Ilustrasi Prasasti Canggal, sebuah penanda peradaban kuno di Jawa.
Di jantung Pulau Jawa, terukir sebuah catatan sejarah yang menjadi fondasi bagi pemahaman kita tentang peradaban awal di Nusantara: Prasasti Canggal. Nama "Canggal" sendiri merujuk pada sebuah desa kecil di lereng Gunung Wukir, dekat Muntilan, Magelang, Jawa Tengah. Namun, lebih dari sekadar nama tempat, Canggal adalah jendela menuju Kerajaan Mataram Kuno, sebuah entitas politik dan budaya yang meletakkan dasar bagi kejayaan Jawa di masa-masa berikutnya. Artikel ini akan membawa Anda menelusuri seluk-beluk Prasasti Canggal, mulai dari konteks penemuan, isi, signifikansi, hingga bagaimana warisan sejarah ini terus beresonansi hingga kini.
Prasasti Canggal bukan sekadar gumpalan batu bertulis. Ia adalah sebuah pernyataan monumental dari Raja Sanjaya, pendiri Wangsa Sanjaya, tentang berdirinya sebuah kerajaan besar yang berlandaskan pada nilai-nilai keagamaan Hindu Siwa. Ditemukan pada tahun 1840 di sebuah bukit bernama Gunung Wukir, prasasti ini menjadi salah satu bukti tertulis paling awal tentang keberadaan kerajaan bercorak Hindu di Jawa Tengah. Pemahaman mendalam terhadap Prasasti Canggal adalah kunci untuk membuka tabir sejarah, memahami dinamika politik, sosial, dan keagamaan masyarakat Jawa pada permulaan milenium pertama Masehi.
Sebelum kita menyelami detail Prasasti Canggal, penting untuk memahami lanskap historis Jawa sebelum Mataram Kuno berdiri. Abad ke-7 dan ke-8 Masehi di Jawa adalah masa transisi yang signifikan. Berbagai kerajaan kecil dan entitas politik kemungkinan sudah ada, namun informasinya masih sangat terbatas. Beberapa catatan sejarah menunjukkan keberadaan Kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat yang mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-5 Masehi dengan Raja Purnawarman. Namun, di Jawa Tengah, gambaran politiknya masih samar-samar.
Pengaruh India telah tiba di Nusantara jauh sebelum masa ini, membawa serta ajaran Hindu-Buddha, sistem pemerintahan, aksara (terutama Pallawa), dan bahasa Sanskerta. Konsep Dewa-raja, di mana raja dianggap sebagai manifestasi dewa, mulai mengakar. Pembangunan candi-candi dan monumen keagamaan menjadi penanda kekuatan dan legitimasi seorang penguasa. Dalam konteks inilah, munculnya Kerajaan Mataram Kuno dengan Prasasti Canggal-nya menandai babak baru dalam sejarah Jawa, seolah-olah mengukir identitas baru di atas lanskap yang belum terpetakan.
Wilayah Jawa Tengah, dengan tanahnya yang subur dan akses ke jalur perdagangan maritim, memiliki potensi besar untuk berkembang. Pegunungan vulkanik menyediakan lahan pertanian yang kaya, sementara sungai-sungai besar seperti Progo dan Bengawan Solo menjadi jalur transportasi vital. Kondisi geografis ini sangat mendukung munculnya peradaban agraris yang kuat, yang pada gilirannya akan menjadi basis ekonomi bagi kerajaan-kerajaan besar.
Prasasti Canggal ditemukan di lereng Gunung Wukir, sebuah bukit kecil di Kecamatan Salam, Magelang, Jawa Tengah. Lokasi ini tidak jauh dari Candi Borobudur dan Prambanan yang megah, meskipun candi-candi tersebut dibangun pada periode yang sedikit lebih muda. Gunung Wukir sendiri diyakini sebagai situs suci atau lokasi pembangunan kuil yang penting pada masanya. Penemuan prasasti ini di sana menunjukkan bahwa area tersebut memiliki nilai religius dan strategis bagi kerajaan.
