Kumatan: Membuka Tabir Filosofi Langkah Pertama Anak Manusia
Ilustrasi simbolis tradisi Kumatan atau Tedak Siten.
Di tengah deru modernitas yang tak henti-hentinya menggerus zaman, terdapat ritual-ritual kuno yang masih tegak berdiri, menyimpan kearifan dan filosofi adiluhung. Salah satunya adalah tradisi Kumatan, atau yang lebih dikenal luas dengan sebutan Tedak Siten. Ini bukan sekadar perayaan seremonial, melainkan sebuah pernyataan budaya yang mendalam tentang hubungan manusia dengan bumi, harapan orang tua, dan penanda dimulainya sebuah perjalanan kehidupan. Kumatan adalah momen sakral ketika seorang anak, yang telah mencapai usia sekitar tujuh atau delapan bulan, untuk pertama kalinya diizinkan menapakkan kakinya di atas tanah.
Kata "kumatan" sendiri berakar dari bahasa Jawa, sebuah istilah yang mungkin kurang populer dibandingkan "Tedak Siten". "Tedak" berarti turun atau menapak, dan "Siten" berasal dari kata "siti" yang berarti tanah. Jadi, secara harfiah, Tedak Siten adalah upacara turun tanah. Namun, kumatan membawa nuansa yang lebih intim, seringkali digunakan dalam lingkup keluarga yang lebih kecil, merujuk pada esensi dari prosesi itu sendiri: sang anak 'di-kumat-kan', atau dibiarkan merasakan dan berinteraksi langsung dengan alam semesta melalui perantaraan Ibu Pertiwi. Upacara ini merupakan simbolisasi bahwa anak telah siap untuk memulai fase baru dalam hidupnya, belajar berjalan, dan menjelajahi dunia di bawah bimbingan orang tua dan restu alam semesta.
Ritual ini lebih dari sekadar pesta. Setiap elemen, setiap tahapan, dan setiap benda yang digunakan di dalamnya adalah medium untuk menyampaikan doa dan harapan. Dari air bunga setaman yang menyucikan, jadah tujuh warna yang melambangkan tangga kehidupan, hingga kurungan ayam yang menjadi miniatur dunia, semuanya dirangkai menjadi sebuah narasi agung tentang apa yang diharapkan dari sang anak di masa depannya. Ini adalah bentuk komunikasi non-verbal antara orang tua, anak, leluhur, dan Tuhan, sebuah jembatan yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan dalam satu bingkai upacara yang khidmat.
Akar Filosofis dan Makna Spiritual Kumatan
Untuk memahami kumatan secara utuh, kita harus menyelami lautan filosofi Jawa yang menjadi dasarnya. Masyarakat Jawa, secara tradisional, memandang kehidupan sebagai sebuah perjalanan spiritual yang harmonis antara mikrokosmos (manusia) dan makrokosmos (alam semesta). Setiap tahap kehidupan, mulai dari dalam kandungan, kelahiran, masa kanak-kanak, hingga kematian, memiliki ritual penandanya sendiri. Kumatan berada dalam spektrum ini sebagai penanda transisi penting: dari makhluk yang sepenuhnya bergantung dan "mengambang" (digendong), menjadi individu yang mulai mandiri dan "membumi".
Tanah, atau siti, dalam pandangan Jawa bukanlah sekadar elemen fisik. Ia adalah Ibu Pertiwi, sumber kehidupan, kesuburan, dan rezeki. Menapakkan kaki anak ke tanah untuk pertama kalinya adalah sebuah tindakan simbolis untuk "memperkenalkan" sang anak kepada Ibu Pertiwi. Ini adalah permohonan izin dan restu agar di sepanjang hidupnya kelak, sang anak senantiasa dijaga, dilindungi, dan diberkahi oleh bumi tempatnya berpijak. Ada kepercayaan bahwa melalui sentuhan langsung ini, energi positif dari bumi akan mengalir ke dalam diri anak, memberinya kekuatan, kesehatan, dan fondasi yang kokoh untuk menjalani kehidupan.
