Indonesia, dengan ribuan pulau dan ragam etnisnya, adalah gudang kekayaan budaya yang tak terhingga. Di antara permata-permata tersebut, seni pertunjukan tradisional menempati posisi yang sangat istimewa, menjadi cerminan jiwa dan kearifan lokal. Artikel ini akan membawa kita menyelami dua bentuk seni yang memukau dari dua wilayah berbeda di Pulau Jawa: Calung dari tanah Sunda yang subur, dan Lengger dari jantung Jawa Tengah, khususnya wilayah Banyumas.
Meskipun berasal dari latar geografis dan budaya yang berbeda, keduanya memiliki benang merah yang kuat sebagai penjaga tradisi, media ekspresi, dan perekat komunitas. Dari getar bambu yang merdu hingga gerak tubuh yang dinamis, Calung dan Lengger menawarkan pengalaman estetika yang mendalam, menceritakan kisah-kisah masa lalu, merayakan kehidupan, dan menghadapi tantangan zaman modern.
Kita akan mengupas tuntas asal-usul, filosofi, teknik pembuatan, bentuk pertunjukan, hingga peran sosial dari masing-masing kesenian. Lebih jauh, kita juga akan mengeksplorasi bagaimana kedua warisan ini dapat saling berinteraksi, menciptakan sinergi baru yang memperkaya khazanah seni Nusantara, serta relevansinya di tengah arus globalisasi.
Calung: Simfoni Bambu dari Tatar Sunda
Asal-Usul dan Filosofi Calung
Calung adalah alat musik tradisional Sunda yang terbuat dari rangkaian bilah-bilah bambu. Secara etimologi, kata "calung" diyakini berasal dari kata "ca" (bahasa Sunda: "cai" yang berarti air) dan "lung" (melunglung, atau suara bergaung). Atau ada juga yang menafsirkan dari “cacah” dan “nelung” yang berarti mencacah secara merdu. Namun, penafsiran yang paling umum adalah "ca" dari "cai" (air) dan "lung" dari "melung-melung" (suara bergaung), merujuk pada keindahan suara yang dihasilkan dari resonansi bambu yang berongga, mirip dengan gemericik air atau gema di pegunungan.
Filosofi di balik Calung sangat kental dengan nilai-nilai kesederhanaan, harmoni dengan alam, dan kearifan lokal. Bambu, sebagai bahan dasar, melambangkan kehidupan yang fleksibel namun kuat, tumbuh subur di tanah Sunda. Proses pembuatannya yang membutuhkan ketelitian dalam memilih bambu, memotong, dan menyetem, mencerminkan nilai-nilai kesabaran dan ketekunan. Bunyi yang dihasilkan, meskipun sederhana, mampu menciptakan melodi yang kompleks dan memukau, menggambarkan kekayaan dalam kesederhanaan.
Calung bukan sekadar alat musik; ia adalah bagian integral dari identitas budaya Sunda. Dalam setiap nada yang keluar dari bilah bambunya, tersimpan cerita tentang kehidupan pedesaan, nilai-nilai gotong royong, dan rasa syukur terhadap alam. Calung seringkali dimainkan dalam berbagai upacara adat, hiburan rakyat, hingga pengiring tarian, selalu membawa suasana ceria dan kebersamaan.
Sejarah dan Perkembangan Calung
Sejarah Calung tidak bisa dilepaskan dari sejarah masyarakat Sunda itu sendiri. Alat musik bambu telah ada sejak zaman prasejarah, di mana bambu digunakan untuk berbagai keperluan, termasuk menghasilkan bunyi-bunyian. Bentuk awal Calung kemungkinan besar sangat sederhana, mungkin hanya berupa beberapa bilah bambu yang dipukul dengan tangan atau alat sederhana lainnya.
Pada awalnya, Calung berfungsi sebagai alat untuk mengusir hama di sawah, kemudian berkembang menjadi alat hiburan rakyat di kalangan petani setelah panen. Dari sana, Calung mulai memasuki ranah upacara adat, terutama yang berkaitan dengan pertanian dan kesuburan tanah. Popularitasnya terus meningkat, dan seiring waktu, bentuk serta ragam Calung semakin berkembang.
Pada abad ke-20, khususnya di era 1960-an dan 1970-an, Calung mengalami masa keemasan. Grup-grup Calung populer mulai bermunculan dan mengadakan pertunjukan di berbagai daerah, bahkan hingga ke ibukota. Tokoh-tokoh seperti Mang Ujo (Udjo Ngalagena) melalui Saung Angklung Udjo, meskipun lebih fokus pada Angklung, juga berkontribusi pada pelestarian musik bambu secara umum termasuk Calung, dengan memperkenalkannya kepada khalayak yang lebih luas, baik di tingkat nasional maupun internasional. Inovasi juga terjadi dengan penambahan instrumen lain seperti kendang, gong, dan bass untuk memperkaya aransemen musiknya.
