Égalité: Membedah Jantung Kesetaraan

Ilustrasi timbangan keadilan yang seimbang Sebuah timbangan sederhana dengan dua cawan yang berada pada ketinggian yang sama, melambangkan konsep égalité atau kesetaraan. Ilustrasi SVG dari timbangan yang seimbang, melambangkan konsep kesetaraan dan keadilan.

Dalam riak sejarah peradaban manusia, hanya segelintir kata yang memiliki gaung sekuat dan seluas "Égalité". Kata dari bahasa Prancis ini, yang berarti kesetaraan, bukan sekadar istilah linguistik. Ia adalah sebuah konsep filosofis, seruan revolusioner, dan cita-cita universal yang telah membentuk konstitusi, memicu pemberontakan, dan terus menjadi kompas moral bagi masyarakat di seluruh dunia. Bersama Liberté (kebebasan) dan Fraternité (persaudaraan), Égalité membentuk pilar suci Revolusi Prancis, sebuah trinitas yang menjanjikan tatanan dunia baru yang dibangun di atas fondasi martabat manusia yang setara.

Namun, apa sebenarnya makna kesetaraan? Apakah ia berarti semua orang harus sama dalam segala hal? Ataukah ia merujuk pada kesamaan di mata hukum? Ataukah lebih jauh lagi, menuntut kesamaan hasil dan kondisi hidup? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak memiliki jawaban yang sederhana. Konsep égalité, seperti sebuah berlian, memancarkan cahaya yang berbeda-beda tergantung dari sudut mana kita memandangnya. Ia adalah medan perdebatan intelektual yang tak pernah usai, sebuah ideal yang terus-menerus diperjuangkan dan didefinisikan ulang seiring berjalannya waktu. Artikel ini akan membawa kita menyelami kedalaman makna égalité, menelusuri akar historisnya, membedah berbagai dimensinya, dan merefleksikan relevansinya yang abadi dalam tantangan dunia modern.


Akar Historis: Dari Pencerahan hingga Barikade

Gagasan bahwa semua manusia pada dasarnya setara bukanlah penemuan abad ke-18. Jejak-jejak pemikiran ini dapat ditemukan dalam filsafat kuno dan ajaran agama-agama besar dunia yang menekankan kesamaan jiwa di hadapan Tuhan. Kaum Stoa di Yunani dan Roma kuno, misalnya, percaya pada logos—nalar universal—yang ada dalam diri setiap individu, yang menyiratkan adanya kesamaan moral fundamental di antara seluruh umat manusia, terlepas dari status sosial mereka sebagai budak atau kaisar.

Namun, konsep égalité seperti yang kita kenal sekarang benar-benar mengkristal pada Abad Pencerahan di Eropa. Para filsuf seperti John Locke, Jean-Jacques Rousseau, dan Voltaire menjadi arsitek intelektualnya. Locke, dalam karyanya "Two Treatises of Government", mengemukakan bahwa manusia dilahirkan dengan hak-hak alamiah—hak atas hidup, kebebasan, dan properti—yang tidak dapat dicabut oleh raja atau negara manapun. Dalam keadaan alamiah, menurut Locke, semua manusia adalah setara dan merdeka. Gagasan ini secara radikal menantang tatanan feodal dan monarki absolut yang didasarkan pada hak ilahi dan hierarki keturunan.

"Keadaan alamiah memiliki hukum alam untuk mengaturnya, yang mengikat setiap orang: dan nalar, yang merupakan hukum itu, mengajarkan seluruh umat manusia, yang mau berkonsultasi dengannya, bahwa karena semuanya setara dan merdeka, tidak seorang pun boleh merugikan orang lain dalam hidup, kesehatan, kebebasan, atau kepemilikannya." - John Locke

Jean-Jacques Rousseau, dalam "The Social Contract", melangkah lebih jauh. Ia berargumen bahwa ketidaksetaraan bukanlah kondisi alamiah, melainkan produk dari masyarakat dan kepemilikan pribadi. "Manusia dilahirkan bebas, dan di mana-mana ia terbelenggu," tulisnya dengan masyhur. Bagi Rousseau, kedaulatan sejati terletak pada "kehendak umum" rakyat, di mana setiap warga negara memiliki suara yang setara dalam menentukan nasib kolektif mereka. Visi radikalnya tentang kesetaraan politik menjadi bahan bakar intelektual bagi para revolusioner.