"Upacara kumatan adalah cara orang tua membisikkan doa ke telinga bumi, berharap agar setiap langkah anaknya kelak dipenuhi berkah dan kemudahan."
Lebih jauh lagi, kumatan merefleksikan konsep sangkan paraning dumadi, yaitu asal dan tujuan hidup. Anak yang baru turun tanah diingatkan secara simbolis akan asalnya (dari Tuhan dan alam) dan tujuan hidupnya (menjadi manusia yang berguna bagi sesama dan kembali kepada Tuhan). Prosesi ini menjadi pengingat bagi orang tua akan amanah besar yang mereka emban. Mereka tidak hanya membesarkan seorang anak secara fisik, tetapi juga bertanggung jawab untuk membimbing jiwanya agar tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter, berbudi pekerti luhur, dan mengerti posisinya dalam tatanan alam semesta.
Rangkaian Prosesi Sakral: Langkah Demi Langkah
Upacara kumatan atau tedak siten memiliki urutan prosesi yang baku dan sarat akan makna. Meskipun mungkin terdapat sedikit variasi antar daerah atau keluarga, esensi dan tahapan utamanya tetap sama. Setiap langkah adalah sebuah babak dalam narasi kehidupan yang diharapkan akan dijalani oleh sang anak.
1. Membersihkan Kaki (Nyuci Sikil)
Prosesi diawali dengan ritual membersihkan atau membasuh kaki sang anak. Air yang digunakan bukanlah air biasa, melainkan air kembang setaman, yaitu air yang telah dicampuri berbagai macam bunga wangi seperti mawar, melati, kenanga, dan kantil. Tindakan ini melambangkan penyucian. Orang tua berharap, dengan kaki yang bersih, anak akan memulai langkah pertamanya dalam kehidupan dengan niat yang suci, terhindar dari segala rintangan, penyakit, dan pengaruh buruk. Aroma wangi dari bunga-bunga tersebut adalah harapan agar nama sang anak kelak akan harum dan dihormati di masyarakat. Ini adalah simbolisasi pembersihan diri sebelum memasuki gerbang kehidupan yang lebih luas.
2. Menapaki Jadah Tujuh Warna (Nglakokake Anak Ing Jadah Pitu Werna)
Ini adalah salah satu bagian paling ikonik dari upacara kumatan. Sang anak akan dibimbing untuk menapaki tujuh buah jadah atau tetel (kue dari beras ketan) yang memiliki warna berbeda. Ketujuh warna tersebut adalah merah, putih, hitam, kuning, hijau, biru, dan ungu. Masing-masing warna memiliki makna filosofis yang mendalam:
- Merah (Abang): Melambangkan keberanian. Harapannya, anak tumbuh menjadi pribadi yang berani menghadapi tantangan hidup, berani mengambil keputusan, dan berani membela kebenaran.
- Putih (Putih): Melambangkan kesucian. Doa agar anak memiliki hati yang bersih, tulus, dan jujur dalam setiap perkataan dan perbuatannya.
- Hitam (Ireng): Melambangkan kebijaksanaan dan keteguhan. Harapannya, anak mampu berpikir matang, tidak mudah goyah oleh cobaan, dan memiliki kedalaman spiritual.
- Kuning (Kuning): Melambangkan kemuliaan dan kejayaan. Doa agar anak mencapai puncak kesuksesan dalam hidupnya, baik secara materi maupun spiritual, serta dihormati oleh lingkungannya.
- Hijau (Ijo): Melambangkan kesuburan dan kesejahteraan. Harapan agar anak diberikan kehidupan yang makmur, damai, dan bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya.
- Biru (Biru): Melambangkan ketenangan dan kesetiaan. Doa agar anak memiliki jiwa yang tenang, dapat dipercaya, dan setia pada prinsip-prinsip kebaikan.