Era modern membawa tantangan tersendiri bagi Calung, namun juga peluang baru. Adaptasi dengan genre musik kontemporer, penggunaan dalam media digital, dan upaya pendidikan melalui sekolah-sekolah seni menjadi kunci keberlanjutannya.
Jenis-jenis Calung
Dalam perkembangannya, Calung memiliki beberapa varian yang dibedakan berdasarkan bentuk dan cara memainkannya:
-
Calung Rincik
Calung rincik adalah jenis calung yang paling umum dikenal dan sering dimainkan. Terdiri dari deretan bilah-bilah bambu yang disusun horizontal pada sebuah wadah atau rak khusus. Bilah-bilah bambu ini memiliki panjang yang berbeda-beda, menghasilkan nada yang berbeda pula. Cara memainkannya adalah dengan dipukul menggunakan alat pemukul khusus yang terbuat dari kayu atau bambu, biasanya disebut "panakol". Calung rincik sering menjadi melodi utama dalam ansambel calung, memainkan melodi yang kompleks dan cepat. Bilah-bilah bambu yang digunakan umumnya dari jenis bambu tali atau awi wulung yang memiliki kualitas resonansi baik. Ukuran bilah bervariasi dari yang pendek (bernada tinggi) hingga panjang (bernada rendah).
-
Calung Renteng
Calung renteng, sesuai namanya, bilah-bilah bambunya disusun secara berenteng atau berderet memanjang dengan pengait tali. Mirip dengan gambang namun biasanya ukurannya lebih besar dan bilahnya lebih tebal. Cara memainkannya juga dengan dipukul. Calung renteng biasanya berfungsi sebagai pengisi akor atau harmoni dalam ansambel, memberikan kedalaman suara dan ritme yang lebih stabil. Seringkali bilah bambu yang digunakan lebih besar untuk menghasilkan nada-nada bass yang menggaung. Calung renteng juga dapat dimainkan oleh beberapa orang sekaligus, masing-masing memainkan bagian nada tertentu.
-
Calung Gambang
Calung gambang memiliki kemiripan dengan Calung renteng, namun bilah bambunya cenderung lebih lebar dan tebal, serta diletakkan di atas resonansi balok kayu yang besar. Nama "gambang" sendiri merujuk pada alat musik pukul lain yang juga memiliki bilah-bilah yang diletakkan secara horizontal. Calung gambang menghasilkan suara yang lebih berat dan dalam, seringkali menjadi fondasi ritmis dan harmonis dalam sebuah komposisi musik Calung. Gambang adalah istilah umum untuk instrumen bilah kayu atau bambu yang diletakkan di atas boks resonansi. Dalam konteks Calung, Calung Gambang menggunakan bilah bambu dengan prinsip yang sama.
-
Calung Jinjing/Golek
Calung Jinjing atau Calung Golek adalah jenis Calung yang inovatif, diciptakan pada era modern untuk kepraktisan dan mobilitas. Bentuknya lebih ringkas, seringkali seperti boneka atau patung kecil (golek) yang di dalamnya terdapat bilah-bilah Calung. Cara memainkannya adalah dengan dijinjing atau digantung, kemudian dipukul. Calung Jinjing sangat populer karena bisa dibawa ke mana-mana dan dimainkan secara individual, menjadikannya pilihan favorit untuk pertunjukan jalanan atau sebagai suvenir. Meskipun ukurannya lebih kecil, Calung Jinjing tetap mempertahankan karakteristik suara Calung yang khas. Bahan pembuatannya juga bambu pilihan, seringkali dihiasi ukiran atau cat warna-warni.
Proses Pembuatan Calung
Pembuatan Calung adalah seni tersendiri yang membutuhkan keahlian, kesabaran, dan pemahaman mendalam tentang sifat bambu. Berikut tahapan umumnya:
-
Pemilihan Bambu
Jenis bambu yang paling sering digunakan adalah bambu tali (awi tali) atau bambu wulung (awi wulung). Bambu harus dipilih yang sudah tua, kering alami di pohon, dan tidak cacat. Kualitas bambu sangat mempengaruhi kualitas suara yang dihasilkan. Bambu yang baik biasanya berumur lebih dari tiga tahun, memiliki ruas yang panjang dan rapat, serta tidak diserang hama. Pemilihan dilakukan saat musim kemarau agar kadar air dalam bambu minimal.
