Memahami Brutalisme: Estetika Jujur & Warisan Abadi

Ilustrasi Arsitektur Brutalisme Geometris Sebuah ilustrasi vektor abstrak yang menggambarkan bentuk-bentuk geometris masif dan ekspresif khas Brutalisme. Tiga balok persegi panjang tersusun secara tidak rata, menonjolkan tekstur kasar dan kejujuran material beton.

Arsitektur, sebagai cerminan peradaban, senantiasa beradaptasi dan berevolusi mengikuti zaman, kebutuhan, serta gagasan filosofis yang melingkupinya. Di antara beragam gaya yang pernah muncul dan meninggalkan jejak mendalam, Brutalisme adalah salah satu yang paling menarik sekaligus kontroversial. Nama ini sendiri seringkali memicu asosiasi negatif: "brutal," "kejam," "dingin." Namun, di balik persepsi awal yang keras, Brutalisme menawarkan sebuah filosofi desain yang jujur, fungsional, dan seringkali monumental, yang lahir dari kebutuhan pasca-perang dan sebuah idealisme modernis yang kuat.

Artikel ini akan membawa kita menyelami lebih dalam dunia Brutalisme, mengungkap akar sejarahnya, prinsip-prinsip desain yang mendasarinya, ciri khas estetikanya yang tak terbantahkan, serta warisan yang ditinggalkannya. Kita akan menjelajahi bagaimana gaya ini tidak hanya sekadar penggunaan beton mentah, melainkan sebuah pernyataan arsitektural yang berani, yang terus memicu diskusi dan apresiasi hingga hari ini.

Akar dan Filosofi Brutalisme: Dari Kebutuhan hingga Idealisme

Untuk memahami Brutalisme, kita harus kembali ke pertengahan abad ke-20, khususnya periode pasca-Perang Dunia II. Eropa, terutama Inggris, menghadapi krisis perumahan dan kebutuhan mendesak untuk membangun kembali kota-kota yang hancur. Dalam konteks inilah, gaya arsitektur yang menawarkan solusi cepat, efisien, dan ekonomis menjadi sangat relevan.

Asal Mula Nama "Brutalisme"

Istilah "Brutalisme" sendiri memiliki sejarah yang menarik. Ia tidak secara langsung mengacu pada kekejaman atau kekerasan, melainkan berasal dari frasa Prancis, "béton brut," yang secara harfiah berarti "beton mentah." Frasa ini pertama kali dipopulerkan oleh arsitek legendaris Le Corbusier untuk menggambarkan material beton ekspos yang belum difinishing yang ia gunakan dalam proyek-proyek pentingnya, seperti Unité d'habitation di Marseille (dimulai 1947) dan beberapa bangunan di Chandigarh, India. Le Corbusier menghargai kejujuran dan ekspresi alami dari material tersebut, membiarkan tanda-tanda bekisting dan tekstur beton terlihat jelas sebagai bagian dari estetika bangunan.

"Arsitektur Brutalisme, dengan material beton mentah yang terbuka, bukan hanya tentang tampilan, tetapi tentang kejujuran struktural dan kesederhanaan filosofis."

Namun, istilah "Brutalisme" dalam konteks gerakan arsitektur formal baru dipopulerkan pada tahun 1950-an oleh kritikus arsitektur Inggris, Reyner Banham. Banham menggunakannya untuk mendefinisikan sebuah gaya yang muncul dari karya-karya Alison dan Peter Smithson, khususnya Hunstanton School (1954). Bagi Banham, Brutalisme bukan sekadar gaya visual, melainkan juga sebuah etos, sebuah sikap terhadap arsitektur yang melibatkan:

Konteks Sosial dan Politik

Brutalisme bukan hanya respons estetik, melainkan juga respons sosial. Setelah perang, banyak negara berupaya membangun masyarakat baru yang lebih egaliter. Arsitektur diharapkan dapat melayani masyarakat luas, menyediakan perumahan yang terjangkau, fasilitas pendidikan, dan gedung-gedung pemerintahan yang efisien. Beton, sebagai material yang relatif murah, mudah diproduksi massal, dan sangat kuat, menjadi pilihan logis.

Pada saat yang sama, ada juga idealisme modernis yang kuat, yang percaya bahwa arsitektur harus mencerminkan fungsi secara langsung, menolak ornamen yang tidak perlu, dan menggunakan teknologi konstruksi modern. Brutalisme, dengan penekanan pada fungsionalisme, materialitas yang jujur, dan bentuk-bentuk masif, menjadi ekspresi dari idealisme tersebut.

