Cantrang: Polemik, Dampak, dan Masa Depan Perikanan Indonesia

Menyelami Kompleksitas Alat Tangkap yang Membelah Bangsa Nelayan

Pengantar: Kontroversi di Lautan Nusantara

Perairan Indonesia, dengan kekayaan hayati lautnya yang melimpah, telah lama menjadi tulang punggung kehidupan jutaan nelayan. Namun, di tengah hamparan biru yang menjanjikan, terdapat polemik berkepanjangan yang melibatkan salah satu alat tangkap ikan, yaitu cantrang. Cantrang bukan sekadar alat tangkap biasa; ia adalah simbol dari tarik-menarik kepentingan, isu lingkungan, kesejahteraan sosial, dan kebijakan pemerintah yang kompleks.

Kontroversi seputar cantrang telah memicu perdebatan sengit di berbagai kalangan, mulai dari nelayan skala kecil dan besar, pengusaha perikanan, ahli kelautan, aktivis lingkungan, hingga pembuat kebijakan di tingkat nasional. Alat tangkap ini dilarang, diizinkan kembali dengan syarat, lalu diatur ulang dalam kerangka yang lebih ketat, mencerminkan betapa dinamis dan menantangnya upaya menjaga keberlanjutan sumber daya kelautan Indonesia.

Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk cantrang, mulai dari definisinya, sejarah penggunaannya, dampak lingkungan dan sosial-ekonominya, hingga perjalanan panjang kebijakan pemerintah dalam mengaturnya. Tujuan utamanya adalah memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai isu cantrang, menyoroti berbagai perspektif, dan merenungkan masa depan perikanan Indonesia di tengah tantangan keberlanjutan yang kian mendesak.

Apa Itu Cantrang? Mengenal Lebih Dekat Alat Tangkap yang Kontroversial

Untuk memahami polemiknya, penting untuk terlebih dahulu mengenal apa itu cantrang. Secara sederhana, cantrang adalah alat penangkap ikan yang tergolong dalam kelompok pukat tarik (Danish seine atau pair seine). Meskipun sering disamakan dengan pukat hela (trawl) karena cara kerjanya yang serupa, yaitu menarik jaring di dasar laut, cantrang memiliki karakteristik teknis dan operasional yang membedakannya.

1. Definisi dan Mekanisme Kerja

Cantrang terdiri dari beberapa komponen utama: dua tali selambar panjang yang terbuat dari jaring (warp rope), sepasang pintu jaring (otter board atau door) yang berfungsi melebarkan mulut jaring, badan jaring, dan kantong jaring (codend). Cara kerjanya adalah dengan menurunkan tali selambar ke dasar laut, membentuk busur yang luas, lalu jaring ditarik perlahan oleh kapal melalui tenaga mesin. Tali selambar ini akan menggerus dasar laut, menggiring ikan-ikan yang berada di area tersebut masuk ke dalam kantong jaring. Proses penarikan ini bisa berlangsung selama beberapa jam, tergantung luas area tangkapan dan kedalaman laut.

Karakteristik utama cantrang adalah penggunaan tali selambar yang sangat panjang, bisa mencapai ribuan meter, yang menyapu dasar laut. Panjang tali selambar ini, ditambah dengan ukuran mata jaring yang sering kali kecil, menjadikannya sangat efektif dalam menangkap berbagai jenis ikan, namun juga sangat rentan terhadap dampak negatif.

2. Perbedaan Cantrang dengan Pukat Hela (Trawl)

Meskipun memiliki kemiripan dalam prinsip penarikan di dasar laut, ada perbedaan teknis yang signifikan antara cantrang dan pukat hela (trawl). Pukat hela umumnya menggunakan kapal yang lebih besar dan bertenaga lebih tinggi, serta jaring yang secara eksplisit dirancang untuk digerakkan di dasar laut dengan beban yang lebih berat. Sementara itu, cantrang, khususnya yang digunakan oleh nelayan Indonesia, seringkali dioperasikan oleh kapal-kapal berukuran sedang hingga besar dengan modifikasi tertentu agar dapat menarik jaring dengan efektif di dasar laut.

Dalam konteks regulasi di Indonesia, terminologi "cantrang" seringkali digunakan secara umum untuk merujuk pada pukat tarik yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga memiliki karakteristik merusak mirip trawl. Inilah yang menjadi inti dari sebagian besar perdebatan, di mana batas antara cantrang yang dianggap "tradisional" dan cantrang yang "merusak" menjadi kabur.

