang menggambarkan hukum karma atau Karmawibhangga, sebuah siklus sebab-akibat yang menentukan nasib seseorang.
Relief-relief Karmawibhangga ini sangat detail dan grafis, menunjukkan gambaran surga dan neraka, perbuatan baik dan buruk, serta konsekuensi moral dari setiap tindakan. Misalnya, ada relief yang menggambarkan orang-orang yang dihukum karena mencuri, berbohong, membunuh, atau melakukan perbuatan jahat lainnya, dan di sisi lain, ada juga yang menggambarkan pahala bagi mereka yang berbuat baik. Tujuannya adalah untuk mendidik peziarah tentang etika moral dan pentingnya tindakan yang benar dalam kehidupan untuk mencapai kelahiran yang lebih baik di masa depan.
Alasan mengapa tingkatan ini disembunyikan masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan dan arkeolog. Beberapa teori mengatakan bahwa itu sengaja ditutupi untuk tujuan struktural, agar candi lebih stabil. Teori lain mengusulkan bahwa itu adalah simbolis: bahwa dunia nafsu harus dilewati atau "ditinggalkan" oleh peziarah sebelum mereka dapat melanjutkan perjalanan spiritual yang lebih tinggi. Beberapa juga berpendapat bahwa penutupan itu dilakukan setelah pembangunan untuk mencegah perbuatan jahat yang digambarkan dalam relief terjadi di sekitar situs suci.
Terlepas dari alasannya, penemuan kaki tersembunyi ini pada akhir abad ke-19 oleh Dr. J.W. Ijzerman adalah salah satu penemuan paling penting dalam sejarah penelitian Borobudur. Meskipun sebagian besar tetap tersembunyi, beberapa sudut telah dibuka untuk memungkinkan pengunjung melihat sebagian kecil dari relief-relief Karmawibhangga yang luar biasa ini, memberikan jendela unik ke dalam pandangan dunia moral masyarakat Jawa kuno.
Rupadhatu: Dunia Rupa dan Bentuk
Setelah melewati Kamadhatu, peziarah memasuki tingkatan Rupadhatu, atau "Dunia Rupa". Ini adalah bagian candi yang paling menonjol dan luas, terdiri dari empat teras persegi yang membentang luas. Tingkatan ini melambangkan tahap di mana manusia telah melepaskan diri dari nafsu duniawi, tetapi masih terikat pada bentuk dan materi. Meskipun masih ada ikatan, di sini individu mulai memahami ajaran-ajaran spiritual yang lebih tinggi.
Dinding-dinding di sepanjang galeri Rupadhatu dihiasi dengan ribuan panel relief yang megah, membentang sepanjang lebih dari 3 kilometer. Relief-relief ini adalah katalog visual ajaran Buddha, menceritakan kisah-kisah kehidupan Buddha dan bodhisattva, serta ajaran moral dan filosofis yang mendalam. Mereka dirancang untuk dibaca dan direnungkan oleh peziarah saat mereka berjalan searah jarum jam mengelilingi setiap teras.
Kisah Jataka dan Avadana
Relief-relief di galeri pertama seringkali menggambarkan kisah-kisah Jataka dan Avadana. Jataka adalah kisah-kisah kehidupan Buddha di masa lampau sebelum mencapai pencerahan, di mana ia terlahir dalam berbagai bentuk, baik manusia maupun hewan, dan selalu menunjukkan sifat-sifat welas asih, pengorbanan, dan kebijaksanaan. Kisah-kisah ini berfungsi sebagai pelajaran moral yang mengajarkan kebajikan dan etika.
Sementara itu, Avadana adalah kisah-kisah serupa yang menceritakan perbuatan baik para bodhisattva dan tokoh-tokoh suci lainnya, yang pada akhirnya membawa mereka menuju pencerahan. Kisah-kisah ini menegaskan prinsip karma dan pentingnya berbuat baik untuk mencapai pembebasan. Ribuan detail pada relief ini memukau, menggambarkan kehidupan sehari-hari, flora dan fauna, serta arsitektur pada masa Jawa kuno, memberikan wawasan berharga bagi sejarawan.
Lalitavistara: Riwayat Hidup Buddha Gautama
Salah satu rangkaian relief paling penting adalah Lalitavistara, yang secara khusus menceritakan riwayat hidup Buddha Gautama dari kelahirannya sebagai Pangeran Siddhartha hingga khotbah pertamanya di Taman Rusa Sarnath. Rangkaian ini dimulai dengan kisah-kisah tentang dewa-dewi di Surga Tusita yang meminta calon Buddha untuk turun ke bumi, kelahiran ajaibnya di Taman Lumbini, masa kanak-kanaknya di Kapilavastu, pernikahannya dengan Yasodhara, hingga momen-momen pencerahannya di bawah pohon Bodhi.