Gunung Wukir, dengan ketinggian yang tidak terlalu mencolok, memberikan pandangan luas ke arah sekitarnya, menjadikannya lokasi ideal untuk mendirikan sebuah monumen atau pusat keagamaan. Lingkungan sekitarnya, yang kini didominasi oleh pertanian, kemungkinan besar juga merupakan lahan subur pada masa lalu, mendukung populasi yang cukup besar untuk sebuah ibu kota atau pusat keagamaan.
Prasasti Canggal terbuat dari batu andesit, material yang umum digunakan untuk candi dan prasasti di Jawa karena ketersediaannya yang melimpah dan kekuatannya. Prasasti ini berbentuk lempengan batu pipih yang cukup besar, dengan ukuran tinggi sekitar 145 cm dan lebar 115 cm, serta tebal 20 cm. Pada salah satu sisinya terukir tulisan dalam aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta. Kondisi prasasti saat ditemukan cukup baik, memungkinkan para ahli untuk membaca dan menerjemahkannya secara relatif lengkap.
Aksara Pallawa merupakan salah satu aksara kuno India Selatan yang menjadi nenek moyang banyak aksara di Asia Tenggara, termasuk aksara Jawa Kuno. Penggunaan bahasa Sanskerta, bahasa suci dalam tradisi Hindu, menunjukkan tingkat kebudayaan dan pengaruh India yang kuat di kalangan elite kerajaan. Prasasti ini diukir dengan teknik pahat yang halus, menunjukkan kemahiran para pemahat batu pada masa itu.
Prasasti Canggal terdiri dari 12 bait atau śloka yang ditulis dalam meter Śārdūlavikrīḍita dan Anuṣṭubh. Isi prasasti ini sangat informatif dan memberikan banyak petunjuk penting tentang sejarah, politik, dan agama pada masa itu. Berikut adalah ringkasan dan analisis dari setiap bait:
śrimān sanjaya nāmākhyo yasyārthe jñānam ārabhat
sa rājā devatātmā vai dāna pūjā praśāntimān
lokahitam śāstroktam yaś ca kuryād yathoditam
sa eva śivajyotir bhūtva loke'bhi pūjyateArtinya: Yang bernama Sanjaya yang mulia, yang untuknya pengetahuan mulai berkembang.
Raja itu adalah jiwa dewa, ia damai dengan pemberian dan pemujaan.
Dia yang melakukan apa yang dinyatakan dalam kitab suci demi kesejahteraan dunia,
ia menjadi cahaya Śiwa dan dipuja di dunia.
Bait-bait awal ini memperkenalkan nama "Sanjaya" dan memujinya sebagai raja yang saleh, bijaksana, dan beramal. Ia digambarkan sebagai "jiwa dewa" (devatātmā), sebuah konsep yang menguatkan legitimasi kekuasaannya sebagai penguasa yang diberkahi secara ilahi. Pujian ini adalah pola umum dalam prasasti kuno, berfungsi untuk mengangkat status raja di mata rakyat dan dewa. Bait ketiga secara eksplisit menyatakan bahwa Sanjaya, melalui perbuatannya yang sesuai dengan ajaran kitab suci demi kesejahteraan dunia, akan menjadi cahaya Śiwa dan dipuja. Ini menegaskan orientasi keagamaan prasasti yang kuat pada Śiwa-isme.
śārdūlavikrīḍitam:
āstīti kuñjarakuñje śailasya śikhare sthitaḥ
yasya deśe ca vai sarvam sthānam śuddhaśuciṃ param
tasmāt tatra narāṃ śūrān nāmnā kṛtakarmāṇaḥ
sarvam eva guṇaṃ teṣāṃ dhārayanti mahātmānaḥArtinya: Ada di Kuñjarakuñja, di puncak gunung,
Di mana segala tempat di negerinya bersih dan suci sempurna.
Karena itu, orang-orang gagah perkasa yang melakukan tugasnya dengan nama (Tuhan),
Semua sifat mulia mereka, para mahatma itu, mereka junjung tinggi.