-
Pemotongan dan Pembentukan Bilah
Bambu dipotong sesuai ukuran yang diinginkan untuk menghasilkan nada tertentu. Setiap bilah memiliki panjang, ketebalan, dan lebar yang berbeda. Proses pemotongan harus sangat presisi untuk mendapatkan bilah yang bersih dan rata. Bagian dalam bambu terkadang juga dibersihkan untuk menghilangkan serat-serat yang tidak perlu.
-
Penyeteman (Tuning)
Ini adalah tahap paling krusial. Bilah-bilah bambu disetem untuk mencapai nada yang harmonis sesuai tangga nada pentatonis Sunda (pelog atau salendro). Penyeteman dilakukan dengan mengikis bagian tertentu dari bilah bambu. Mengikis bagian ujung bilah akan menaikkan nada, sementara mengikis bagian tengah akan menurunkan nada. Proses ini membutuhkan kepekaan pendengaran dan pengalaman yang tinggi. Pembuat calung tradisional bahkan seringkali melakukannya tanpa alat elektronik, hanya mengandalkan telinga.
-
Perakitan
Bilah-bilah yang sudah disetem kemudian dirangkai pada sebuah wadah atau rak (untuk Calung rincik dan renteng), atau dibentuk menjadi instrumen jinjing/golek. Perakitan harus kuat namun tetap memungkinkan bilah bambu beresonansi dengan bebas saat dipukul. Bahan pengikat biasanya menggunakan tali ijuk, rotan, atau kawat, namun saat ini sering juga menggunakan paku atau sekrup agar lebih kokoh.
-
Finishing
Setelah perakitan, Calung bisa dihaluskan, diberi pelitur atau pernis untuk melindungi bambu dari serangga dan kelembaban, serta menambah nilai estetika. Beberapa Calung juga diberi ukiran atau hiasan tradisional Sunda.
Musik Calung dan Tangga Nada Sunda
Musik Calung secara tradisional menggunakan tangga nada pentatonis (lima nada) yang dikenal dalam karawitan Sunda, yaitu:
- Laras Pelog: Memiliki karakteristik yang lembut, khusyuk, dan sering digunakan untuk mengiringi lagu-lagu sedih atau sakral. Nada-nadanya cenderung berjarak lebar.
- Laras Salendro: Memiliki karakteristik yang riang, gembira, dan energik. Sering digunakan untuk mengiringi lagu-lagu pesta atau tarian. Nada-nadanya cenderung berjarak sempit.
Dalam satu perangkat Calung modern, seringkali bilah-bilah dibuat agar bisa mengakomodasi kedua laras tersebut, atau setidaknya memiliki bilah tambahan untuk pergantian laras. Struktur musikal Calung biasanya terdiri dari melodi utama yang dimainkan oleh Calung rincik, diiringi ritme dan harmoni dari Calung renteng atau gambang, serta perkusi lain seperti kendang dan gong untuk memperkaya dinamika. Komposisi musiknya seringkali bersifat improvisatif, namun tetap terikat pada pola-pola melodi dan ritme tradisional (wiletan).
Peran Calung dalam Masyarakat Sunda
Calung memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat Sunda, meliputi:
- Hiburan Rakyat: Calung sering menjadi pengisi acara hajatan, perayaan panen, atau sekadar hiburan di balai desa. Musiknya yang ceria dan merakyat mudah diterima oleh semua kalangan.
- Upacara Adat: Dalam beberapa upacara adat Sunda, Calung digunakan untuk mengiringi ritual, seperti seren taun (upacara syukuran panen) atau ngarawat bumi (memelihara bumi).
- Pendidikan dan Pelestarian: Banyak sanggar dan sekolah seni yang mengajarkan Calung kepada generasi muda, sebagai upaya melestarikan warisan budaya ini.
- Media Ekspresi: Melalui lirik lagu-lagu yang diiringi Calung, seringkali disampaikan pesan-pesan moral, kritik sosial, atau ekspresi perasaan masyarakat.
Meskipun menghadapi gempuran budaya pop, Calung tetap bertahan dan terus beradaptasi. Berbagai inovasi dilakukan, mulai dari kolaborasi dengan musisi modern hingga pertunjukan Calung virtual, membuktikan bahwa seni bambu ini tetap relevan di zaman digital.