Setiap panel Lalitavistara adalah sebuah mahakarya naratif visual, penuh dengan detail artistik yang menggambarkan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan Siddhartha. Peziarah diajak untuk "mengikuti" perjalanan sang Buddha, merasakan perjuangan dan pencariannya, serta pada akhirnya memahami jalan menuju pencerahan. Relief ini tidak hanya indah secara estetika, tetapi juga berfungsi sebagai kitab suci bergambar, memungkinkan mereka yang tidak bisa membaca teks-teks Pali atau Sansekerta untuk memahami ajaran Buddha secara visual.
Detail-detail dalam relief ini sangat hidup: ekspresi wajah, gerakan tubuh, pakaian, dan latar belakang arsitektur yang digambarkan memberikan gambaran realistis tentang kehidupan di India kuno dan ajaran Buddha yang sedang berkembang. Ada 120 panel relief yang didedikasikan untuk kisah Lalitavistara, menunjukkan betapa sentralnya narasi ini dalam pesan Borobudur.
Gandavyuha: Pencarian Sudhana Menuju Kebijaksanaan
Relief-relief di galeri-galeri atas Rupadhatu didominasi oleh kisah Gandavyuha, sebuah bagian dari Sutra Avatamsaka (Sutra Karangan Bunga). Kisah ini menceritakan perjalanan spiritual seorang pemuda bernama Sudhana yang mencari kebijaksanaan tertinggi. Sudhana bertemu dengan berbagai guru spiritual, mulai dari bodhisattva, dewa-dewi, hingga orang biasa, masing-masing mengajarkan dia tentang berbagai aspek Dharma dan membimbingnya menuju pencerahan.
Perjalanan Sudhana yang tanpa henti, kesediaannya untuk belajar dari siapa saja, dan ketabahannya dalam mencari kebenaran, menjadi inspirasi bagi peziarah. Ini melambangkan perjalanan spiritual peziarah itu sendiri: dari satu tingkat ke tingkat berikutnya, mencari guru, dan mengumpulkan kebijaksanaan hingga mencapai pemahaman yang utuh. Kisah Gandavyuha menggambarkan pentingnya ketekunan, kerendahan hati, dan pikiran terbuka dalam pencarian spiritual.
Relief-relief Gandavyuha adalah rangkaian terpanjang di Borobudur, dengan ratusan panel yang mengisi sebagian besar galeri di teras ketiga dan keempat. Narasi visualnya sangat kaya, menggambarkan berbagai pemandangan, karakter, dan interaksi yang kompleks, mencerminkan keragaman ajaran Buddha Mahayana. Melalui kisah ini, Borobudur mengajarkan bahwa jalan menuju pencerahan adalah sebuah proses yang panjang, penuh dengan pembelajaran, pengorbanan, dan pertumbuhan spiritual.
Secara keseluruhan, relief-relief di Rupadhatu adalah sebuah ensiklopedia visual ajaran Buddha, yang dirancang untuk membimbing dan menginspirasi peziarah dalam perjalanan mereka menuju pemahaman yang lebih dalam tentang Dharma. Mereka tidak hanya indah secara artistik, tetapi juga berfungsi sebagai alat pedagogis yang kuat.
Arupadhatu: Dunia Tanpa Rupa dan Bentuk
Tingkatan tertinggi Borobudur adalah Arupadhatu, atau "Dunia Tanpa Rupa". Ini adalah tiga teras melingkar yang terletak di atas teras-teras persegi Rupadhatu. Di tingkatan ini, peziarah telah melepaskan diri sepenuhnya dari bentuk dan materi, mencapai tingkat spiritual yang lebih tinggi, mendekati nirwana, yaitu keadaan tanpa bentuk, tanpa keinginan, dan tanpa dualitas.
Arupadhatu sangat berbeda secara arsitektur dari Rupadhatu. Tidak ada lagi relief-relief naratif yang padat. Sebaliknya, teras-teras ini polos, terbuka, dan lapang, dengan hanya menampilkan patung-patung Buddha yang diletakkan di dalam stupa-stupa berlubang. Kesederhanaan ini melambangkan kekosongan (sunyata) dan kemurnian yang menjadi ciri khas pencapaian spiritual tertinggi. Patung-patung Buddha di sini hampir tidak terlihat dari jauh, melambangkan konsep bahwa kebenaran tertinggi tidak terikat pada bentuk.
Stupa Berlubang dan Patung Buddha
Di tiga teras melingkar Arupadhatu terdapat 72 stupa kecil berbentuk lonceng, yang masing-masing berlubang-lubang dan di dalamnya terdapat sebuah patung Buddha. Lubang-lubang pada stupa ini memungkinkan peziarah untuk mengintip ke dalam, melihat patung Buddha yang samar-samar. Hal ini secara simbolis mencerminkan bahwa kebenaran spiritual mungkin ada di sana, tetapi tidak mudah terlihat atau dipahami secara langsung; dibutuhkan upaya dan pemahaman mendalam untuk mengungkapnya.