Bait-bait ini menyinggung tentang lokasi yang disebut "Kuñjarakuñja" di puncak gunung, yang sering diidentifikasi dengan Gunung Wukir itu sendiri. Disebutkan bahwa di negeri tersebut, segala tempat adalah suci dan bersih. Ini menunjukkan idealisasi keadaan kerajaan di bawah kekuasaan Sanjaya. Selanjutnya, prasasti ini mengagungkan para pahlawan dan orang-orang saleh yang mengemban tugasnya demi kebaikan, menunjukkan adanya struktur masyarakat yang teratur dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebajikan.
Kemudian, disebutkan silsilah raja-raja yang mendahului Sanjaya. Sanjaya bukan raja pertama, melainkan penerus dari dinasti sebelumnya yang tidak disebutkan namanya secara eksplisit, tetapi digambarkan sebagai raja-raja yang bijaksana. Ini adalah informasi krusial, menunjukkan bahwa Mataram Kuno tidak muncul dari kevakuman politik, melainkan merupakan kelanjutan atau suksesi dari suatu entitas politik yang sudah ada sebelumnya di Jawa Tengah. Para ahli sering berspekulasi tentang siapa raja-raja sebelumnya ini, dan bagaimana hubungan Sanjaya dengan mereka.
śārdūlavikrīḍitam:
yāvat saṅgrāma kāle ca bhūpālabhiṣekam gataḥ
sūryasyāśvasya tejaḥ sarvaloka praśāntaye
śāstroktam samucyārya dharmasya parirakṣaṇe
śivākhyaṃ lingam asthāpayat śailāgre śailaputri vā
yad asya rājye nityam śubhaṃ kuryād atho'khilamArtinya: Sementara itu, pada waktu peperangan, setelah mendapatkan pengukuhan sebagai raja,
(ia) yang sinarnya seperti kuda matahari, demi kedamaian seluruh dunia,
Setelah menyatakan apa yang ada dalam kitab suci untuk perlindungan Dharma,
Mendirikan sebuah lingga yang bernama Śiwa di puncak gunung, atau di bukit.
Semoga seluruh kebaikan terjadi di kerajaannya setiap saat.
Bagian ini adalah inti dari prasasti. Bait ini dengan jelas menyatakan bahwa Sanjaya, setelah penobatannya sebagai raja, mendirikan sebuah lingga (simbol Śiwa) di puncak gunung. Tindakan ini bukan sekadar ritual keagamaan, melainkan juga deklarasi politik. Pendirian lingga Śiwa diyakini membawa kemakmuran dan perlindungan bagi kerajaan. Ini adalah praktik umum di India kuno di mana raja-raja membangun kuil atau mendirikan arca dewa sebagai bagian dari ritual penobatan dan legitimasi kekuasaan.
Frasa "setelah mendapatkan pengukuhan sebagai raja" (bhūpālabhiṣekam gataḥ) mengindikasikan bahwa Sanjaya naik takhta dalam konteks yang mungkin tidak sepenuhnya damai, mungkin ada perebutan kekuasaan atau konsolidasi wilayah setelah konflik. Kemudian, ia berupaya membawa kedamaian dan menegakkan Dharma (kebenaran dan hukum agama) di seluruh kerajaannya. Ini menunjukkan adanya visi politik dan keagamaan yang jelas dari Sanjaya untuk menciptakan tatanan yang stabil dan religius.
śārdūlavikrīḍitam:
śake varṣe śata śatābde pañcamaṃśe ca saṃsthite
pravṛtte kāla saṃkhyāyām dvayāvṛttau ca pañcame
kartur āyuṣya rājānasya kīrtim api sthirām
pratiṣṭhāpitam idaṃ liṅgaṃ śivārthāya mahāyaśahArtinya: Pada tahun Saka yang telah berlalu seratus lima tahun,
Pada perhitungan waktu, pada putaran kedua dari yang kelima.
Untuk umur panjang sang pembuat dan kemasyhuran yang kekal abadi bagi raja,
Lingga ini didirikan demi Śiwa yang sangat mulia.