Ide-ide ini tidak lagi hanya bersemayam di salon-salon para filsuf. Mereka tumpah ke jalanan Paris. Saat rakyat Prancis bangkit melawan monarki Bourbon pada akhir abad ke-18, seruan "Liberté, Égalité, Fraternité" menjadi pekik perjuangan mereka. Égalité dalam konteks ini berarti penghapusan hak-hak istimewa kaum bangsawan dan pendeta, serta penegakan kesetaraan di hadapan hukum bagi semua warga negara. Deklarasi Hak-Hak Manusia dan Warga Negara menjadi dokumen fundamental yang menyatakan, "Manusia dilahirkan dan tetap bebas dan setara dalam hak." Ini adalah momen seismik dalam sejarah, di mana sebuah ideal filosofis menjelma menjadi prinsip politik yang konkret dan mengubah tatanan sosial secara fundamental.

Dimensi-Dimensi Égalité: Membedah Spektrum Kesetaraan

Memahami égalité menuntut kita untuk melampaui definisi tunggal. Konsep ini bersifat multifaset, dengan berbagai dimensi yang terkadang saling melengkapi, namun tak jarang juga saling bertentangan. Para pemikir politik dan sosial telah mengidentifikasi beberapa bentuk utama dari kesetaraan yang menjadi pilar perdebatan modern.

1. Égalité Formelle (Kesetaraan Formal atau Kesetaraan di Hadapan Hukum)

Ini adalah bentuk kesetaraan yang paling mendasar dan menjadi landasan bagi negara hukum modern. Kesetaraan formal menyatakan bahwa semua individu, tanpa memandang latar belakang, ras, agama, gender, atau status sosial, harus diperlakukan sama oleh hukum. Hukum yang sama berlaku untuk semua orang, dan proses peradilan harus adil dan tidak memihak. Simbol dari prinsip ini adalah Dewi Keadilan yang matanya ditutup, menyiratkan bahwa keadilan tidak memandang siapa yang diadili.

Dalam praktiknya, kesetaraan formal berarti tidak boleh ada undang-undang yang secara eksplisit mendiskriminasi kelompok tertentu. Misalnya, undang-undang yang melarang perempuan memiliki properti atau kelompok etnis tertentu untuk memilih adalah pelanggaran terang-terangan terhadap égalité formelle. Prinsip ini adalah kemenangan besar atas sistem feodal di mana hak dan kewajiban seseorang ditentukan oleh kelahirannya. Namun, para kritikus berpendapat bahwa kesetaraan formal saja tidak cukup. Menerapkan aturan yang sama kepada orang-orang yang berada dalam posisi yang sangat berbeda secara fundamental dapat justru melanggengkan ketidakadilan yang sudah ada.

2. Égalité des Chances (Kesetaraan Kesempatan)

Dimensi ini bergerak selangkah lebih maju. Kesetaraan kesempatan berargumen bahwa kesetaraan formal tidak ada artinya jika individu tidak memiliki kesempatan yang adil untuk bersaing dan mencapai potensi mereka. Ini adalah ide bahwa garis start dalam perlombaan kehidupan harus dibuat serata mungkin untuk semua orang. Latar belakang keluarga, kekayaan, atau koneksi seharusnya tidak menjadi penentu utama kesuksesan seseorang.

Pilar utama dari kesetaraan kesempatan adalah akses universal terhadap pendidikan berkualitas dan layanan kesehatan. Jika seorang anak dari keluarga miskin tidak memiliki akses ke sekolah yang baik atau nutrisi yang cukup, ia secara inheren berada pada posisi yang tidak menguntungkan dibandingkan dengan anak dari keluarga kaya, bahkan jika secara hukum mereka berdua memiliki hak yang sama. Oleh karena itu, kebijakan yang mendukung kesetaraan kesempatan sering kali mencakup beasiswa pendidikan, program makan siang gratis di sekolah, layanan kesehatan publik, dan undang-undang anti-nepotisme. Tujuannya bukan untuk menjamin semua orang akan mencapai garis finis pada saat yang sama, tetapi untuk memastikan semua orang memulai dari titik yang sama dan memiliki peluang yang wajar untuk berhasil berdasarkan bakat dan kerja keras mereka.