- Ungu (Ungu): Melambangkan kesempurnaan dan kepemimpinan. Ini adalah puncak harapan, agar kelak anak bisa mencapai tingkat kehidupan yang paripurna dan menjadi pemimpin yang bijaksana.
Proses menapaki jadah ini adalah representasi dari jalan kehidupan yang akan dilalui anak, yang penuh dengan berbagai rintangan, pilihan, dan pengalaman. Orang tua membimbingnya sebagai tanda bahwa mereka akan selalu mendampingi di setiap tahap kehidupannya.
3. Menaiki Tangga Tebu Arjuna (Munggah Andha Tebu Arjuna)
Setelah melewati jalan kehidupan yang berwarna-warni, anak kemudian dibimbing untuk menaiki sebuah tangga kecil yang terbuat dari batang tebu jenis "Tebu Arjuna". Pemilihan tebu ini bukan tanpa alasan. Kata "tebu" dalam filosofi Jawa merupakan kerata basa dari antebing kalbu, yang berarti kemantapan hati. Harapannya, anak akan tumbuh dengan pendirian yang kuat, hati yang mantap, dan tidak mudah terombang-ambing dalam menjalani hidup. Nama "Arjuna" merujuk pada salah satu ksatria Pandawa dalam wiracarita Mahabharata yang dikenal memiliki watak yang luhur, bertanggung jawab, dan berjiwa ksatria. Dengan menaiki tangga ini, orang tua berharap anaknya akan memiliki sifat-sifat mulia seperti Arjuna.
4. Memasuki Kurungan Ayam (Mlebu Kurungan)
Ini adalah momen yang paling ditunggu-tunggu dan seringkali menjadi bagian yang paling menarik. Anak akan dimasukkan ke dalam sebuah kurungan ayam yang telah dihias dengan indah. Di dalam kurungan tersebut, diletakkan berbagai macam benda yang mewakili profesi, minat, atau aspek kehidupan. Benda-benda tersebut bisa berupa buku atau alat tulis (simbol kecerdasan), uang (simbol kemakmuran), mainan dokter-dokteran (simbol penyembuh), cermin (simbol introspeksi diri), perhiasan (simbol keindahan), dan lain sebagainya.
Anak kemudian akan dibiarkan memilih salah satu benda di dalam kurungan tersebut. Benda yang pertama kali ia ambil dipercaya sebagai gambaran atau prediksi tentang minat, bakat, atau jalan hidupnya di masa depan. Kurungan itu sendiri adalah simbol dari dunia yang akan ia masuki. Pada saatnya nanti, ia harus memilih jalan hidupnya sendiri di antara sekian banyak pilihan yang tersedia. Momen ini mengajarkan tentang kebebasan memilih dan tanggung jawab atas pilihan tersebut, meskipun dalam konteks yang masih bersifat simbolis dan penuh permainan.
5. Menyebar Udhik-Udhik
Setelah keluar dari kurungan, prosesi dilanjutkan dengan orang tua (biasanya sang ayah atau kakek) menyebarkan udhik-udhik. Ini adalah campuran dari beras kuning dan berbagai macam uang koin. Beras kuning melambangkan kemakmuran dan kesuburan, sementara uang koin adalah simbol rezeki. Tindakan menyebar ini adalah harapan agar kelak sang anak tumbuh menjadi pribadi yang dermawan, suka berbagi dengan sesama, dan rezekinya senantiasa melimpah sehingga bisa bermanfaat bagi banyak orang. Para tamu dan anak-anak yang hadir biasanya akan berebut untuk memungut udhik-udhik ini, menciptakan suasana yang meriah dan penuh kebahagiaan.