Lengger: Tarian Sakral dan Profan dari Tanah Ngapak
Mengenal Tari Lengger
Lengger adalah bentuk tari tradisional dari Jawa Tengah bagian barat daya, khususnya daerah Banyumas, Wonosobo, Purbalingga, Banjarnegara, hingga Kebumen. Kata "Lengger" sendiri berasal dari gabungan kata "eling" (ingat) dan "ngger" (panggilan untuk anak laki-laki), atau "eleng" (sadar) dan "ager" (gadis). Ada pula yang menafsirkan dari "le" (elek/jelek) dan "ngger" (gadis) yang merujuk pada penari laki-laki yang berdandan seperti perempuan. Namun, penafsiran yang paling kuat adalah "eling" dan "ngger", menyiratkan makna "ingatlah anakku/pemuda" yang mengacu pada pesan moral atau spiritual yang ingin disampaikan melalui tarian.
Ciri khas utama Lengger adalah penarinya yang umumnya laki-laki, berdandan layaknya perempuan, lengkap dengan kebaya, selendang, dan riasan wajah. Ini adalah tradisi yang sangat tua, berakar dari kepercayaan dan ritual kesuburan zaman dahulu. Tarian ini seringkali diiringi gamelan Calung Banyumasan (bukan Calung Sunda) atau perangkat gamelan lain yang khas dengan gaya ngapak.
Lengger bukan sekadar hiburan; ia adalah manifestasi spiritual, media komunikasi sosial, dan penjaga nilai-nilai lokal. Tarian ini kaya akan simbolisme, dari gerak tubuh yang sensual namun sarat makna, hingga kostum dan iringan musiknya. Lengger adalah jembatan antara dunia manusia dan dunia spiritual, seringkali dipentaskan dalam ritual-ritual tertentu seperti bersih desa atau ruwatan.
Sejarah dan Perkembangan Lengger
Sejarah Lengger diperkirakan sudah ada sejak abad ke-16, jauh sebelum masuknya Islam ke Jawa. Akar Lengger dapat ditelusuri ke dalam tradisi tari Tayuban atau Ronggeng yang berfungsi sebagai ritual kesuburan, pemujaan Dewi Sri (dewi padi), atau penolak bala. Pada masa itu, penari perempuan (ronggeng) memainkan peran sentral. Namun, seiring dengan masuknya agama Islam dan norma-norma sosial yang berkembang, peran penari laki-laki yang berdandan perempuan menjadi populer, sebagai adaptasi agar pertunjukan tetap dapat dilakukan tanpa melanggar batasan sosial tertentu.
Pada masa kolonial Belanda, Lengger seringkali dianggap sebagai seni pinggiran atau bahkan ‘rendah’ karena asosiasinya dengan hiburan malam dan aspek-aspek sensual. Namun, di tengah masyarakatnya, Lengger tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Setelah kemerdekaan, ada upaya-upaya untuk mengangkat kembali Lengger sebagai seni budaya luhur. Namun, pada era Orde Baru, terutama di tahun 1965, Lengger mengalami masa yang sangat kelam. Banyak seniman Lengger yang menjadi korban stigmatisasi dan kekerasan politik karena dianggap berafiliasi dengan gerakan-gerakan tertentu. Hal ini menyebabkan banyak seniman Lengger yang bersembunyi atau berhenti menari.
Meskipun demikian, Lengger berhasil bertahan. Pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, mulai ada revitalisasi dan apresiasi terhadap Lengger. Komunitas seniman, budayawan, dan akademisi berupaya mengkaji ulang, mendokumentasikan, dan mempromosikan Lengger sebagai warisan budaya yang berharga. Lengger kemudian berkembang menjadi berbagai bentuk, dari yang masih sangat tradisional hingga yang lebih kontemporer, beradaptasi dengan zaman namun tetap mempertahankan esensinya.
Karakteristik Tari Lengger
Lengger memiliki beberapa karakteristik yang khas:
-
Penari Laki-laki Berdandan Perempuan (Lanang Kemayu)
Ini adalah elemen paling ikonik dari Lengger. Penari laki-laki, yang sering disebut "Lengger Lanang", mengenakan pakaian tradisional perempuan seperti kebaya, kain batik, selendang, dan riasan wajah lengkap dengan sanggul. Transformasi ini bukan sekadar untuk hiburan, melainkan memiliki makna filosofis yang dalam. Konon, ini melambangkan keseimbangan energi maskulin dan feminin, serta kemampuan untuk melampaui batasan gender demi mencapai kesempurnaan seni. Dalam beberapa tradisi, Lengger Lanang dianggap memiliki kekuatan spiritual khusus atau menjadi media bagi arwah leluhur.