Ciri Khas Estetika Brutalisme: Kekuatan dalam Kesederhanaan

Estetika Brutalisme sangat mudah dikenali dan seringkali memecah belah opini. Namun, terlepas dari suka atau tidak suka, ada serangkaian karakteristik yang secara konsisten mendefinisikan gaya ini.

Material Utama: Beton Ekspos (Béton Brut)

Tidak ada material lain yang lebih identik dengan Brutalisme selain beton ekspos. Penggunaannya bukan sekadar pilihan material, melainkan sebuah pernyataan filosofis. Beton dibiarkan tanpa finishing, memperlihatkan tekstur mentahnya, pola cetakan bekisting (kayu, logam, atau lainnya), dan bahkan jejak-jejak proses konstruksi.

Bentuk dan Geometri

Bentuk-bentuk dalam Brutalisme cenderung masif, kokoh, dan geometris. Seringkali menggunakan blok-blok besar, persegi panjang, atau silinder yang saling terkait atau bertumpuk, menciptakan komposisi yang kuat dan monolitik.

Fasad dan Detail

Fasad bangunan Brutalisme umumnya tanpa ornamen. Keindahan dicari dalam proporsi, tekstur material, dan permainan cahaya-bayangan pada permukaan yang bervariasi.

Skala dan Dampak Visual

Skala bangunan Brutalisme cenderung megah, seringkali dominan dalam lanskap perkotaan. Dampak visualnya bisa bervariasi dari mengagumkan hingga intimidatif.

Bangunan Ikonik dan Arsitek Terkemuka Brutalisme

Brutalisme meninggalkan jejak global, dengan banyak arsitek terkemuka yang mengadopsi dan menginterpretasikan gayanya dengan cara unik. Berikut adalah beberapa contoh ikonik dan tokoh kunci dalam gerakan ini:

Le Corbusier (1887–1965)

Meskipun Le Corbusier sendiri tidak secara langsung melabeli dirinya sebagai Brutalis, karyanya dengan "béton brut" adalah inspirasi utama. Unité d'habitation di Marseille (1947–1952) adalah prototipe penting. Bangunan perumahan vertikal ini menampilkan fasad beton ekspos dengan pola kotak-kotak yang berulang, jendela dalam, dan struktur masif. Ini adalah sebuah "kota di langit," dirancang untuk menyediakan semua kebutuhan penghuni dalam satu struktur, termasuk toko, fasilitas rekreasi, dan penitipan anak. Chandigarh, ibu kota Punjab dan Haryana di India, juga merupakan mahakarya Brutalis yang dirancang oleh Le Corbusier, dengan bangunan-bangunan monumental seperti Palace of Assembly dan Secretariat yang mengekspresikan kekokohan beton dan bentuk geometris yang kuat.

Alison dan Peter Smithson (1928–1993; 1923–2003)

Pasangan arsitek Inggris ini adalah pelopor Brutalisme 'baru' di Inggris. Sekolah Hunstanton (1954) mereka sering disebut sebagai "gedung Brutalisme sejati pertama." Bangunan ini dengan berani mengekspos struktur baja, batu bata, dan pipa utilitas, meniru estetika pabrik industri yang jujur. Desain mereka menekankan pada kejujuran material, kesederhanaan, dan pengungkapan fungsi. Mereka percaya pada "estetika yang jujur," di mana bangunan harus mengungkapkan apa adanya.

Paul Rudolph (1918–1997)

Arsitek Amerika ini terkenal dengan penggunaan beton ekspos yang dramatis dan tekstural. Yale Art and Architecture Building (sekarang Paul Rudolph Hall) di New Haven, Connecticut (1963) adalah contoh utamanya. Dengan hampir seratus tingkat ketinggian yang berbeda, banyak balkon, dan permukaan beton bertekstur kasar (yang diciptakan dengan menggunakan bekisting beralur kayu), bangunan ini adalah labirin ruang yang monumental dan kompleks. Rudolph mahir dalam menciptakan efek cahaya dan bayangan yang mendalam dengan penggunaan beton.