Bait terakhir ini sangat penting karena mencantumkan angka tahun. Meskipun terjemahannya sedikit rumit, para ahli sepakat bahwa angka tahun yang dimaksud adalah 654 Saka. Jika dikonversi ke Masehi, ini setara dengan 732 Masehi. Angka tahun ini menjadi patokan kronologi utama untuk sejarah awal Mataram Kuno dan merupakan salah satu tanggal terawal yang pasti dalam sejarah Indonesia yang tercatat dalam prasasti.
Pendirian lingga ini disebut "demi Śiwa yang sangat mulia" (śivārthāya mahāyaśah), menegaskan kembali tujuan religius dari tindakan tersebut. Doa untuk umur panjang raja dan kemasyhuran yang abadi menunjukkan harapan akan stabilitas dan keberlanjutan dinasti Sanjaya. Ini adalah penutup yang kuat, mengukuhkan pesan utama prasasti: Sanjaya adalah raja yang sah, diberkati dewa, pendiri kerajaan, dan pelindung Dharma.
Prasasti Canggal memiliki signifikansi yang luar biasa dalam merekonstruksi sejarah Indonesia, khususnya di Jawa. Beberapa poin penting meliputi:
Prasasti ini adalah bukti tertulis paling awal tentang berdirinya Kerajaan Mataram Kuno, yang kemudian akan menjadi salah satu kerajaan terkuat dan paling berpengaruh di Nusantara. Dengan adanya tanggal yang pasti (732 Masehi), para sejarawan dapat menetapkan titik awal kronologis untuk dinasti Sanjaya dan periode Mataram Kuno.
Prasasti ini secara eksplisit menyebutkan pendirian lingga Śiwa dan pujian kepada Śiwa, mengindikasikan bahwa agama Hindu aliran Śiwa-isme adalah agama resmi atau dominan di istana Mataram Kuno pada masa itu. Ini membantu melacak jejak penyebaran dan perkembangan agama Hindu di Jawa, yang kemudian akan berdampingan dengan Buddhisme.
Melalui prasasti ini, Sanjaya memproklamirkan legitimasinya sebagai raja. Deskripsi dirinya sebagai "jiwa dewa" dan tindakannya mendirikan lingga Śiwa adalah cara untuk mengukuhkan posisinya, baik di mata rakyat maupun di hadapan entitas politik lain. Ini adalah strategi politik yang cerdas, memanfaatkan otoritas keagamaan untuk menguatkan kekuasaan sekuler.
Penyebutan adanya raja-raja pendahulu Sanjaya mengindikasikan bahwa wilayah Jawa Tengah sudah memiliki struktur pemerintahan sebelum berdirinya Mataram Kuno secara resmi. Sanjaya mungkin tidak memulai dari nol, melainkan mengambil alih atau menyatukan entitas-entitas politik yang sudah ada, atau merupakan suksesor dari dinasti yang kurang terdokumentasi.
Penggunaan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta yang sempurna menunjukkan tingkat pendidikan dan kebudayaan yang tinggi di kalangan elite kerajaan. Keberadaan pemahat yang mampu mengukir prasasti dengan rapi juga menunjukkan kemajuan dalam seni pahat dan teknologi batu.
Prasasti Canggal sering dibandingkan dengan prasasti-prasasti lain dari periode Mataram Kuno, seperti Prasasti Kalasan (778 Masehi) yang bercorak Buddha, dan Prasasti Mantyasih (907 Masehi) yang mencantumkan daftar raja-raja Mataram Kuno. Perbandingan ini membantu sejarawan menyusun kronologi dan memahami dinamika antara wangsa Sanjaya (Hindu Śiwa) dan wangsa Syailendra (Buddha) yang pernah berkuasa di Jawa Tengah.
Prasasti Canggal memberikan gambaran awal tentang corak keagamaan dan politik di Mataram Kuno. Meskipun prasasti ini beraksara Hindu Śiwa, kita tahu bahwa Mataram Kuno kemudian juga menjadi pusat perkembangan agama Buddha Mahayana, yang puncaknya ditandai dengan pembangunan Candi Borobudur.