"Keadilan sejati tidak hanya menuntut perlakuan yang sama terhadap semua orang, tetapi juga memberikan kesempatan yang sama kepada semua orang untuk menjadi tidak setara."

3. Égalité des Résultats (Kesetaraan Hasil)

Ini adalah dimensi égalité yang paling radikal dan kontroversial. Kesetaraan hasil berpendapat bahwa fokus pada kesempatan saja tidak cukup jika kesenjangan yang besar dalam hasil akhir—seperti pendapatan, kekayaan, dan status sosial—tetap ada. Para pendukungnya berargumen bahwa masyarakat yang benar-benar setara harus secara aktif bekerja untuk mengurangi kesenjangan ini. Tujuannya adalah untuk mencapai kondisi di mana semua anggota masyarakat menikmati standar hidup yang relatif sama.

Kebijakan yang diilhami oleh ide kesetaraan hasil seringkali melibatkan intervensi negara yang signifikan. Ini bisa berupa pajak progresif yang sangat tinggi bagi orang kaya, redistribusi kekayaan, jaminan pendapatan dasar universal, atau bahkan kepemilikan negara atas alat-alat produksi, seperti yang dianjurkan dalam ideologi sosialis dan komunis. Para kritikus berpendapat bahwa mengejar kesetaraan hasil secara paksa dapat menekan kebebasan individu, menghambat inisiatif, dan mengurangi produktivitas. Mereka mempertanyakan apakah adil untuk "menghukum" mereka yang berhasil melalui kerja keras demi "membantu" mereka yang kurang berhasil. Perdebatan antara kesetaraan kesempatan dan kesetaraan hasil adalah salah satu ketegangan ideologis sentral dalam politik modern.

4. Égalité Sociale et Politique (Kesetaraan Sosial dan Politik)

Di luar ranah hukum dan ekonomi, égalité juga mencakup dimensi sosial dan politik. Kesetaraan sosial merujuk pada penghapusan hierarki sosial yang kaku, seperti sistem kasta, kelas, atau status bangsawan. Dalam masyarakat yang setara secara sosial, martabat setiap individu dihormati, dan tidak ada kelompok yang dianggap lebih superior atau inferior dari yang lain. Ini adalah perjuangan melawan prasangka, stereotip, dan diskriminasi dalam interaksi sehari-hari.

Sementara itu, kesetaraan politik adalah fondasi demokrasi. Prinsip "satu orang, satu suara" adalah manifestasi paling jelas darinya. Ini berarti setiap warga negara yang memenuhi syarat memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih, berpartisipasi dalam proses politik, dan menyuarakan pendapat mereka tanpa rasa takut. Namun, kesetaraan politik yang sejati lebih dari sekadar hak pilih. Ia juga terancam oleh faktor-faktor seperti pengaruh uang dalam politik (lobi dan donasi kampanye), gerrymandering (manipulasi daerah pemilihan), dan disinformasi yang dapat merusak kemampuan warga untuk membuat pilihan yang terinformasi.


Tantangan Kontemporer: Perjuangan Égalité di Dunia Modern

Meskipun gagasan égalité telah diterima secara luas sebagai prinsip normatif di banyak belahan dunia, perwujudannya dalam kenyataan masih jauh dari sempurna. Perjuangan untuk kesetaraan terus berlanjut di berbagai front, menghadapi tantangan-tantangan baru dan bentuk-bentuk ketidaksetaraan yang lebih halus namun tak kalah merusak.