Ilustrasi Kapal Cantrang dan Jaringnya Gambar ilustrasi sebuah kapal penangkap ikan dengan jaring cantrang yang ditarik di dasar laut, menunjukkan tali selambar yang panjang dan kantong jaring.
Ilustrasi sederhana kapal cantrang yang menarik jaring di dasar laut. Tali selambar yang panjang menyapu area dasar laut untuk menggiring ikan ke kantong jaring.

Sejarah dan Perkembangan Penggunaan Cantrang di Indonesia

Penggunaan cantrang di Indonesia memiliki akar sejarah yang cukup panjang, meskipun baru belakangan ini menjadi fokus perhatian publik. Awalnya, alat tangkap sejenis cantrang mungkin digunakan dalam skala kecil dan lebih tradisional. Namun, seiring waktu, modernisasi teknologi perikanan dan peningkatan permintaan pasar mendorong evolusi alat tangkap ini menjadi lebih besar dan efisien.

1. Masa Awal dan Modifikasi

Pada dekade-dekade awal kemerdekaan, praktik perikanan di Indonesia didominasi oleh alat tangkap tradisional. Namun, seiring dengan diperkenalkannya mesin kapal dan material jaring yang lebih kuat pada sekitar tahun 1970-an hingga 1980-an, penggunaan pukat tarik mulai berkembang. Nelayan mulai memodifikasi pukat tarik tradisional menjadi lebih besar dan bertenaga, dengan kapal yang dilengkapi mesin diesel yang lebih kuat, memungkinkan mereka menarik jaring lebih lama dan di area yang lebih luas.

Pada awalnya, cantrang dianggap sebagai alat yang inovatif karena kemampuannya menangkap ikan dalam jumlah besar, yang berarti peningkatan pendapatan bagi nelayan. Populasi ikan yang melimpah di perairan Indonesia pada saat itu mungkin juga menyamarkan dampak negatif jangka panjang dari penggunaan alat tangkap ini.

2. Ekspansi dan Polarisasi

Popularitas cantrang melonjak pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, terutama di sentra-sentra perikanan di pantai utara Jawa (Pantura) seperti Tegal, Pati, Rembang, dan Indramayu. Banyak nelayan berinvestasi pada kapal cantrang yang membutuhkan modal besar, karena menjanjikan hasil tangkapan yang signifikan. Namun, ekspansi penggunaan cantrang ini juga menimbulkan polarisasi. Di satu sisi, ada nelayan pemilik kapal cantrang yang merasa diuntungkan, sedangkan di sisi lain, nelayan tradisional yang menggunakan alat tangkap pasif seperti jaring insang atau pancing mulai merasakan dampak penurunan hasil tangkapan mereka.

Konflik kepentingan antara kedua kelompok nelayan ini mulai sering terjadi, tidak jarang berujung pada bentrokan fisik di laut. Hal ini menjadi indikator awal bahwa ada masalah fundamental dengan keberlanjutan praktik perikanan menggunakan cantrang yang mulai merusak ekosistem dan mengancam mata pencarian kelompok nelayan tertentu.

Dampak Lingkungan: Ancaman Serius bagi Ekosistem Laut

Salah satu alasan utama mengapa cantrang menjadi sangat kontroversial adalah dampak negatifnya yang serius terhadap lingkungan laut. Praktik penangkapan ikan dengan cantrang memiliki efek jangka panjang yang merusak ekosistem, mengancam keanekaragaman hayati, dan mengganggu keseimbangan laut.

1. Kerusakan Habitat Dasar Laut

Kantong jaring cantrang dan tali selambarnya secara langsung menyapu dan menggerus dasar laut. Proses ini menyebabkan kerusakan fisik yang parah pada habitat bentik, termasuk terumbu karang, padang lamun, dan substrat lumpur atau pasir yang menjadi rumah bagi berbagai organisme laut. Terumbu karang, yang merupakan "hutan hujan" bawah laut, membutuhkan waktu puluhan hingga ratusan tahun untuk tumbuh, dan dapat hancur dalam hitungan menit oleh cantrang. Padang lamun yang berfungsi sebagai area asuhan (nursery ground) dan tempat mencari makan bagi banyak spesies ikan dan biota laut lainnya, juga tidak luput dari kerusakan.