Sanjaya adalah pendiri Wangsa Sanjaya, sebuah dinasti yang secara tradisional diidentifikasi sebagai penganut Hindu Śiwa. Mereka adalah pelindung agama Śiwa dan bertanggung jawab atas pembangunan banyak candi Hindu, termasuk kompleks Candi Prambanan (meskipun dibangun jauh lebih kemudian oleh keturunan Sanjaya).
Konsep raja sebagai cakrawartin (penguasa dunia) atau manifestasi dewa sangat kuat dalam tradisi Hindu. Sanjaya, dengan mendirikan lingga Śiwa, menegaskan klaimnya atas kekuasaan yang didukung oleh kehendak ilahi. Ini adalah cara yang efektif untuk menyatukan rakyat di bawah panji agama dan kerajaan.
Beberapa dekade setelah Prasasti Canggal, muncul Wangsa Syailendra yang mendominasi panggung politik di Jawa Tengah. Wangsa Syailendra dikenal sebagai penganut Buddha Mahayana yang taat dan bertanggung jawab atas pembangunan monumen-monumen Buddha yang luar biasa seperti Candi Borobudur, Candi Mendut, dan Candi Pawon.
Hubungan antara Wangsa Sanjaya dan Syailendra masih menjadi perdebatan sengit di kalangan sejarawan. Beberapa teori menyatakan bahwa mereka adalah dua wangsa yang berbeda dan saling bersaing, sementara teori lain mengemukakan bahwa Syailendra mungkin adalah cabang dari Sanjaya atau bahkan keduanya hidup berdampingan dalam satu kesatuan politik. Meskipun demikian, keberadaan kedua wangsa dengan corak keagamaan yang berbeda (Hindu Śiwa dan Buddha Mahayana) dalam satu wilayah dan periode waktu menunjukkan adanya toleransi beragama yang tinggi atau setidaknya koeksistensi yang damai, yang merupakan ciri khas peradaban Jawa kuno.
Prasasti Kalasan (778 Masehi) yang menyebut Raja Panangkaran (penerus Sanjaya) memberikan tanah kepada para biksu Buddha dan membangun Candi Kalasan, menunjukkan adanya interaksi dan dukungan terhadap Buddhisme dari penguasa yang mungkin berlatar belakang Hindu. Ini semakin memperkuat hipotesis tentang toleransi dan akulturasi budaya yang kaya di Mataram Kuno.
Situs Gunung Wukir, tempat Prasasti Canggal ditemukan, kini menjadi bagian dari desa Canggal yang merupakan permukiman modern. Meskipun prasasti telah dipindahkan ke Museum Nasional Indonesia di Jakarta untuk keamanan dan pelestarian, situs aslinya di Gunung Wukir masih menyimpan sisa-sisa reruntuhan candi atau struktur bangunan kuno. Penggalian arkeologi di masa lalu telah menemukan beberapa arca dan fragmen bangunan yang mengindikasikan bahwa ini dulunya adalah kompleks candi yang signifikan.
Lingkungan sekitar Gunung Wukir kini didominasi oleh lahan pertanian, terutama sawah dan perkebunan. Masyarakat sekitar hidup dari pertanian dan kegiatan ekonomi lokal lainnya. Keberadaan situs sejarah seperti Gunung Wukir menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas lokal.
Pelestarian Prasasti Canggal dan situs Gunung Wukir adalah tugas yang berkelanjutan. Meskipun prasasti aslinya aman di museum, situs di Gunung Wukir perlu dijaga dari kerusakan alami maupun aktivitas manusia. Edukasi kepada masyarakat setempat dan pengunjung tentang pentingnya warisan sejarah ini juga krusial. Pusat-pusat studi dan museum memainkan peran vital dalam menyebarkan pengetahuan tentang Prasasti Canggal kepada generasi muda dan publik luas.
Canggal, sebagai nama tempat dan sebagai penanda sejarah, terus menjadi objek penelitian bagi para arkeolog, sejarawan, dan ahli filologi. Setiap penemuan baru atau interpretasi ulang dapat menambah kedalaman pemahaman kita tentang Mataram Kuno dan masa-masa awalnya.