Kesenjangan Ekonomi yang Melebar

Salah satu tantangan terbesar bagi égalité di abad ke-21 adalah melebarnya jurang antara si kaya dan si miskin. Globalisasi dan kemajuan teknologi, meskipun telah mengangkat jutaan orang dari kemiskinan ekstrem, juga telah menciptakan konsentrasi kekayaan yang belum pernah terjadi sebelumnya di tangan segelintir orang. Laporan dari berbagai organisasi internasional secara konsisten menunjukkan bahwa sebagian kecil populasi dunia menguasai sebagian besar kekayaan global. Kesenjangan ini bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga sosial dan politik. Kekayaan ekstrem memberikan pengaruh politik yang tidak proporsional, merusak prinsip kesetaraan politik, dan menciptakan masyarakat yang terpolarisasi di mana mobilitas sosial menjadi semakin sulit.

Perjuangan untuk Kesetaraan Gender

Meskipun kemajuan signifikan telah dicapai dalam hak-hak perempuan, kesetaraan gender yang sejati masih menjadi tujuan yang jauh. Di seluruh dunia, perempuan masih menghadapi diskriminasi di tempat kerja, yang tercermin dalam kesenjangan upah gender (gender pay gap). Mereka kurang terwakili dalam posisi kepemimpinan di bidang politik dan korporat. Selain itu, kekerasan berbasis gender tetap menjadi pandemi global yang mengerikan. Perjuangan égalité dalam konteks ini tidak hanya menuntut kesetaraan hukum, tetapi juga dekonstruksi norma sosial dan patriarki yang telah mengakar selama berabad-abad, serta pengakuan dan valorisasi kerja-kerja yang secara tradisional dianggap "feminin", seperti pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan.

Rasisme Sistemik dan Diskriminasi Etnis

Revolusi Prancis mungkin telah mendeklarasikan kesetaraan hak, tetapi warisan kolonialisme, perbudakan, dan segregasi rasial terus meninggalkan luka yang dalam. Rasisme sistemik merujuk pada bagaimana diskriminasi rasial tertanam dalam institusi dan struktur masyarakat—dalam sistem peradilan pidana, perumahan, pendidikan, dan kesehatan. Hal ini menciptakan hambatan sistematis bagi kelompok ras dan etnis minoritas, bahkan tanpa adanya niat rasis dari individu. Gerakan sosial seperti Black Lives Matter telah menyoroti bagaimana kesetaraan di hadapan hukum seringkali gagal dalam praktiknya bagi komunitas kulit berwarna. Perjuangan untuk égalité rasial menuntut introspeksi mendalam dari masyarakat, reformasi institusional, dan pengakuan atas sejarah ketidakadilan.

Kesenjangan Digital (The Digital Divide)

Di era informasi, bentuk baru ketidaksetaraan telah muncul: kesenjangan digital. Akses terhadap internet dan teknologi digital bukan lagi sebuah kemewahan, melainkan kebutuhan esensial untuk pendidikan, pekerjaan, partisipasi sipil, dan akses layanan. Namun, miliaran orang di seluruh dunia masih tidak memiliki akses internet yang andal. Kesenjangan ini ada di antara negara maju dan berkembang, serta di dalam negara itu sendiri, antara daerah perkotaan dan pedesaan, dan antara kelompok kaya dan miskin. Tanpa akses yang setara ke dunia digital, kesenjangan kesempatan akan semakin melebar, menciptakan kelas "tertinggal" informasi di abad ke-21.

Paradoks dan Ketegangan Internal dalam Égalité

Pengejaran kesetaraan juga tidak luput dari paradoks dan dilema filosofis yang kompleks. Salah satu ketegangan yang paling klasik adalah antara égalité dan liberté (kebebasan). Apakah keduanya bisa hidup berdampingan secara harmonis, ataukah keuntungan di satu sisi berarti pengorbanan di sisi lain?

Para pemikir libertarian, misalnya, berpendapat bahwa setiap upaya untuk merekayasa kesetaraan hasil secara inheren melanggar kebebasan individu. Pajak yang tinggi untuk redistribusi kekayaan, menurut mereka, sama saja dengan kerja paksa, di mana negara mengambil buah dari kerja keras seseorang untuk diberikan kepada orang lain. Mereka percaya bahwa selama semua interaksi bersifat sukarela dan tidak ada paksaan, hasil yang tidak setara adalah konsekuensi alami dari kebebasan individu yang berbeda dalam bakat, usaha, dan keberuntungan.