Ketika habitat-habitat vital ini rusak, siklus hidup ikan dan organisme laut lainnya terganggu. Populasi ikan juvenil kehilangan tempat berlindung, sumber makanan berkurang, dan rantai makanan di ekosistem laut menjadi tidak stabil. Kerusakan ini tidak hanya berdampak pada satu area, tetapi bisa menyebar dan memengaruhi kesehatan seluruh perairan.

2. Tangkapan Sampingan (Bycatch) dan Pembuangan Ikan Juvenil

Cantrang dikenal memiliki selektivitas yang sangat rendah. Ini berarti, selain ikan target yang ingin ditangkap, cantrang juga menangkap berbagai jenis biota laut lainnya yang tidak diinginkan atau tidak memiliki nilai ekonomis, yang dikenal sebagai tangkapan sampingan (bycatch). Bycatch ini bisa berupa:

Tingginya angka bycatch menunjukkan pemborosan sumber daya laut yang luar biasa. Biota laut yang mati sia-sia ini seharusnya dapat tumbuh dan berkembang biak, atau menjadi bagian penting dari ekosistem. Pembuangan bycatch yang sudah mati kembali ke laut juga dapat mengganggu kualitas air dan ekosistem dasar laut.

3. Penipisan Stok Ikan dan Ancaman Overfishing

Efisiensi cantrang dalam menyapu dasar laut dan menangkap ikan dalam jumlah besar, dikombinasikan dengan ukuran mata jaring yang seringkali tidak sesuai standar, sangat berkontribusi pada penipisan stok ikan (stock depletion). Jika penangkapan ikan dilakukan secara terus-menerus melebihi kapasitas regenerasi alami populasi ikan, maka akan terjadi overfishing (penangkapan ikan berlebih).

Fenomena ini bukan lagi ancaman, melainkan kenyataan pahit di beberapa wilayah perairan Indonesia. Penipisan stok ikan berdampak langsung pada keberlanjutan perikanan itu sendiri. Nelayan harus pergi lebih jauh, menghabiskan lebih banyak waktu dan bahan bakar, serta mengeluarkan biaya operasional yang lebih tinggi untuk mendapatkan hasil tangkapan yang semakin sedikit. Ini adalah siklus yang merugikan baik lingkungan maupun nelayan dalam jangka panjang.

Perbandingan Kondisi Dasar Laut Sehat dan Rusak Dua sisi gambar: sisi kiri menunjukkan dasar laut yang sehat dengan terumbu karang dan banyak ikan, sisi kanan menunjukkan dasar laut yang rusak dengan puing-puing dan sedikit kehidupan laut. DASAR LAUT SEHAT DASAR LAUT RUSAK
Perbandingan visual dasar laut yang sehat dengan keanekaragaman hayati (kiri) dan dasar laut yang rusak akibat praktik penangkapan ikan yang tidak bertanggung jawab seperti cantrang (kanan).

Dampak Sosial dan Ekonomi: Konflik dan Kesenjangan

Selain dampak lingkungan, penggunaan cantrang juga menciptakan implikasi sosial dan ekonomi yang signifikan, terutama dalam konteks mata pencarian dan hubungan antar-nelayan. Isu ini seringkali menjadi pemicu konflik di lapangan dan memperlebar kesenjangan sosial di komunitas pesisir.

1. Konflik Antar-Nelayan

Salah satu dampak sosial paling nyata dari cantrang adalah memanasnya konflik antara nelayan pengguna cantrang (skala besar) dan nelayan tradisional (skala kecil). Nelayan tradisional yang menggunakan alat tangkap pasif seperti jaring insang, pancing, atau bubu, sangat bergantung pada kelestarian ekosistem dan stok ikan di perairan dangkal dan sedang.

Ketika cantrang beroperasi di area yang sama, hasil tangkapan nelayan tradisional menurun drastis karena ikan sudah terlanjur tersapu oleh cantrang, atau habitat ikan rusak. Hal ini sering memicu kemarahan dan bentrokan. Nelayan tradisional merasa hak mereka untuk mencari nafkah dirampas, sementara nelayan cantrang berargumen bahwa mereka juga mencari nafkah dan telah berinvestasi besar pada kapal serta alat tangkapnya.