Meski berumur lebih dari satu milenium, warisan yang ditinggalkan oleh peristiwa di Canggal melalui prasastinya masih sangat relevan hingga kini. Prasasti Canggal bukan hanya sepotong batu kuno, melainkan simbol dari beberapa nilai dan konsep fundamental yang membentuk identitas bangsa Indonesia.
Prasasti Canggal adalah salah satu bukti nyata bahwa Nusantara memiliki sejarah peradaban yang kaya dan mandiri, jauh sebelum kedatangan pengaruh Barat. Ia menunjukkan bahwa kerajaan-kerajaan di Indonesia mampu mengadaptasi dan mengasimilasi budaya asing (seperti Hindu-Buddha dari India) menjadi bentuk yang unik dan khas Nusantara. Pengetahuan tentang Prasasti Canggal membantu kita memahami akar-akar kebangsaan dan bagaimana negara ini terbentuk dari mozaik kerajaan-kerajaan masa lalu.
Pengkajian prasasti seperti Canggal juga menegaskan bahwa sejarah kita tidak hanya dimulai dari masa kolonial, melainkan memiliki fondasi yang kuat ribuan tahun sebelumnya. Ini memberikan kebanggaan atas warisan nenek moyang dan inspirasi untuk terus membangun peradaban yang maju dan berbudaya.
Seperti yang telah dibahas, Mataram Kuno pada akhirnya menjadi rumah bagi dua agama besar, Hindu dan Buddha, yang berkembang berdampingan. Meskipun Prasasti Canggal adalah manifestasi Hindu Śiwa, konteks yang lebih luas menunjukkan adanya toleransi yang tinggi. Hal ini merupakan pelajaran berharga bagi masyarakat multikultural Indonesia saat ini tentang bagaimana keberagaman agama dan keyakinan dapat hidup harmonis dalam satu tatanan sosial dan politik.
Semangat toleransi ini bukan hanya sekadar konsep, melainkan telah terwujud dalam arsitektur fisik seperti Candi Prambanan (Hindu) dan Borobudur (Buddha) yang dibangun dalam rentang waktu yang tidak terlalu jauh. Canggal, sebagai titik awal, memberikan petunjuk tentang bagaimana benih-benih toleransi itu mulai disemai.
Kondisi geografis Jawa Tengah yang subur adalah faktor kunci dalam munculnya kerajaan agraris seperti Mataram Kuno. Prasasti Canggal, meski tidak secara eksplisit membahas sistem pertanian, secara implisit menunjukkan keberadaan masyarakat yang terorganisir dan mampu mengelola sumber daya alamnya untuk mendukung sebuah peradaban yang kompleks. Ini adalah cerminan dari kemampuan nenek moyang dalam beradaptasi dengan lingkungan dan membangun kemandirian ekonomi.
Penggunaan bahasa Sanskerta dan aksara Pallawa dalam Prasasti Canggal menunjukkan peran penting bahasa dan tulisan dalam transmisi pengetahuan dan pelestarian sejarah. Kemampuan untuk membaca dan memahami prasasti kuno membuka pintu bagi generasi sekarang untuk terhubung langsung dengan pikiran dan gagasan masyarakat masa lalu. Ini juga menyoroti pentingnya melestarikan bahasa-bahasa daerah dan aksara tradisional sebagai bagian dari kekayaan budaya bangsa.
Kisah Sanjaya dalam Prasasti Canggal, yang digambarkan sebagai raja yang bijaksana, damai, dan berupaya mensejahterakan rakyatnya dengan menegakkan Dharma, dapat menjadi inspirasi. Nilai-nilai kepemimpinan yang baik, keadilan, dan perhatian terhadap kesejahteraan umum adalah universal dan relevan sepanjang masa. Perjuangan Sanjaya untuk menciptakan tatanan yang stabil dan religius di kerajaannya mencerminkan cita-cita pembangunan bangsa yang berkesinambungan.