Patung-patung Buddha di Arupadhatu memiliki mudra (sikap tangan) yang berbeda dari yang ada di Rupadhatu. Kebanyakan patung di sini menunjukkan mudra Dharmachakra Mudra (mengajar) atau Bhumisparsha Mudra (menyentuh bumi), tetapi secara umum, patung-patung di bagian Arupadhatu ini semua dalam sikap Dhyana Mudra, yaitu sikap meditasi, melambangkan ketenangan dan konsentrasi. Patung-patung ini secara seragam menghadap ke luar, seolah-olah mengundang pengamat untuk merenungkan makna keberadaan.
Total ada 504 patung Buddha di Borobudur. Masing-masing patung memiliki mudra yang berbeda sesuai dengan arah mata angin dan tingkatannya. Patung-patung di Rupadhatu sebagian besar memiliki mudra yang berbeda di setiap sisinya (timur, selatan, barat, utara), sedangkan patung-patung di Arupadhatu memiliki mudra yang sama.
Stupa Utama dan Makna Kosongnya
Puncak Borobudur adalah sebuah stupa utama yang besar dan tertutup rapat, terletak tepat di tengah-tengah teras Arupadhatu. Stupa ini melambangkan nirwana, titik tertinggi pencapaian spiritual, keadaan tanpa bentuk, tanpa nama, dan tanpa dualitas. Tidak seperti stupa-stupa kecil berlubang, stupa utama ini sama sekali tidak memiliki bukaan, menunjukkan bahwa nirwana tidak dapat digambarkan atau dipahami melalui bentuk fisik atau konsep duniawi.
Meskipun ada beberapa teori dan perdebatan, stupa utama ini diperkirakan kosong. Kekosongan ini sendiri memiliki makna simbolis yang mendalam dalam ajaran Buddha Mahayana, melambangkan kekosongan atau sunyata, inti dari realitas sejati yang melampaui segala bentuk dan konsep. Ini adalah tujuan akhir dari perjalanan spiritual, di mana semua ikatan material dan ego telah dilepaskan.
Beberapa arkeolog pernah menemukan arca Buddha yang tidak sempurna di dalam stupa utama saat restorasi awal, yang disebut "Buddha yang tidak selesai." Namun, banyak yang percaya bahwa arca tersebut mungkin diletakkan di sana secara keliru atau pada periode yang jauh lebih baru, dan bahwa niat asli dari para pembangun adalah agar stupa itu kosong, sebagai simbol dari ketiadaan dan kekosongan nirwana. Kekosongan ini juga bisa melambangkan Adi-Buddha, Buddha Primordial, yang tidak memiliki atribut dan merupakan sumber dari segala sesuatu.
Penemuan Kembali dan Upaya Restorasi Global
Setelah berabad-abad ditinggalkan dan terlupakan, tertutup abu vulkanik dan vegetasi hutan tropis, Borobudur ditemukan kembali pada awal abad ke-19. Kisah penemuannya sendiri adalah sebuah epik tentang keingintahuan dan ketekunan.
Masa Terlantar dan Penemuan oleh Thomas Stamford Raffles
Pada sekitar abad ke-10 hingga ke-15, pusat kekuasaan di Jawa beralih ke timur, dan populasi Jawa Tengah menyusut. Letusan gunung berapi yang hebat dari Gunung Merapi yang berdekatan juga mungkin berperan dalam penelantaran Borobudur. Candi ini secara bertahap ditinggalkan dan tertimbun abu vulkanik serta ditumbuhi oleh hutan. Selama berabad-abad, keberadaannya menjadi legenda dan mitos lokal, sebuah "gunung seribu patung" yang hilang di antara pepohonan.
Pada tahun 1814, saat Jawa berada di bawah kekuasaan Inggris, Letnan Gubernur Jenderal Sir Thomas Stamford Raffles, seorang penggemar sejarah dan budaya Jawa, mendengar desas-desus tentang reruntuhan besar di hutan Kedu. Tertarik oleh cerita-cerita ini, Raffles memerintahkan seorang insinyur Belanda bernama H.C. Cornelius untuk menyelidiki. Bersama 200 penduduk desa, Cornelius bekerja selama berbulan-bulan untuk menebang pohon, membakar semak belukar, dan membersihkan tanah dari reruntuhan yang menutupi candi.
Meskipun upaya awal Cornelius berhasil menyingkap sebagian besar candi, kondisi Borobudur saat itu sangat memprihatinkan. Banyak relief yang rusak, batu-batu berserakan, dan vegetasi yang agresif telah merusak struktur. Namun, penemuan ini adalah langkah pertama yang krusial dalam membawa Borobudur kembali ke cahaya dunia.
Upaya Awal Pembersihan dan Pencatatan
Setelah Raffles, berbagai upaya pembersihan dan pencatatan dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Pada tahun 1835, Kepala Residen Kedu, C.L. Hartmann, melanjutkan pekerjaan pembersihan, dan pada tahun 1842, F.C. Wilsen mulai membuat gambar-gambar relief Borobudur. J.F.G. Brumund melakukan penelitian ekstensif, dan pada tahun 1873, hasil penelitian dan gambar-gambar relief diterbitkan dalam monografi yang monumental. Ini adalah langkah penting dalam mendokumentasikan dan memahami Borobudur.