"Sebuah masyarakat yang menempatkan kesetaraan di atas kebebasan tidak akan mendapatkan keduanya. Sebuah masyarakat yang menempatkan kebebasan di atas kesetaraan akan mendapatkan keduanya dalam tingkat yang tinggi." - Milton Friedman

Di sisi lain, para pemikir egaliter berargumen bahwa kebebasan sejati tidak mungkin ada tanpa tingkat kesetaraan dasar. Kebebasan untuk memilih tidak berarti banyak bagi seseorang yang terlalu miskin untuk membeli makanan atau terlalu tidak berpendidikan untuk memahami pilihan politiknya. Dalam pandangan ini, kemiskinan ekstrem dan ketidaksetaraan yang parah adalah bentuk penindasan yang sama buruknya dengan tirani pemerintah. Oleh karena itu, intervensi untuk meningkatkan kesetaraan (seperti menyediakan jaring pengaman sosial atau pendidikan publik) justru memperluas kebebasan efektif bagi sebagian besar populasi.

Paradoks lainnya adalah bagaimana menangani perbedaan alami. Manusia secara inheren tidak sama dalam hal bakat, kekuatan fisik, atau kecerdasan. Haruskah masyarakat mengabaikan perbedaan ini, atau haruskah masyarakat mencoba mengkompensasinya? Kebijakan seperti tindakan afirmatif (affirmative action) mencoba menjawab dilema ini dengan memberikan perlakuan preferensial kepada kelompok-kelompok yang secara historis terpinggirkan untuk mengimbangi kerugian sistemik. Namun, kebijakan semacam ini sering dikritik karena dianggap melanggar prinsip kesetaraan formal, di mana setiap individu harus dinilai berdasarkan prestasi mereka sendiri, bukan keanggotaan kelompok.

Kesimpulan: Sebuah Perjalanan Tanpa Akhir

Égalité adalah sebuah konsep yang agung dan kompleks, sebuah bintang penuntun yang telah menginspirasi perjuangan manusia selama berabad-abad. Dari medan pertempuran Revolusi Prancis hingga pawai hak-hak sipil, dari gerakan feminis hingga perjuangan anti-apartheid, gema dari seruan untuk kesetaraan terus terdengar. Ia telah membongkar hierarki-hierarki kuno dan membuka pintu kesempatan bagi jutaan orang.

Namun, perjalanan menuju masyarakat yang benar-benar setara masih panjang dan penuh liku. Kesetaraan bukanlah sebuah tujuan akhir yang statis, melainkan sebuah proses dinamis dari negosiasi, perjuangan, dan redefinisi yang konstan. Setiap generasi dihadapkan pada bentuk-bentuk ketidaksetaraan baru dan ditantang untuk menafsirkan kembali makna égalité dalam konteks zaman mereka.

Memahami égalité berarti menerima kompleksitasnya. Ia bukan hanya tentang kesamaan, tetapi juga tentang keadilan. Ia bukan hanya tentang menghapus perbedaan, tetapi tentang memastikan bahwa perbedaan tidak menjadi dasar untuk penindasan atau perampasan kesempatan. Ia menuntut kita untuk menyeimbangkan idealisme dengan pragmatisme, kebebasan dengan tanggung jawab, dan hak individu dengan kebaikan bersama.

Pada akhirnya, perjuangan untuk égalité adalah perjuangan untuk pengakuan martabat inheren setiap manusia. Ini adalah keyakinan bahwa nilai seseorang tidak ditentukan oleh kelahiran, kekayaan, ras, atau gender mereka, tetapi oleh kemanusiaan yang kita semua bagi bersama. Selama masih ada ketidakadilan, diskriminasi, dan penindasan di dunia, seruan untuk Égalité akan terus berkumandang—sebagai janji, sebagai tantangan, dan sebagai harapan abadi untuk dunia yang lebih baik.