Bahkan dalam konteks pariwisata modern, nama Canggal dan situs Gunung Wukir dapat dikembangkan sebagai destinasi wisata sejarah dan edukasi. Mengunjungi lokasi di mana sejarah besar bermula dapat memberikan pengalaman yang mendalam dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya warisan budaya.
Untuk memahami posisi unik Prasasti Canggal, ada baiknya membandingkannya dengan prasasti lain yang sezaman atau sedikit lebih muda di Nusantara.
Prasasti Dinoyo, yang ditemukan di Malang, Jawa Timur, ditulis dalam aksara Kawi Awal (yang merupakan turunan dari Pallawa) dan bahasa Sanskerta. Prasasti ini mencatat pembangunan sebuah candi untuk memuja Agastya (seorang resi Hindu) oleh Raja Gajayana dari Kerajaan Kanjuruhan. Meskipun terletak di Jawa Timur dan sedikit lebih muda dari Canggal, Dinoyo menunjukkan bahwa Śiwa-isme juga telah berkembang di wilayah timur Jawa pada abad ke-8 Masehi. Kedua prasasti ini menjadi bukti kuat penyebaran Hindu di Jawa.
Prasasti Mantyasih, yang juga dikenal sebagai Prasasti Kedu, adalah salah satu prasasti penting dari akhir periode Mataram Kuno di Jawa Tengah. Prasasti ini dikeluarkan oleh Raja Balitung dan berisi daftar silsilah raja-raja Mataram Kuno yang dimulai dari Sanjaya. Mantyasih mengukuhkan posisi Sanjaya sebagai raja pertama dalam silsilah resmi kerajaan. Ini memberikan validasi historis terhadap klaim Sanjaya dalam Prasasti Canggal dan membantu sejarawan menyusun daftar penguasa Mataram Kuno.
Prasasti Karangtengah atau Prasasti Gandasuli II, yang ditulis dalam bahasa Melayu Kuno dan Sanskerta, dikeluarkan oleh Samaratungga dari Wangsa Syailendra. Prasasti ini menyebutkan pembangunan prasada (bangunan suci) dan mencatat silsilah Syailendra. Bersama dengan prasasti-prasasti Buddha lainnya seperti Kalasan, Karangtengah menunjukkan adanya pergeseran atau setidaknya koeksistensi kekuatan antara Hindu dan Buddha di Jawa Tengah, memberikan konteks yang lebih luas untuk memahami periode setelah Canggal.
Perbandingan ini menunjukkan bahwa Prasasti Canggal adalah titik awal yang penting, sebuah fondasi yang di atasnya kerajaan-kerajaan berikutnya membangun identitas dan peradaban mereka. Tanpa Canggal, pemahaman kita tentang kronologi dan perkembangan Mataram Kuno akan jauh lebih samar.
Meskipun Prasasti Canggal telah diteliti secara ekstensif oleh banyak ahli, masih ada ruang untuk penelitian dan interpretasi baru. Sejarah kuno, apalagi yang didasarkan pada bukti-bukti terbatas seperti prasasti, seringkali membuka peluang untuk diskusi dan revisi.
Kemajuan teknologi dalam bidang arkeologi, seperti pemindaian laser 3D, analisis material, dan metode penanggalan yang lebih akurat, dapat membuka dimensi baru dalam studi Prasasti Canggal dan situs Gunung Wukir. Misalnya, analisis detail ukiran prasasti dapat mengungkapkan teknik pemahatan yang lebih spesifik, sementara pemindaian situs dapat membantu merekonstruksi bentuk asli kompleks candi di Gunung Wukir.
Meskipun terjemahan utama Prasasti Canggal sudah mapan, studi linguistik dan epigrafi yang lebih mendalam dapat mengurai nuansa makna yang mungkin terlewatkan. Perbandingan dengan naskah-naskah Sanskerta lain dari periode yang sama di India atau Asia Tenggara dapat memberikan konteks baru untuk memahami terminologi dan ungkapan tertentu dalam prasasti.