Pada tahun 1882, inspektur pemerintah, J.W. Ijzerman, menemukan "kaki tersembunyi" Borobudur yang berisi relief Karmawibhangga, sebuah penemuan yang mengubah pemahaman tentang candi ini. Namun, upaya awal ini seringkali kurang sistematis dan bahkan kadang-kadang menyebabkan kerusakan. Beberapa patung dan artefak dipindahkan ke Belanda sebagai hadiah atau koleksi pribadi, dan beberapa relief rusak akibat metode pembersihan yang kasar.
Pada awal abad ke-20, pemerintah kolonial Belanda mulai melakukan restorasi yang lebih terencana di bawah Theodor van Erp antara tahun 1907-1911. Van Erp dan timnya melakukan perbaikan struktural, pembersihan, dan perbaikan drainase. Meskipun upaya ini sangat penting dan berhasil mencegah kerusakan lebih lanjut, keterbatasan teknologi pada masa itu berarti restorasi tersebut tidak sepenuhnya mengatasi masalah struktural jangka panjang, seperti penurunan fondasi dan pelapukan batu.
Restorasi Besar UNESCO: Tantangan Teknis dan Filosofis
Meskipun upaya Van Erp, Borobudur terus menghadapi ancaman serius dari erosi, pertumbuhan mikroorganisme, dan penurunan struktural. Pada tahun 1960-an, pemerintah Indonesia, dengan dukungan UNESCO, meluncurkan proyek restorasi besar-besaran yang monumental. Proyek ini berlangsung dari tahun 1973 hingga 1983 dan melibatkan para ahli dari berbagai negara.
Restorasi ini adalah salah satu proyek konservasi arkeologi terbesar dan paling kompleks dalam sejarah. Tantangannya sangat besar: sekitar 1,3 juta blok batu harus dibongkar satu per satu, dibersihkan, diperbaiki, dan disusun kembali. Proses ini melibatkan pemetaan setiap blok batu, pembersihan dari lumut dan jamur, penguatan dengan bahan pengisi, dan pemasangan sistem drainase internal yang baru.
Tim restorasi harus mengatasi masalah teknis yang rumit, seperti bagaimana mencegah penurunan tanah dan bagaimana menjaga keaslian setiap relief dan patung. Mereka menggunakan teknologi modern saat itu, termasuk komputer, untuk merekonstruksi dan menstabilkan struktur. Lebih dari satu juta blok batu dilepas dan dipasang kembali, dengan penambahan sistem drainase internal yang lebih baik untuk mencegah kerusakan akibat air hujan.
Aspek filosofis restorasi juga sangat penting. Tujuannya bukan hanya untuk memperbaiki struktur fisik, tetapi juga untuk melestarikan nilai-nilai budaya dan spiritual Borobudur. Setiap keputusan diambil dengan hati-hati untuk memastikan bahwa intervensi modern tidak merusak integritas historis dan artistik candi. Proyek ini diakui secara internasional sebagai model restorasi dan konservasi situs warisan budaya.
Pada tahun 1991, berkat keberhasilan restorasi ini dan nilai universal yang luar biasa, Borobudur ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO, sebuah pengakuan atas keagungan dan pentingnya globalnya. Restorasi ini adalah bukti kerjasama internasional yang luar biasa dalam melestarikan warisan budaya umat manusia.
Teknik Modern dan Konservasi Batu Vulkanik
Restorasi besar Borobudur memanfaatkan teknik-teknik konservasi batu modern yang canggih. Salah satu inovasi utama adalah penggunaan sistem drainase internal yang terintegrasi. Air hujan yang meresap ke dalam struktur candi, yang sebelumnya menyebabkan pelapukan dan kerusakan, kini dikumpulkan dan dialirkan keluar melalui saluran-saluran khusus di dalam tubuh candi. Ini mencegah penumpukan kelembaban dan pertumbuhan mikroorganisme perusak.
Setiap blok batu yang dibongkar menjalani proses pembersihan yang cermat, menghilangkan lumut, jamur, dan kotoran lainnya. Bagian-bagian yang rusak atau retak diperbaiki dengan resin khusus atau diganti dengan batu baru yang cocok jika kerusakan terlalu parah. Penggunaan bahan kimia konservasi juga diterapkan untuk melindungi permukaan batu dari pelapukan lebih lanjut.
Aspek penting lainnya adalah stabilisasi fondasi. Para ahli melakukan injeksi semen khusus untuk menguatkan tanah di bawah candi, mencegah penurunan lebih lanjut. Selain itu, pemasangan pin stainless steel non-korosif digunakan untuk mengamankan blok-blok batu di beberapa area, memberikan kekuatan tambahan pada struktur tanpa terlihat dari luar.
Konservasi Borobudur adalah proses berkelanjutan. Bahkan setelah restorasi besar, candi ini terus dipantau dan dirawat secara rutin. Erosi akibat angin, hujan, dan polusi udara, serta dampak dari aktivitas vulkanik Gunung Merapi yang berdekatan, memerlukan perhatian konstan. Para konservator terus meneliti metode terbaik untuk melindungi batu-batu candi dari kerusakan, memastikan bahwa Borobudur dapat dinikmati oleh generasi mendatang.