Denys Lasdun (1914–2001)

Lasdun adalah arsitek Inggris lainnya yang terkenal dengan karya-karya Brutalisnya. National Theatre di London (1976) adalah salah satu karyanya yang paling terkenal. Terletak di tepi Sungai Thames, bangunan ini adalah sebuah "benteng budaya" yang monumental, dengan balok-balok beton masif yang tumpang tindih dan bertingkat, menciptakan teras dan area publik yang kompleks. Desainnya dimaksudkan untuk menyatu dengan tebing di sisi selatan sungai, meskipun sering dikritik karena penampilannya yang "berat" dan "mengintimidasi".

Ernő Goldfinger (1902–1987)

Arsitek asal Hungaria yang berkarya di Inggris ini terkenal dengan menara perumahan Brutalisnya. Trellick Tower (1972) dan Balfron Tower (1967), keduanya di London, adalah contoh-contoh mencolok dari desain perumahan Brutalis. Mereka adalah menara-menara beton tinggi dengan menara utilitas terpisah yang menampung lift dan tangga, dihubungkan dengan jembatan layang. Goldfinger bertujuan untuk menciptakan perumahan berkualitas tinggi untuk masyarakat, meskipun kedua menara ini kemudian menjadi kontroversial.

Arsitek Lainnya yang Berpengaruh

Brutalisme di Berbagai Belahan Dunia

Meskipun berakar kuat di Eropa, Brutalisme menemukan jalannya ke seluruh dunia, diadaptasi dan diinterpretasikan sesuai dengan konteks lokal dan kebutuhan regional. Gerakan ini menjadi bahasa arsitektur universal untuk institusi publik dan perumahan pasca-perang.

Inggris: Pusat Kelahiran dan Eksperimen

Inggris Raya adalah tempat di mana Brutalisme sebagai sebuah gerakan secara formal diidentifikasi dan dikembangkan. Selain Smithson bersaudara, arsitek seperti Erno Goldfinger, James Stirling, dan Lasdun menciptakan banyak bangunan ikonik. Dari kompleks perumahan besar seperti Robin Hood Gardens (Alison dan Peter Smithson) hingga pusat-pusat perbelanjaan dan universitas (misalnya University of East Anglia), Brutalisme menjadi gaya dominan dalam pembangunan kembali pasca-perang. Fokusnya seringkali pada perumahan sosial skala besar dan infrastruktur pendidikan, yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat baru yang idealis. Namun, lingkungan yang dihasilkan seringkali terasa suram dan tidak ramah.

Amerika Utara: Kampus dan Gedung Pemerintahan

Di Amerika Serikat dan Kanada, Brutalisme seringkali diterapkan pada bangunan institusional seperti perpustakaan, gedung universitas, dan pusat pemerintahan. Universitas-universitas melihat beton sebagai material yang tahan lama, ekonomis, dan dapat diukir menjadi bentuk-bentuk yang ekspresif. Selain Paul Rudolph, arsitek seperti Gordon Bunshaft (SOM) dengan Beinecke Rare Book & Manuscript Library di Yale, dan I.M. Pei dengan Everson Museum of Art, menunjukkan variasi penggunaan beton ekspos yang masif dan geometris. Di Kanada, terutama di kota-kota seperti Montreal dan Toronto, Brutalisme digunakan untuk stasiun metro, blok apartemen besar, dan gedung-gedung pemerintah, seringkali dengan sentuhan yang lebih halus dan fokus pada efisiensi.

Eropa Timur dan Soviet Bloc: Simbol Kekuatan

Di negara-negara yang berada di bawah pengaruh Soviet, Brutalisme atau arsitektur yang sangat mirip dengannya menjadi gaya yang dominan. Ini adalah pilihan yang pragmatis karena beton adalah material yang tersedia secara lokal dan murah untuk pembangunan cepat pasca-perang. Namun, estetika Brutalisme juga beresonansi dengan ideologi rezim, memproyeksikan citra kekuatan, stabilitas, dan monumentalitas negara. Gedung-gedung pemerintahan, monumen perang, hotel besar, dan blok apartemen di kota-kota seperti Belgrade, Skopje, Berlin Timur, atau Warsawa seringkali menampilkan karakteristik Brutalis yang jelas, dengan beton masif, bentuk geometris, dan skala yang mengesankan. Contohnya adalah Bank Nasional Georgia di Tbilisi atau Monumen Buzludzha di Bulgaria.