-
Gerak Tari yang Dinamis dan Sensual
Gerakan Lengger sangat ekspresif, luwes, dan seringkali sensual. Gerakan pinggul, bahu, dan tangan mendominasi, diiringi ekspresi wajah yang bervariasi. Meskipun sensual, gerak tari ini sarat makna, bukan semata-mata provokatif. Gerakan meliuk, hentakan kaki, dan kibasan selendang seringkali menjadi simbol dari kesuburan, kegembiraan, atau bahkan penolakan terhadap hal-hal negatif. Terdapat beberapa bagian gerak yang memiliki nama khusus, seperti obah obah (gerakan awal), ngigel (menari), geboy (gerakan pinggul), dan sembahan (penghormatan).
-
Musik Pengiring Gamelan Banyumasan
Iringan musik Lengger umumnya menggunakan perangkat gamelan Banyumasan yang memiliki ciri khas tersendiri, dikenal dengan istilah gamelan "Calung Banyumasan" (jangan tertukar dengan Calung Sunda). Gamelan ini menggunakan laras pelog dan slendro, namun dengan cengkok (gaya melodi) yang khas Banyumasan, sering disebut "gaya ngapak". Instrumen yang digunakan meliputi gong, kendang, saron, demung, bonang, gambang, rebab, dan suling. Ritme gamelan Lengger cenderung lebih cepat dan energik dibandingkan gamelan klasik Jawa, sangat cocok untuk mengiringi gerak tari yang dinamis.
-
Interaksi dengan Penonton (Nglengger)
Salah satu elemen menarik dari Lengger adalah interaksi langsung antara penari dan penonton. Penonton sering diajak untuk naik ke panggung dan menari bersama (disebut nglengger). Hal ini menciptakan suasana yang intim dan partisipatif, di mana batas antara penampil dan penonton menjadi kabur. Interaksi ini juga menjadi bagian dari tradisi "saweran" atau pemberian uang sebagai bentuk apresiasi kepada penari. Dalam konteks ritual, interaksi ini bisa menjadi bagian dari proses penyatuan energi atau pembersihan.
-
Fungsi Ritual dan Hiburan
Lengger memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai ritual dan hiburan. Dalam konteks ritual, Lengger dipentaskan untuk upacara bersih desa, ruwatan, tolak bala, atau sebagai persembahan kepada roh leluhur dan dewa-dewi. Dalam konteks hiburan, Lengger menjadi tontonan yang meriah di berbagai hajatan, pernikahan, atau festival budaya. Batasan antara keduanya seringkali cair, di mana unsur spiritual tetap hadir dalam pertunjukan yang bersifat hiburan.
Peran Lengger dalam Masyarakat Banyumas
Lengger adalah cermin kehidupan masyarakat Banyumas. Lebih dari sekadar tarian, Lengger adalah:
- Penjaga Tradisi dan Identitas: Lengger menjaga ingatan kolektif masyarakat tentang sejarah, kepercayaan, dan nilai-nilai lokal. Ia menjadi simbol identitas kebudayaan Banyumas yang kuat dan unik.
- Media Komunikasi Sosial: Melalui lirik-lirik lagu yang mengiringi tarian, seringkali disampaikan kritik sosial, nasihat hidup, atau pesan-pesan moral kepada masyarakat.
- Ekspresi Religius dan Spiritual: Lengger seringkali terhubung dengan kepercayaan animisme-dinamisme lokal, menjadikannya sarana untuk berhubungan dengan alam gaib atau manifestasi rasa syukur kepada Tuhan. Dalam beberapa pementasan, penari bisa mengalami kondisi trans.
- Perekonomian Lokal: Bagi para seniman Lengger, pertunjukan adalah mata pencaharian. Ia menghidupi komunitas seniman, pengrajin kostum, pembuat gamelan, dan lain-lain.
- Ketahanan Budaya: Setelah mengalami masa-masa sulit, Lengger adalah bukti ketahanan budaya yang mampu beradaptasi dan bangkit kembali, bahkan diakui sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO.
Kontroversi dan stigma yang melekat pada Lengger di masa lalu perlahan memudar seiring dengan meningkatnya pemahaman dan apresiasi. Seniman-seniman muda Lengger kini dengan bangga menampilkan kesenian ini, bahkan berkolaborasi dengan seniman kontemporer untuk menciptakan karya-karya baru yang relevan dengan zaman.