6. Siraman
Sebagai penutup rangkaian inti, anak akan dimandikan kembali dengan air kembang setaman yang tersisa. Ini adalah ritual pembersihan dan penyucian akhir. Siraman ini melambangkan harapan agar sang anak senantiasa menjalani hidupnya dalam keadaan suci lahir dan batin, dihindarkan dari segala mara bahaya, dan selalu berada dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa. Setelah dimandikan, anak akan dipakaikan baju yang baru dan bersih, sebagai simbol bahwa ia telah siap memulai lembaran baru dalam kehidupannya dengan semangat dan jiwa yang baru pula.
Ubarampe: Perangkat Ritual dan Makna di Baliknya
Keberhasilan dan kekhidmatan sebuah upacara kumatan tidak terlepas dari kelengkapan ubarampe atau perangkat ritualnya. Setiap benda yang dihadirkan bukan hanya pelengkap, melainkan sebuah simbol yang membawa doa dan makna tersendiri. Memahami ubarampe ini sama dengan memahami kedalaman doa yang dipanjatkan.
1. Jadah Pitu Werna
Seperti telah dijelaskan, ini adalah kue ketan dengan tujuh warna berbeda. Selain melambangkan tahapan kehidupan, tekstur ketan yang lengket juga memiliki makna. Ia melambangkan harapan agar sang anak selalu memiliki ikatan yang erat (lengket) dengan keluarganya, leluhurnya, dan Tuhannya. Proses pembuatannya yang ditumbuk juga menyimbolkan bahwa untuk mencapai kesuksesan, diperlukan proses, kerja keras, dan ketekunan.
2. Tangga Tebu Arjuna
Batang tebu yang lurus dan beruas-ruas melambangkan perjalanan hidup yang lurus dan bertahap. Setiap ruas adalah fase kehidupan yang harus dijalani dengan kesabaran dan kemantapan hati (antebing kalbu). Penggunaan nama Arjuna adalah doa agar sang anak memiliki karakter ksatria: berani, adil, bertanggung jawab, dan berbudi luhur.
3. Pasir dan Tanah
Sebelum menapaki jadah, seringkali disediakan hamparan pasir atau tanah. Pasir melambangkan sumber kehidupan dari laut, sementara tanah melambangkan sumber kehidupan dari daratan. Ini adalah simbol pengenalan pertama anak pada elemen-elemen alam yang akan menopang kehidupannya. Ia diajarkan untuk menghargai dan menjaga alam sejak dini.
4. Kurungan Ayam
Kurungan yang terbuat dari bambu ini adalah representasi dari dunia. Bentuknya yang melingkupi namun memiliki celah di mana-mana menyiratkan bahwa dunia ini memiliki batasan (norma, aturan), namun juga memberikan banyak sekali peluang dan pilihan. Ayam sendiri adalah hewan yang rajin mencari makan sejak pagi buta, simbol harapan agar anak kelak menjadi pekerja keras dan mandiri.
5. Aneka Benda dalam Kurungan
Setiap benda yang diletakkan di dalam kurungan adalah perwujudan doa. Buku untuk kecerdasan, pensil untuk kreativitas, stetoskop untuk jiwa penolong, uang untuk kemakmuran, dan lain-lain. Keberagaman benda ini menunjukkan bahwa orang tua memberikan kebebasan pada anak untuk memilih jalan hidupnya, sambil tetap mendoakan yang terbaik dalam bidang apapun yang ia pilih.
6. Air Kembang Setaman
Campuran bunga-bunga wangi (mawar, melati, kenanga, kantil) dalam air suci. Air adalah simbol kehidupan dan pembersihan. Bunga adalah simbol keindahan dan keharuman. Kombinasi keduanya adalah harapan agar kehidupan anak suci, indah, dan namanya harum di masyarakat. Setiap bunga pun punya makna: mawar untuk kasih sayang, melati untuk kesucian, kenanga untuk keanggunan, dan kantil (tansah kumanthil) agar selalu lekat di hati.