Asia: Modernitas dan Metabolisme

Di Jepang, Brutalisme menemukan ekspresi unik melalui gerakan Metabolisme, yang dipimpin oleh arsitek seperti Kenzo Tange dan Kisho Kurokawa. Meskipun Metabolisme memiliki filosofi yang lebih luas tentang arsitektur yang berkembang seperti organisme hidup, banyak bangunan Metabolism menampilkan material beton ekspos, bentuk masif, dan fokus pada struktur yang ekspresif, mirip dengan Brutalisme. Tokyo Olympic Gymnasiums (Tange) adalah contoh perpaduan Brutalisme dengan sentuhan fluiditas Jepang. Di negara-negara lain di Asia, seperti di Singapura atau Hong Kong, Brutalisme juga digunakan untuk pembangunan perumahan massal dan gedung-gedung pemerintahan, mencerminkan upaya modernisasi pasca-kolonial.

Amerika Latin: Adaptasi Tropis

Arsitek di Amerika Latin juga mengadopsi Brutalisme, seringkali mengadaptasinya dengan iklim tropis dan budaya lokal. Material beton ekspos sangat cocok untuk daerah dengan kelembaban tinggi karena ketahanannya dan kemampuannya untuk berinteraksi dengan cahaya dan bayangan yang kuat. Arsitek seperti João Batista Vilanova Artigas dan Lina Bo Bardi di Brasil menciptakan karya-karya Brutalis yang signifikan, seperti Fakultas Arsitektur dan Urbanisme Universitas São Paulo (Vilanova Artigas) atau Museum Seni São Paulo (Lina Bo Bardi) yang menampilkan balok-balok beton raksasa. Bangunan-bangunan ini seringkali menggunakan beton untuk menciptakan ruang terbuka yang luas dan berangin, serta untuk menonjolkan tekstur dan kejujuran material.

Afrika: Identitas Pasca-Kolonial

Setelah kemerdekaan dari kolonialisme, banyak negara di Afrika mencari bahasa arsitektur yang baru untuk mencerminkan identitas nasional mereka yang baru. Brutalisme, dengan bentuknya yang berani, material yang kuat, dan kemampuan untuk mewujudkan institusi publik yang penting, menjadi pilihan yang menarik. Contoh dapat ditemukan di kota-kota seperti Accra, Ghana, atau Dakar, Senegal, di mana gedung-gedung parlemen, universitas, atau museum dibangun dengan gaya Brutalis, melambangkan kekuatan dan kemerdekaan. Desainnya seringkali diadaptasi untuk kondisi iklim lokal, dengan penggunaan beton untuk memberikan insulasi termal atau menciptakan area yang teduh.

Kritik dan Kontroversi: Sisi Gelap Estetika Brutalisme

Meskipun memiliki niat idealis dan fungsi pragmatis, Brutalisme segera menjadi salah satu gaya arsitektur yang paling banyak dikritik dan tidak disukai oleh publik. Persepsi negatif ini tidak hanya didorong oleh estetika, tetapi juga oleh berbagai isu praktis dan sosial.

"Dingin," "Suram," dan "Tidak Manusiawi"

Kritik yang paling umum adalah bahwa bangunan Brutalisme terasa dingin, suram, dan tidak ramah. Penggunaan beton ekspos yang masif, tanpa ornamen atau sentuhan "manusiawi," seringkali dianggap menciptakan lingkungan yang kaku dan mengintimidasi. Warna abu-abu monokromatik dan permukaan yang kasar dapat terasa menekan, terutama di hari-hari yang mendung atau dalam konteks perkotaan yang padat. Bagi banyak orang, Brutalisme gagal menciptakan suasana yang hangat dan mengundang, yang menjadi tujuan utama arsitektur perumahan.

Masalah Pemeliharaan dan Penuaan

Salah satu kelemahan terbesar Brutalisme adalah masalah pemeliharaan. Meskipun beton adalah material yang kuat, beton ekspos sangat rentan terhadap:

Kurangnya pemeliharaan, terutama di proyek-proyek perumahan sosial yang didanai negara, memperburuk masalah ini, membuat bangunan Brutalis yang awalnya megah terlihat kumuh dan bobrok dalam beberapa dekade.

Asosiasi dengan Otoritarianisme dan Kemiskinan

Di Inggris, banyak proyek Brutalis dikaitkan dengan perumahan sosial dan upaya pembangunan kembali pasca-perang. Meskipun niatnya baik untuk menyediakan perumahan yang layak, implementasinya seringkali tidak memadai. Blok-blok beton besar seringkali menjadi sarang kejahatan, vandalisme, dan masalah sosial, menciptakan asosiasi negatif antara gaya arsitektur ini dengan kemiskinan dan disfungsi sosial. Selain itu, di Eropa Timur, bentuk-bentuk Brutalis yang monumental seringkali diasosiasikan dengan rezim otoriter Soviet, yang menggunakan arsitektur untuk memproyeksikan kekuatan dan kontrol, bukan kehangatan atau kebebasan.