Calung Lengger: Menjelajahi Jembatan Harmoni Dua Warisan
Setelah mengupas tuntas Calung dan Lengger secara terpisah, kini saatnya kita mencoba merangkai benang merah antara keduanya, bahkan membayangkan bagaimana konsep "Calung Lengger" dapat terwujud. Penting untuk dicatat bahwa secara tradisional, "Calung Lengger" sebagai entitas tunggal yang menggabungkan Calung Sunda dan tari Lengger Jawa Tengah, mungkin belum menjadi bentuk seni yang umum atau dikenal luas. Namun, semangat eksplorasi budaya memungkinkan kita untuk membayangkan kolaborasi yang memperkaya ini.
Secara tradisional, tari Lengger diiringi oleh gamelan Banyumasan yang sering disebut "Calung Banyumasan" – sebuah perangkat gamelan yang sebagian instrumennya terbuat dari bambu, namun memiliki karakteristik dan laras yang berbeda dari Calung Sunda. Justru di sinilah letak potensi dan tantangannya: bagaimana Calung Sunda dengan kekhasan laras pelog/salendro-nya dapat bersinergi dengan tari Lengger yang biasanya diiringi gamelan Banyumasan?
Persamaan dan Perbedaan Mendasar
Untuk memahami potensi "Calung Lengger", mari kita identifikasi persamaan dan perbedaan fundamental antara kedua seni ini:
Persamaan:
- Warisan Tradisional: Keduanya adalah seni pertunjukan tradisional yang berakar kuat pada budaya lokal dan nilai-nilai leluhur.
- Alat Musik Bambu: Keduanya memiliki koneksi dengan bambu sebagai instrumen musik utama atau sebagian instrumen utamanya. Calung Sunda sepenuhnya bambu, sementara Calung Banyumasan (pengiring Lengger) juga banyak menggunakan bambu.
- Fungsi Ritual dan Sosial: Baik Calung maupun Lengger lahir dari konteks ritual (panen, bersih desa) dan berkembang menjadi hiburan rakyat, media ekspresi, dan perekat komunitas.
- Penyampai Pesan: Keduanya seringkali menjadi media untuk menyampaikan pesan moral, kritik sosial, atau ekspresi perasaan masyarakat melalui melodi, lirik, atau gerak.
- Ketahanan Budaya: Mampu bertahan dan beradaptasi menghadapi gempuran modernisasi dan berbagai tantangan sejarah.
Perbedaan:
- Asal Geografis: Calung Sunda dari Jawa Barat, Lengger dari Jawa Tengah bagian barat daya (Banyumas).
- Karakteristik Musikal:
- Calung Sunda: Murni instrumen bambu (idiophone), laras pelog/salendro Sunda, karakter suara ringan dan ceria/khusyuk.
- Gamelan Banyumasan (Pengiring Lengger): Perangkat gamelan lengkap (metalofon, membranofon, aerofon), meskipun ada instrumen bambu, dominasi oleh metal, laras pelog/slendro Banyumasan dengan cengkok "ngapak" yang lebih cepat dan tebal.
- Bentuk Seni Utama: Calung adalah seni musik murni (meskipun bisa mengiringi tari), Lengger adalah seni tari (yang didukung musik).
- Fokus Pertunjukan: Calung fokus pada harmoni dan melodi bambu, Lengger fokus pada gerak tubuh penari dan interaksi dengan penonton.
- Makna Gender: Lengger memiliki dimensi gender yang kuat dengan penari laki-laki berdandan perempuan, sedangkan Calung tidak memiliki dimensi gender spesifik dalam pertunjukannya.
Potensi Sinergi "Calung Lengger"
Meskipun ada perbedaan yang signifikan, ide tentang "Calung Lengger" sebagai bentuk kolaborasi baru sangat menarik. Berikut adalah beberapa skenario dan potensi yang dapat dijelajahi:
1. Calung Sunda Mengiringi Tari Lengger:
Ini adalah skenario paling langsung untuk mewujudkan "Calung Lengger". Tantangannya adalah adaptasi musikal. Gamelan Banyumasan memiliki dinamika, volume, dan tekstur yang sangat berbeda dengan ansambel Calung Sunda. Namun, jika dilakukan dengan aransemen yang cermat, ini bisa menciptakan nuansa baru:
- Nuansa Akustik yang Lebih Ringan: Calung Sunda dapat memberikan iringan yang lebih ringan, jernih, dan natural, menonjolkan keindahan suara bambu. Ini bisa cocok untuk Lengger dalam konteks yang lebih intim atau kontemplatif, berbeda dari Lengger yang biasanya energik dan bising.