Borobudur sebagai Warisan Dunia dan Pusat Spiritualitas
Status Borobudur sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO bukanlah sekadar gelar, melainkan pengakuan global atas nilai universalnya yang luar biasa. Ia bukan hanya sebuah monumen sejarah, tetapi juga pusat spiritual yang hidup, terutama bagi umat Buddha di seluruh dunia.
Kriteria UNESCO dan Keistimewaan Universal
Borobudur dianugerahi status Warisan Dunia oleh UNESCO pada tahun 1991 berdasarkan beberapa kriteria penting yang menyoroti keistimewaan universalnya. Kriteria ini meliputi:
- (i) Sebuah mahakarya kejeniusan kreatif manusia: Borobudur mewakili sebuah pencapaian artistik dan arsitektur yang luar biasa, terutama dalam seni pahat batu dan integrasi desain kompleks yang menggambarkan kosmologi Buddha.
- (ii) Pertukaran nilai-nilai kemanusiaan yang penting: Desain dan ukiran Borobudur menunjukkan pengaruh yang signifikan dari seni dan arsitektur India (khususnya tradisi Gupta), yang kemudian beradaptasi dan mengembangkan gaya lokal yang unik di Jawa, memengaruhi seni di seluruh Asia Tenggara.
- (iii) Bukti unik atau setidaknya luar biasa dari tradisi budaya: Borobudur adalah representasi luar biasa dari arsitektur candi Buddha di Asia Tenggara, mencerminkan ekspresi paling awal dari tradisi Mahayana di wilayah tersebut.
- (iv) Contoh luar biasa dari tipe bangunan yang melambangkan tahap penting dalam sejarah manusia: Sebagai candi Buddha terbesar di dunia, Borobudur adalah contoh luar biasa dari kompleks candi yang terintegrasi dengan pemandangan alami, secara simbolis memetakan jalan menuju pencerahan.
Pengakuan ini menegaskan bahwa Borobudur memiliki nilai yang tidak tertandingi bagi seluruh umat manusia, melampaui batas-batas budaya dan geografis. Ini adalah simbol toleransi, kebijaksanaan, dan keindahan artistik yang universal.
Perayaan Waisak dan Fungsi Ziarah
Meskipun Borobudur telah menjadi daya tarik wisata utama, fungsi utamanya sebagai situs ziarah Buddhis tetap hidup. Setiap tahun, ribuan umat Buddha dari Indonesia dan seluruh dunia berkumpul di Borobudur untuk merayakan Hari Raya Waisak, hari suci yang memperingati tiga peristiwa penting dalam kehidupan Buddha Gautama: kelahiran, pencerahan, dan wafatnya (parinirvana).
Perayaan Waisak di Borobudur adalah peristiwa yang sangat spiritual dan penuh warna. Para biksu dan umat Buddha melakukan prosesi pradakshina, berjalan mengelilingi candi searah jarum jam sambil memanjatkan doa dan merenungkan ajaran Buddha. Puncaknya adalah pelepasan ribuan lampion ke langit malam, melambangkan penerangan dunia dan pelepasan beban-beban duniawi. Perayaan ini mengingatkan kembali pada tujuan asli Borobudur sebagai tempat ibadah dan kontemplasi.
Selain Waisak, Borobudur juga berfungsi sebagai tempat ziarah individu dan kelompok sepanjang tahun. Bagi banyak orang, mengunjungi dan menapaki setiap tingkat candi adalah sebuah perjalanan meditasi, sebuah kesempatan untuk merenungkan ajaran Dharma dan mencari kedamaian batin. Atmosfer spiritual yang kental di Borobudur memberikan pengalaman yang mendalam bagi mereka yang mencari koneksi spiritual.
Simbol Toleransi dan Kerukunan Beragama
Di negara dengan mayoritas penduduk Muslim, keberadaan Borobudur sebagai candi Buddha terbesar di dunia adalah simbol kuat dari toleransi beragama dan kerukunan. Borobudur bukan hanya situs bagi umat Buddha, tetapi juga kebanggaan nasional Indonesia yang dihormati oleh semua lapisan masyarakat.
Situs ini menjadi contoh nyata bagaimana warisan budaya dari berbagai agama dapat hidup berdampingan dan dihargai dalam masyarakat yang majemuk. Pengelolaan Borobudur sebagai situs warisan dunia melibatkan kolaborasi antara pemerintah, komunitas lokal, dan organisasi keagamaan, menunjukkan komitmen untuk melestarikan nilai-nilai sejarah dan spiritualnya bagi semua orang.
Borobudur juga menjadi jembatan dialog antarbudaya. Ribuan pengunjung dari berbagai latar belakang, keyakinan, dan kebangsaan datang untuk mengagumi keindahannya, belajar tentang filosofi Buddha, dan merasakan atmosfer spiritualnya. Ini menciptakan ruang untuk pemahaman, penghargaan, dan pertukaran budaya yang positif di tingkat global. Dengan demikian, Borobudur tidak hanya menjadi ikon pariwisata, tetapi juga mercusuar perdamaian dan pengertian di dunia yang semakin terhubung.