Masalah Desain Internal

Tidak hanya eksterior, beberapa kritik juga ditujukan pada desain interior Brutalis:

Tujuan yang Gagal: Utopis vs. Realitas

Bagi para kritikus, Brutalisme adalah gaya yang gagal memenuhi janji utopisnya. Apa yang dimulai sebagai visi tentang kejujuran material dan perbaikan sosial, seringkali berakhir sebagai simbol kegagalan perencanaan kota, kemerosotan perkotaan, dan desain yang tidak manusiawi. Gelombang pembongkaran bangunan Brutalis di seluruh dunia pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 adalah bukti betapa tidak populernya gaya ini di mata publik dan bahkan sebagian arsitek.

Kebangkitan dan Apresiasi Modern: Pesona yang Ditemukan Kembali

Setelah beberapa dekade menjadi bahan cemoohan dan pembongkaran, Brutalisme kini mengalami kebangkitan minat dan apresiasi yang signifikan. Ada pergeseran pandangan yang mengubah citranya dari "monster" menjadi "mahakarya" di mata banyak orang.

Re-evaluasi Estetika: Dari "Jelek" menjadi "Keren"

Generasi baru arsitek, sejarawan seni, fotografer, dan penggemar desain telah mulai melihat Brutalisme dari sudut pandang yang berbeda. Mereka menghargai:

Nilai Sejarah dan Arsitektur

Banyak bangunan Brutalis kini diakui sebagai bagian penting dari warisan arsitektur abad ke-20. Mereka adalah saksi bisu dari periode pasca-perang, upaya pembangunan kembali, dan idealisme sosial pada zamannya. Para sejarawan arsitektur berpendapat bahwa terlepas dari kritik, bangunan-bangunan ini mewakili inovasi struktural dan ekspresi artistik yang unik.

Upaya Konservasi dan Perlindungan

Di banyak negara, bangunan Brutalis kini sedang dalam proses restorasi atau dilindungi dari pembongkaran. Organisasi pelestarian arsitektur dan kelompok advokasi Brutalis berupaya untuk meningkatkan kesadaran akan nilai bangunan-bangunan ini. Contohnya, banyak bangunan universitas Brutalis di AS telah direnovasi untuk memperbaiki interior, masalah pencahayaan, dan efisiensi energi, sambil tetap mempertahankan eksterior aslinya. National Theatre di London, misalnya, kini dianggap sebagai salah satu bangunan Brutalis terbaik di Inggris dan telah direstorasi dengan cermat.

Inspirasi bagi Arsitektur Kontemporer

Estetika Brutalisme juga menginspirasi arsitektur kontemporer, melahirkan gaya "neo-Brutalisme" atau arsitektur yang banyak menggunakan beton ekspos. Arsitek modern menggunakan beton dengan cara yang lebih halus dan canggih, seringkali memadukannya dengan material lain seperti kaca, kayu, atau baja untuk menciptakan ruang yang lebih hangat dan ramah, namun tetap mempertahankan kejujuran material dan kekuatan bentuk. Mereka belajar dari kesalahan masa lalu, fokus pada detail konstruksi yang lebih baik dan perawatan jangka panjang.

Kebangkitan ini menunjukkan bahwa Brutalisme bukan sekadar tren sesaat, melainkan sebuah gaya yang memiliki kedalaman filosofis dan estetika yang abadi. Seperti banyak gaya lainnya dalam sejarah seni dan arsitektur, diperlukan waktu dan jarak untuk dapat melihat Brutalisme dengan perspektif yang lebih objektif dan menghargai nilai-nilai intrinsiknya.

Implikasi Sosial dan Warisan: Pelajaran dari Beton Mentah

Brutalisme, lebih dari sekadar gaya arsitektur, adalah sebuah fenomena sosial dan budaya yang mencerminkan aspirasi, tantangan, dan kadang-kadang kegagalan abad ke-20. Warisannya sangat kompleks, menawarkan pelajaran berharga bagi perencana kota, arsitek, dan masyarakat secara keseluruhan.