- Eksplorasi Laras: Musik Calung Sunda dapat diadaptasi untuk memainkan melodi-melodi Lengger dalam laras Banyumasan, atau sebaliknya, menciptakan fusi laras yang unik. Penyesuaian tempo dan ritme akan menjadi kunci agar tarian Lengger tetap dinamis.
- Lengger Kontemporer: Dalam konteks tari Lengger kontemporer, iringan Calung Sunda bisa menjadi pilihan yang menarik, memberikan kesan etnik yang kuat namun dengan sentuhan yang berbeda dari tradisi aslinya. Koreografi juga mungkin perlu disesuaikan dengan karakter musikal Calung.
2. Kolaborasi Ansambel Calung Sunda dan Gamelan Banyumasan:
Alih-alih Calung Sunda menggantikan gamelan Banyumasan, keduanya bisa berkolaborasi. Ini akan menciptakan ansambel yang kaya tekstur:
- Dialog Musikal: Calung Sunda bisa memainkan melodi-melodi yang saling berdialog dengan instrumen gamelan Banyumasan, menciptakan kontrapung atau harmoni yang unik. Suara metal dari gamelan bisa diperkaya oleh resonansi bambu yang lembut dari Calung.
- Dinamika Kontras: Perpaduan ini bisa menghasilkan dinamika yang sangat kaya, dari bagian yang lembut dan melodis yang didominasi Calung, hingga bagian yang powerful dan energik dengan gabungan keduanya.
- Peran Ganda: Dalam skenario ini, Lengger tetap diiringi oleh nuansa gamelan aslinya, namun Calung Sunda menambahkan lapisan melodi atau ritme baru yang memperkaya keseluruhan pertunjukan.
3. Penciptaan Karya Baru "Calung Lengger" sebagai Fusi:
Ide yang lebih radikal adalah menciptakan bentuk seni baru yang sejak awal didesain sebagai "Calung Lengger". Ini berarti:
- Koreografi dan Komposisi Baru: Penari Lengger dan komposer Calung berkolaborasi untuk menciptakan koreografi yang secara intrinsik terikat dengan musik Calung Sunda, dan sebaliknya, musik Calung dikomposisikan khusus untuk mengiringi gerak Lengger.
- Narratif Bersama: Tema dan narasi yang diangkat bisa merupakan perpaduan cerita rakyat Sunda dan Banyumas, atau kisah-kisah universal yang diekspresikan melalui medium gabungan ini.
- Pengembangan Alat Musik: Mungkin ada modifikasi pada Calung Sunda agar lebih mampu mengakomodasi kebutuhan iringan Lengger, atau pengembangan instrumen baru yang menggabungkan karakteristik keduanya.
Tantangan dalam Mewujudkan "Calung Lengger"
Tentu, gagasan "Calung Lengger" bukan tanpa tantangan. Beberapa di antaranya adalah:
- Perbedaan Laras dan Skala: Meskipun keduanya menggunakan pentatonis, ada perbedaan signifikan dalam nuansa dan cengkok (gaya melodi) antara karawitan Sunda dan Banyumas. Menyatukan ini membutuhkan kepekaan dan pemahaman mendalam dari kedua belah pihak.
- Dinamika dan Volume: Suara Calung Sunda umumnya lebih halus dibandingkan gamelan. Mengiringi Lengger yang seringkali dinamis dan bertenaga membutuhkan solusi akustik atau aransemen yang cerdas.
- Aspek Sakral dan Tradisi: Baik Calung maupun Lengger memiliki akar tradisi dan bahkan aspek sakral. Kolaborasi harus dilakukan dengan rasa hormat dan pemahaman terhadap esensi masing-masing agar tidak terkesan ‘memaksakan’ atau menghilangkan makna aslinya.
- Penerimaan Publik: Bagaimana publik tradisional dari kedua daerah akan menerima bentuk fusi ini? Edukasi dan komunikasi yang baik akan sangat penting.
Calung Lengger sebagai Simbol Persatuan Budaya
Di balik tantangan, ide "Calung Lengger" menawarkan potensi yang luar biasa. Ia dapat menjadi simbol persatuan dan kekayaan budaya Nusantara, menunjukkan bagaimana dua entitas budaya yang berbeda dapat bertemu, berdialog, dan menghasilkan sesuatu yang baru dan indah tanpa menghilangkan identitas aslinya.
Dalam era globalisasi, kolaborasi seni lintas daerah dan tradisi menjadi semakin penting untuk menjaga relevansi dan vitalitas budaya lokal. "Calung Lengger" dapat menjadi eksperimen yang menarik, mendorong seniman untuk berpikir di luar batas konvensional, menggali potensi-potensi baru, dan pada akhirnya, memperkaya khazanah seni pertunjukan Indonesia.