Misteri dan Teori yang Belum Terpecahkan
Meskipun penelitian ekstensif telah dilakukan, Borobudur masih menyimpan beberapa misteri yang menarik dan memicu berbagai teori di kalangan para ahli.
Tujuan Sebenarnya Stupa Induk yang Kosong
Salah satu misteri terbesar adalah tujuan sebenarnya dari stupa utama di puncak Borobudur yang diperkirakan kosong. Secara tradisional, stupa berfungsi sebagai tempat relik suci atau peninggalan Buddha. Namun, stupa utama Borobudur yang besar ini tidak ditemukan berisi apa-apa, kecuali, pada satu titik, sebuah arca Buddha yang tidak sempurna, yang oleh banyak ahli dianggap bukan penempatan asli.
Teori yang paling diterima adalah bahwa kekosongan stupa utama melambangkan Sunyata (kekosongan) dalam ajaran Buddha Mahayana, yang merupakan inti dari kebijaksanaan dan pencerahan tertinggi, keadaan tanpa bentuk dan tanpa atribut. Ini adalah tujuan akhir perjalanan spiritual yang tidak dapat diungkapkan atau digambarkan secara fisik. Ada juga yang berpendapat bahwa kekosongan tersebut melambangkan Adi-Buddha, Buddha primordial yang tak terwujud.
Namun, beberapa teori lain mengemukakan bahwa stupa tersebut mungkin memang dirancang untuk menyimpan relik, tetapi relik tersebut telah diambil pada masa kuno. Atau, bahwa kekosongan itu sendiri adalah sebuah "relik" yang melambangkan ketiadaan, sebuah konsep yang mendalam dalam filsafat Buddha. Misteri ini terus menjadi bahan diskusi dan daya tarik bagi para sarjana dan pengunjung.
Mengapa Borobudur Ditinggalkan?
Bagaimana sebuah mahakarya yang begitu megah bisa ditinggalkan dan terlupakan selama berabad-abad adalah pertanyaan lain yang belum sepenuhnya terjawab. Beberapa teori diajukan:
- Perpindahan Pusat Kekuasaan: Sekitar abad ke-10, pusat kekuasaan kerajaan di Jawa bergeser dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Perpindahan ini mungkin menyebabkan penelantaran Borobudur karena kurangnya dukungan dan pemeliharaan dari penguasa.
- Letusan Gunung Merapi: Gunung Merapi, yang berada di dekat Borobudur, adalah salah satu gunung berapi paling aktif di dunia. Beberapa letusan hebat pada masa itu mungkin telah memaksa penduduk untuk pindah dan menutupi candi dengan abu vulkanik, menjadikannya tidak dapat diakses atau tidak dapat digunakan.
- Penyebaran Agama Islam: Sekitar abad ke-15, agama Islam mulai menyebar luas di Nusantara, menggantikan pengaruh Hindu-Buddha. Perubahan keyakinan ini mungkin menyebabkan Borobudur kehilangan signifikansi keagamaannya, sehingga ditinggalkan.
- Kombinasi Faktor: Kemungkinan besar, kombinasi dari semua faktor di atas, yaitu pergeseran politik, bencana alam, dan perubahan agama, berkontribusi pada penelantaran Borobudur.
Penelantaran ini, meskipun tragis, pada akhirnya justru melindunginya dari kerusakan lebih lanjut oleh manusia selama berabad-abad, menjaganya agar dapat ditemukan kembali dan dipulihkan di masa depan.
Hubungan dengan Candi Mendut dan Pawon
Borobudur tidak berdiri sendiri. Ia membentuk satu kesatuan kompleks dengan dua candi Buddha lainnya yang lebih kecil, yaitu Candi Mendut dan Candi Pawon. Ketiga candi ini terletak di sepanjang garis lurus yang membentang dari timur ke barat, menunjukkan adanya hubungan ritual atau filosofis yang disengaja.
- Candi Mendut: Terletak sekitar 3 kilometer di sebelah timur Borobudur. Di dalamnya terdapat tiga patung Buddha yang megah: Buddha Vairocana di tengah, Bodhisattva Avalokiteshvara di kiri, dan Bodhisattva Vajrapani di kanan. Candi ini diyakini sebagai tempat di mana para peziarah mempersiapkan diri secara spiritual sebelum melanjutkan perjalanan ke Borobudur.
- Candi Pawon: Berada di antara Mendut dan Borobudur, sekitar 1,75 kilometer dari Borobudur. Candi kecil ini sering disebut sebagai "penghubung" atau "tempat pensucian," mungkin berfungsi sebagai tempat untuk menyucikan diri atau sebagai tempat menyimpan abu-abu sebelum ziarah ke Borobudur.