Konflik ini tidak hanya terjadi di laut, tetapi juga merambat ke daratan, mempengaruhi kohesi sosial di desa-desa pesisir. Perselisihan ini seringkali sulit diselesaikan karena menyangkut persoalan perut dan keberlangsungan hidup.

2. Kesenjangan Ekonomi dan Kesejahteraan Nelayan

Investasi untuk kapal cantrang dan perlengkapannya memerlukan modal yang besar, yang biasanya hanya dimiliki oleh kelompok pengusaha atau nelayan bermodal kuat. Ini menciptakan kesenjangan ekonomi yang mencolok antara nelayan pemilik modal (operator cantrang) dan nelayan kecil yang hanya memiliki perahu dan alat tangkap sederhana.

Kesenjangan ini tidak hanya dalam hal pendapatan, tetapi juga dalam hal akses terhadap sumber daya perikanan dan bahkan pengaruh politik. Nelayan tradisional seringkali merasa termarjinalkan dan tidak memiliki suara yang cukup kuat dalam perumusan kebijakan yang secara langsung memengaruhi hidup mereka.

3. Tantangan dalam Konversi Mata Pencarian

Ketika pemerintah berupaya melarang atau membatasi penggunaan cantrang, salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana menyediakan alternatif mata pencarian atau alat tangkap yang berkelanjutan bagi ribuan nelayan cantrang. Proses konversi alat tangkap atau alih profesi tidak mudah. Nelayan telah terbiasa dengan metode tertentu, memiliki keahlian khusus, dan seringkali terikat pada investasi yang telah mereka keluarkan.

Jika tidak ada solusi yang komprehensif dan dukungan yang memadai dari pemerintah, pelarangan cantrang justru dapat menimbulkan masalah sosial baru, seperti pengangguran massal, kemiskinan, dan peningkatan praktik penangkapan ikan ilegal dengan cara lain. Oleh karena itu, pendekatan yang hati-hati dan program mitigasi yang terencana sangat diperlukan.

Perjalanan Kebijakan dan Regulasi Cantrang di Indonesia

Sejarah kebijakan terkait cantrang di Indonesia merupakan sebuah saga panjang yang penuh liku, menunjukkan kompleksitas dalam menyeimbangkan kepentingan ekonomi, lingkungan, dan sosial. Dari pelarangan mutlak hingga pelonggaran dengan syarat, perjalanan regulasi ini mencerminkan dinamika politik dan tekanan dari berbagai pihak.

1. Era Pelarangan Tegas: Permen KP No. 2/2015

Puncak dari upaya penertiban cantrang terjadi pada masa kepemimpinan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No. 2/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, cantrang secara eksplisit dilarang penggunaannya. Tujuan dari kebijakan ini sangat jelas: mengakhiri praktik penangkapan ikan yang merusak demi keberlanjutan sumber daya laut dan menjaga kedaulatan perairan Indonesia.

Kebijakan ini mendapatkan dukungan luas dari kelompok pemerhati lingkungan dan nelayan tradisional, namun menuai protes keras dari ribuan nelayan pengguna cantrang, khususnya di wilayah Pantura Jawa. Mereka berargumen bahwa pelarangan ini mengancam mata pencarian mereka, padahal mereka telah berinvestasi besar pada kapal dan alat tangkap. Protes dan demonstrasi besar-besaran sering terjadi, menuntut pemerintah untuk mencabut peraturan tersebut.

2. Masa Transisi dan Pelonggaran Bersyarat

Tekanan dari nelayan dan pertimbangan sosial-ekonomi membuat pemerintah mencari jalan tengah. Pada akhirnya, pelarangan total tidak dapat sepenuhnya diimplementasikan. Terjadi beberapa perubahan dan adaptasi kebijakan, yang secara bertahap memberikan "ruang" bagi cantrang, namun dengan syarat-syarat tertentu:

3. Kebijakan Terkini: Penangkapan Ikan Terukur dan Lisensi

Pada periode pemerintahan selanjutnya, pendekatan terhadap cantrang terus berkembang, bergeser ke arah konsep Penangkapan Ikan Terukur (PIT). Melalui Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur, pemerintah mencoba mengintegrasikan pengelolaan perikanan yang berbasis kuota dan zonasi.