7. Udhik-Udhik (Beras Kuning dan Uang Logam)
Beras adalah makanan pokok, simbol kemakmuran dasar. Warna kuning adalah simbol keagungan dan kejayaan. Uang logam adalah simbol rezeki materi. Disebarkan untuk mengajarkan nilai kedermawanan dan berbagi. Filosofinya adalah, semakin banyak memberi, semakin banyak pula rezeki yang akan diterima.
8. Aneka Jajanan Pasar dan Tumpeng
Sebagai pelengkap, biasanya disajikan aneka jajanan pasar tradisional dan tumpeng. Jajanan pasar yang beragam melambangkan kehidupan sosial yang beragam, agar anak mudah bergaul. Tumpeng, dengan bentuknya yang mengerucut ke atas, adalah simbol hubungan vertikal manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, sebuah ungkapan rasa syukur atas karunia kehidupan sang anak.
Kumatan di Era Modern: Antara Pelestarian dan Adaptasi
Di tengah gempuran budaya global dan gaya hidup yang serba praktis, eksistensi tradisi seperti kumatan menghadapi tantangannya sendiri. Banyak generasi muda yang mungkin memandangnya sebagai ritual yang rumit, merepotkan, dan tidak lagi relevan. Namun, di sisi lain, ada gelombang kesadaran baru untuk kembali ke akar budaya, untuk menemukan kembali nilai-nilai luhur yang terkandung dalam tradisi nenek moyang.
Akibatnya, upacara kumatan saat ini seringkali mengalami adaptasi. Beberapa keluarga mungkin menyederhanakan prosesi, hanya mengambil bagian-bagian yang dianggap paling esensial seperti menapaki jadah, masuk kurungan, dan menyebar udhik-udhik. Ubarampe yang sulit ditemukan mungkin diganti dengan benda lain yang memiliki makna serupa. Skala perayaan pun bervariasi, dari yang sangat sederhana di lingkungan keluarga inti hingga yang dirayakan secara besar-besaran dengan mengundang banyak tamu.
Peran media sosial juga menarik untuk diamati. Banyak orang tua milenial yang dengan bangga membagikan momen kumatan anak mereka di platform digital. Hal ini, secara tidak langsung, turut mempopulerkan kembali tradisi ini. Foto-foto anak yang lucu saat memilih benda di dalam kurungan atau saat menapaki jadah warna-warni menjadi konten yang menarik. Meskipun mungkin ada pergeseran dari makna sakral ke arah estetika visual, ini tetap menjadi cara yang efektif untuk menjaga agar tradisi ini tetap hidup dan dikenal oleh generasi yang lebih muda.
Esensinya, relevansi kumatan di era modern tidak terletak pada kerumitan ritualnya, melainkan pada nilai-nilai universal yang dikandungnya. Harapan orang tua agar anaknya tumbuh sehat, cerdas, berani, dan berbudi luhur adalah harapan yang abadi, tidak lekang oleh waktu. Kumatan hanyalah medium, sebuah cara yang indah dan penuh kearifan, untuk merapal doa-doa tersebut. Selama doa dan harapan itu masih ada di hati setiap orang tua, maka kumatan akan selalu menemukan jalannya untuk tetap relevan dan lestari.
Pada akhirnya, kumatan adalah sebuah mahakarya budaya. Ia adalah puisi tanpa kata, sebuah doa yang divisualisasikan, dan sebuah pelajaran hidup yang diajarkan bahkan sebelum seorang anak bisa berbicara. Melalui ritual ini, kita diingatkan bahwa setiap langkah pertama adalah momen yang agung, sebuah awal dari perjalanan panjang yang sarat akan harapan, tantangan, dan keindahan. Ini adalah warisan yang mengajarkan kita untuk tidak pernah melupakan dari mana kita berasal, ke mana kita akan melangkah, dan kepada siapa kita harus senantiasa bersyukur: Ibu Pertiwi yang kita pijak, dan Tuhan yang menciptakan semesta.