Kesesuaian posisi geografis dan kesamaan arsitektur serta gaya seni menunjukkan bahwa ketiga candi ini dirancang sebagai satu kesatuan kompleks ritual. Diyakini bahwa para peziarah memulai perjalanan spiritual mereka dari Mendut, kemudian berhenti di Pawon untuk melakukan penyucian, dan akhirnya mencapai puncaknya di Borobudur. Hubungan simbiotik ini memperkaya makna dan pengalaman spiritual dari seluruh kompleks Borobudur.
Tantangan Masa Kini dan Konservasi Berkelanjutan
Meskipun telah melalui restorasi besar-besaran, Borobudur tetap menghadapi berbagai tantangan yang mengancam kelestariannya. Konservasi situs ini adalah upaya berkelanjutan yang membutuhkan perhatian dan sumber daya yang besar.
Erosi Akibat Cuaca dan Aktivitas Vulkanik
Sebagai struktur batu raksasa yang terbuka, Borobudur sangat rentan terhadap erosi akibat faktor alam. Hujan tropis yang lebat menyebabkan pelapukan dan pertumbuhan lumut serta mikroorganisme pada permukaan batu. Perubahan suhu ekstrem antara siang dan malam juga dapat menyebabkan batuan mengembang dan menyusut, memicu retakan kecil yang seiring waktu bisa menjadi lebih besar.
Ancaman terbesar datang dari Gunung Merapi, salah satu gunung berapi paling aktif di Indonesia, yang terletak hanya sekitar 30 kilometer dari Borobudur. Letusan Merapi menghasilkan abu vulkanik yang sangat korosif. Abu ini dapat menempel pada permukaan candi, dan ketika bercampur dengan air hujan, ia membentuk asam yang mempercepat pelapukan batu. Letusan Merapi pada tahun 2010 misalnya, menutupi Borobudur dengan lapisan abu tebal, memaksa upaya pembersihan besar-besaran dan pemantauan jangka panjang terhadap dampaknya.
Dampak Pariwisata Massal
Popularitas Borobudur sebagai tujuan wisata juga menimbulkan tantangan tersendiri. Jutaan pengunjung setiap tahun, meskipun menguntungkan secara ekonomi, dapat menyebabkan tekanan pada struktur fisik candi:
- Keausan Fisik: Langkah kaki jutaan orang yang menapaki tangga dan lorong-lorong candi setiap hari dapat menyebabkan keausan pada batu.
- Kerusakan Akibat Sentuhan: Sentuhan tangan pada relief dan patung dapat meninggalkan minyak dan kotoran, yang pada akhirnya merusak detail ukiran.
- Vandalisme: Meskipun jarang, tindakan vandalisme berupa coretan atau ukiran nama pada batu candi pernah terjadi.
- Polusi Udara: Peningkatan aktivitas kendaraan di sekitar area candi juga berkontribusi pada polusi udara yang dapat mempercepat pelapukan batu.
Pemerintah dan pengelola situs harus menyeimbangkan antara memfasilitasi akses publik dan melindungi monumen, sebuah tugas yang sulit.
Strategi Pelestarian dan Pengelolaan
Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, berbagai strategi pelestarian dan pengelolaan telah diterapkan:
- Pemantauan Rutin: Candi dipantau secara ketat oleh para konservator. Kondisi batu, pertumbuhan mikroorganisme, dan dampak lingkungan lainnya terus dievaluasi.
- Pembersihan Teratur: Pembersihan manual dan terkadang kimiawi dilakukan secara rutin untuk menghilangkan lumut, jamur, dan kotoran.
- Pembatasan Akses: Untuk mengurangi keausan, akses ke beberapa area candi kadang dibatasi, dan ada rencana untuk membatasi jumlah pengunjung yang diizinkan naik ke candi dalam satu waktu.
- Edukasi Pengunjung: Kampanye edukasi terus dilakukan untuk meningkatkan kesadaran pengunjung tentang pentingnya menjaga situs dan mematuhi aturan, seperti tidak menyentuh relief.
- Penelitian dan Pengembangan: Penelitian ilmiah terus dilakukan untuk mengembangkan metode konservasi yang lebih efektif, termasuk teknologi baru untuk melindungi batu dari pelapukan dan dampak abu vulkanik.
- Kerjasama Internasional: Indonesia terus bekerja sama dengan UNESCO dan lembaga internasional lainnya untuk mendapatkan dukungan teknis dan finansial dalam upaya konservasi Borobudur.
Konservasi Borobudur bukan hanya tanggung jawab Indonesia, tetapi merupakan upaya global untuk melestarikan salah satu warisan budaya terbesar umat manusia. Dengan pengelolaan yang hati-hati dan kesadaran kolektif, Borobudur diharapkan dapat terus berdiri tegak untuk generasi yang akan datang.
Pengalaman Mengunjungi Borobudur
Mengunjungi Borobudur adalah pengalaman yang tak terlupakan, sebuah perjalanan menapaki sejarah dan spiritualitas. Untuk memaksimalkan kunjungan Anda, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan.