Visi Utopis dan Realitas Keras

Pada intinya, banyak proyek Brutalis lahir dari visi utopis: untuk membangun masyarakat yang lebih baik melalui arsitektur yang fungsional, egalitarian, dan modern. Perumahan sosial, pusat-pusat pendidikan, dan gedung-gedung pemerintahan dirancang untuk melayani masyarakat massal dengan efisien. Namun, realitas seringkali jauh dari ideal. Kurangnya perawatan, isolasi sosial yang tidak disengaja oleh desain yang masif, dan masalah kejahatan di beberapa kompleks perumahan besar mengubah impian utopis menjadi mimpi buruk perkotaan bagi sebagian penghuni.

Pelajaran di sini adalah bahwa arsitektur saja tidak dapat menyelesaikan masalah sosial yang kompleks. Desain yang baik harus diiringi dengan kebijakan sosial yang kuat, investasi berkelanjutan dalam pemeliharaan, dan partisipasi masyarakat dalam perancangan lingkungan mereka.

Pengaruh Terhadap Perencanaan Kota

Brutalisme memiliki dampak besar pada perencanaan kota di banyak negara. Konsep "kota di langit" Le Corbusier, dengan unit-unit perumahan vertikal dan fasilitas terintegrasi, mempengaruhi pembangunan blok-blok apartemen tinggi. Penggunaan ruang publik yang luas di sekitar bangunan-bangunan Brutalis, meskipun kadang terasa kosong, adalah upaya untuk menciptakan area komunal. Namun, kadang-kadang, skala masif dan monolitik bangunan Brutalis justru memutus koneksi dengan lingkungan sekitarnya, menciptakan "pulau-pulau" beton di tengah kota.

Dari Brutalisme, kita belajar tentang pentingnya integrasi bangunan dengan konteks urban yang lebih luas, perlunya skala manusiawi, dan bagaimana desain dapat memfasilitasi atau menghambat interaksi sosial di ruang publik.

Peran dalam Arsitektur Sosial

Meskipun kontroversial, Brutalisme memainkan peran penting dalam menyediakan perumahan dan fasilitas publik yang sangat dibutuhkan setelah perang. Ini menunjukkan bagaimana arsitektur dapat menjadi alat untuk perubahan sosial, bahkan jika hasilnya tidak selalu sempurna. Banyak arsitek Brutalis sangat peduli dengan dampak sosial dari karya mereka, berusaha menciptakan lingkungan yang adil dan fungsional.

Warisan ini mengingatkan kita akan tanggung jawab sosial arsitek dan pentingnya merancang bangunan yang melayani kebutuhan masyarakat secara menyeluruh, tidak hanya dari segi estetika.

Refleksi Nilai-Nilai Zamannya

Brutalisme adalah cerminan dari semangat zaman pasca-perang: sebuah era optimisme akan teknologi, pembangunan kembali, dan kepercayaan pada kekuatan rasionalisme. Ini adalah ekspresi dari keinginan untuk membuang masa lalu yang berornamen dan merangkul masa depan yang jujur, fungsional, dan efisien. Material beton itu sendiri mencerminkan ketangguhan dan pragmatisme yang diperlukan di masa-masa sulit.

Memahami Brutalisme berarti memahami sebagian sejarah abad ke-20, termasuk cita-cita dan kegagalan sebuah generasi yang berusaha membangun dunia yang lebih baik.

Warisan Abadi dan Pelajaran yang Bisa Diambil

Pada akhirnya, Brutalisme adalah gaya yang kompleks, kaya akan makna dan seringkali disalahpahami. Ia tidak bisa direduksi menjadi sekadar "beton jelek." Ini adalah sebuah gerakan yang menantang konvensi, merayakan kejujuran material, dan berani tampil masif. Meskipun kritik terhadapnya valid, terutama terkait dengan perawatan dan dampak sosial, Brutalisme tetap menjadi salah satu babak paling menarik dan instruktif dalam sejarah arsitektur modern.

Pelajaran yang dapat kita ambil dari Brutalisme adalah tentang pentingnya:

Dalam lanskap arsitektur kontemporer, di mana keberlanjutan dan respons terhadap iklim semakin penting, Brutalisme—dengan ketahanan materialnya dan fokus pada ekspresi struktural—mungkin menawarkan inspirasi baru. Bukan untuk meniru bentuknya secara buta, tetapi untuk memahami etosnya: sebuah arsitektur yang jujur, kuat, dan berani. Estetika yang kontroversial ini akan terus memicu diskusi, tetapi tidak diragukan lagi, Brutalisme telah mengukir tempatnya sebagai warisan abadi yang tak terlupakan.