Ini bukan hanya tentang menciptakan pertunjukan baru, tetapi juga tentang membangun jembatan pemahaman antarbudaya, merayakan keragaman, dan menunjukkan bahwa warisan nenek moyang kita memiliki kapasitas untuk terus berkembang dan berbicara kepada generasi yang lebih luas.
Pelestarian dan Relevansi di Era Modern
Baik Calung maupun Lengger, sebagai warisan budaya tak benda, menghadapi tantangan dan peluang yang unik di era modern. Pelestarian tidak hanya berarti menjaga bentuk aslinya, tetapi juga memungkinkannya untuk berkembang dan beradaptasi tanpa kehilangan esensinya.
Tantangan Utama
-
Regenerasi Seniman
Minat generasi muda terhadap seni tradisional seringkali menurun karena gempuran budaya pop dan media digital. Regenerasi seniman yang memahami dan menguasai Calung atau Lengger secara mendalam menjadi sangat krusial.
-
Pendanaan dan Apresiasi
Dukungan finansial dan apresiasi dari pemerintah, swasta, maupun masyarakat luas masih menjadi masalah. Seniman tradisional seringkali hidup dalam keterbatasan ekonomi, membuat mereka kesulitan untuk terus berkarya dan mengembangkan diri.
-
Dokumentasi dan Kajian Ilmiah
Banyak aspek dari Calung dan Lengger yang belum terdokumentasi dengan baik. Kajian ilmiah yang mendalam tentang sejarah, filosofi, teknik, dan perannya dalam masyarakat masih perlu terus digalakkan untuk memperkuat basis pengetahuan.
-
Modernisasi yang Berlebihan
Upaya modernisasi terkadang berisiko menghilangkan ciri khas dan esensi asli dari seni tradisional. Keseimbangan antara inovasi dan pelestarian menjadi kunci.
Strategi Pelestarian dan Pengembangan
-
Pendidikan dan Pembelajaran
Memasukkan Calung dan Lengger ke dalam kurikulum pendidikan formal maupun non-formal (sanggar, komunitas) sejak dini. Mengembangkan metode pembelajaran yang menarik dan relevatif bagi generasi muda.
-
Festival dan Event Budaya
Secara rutin mengadakan festival, pertunjukan, dan lokakarya Calung dan Lengger untuk meningkatkan visibilitas dan apresiasi publik, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional.
-
Kolaborasi dan Fusi Seni
Seperti ide "Calung Lengger" yang dibahas sebelumnya, kolaborasi dengan genre musik atau tari lain, serta dengan seniman kontemporer, dapat membuka ruang-ruang baru untuk ekspresi dan audiens yang lebih luas. Hal ini penting untuk menunjukkan bahwa seni tradisional tidak stagnan.
-
Pemanfaatan Teknologi Digital
Mendokumentasikan pertunjukan melalui video berkualitas tinggi, menciptakan konten edukasi di platform digital (YouTube, media sosial), dan bahkan mengembangkan aplikasi interaktif untuk mempelajari Calung atau Lengger. Teknologi juga bisa digunakan untuk membuat alat bantu penyeteman atau notasi musik.
-
Dukungan Kebijakan dan Pendanaan
Pemerintah perlu memberikan dukungan yang lebih kuat melalui kebijakan pelestarian, pendanaan seni, dan perlindungan hak kekayaan intelektual bagi seniman tradisional. Komunitas juga bisa membangun jaringan dukungan melalui crowdfunding atau yayasan.
-
Penguatan Komunitas dan Regenerasi
Membangun dan memperkuat komunitas seniman Calung dan Lengger, memfasilitasi pertukaran pengetahuan antar generasi, dan memastikan adanya proses pewarisan keahlian secara berkelanjutan. Mendorong tokoh-tokoh muda untuk menjadi duta seni tradisional.
-
Pengembangan Industri Kreatif
Mendorong pengembangan produk-produk kreatif yang terinspirasi dari Calung dan Lengger, seperti suvenir, merchandise, atau bahkan pengembangan pariwisata budaya yang berbasis pada kedua kesenian ini, sehingga memberikan nilai ekonomi bagi para pelaku seni.
Melalui upaya-upaya komprehensif ini, Calung dan Lengger tidak hanya akan bertahan sebagai relik masa lalu, melainkan akan terus hidup, bernafas, dan relevan, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari identitas dan kebanggaan bangsa Indonesia.