Waktu Terbaik dan Tips Perjalanan
- Waktu Terbaik:
- Musim Kemarau (April - Oktober): Langit cerah, risiko hujan minimal. Namun, suhu bisa sangat panas di siang hari.
- Matahari Terbit (Sunrise): Ini adalah waktu paling populer dan magis untuk mengunjungi Borobudur. Cahaya pagi yang lembut menyinari candi, menciptakan pemandangan yang spektakuler. Anda perlu datang sangat pagi (sekitar pukul 04:00 - 04:30) dan membeli tiket khusus sunrise.
- Matahari Terbenam (Sunset): Alternatif yang juga indah, meskipun tidak sepopuler sunrise.
- Hindari Akhir Pekan dan Hari Libur Nasional: Jika memungkinkan, kunjungi pada hari kerja untuk menghindari keramaian.
- Tips Perjalanan:
- Pakaian Sopan: Kenakan pakaian yang menutupi bahu dan lutut sebagai tanda hormat. Jika tidak, Anda mungkin akan diminta mengenakan sarung di pintu masuk (biasanya disediakan gratis atau dengan sewa).
- Sepatu Nyaman: Anda akan banyak berjalan dan menaiki tangga.
- Bawa Topi/Payung & Air Minum: Lindungi diri dari matahari dan tetap terhidrasi.
- Gunakan Pemandu Lokal: Pemandu berlisensi dapat memberikan wawasan mendalam tentang sejarah, filosofi, dan relief candi.
- Pesan Tiket Online: Untuk menghindari antrean panjang, terutama saat musim ramai.
- Tetap Tenang dan Hormat: Borobudur adalah situs suci. Jaga sikap tenang, jangan berisik, dan hormati lingkungan.
Panduan Menjelajahi Setiap Tingkat
Untuk memahami sepenuhnya makna Borobudur, disarankan untuk mengikuti jalur peziarah kuno, yaitu berjalan searah jarum jam (pradakshina) di setiap tingkatan.
- Kamadhatu (Dasar Tersembunyi): Mulailah dari dasar. Jika bagian kaki tersembunyi dapat diakses, perhatikan relief Karmawibhangga yang mengajarkan hukum sebab-akibat. Ini adalah pengantar moral sebelum naik ke tingkat selanjutnya.
- Rupadhatu (Teras Persegi): Ini adalah bagian terpanjang dari perjalanan Anda. Jelajahi empat galeri teras persegi. Bacalah relief-relief yang mengalir dari kiri ke kanan (saat Anda berjalan searah jarum jam). Mulai dari kisah Jataka dan Avadana, kemudian Lalitavistara (kehidupan Buddha), hingga Gandavyuha (perjalanan Sudhana). Setiap teras memiliki serangkaian reliefnya sendiri, yang secara progresif menceritakan kisah-kisah yang semakin kompleks. Jangan terburu-buru; luangkan waktu untuk mengamati detail-detail yang menakjubkan dan merenungkan maknanya.
- Arupadhatu (Teras Melingkar): Setelah melewati galeri-galeri Rupadhatu, Anda akan tiba di tiga teras melingkar yang lebih terbuka dan polos. Di sini, fokuslah pada patung-patung Buddha di dalam stupa-stupa berlubang. Rasakan ketenangan dan kesederhanaan. Ini adalah puncak dari perjalanan spiritual, di mana dunia materi telah ditinggalkan dan fokus beralih ke kekosongan dan pencerahan.
- Stupa Utama: Puncaknya adalah stupa utama yang besar dan tertutup. Meskipun tidak ada akses ke dalamnya, berdiri di puncaknya dan memandang ke segala arah memberikan rasa pencapaian dan kedamaian. Dari sini, Anda bisa melihat lanskap sekitarnya yang indah, termasuk pegunungan dan sawah hijau.
Seluruh perjalanan ini dirancang untuk menjadi meditasi bergerak, membimbing peziarah dari dunia materi menuju realisasi spiritual tertinggi.
Etika dan Penghormatan di Situs Suci
Mengunjungi Borobudur memerlukan penghormatan terhadap situs suci dan warisan budaya ini. Beberapa etika yang perlu diperhatikan:
- Jangan Menyentuh Relief atau Patung: Minyak dari kulit dan keausan fisik dapat merusak detail yang rapuh.
- Jangan Menaiki Stupa atau Dinding: Selain merusak, ini juga berbahaya.
- Jangan Membuang Sampah Sembarangan: Jaga kebersihan lingkungan.
- Berbicara dengan Volume Rendah: Hindari membuat keributan yang mengganggu pengalaman pengunjung lain.
- Perhatikan Peringatan dan Aturan: Patuhi semua tanda dan instruksi dari petugas situs.
- Jangan Melakukan Pose Foto yang Tidak Pantas: Hindari pose yang tidak menghormati kesucian situs.
- Gunakan Jalur yang Ditentukan: Ikuti jalur yang telah disediakan untuk menjaga struktur candi.
Dengan menghormati Borobudur, kita ikut berkontribusi dalam menjaga keagungan dan kelestarian warisan tak ternilai ini untuk generasi mendatang.