Prasasti Canggal, seperti kebanyakan prasasti kerajaan, berfokus pada raja dan elite. Namun, penelitian dapat mencoba menggali lebih jauh tentang kehidupan masyarakat biasa pada masa itu. Apa dampak pendirian kerajaan ini pada struktur sosial, ekonomi, dan kehidupan sehari-hari mereka? Meskipun bukti langsung mungkin langka, analisis komparatif dengan data arkeologi lain dapat memberikan gambaran yang lebih utuh.
Penting untuk terus mengintegrasikan materi tentang Prasasti Canggal ke dalam kurikulum pendidikan di Indonesia. Ini akan memastikan bahwa generasi muda memiliki pemahaman yang kuat tentang akar sejarah mereka dan menghargai pentingnya warisan budaya. Pemanfaatan teknologi digital untuk membuat rekonstruksi visual atau aplikasi interaktif tentang Canggal dapat membuat sejarah lebih menarik dan mudah diakses.
Lebih dari sekadar catatan sejarah, Prasasti Canggal juga menawarkan refleksi filosofis yang mendalam tentang kekuasaan, keyakinan, dan keberlanjutan peradaban. Ia menunjukkan bagaimana para penguasa di masa lalu berusaha membangun tatanan sosial yang berlandaskan pada prinsip-prinsip keagamaan dan moral.
Konsep Dharma, yang disebutkan dalam prasasti, adalah inti dari pemikiran Hindu tentang kebenaran, kewajiban, dan tatanan kosmis. Dengan menegakkan Dharma, Sanjaya tidak hanya mengklaim kekuasaan politik, tetapi juga tanggung jawab moral untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan di kerajaannya. Ini mengingatkan kita bahwa kekuasaan sejati tidak hanya tentang kekuatan militer atau ekonomi, tetapi juga tentang kebijaksanaan, keadilan, dan pelayanan kepada masyarakat.
Pendirian lingga Śiwa di puncak gunung juga memiliki makna simbolis yang kuat. Gunung seringkali dianggap sebagai tempat suci, penghubung antara dunia manusia dan dewa. Dengan menempatkan simbol Śiwa di sana, Sanjaya secara metaforis menempatkan kerajaannya di bawah perlindungan ilahi dan menegaskan hubungannya dengan kekuatan kosmis. Ini adalah pengingat akan dimensi spiritual dalam setiap tindakan manusia, terutama yang berkaitan dengan kepemimpinan dan pembangunan masyarakat.
Canggal, dengan usianya yang telah melewati ribuan tahun, juga merupakan testimoni tentang ketahanan peradaban. Meskipun kerajaan-kerajaan datang dan pergi, gagasan dan nilai-nilai fundamental yang mereka perjuangkan seringkali bertahan dan terus membentuk masyarakat. Prasasti ini adalah jembatan yang menghubungkan kita dengan leluhur, memungkinkan kita untuk belajar dari kebijaksanaan mereka dan memahami bagaimana fondasi peradaban kita diletakkan.
Prasasti Canggal adalah mutiara sejarah yang tak ternilai harganya. Ia bukan hanya sebuah lempengan batu bertulis, melainkan sebuah narasi yang kompleks tentang kelahiran sebuah kerajaan besar, penyebaran agama, dan visi seorang pemimpin yang ingin membangun tatanan yang stabil dan religius. Dari Gunung Wukir yang tenang di Magelang, hingga ke museum-museum dan buku-buku sejarah, gema dari masa lalu di Canggal terus menginspirasi dan mendidik kita.
Memahami Canggal berarti memahami permulaan dari banyak hal di Jawa: dari politik kerajaan, seni arsitektur candi, hingga dinamika akulturasi budaya yang membentuk Indonesia modern. Ia adalah pengingat bahwa di balik lanskap yang kita lihat sehari-hari, tersembunyi lapisan-lapisan sejarah yang menunggu untuk diungkap, dipelajari, dan dihargai. Mari kita terus menjaga dan mempelajari warisan tak ternilai ini, agar cerita tentang Sanjaya dan Mataram Kuno di Canggal tetap hidup dan relevan untuk generasi mendatang.