Dalam kerangka PIT, alat tangkap yang sebelumnya dilarang, termasuk cantrang, dapat diizinkan kembali dengan syarat ketat, yaitu:

  1. Kewajiban Lisensi dan Kuota: Setiap kapal harus memiliki lisensi dan kuota tangkapan yang jelas.
  2. Pemasangan Alat Pemantau: Kapal diwajibkan memasang Vessel Monitoring System (VMS) untuk memantau pergerakan dan lokasi penangkapan.
  3. Spesifikasi Teknis yang Diperbarui: Penyesuaian pada ukuran mata jaring, panjang tali selambar, dan area operasi agar lebih ramah lingkungan.
  4. Zonasi Penangkapan: Penentuan zona-zona tertentu untuk alat tangkap tertentu, mencegah konflik dengan nelayan tradisional dan kerusakan habitat sensitif.

Pendekatan ini bertujuan untuk mengelola cantrang bukan dengan pelarangan total, melainkan dengan pengendalian yang ketat, berharap dapat meminimalkan dampak negatifnya sambil tetap memungkinkan nelayan beroperasi. Namun, tantangan implementasi dan pengawasan di lapangan masih sangat besar.

Perspektif Berbagai Pemangku Kepentingan

Kompleksitas isu cantrang diperkaya oleh berbagai sudut pandang dari berbagai pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung. Masing-masing memiliki argumen dan kepentingannya sendiri, yang membuat pencarian solusi menjadi semakin rumit.

1. Nelayan Pengguna Cantrang

Nelayan pengguna cantrang, terutama dari Pantura Jawa, seringkali merasa menjadi korban kebijakan yang tidak adil. Argumen utama mereka adalah:

2. Nelayan Tradisional/Skala Kecil

Sebaliknya, nelayan tradisional adalah pihak yang paling vokal menentang cantrang. Perspektif mereka berakar pada:

3. Ilmuwan dan Akademisi Kelautan

Dari sudut pandang ilmiah, para ahli kelautan dan perikanan umumnya setuju bahwa praktik penangkapan ikan yang tidak selektif dan merusak dasar laut seperti cantrang harus diatur atau dikendalikan dengan sangat ketat. Mereka memberikan data dan bukti mengenai:

4. Pemerintah dan Pembuat Kebijakan

Pemerintah dihadapkan pada dilema besar:

Perbedaan perspektif ini menunjukkan bahwa tidak ada solusi tunggal yang mudah untuk isu cantrang. Dibutuhkan dialog konstruktif, data ilmiah yang akurat, serta komitmen politik yang kuat untuk mencapai konsensus yang adil dan berkelanjutan.

Alternatif dan Solusi: Menuju Perikanan Berkelanjutan

Di tengah polemik cantrang, upaya untuk mencari alternatif alat tangkap yang lebih ramah lingkungan dan praktik perikanan berkelanjutan menjadi sangat krusial. Transisi menuju perikanan berkelanjutan bukan hanya sebuah pilihan, melainkan sebuah keharusan demi menjaga kelangsungan hidup sumber daya laut dan kesejahteraan nelayan di masa depan.

1. Pengembangan Alat Tangkap Ramah Lingkungan

Ada berbagai jenis alat tangkap yang dianggap lebih selektif dan tidak merusak lingkungan, yang dapat menjadi alternatif bagi nelayan cantrang:

Pemerintah perlu mendukung riset dan pengembangan alat tangkap ini, serta memberikan insentif dan pelatihan bagi nelayan untuk mengadopsi teknologi baru. Program bantuan konversi alat tangkap menjadi krusial untuk memfasilitasi transisi ini.

2. Implementasi Penangkapan Ikan Terukur (PIT)

Pendekatan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) yang dicanangkan pemerintah merupakan langkah maju dalam pengelolaan perikanan. PIT mencakup beberapa elemen kunci:

PIT berpotensi menjadi solusi komprehensif jika diimplementasikan dengan konsisten dan transparan, didukung oleh data ilmiah yang kuat, serta penegakan hukum yang tegas.

3. Pemberdayaan Nelayan dan Peningkatan Nilai Tambah

Untuk memastikan kesejahteraan nelayan, khususnya mereka yang terpaksa meninggalkan cantrang, program pemberdayaan ekonomi menjadi sangat penting. Ini bisa berupa:

4. Pendidikan dan Kesadaran Publik

Pendidikan tentang pentingnya keberlanjutan sumber daya laut dan bahaya praktik perikanan yang merusak harus terus digalakkan, baik di kalangan nelayan maupun masyarakat umum. Meningkatnya kesadaran akan mendorong partisipasi aktif dalam menjaga laut dan mendukung kebijakan yang pro-lingkungan.

Melalui kombinasi strategi ini, Indonesia dapat bergerak menuju model perikanan yang tidak hanya produktif secara ekonomi, tetapi juga ekologis dan sosial yang berkelanjutan.

Tantangan dan Prospek Masa Depan Perikanan Indonesia Tanpa Cantrang Merusak

Perjalanan panjang dan berliku dalam mengelola isu cantrang menyoroti berbagai tantangan yang masih harus dihadapi oleh sektor perikanan Indonesia. Namun, di balik setiap tantangan, selalu ada prospek dan peluang untuk membangun masa depan perikanan yang lebih baik dan berkelanjutan.

1. Tantangan Implementasi Kebijakan

Meskipun pemerintah telah merumuskan berbagai kebijakan, termasuk Penangkapan Ikan Terukur, implementasinya di lapangan masih menghadapi kendala besar.

2. Perubahan Iklim dan Keberlanjutan

Di luar isu alat tangkap, sektor perikanan juga dihadapkan pada tantangan global perubahan iklim. Peningkatan suhu laut, pengasaman laut, dan perubahan pola arus dapat memengaruhi distribusi dan produktivitas stok ikan. Oleh karena itu, pengelolaan perikanan yang berkelanjutan, termasuk dalam hal alat tangkap, menjadi semakin mendesak untuk meningkatkan resiliensi ekosistem dan masyarakat pesisir terhadap dampak perubahan iklim.

3. Prospek Masa Depan Perikanan Berkelanjutan

Terlepas dari tantangan, ada prospek cerah untuk perikanan Indonesia jika semua pihak berkomitmen pada keberlanjutan.

Masa depan perikanan Indonesia sangat bergantung pada kemampuan kita untuk belajar dari masa lalu, beradaptasi dengan tantangan saat ini, dan berinvestasi pada praktik-praktik yang akan menjaga laut kita tetap produktif dan lestari untuk generasi yang akan datang. Cantrang hanyalah salah satu cerminan dari kompleksitas ini, dan bagaimana kita menanganinya akan menentukan arah perikanan bangsa ini.

Penutup: Menuju Harmoni di Lautan

Polemik cantrang adalah sebuah cerminan dari dilema besar yang dihadapi banyak negara maritim: bagaimana menyeimbangkan antara kebutuhan ekonomi jangka pendek dan keberlanjutan lingkungan jangka panjang. Sejarah cantrang di Indonesia adalah kisah tentang konflik, adaptasi, dan pencarian solusi yang tidak pernah berhenti. Dari pelarangan tegas hingga pelonggaran bersyarat dalam kerangka penangkapan ikan terukur, pemerintah telah berupaya menemukan titik temu di tengah berbagai kepentingan yang saling bertolak belakang.

Dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh cantrang, seperti kerusakan habitat dasar laut, tingginya tangkapan sampingan, dan penipisan stok ikan, adalah alarm keras bagi kita semua. Dampak sosial dan ekonomi berupa konflik antar-nelayan dan kesenjangan kesejahteraan juga tidak dapat diabaikan. Ini menunjukkan bahwa keberlanjutan perikanan bukan hanya tentang ikan di laut, tetapi juga tentang manusia yang bergantung padanya.

Masa depan perikanan Indonesia bergantung pada komitmen semua pihak: pemerintah dalam membuat dan menegakkan kebijakan yang adil dan berbasis sains, nelayan dalam mengadopsi praktik yang bertanggung jawab, serta masyarakat dalam mendukung produk perikanan yang berkelanjutan. Transformasi menuju perikanan berkelanjutan memang bukan jalan yang mudah, tetapi ini adalah satu-satunya jalan untuk memastikan bahwa kekayaan laut Nusantara tetap lestari dan dapat dinikmati oleh generasi mendatang.

Dengan semangat kolaborasi dan kesadaran akan pentingnya menjaga laut, kita dapat menciptakan harmoni di lautan, tempat ikan dapat berkembang biak, nelayan dapat mencari nafkah dengan sejahtera, dan ekosistem tetap terjaga keasliannya.