Kuning Kepodang: Permata Emas Bersayap dari Nusantara

Ilustrasi artistik burung Kuning Kepodang Seekor burung Kuning Kepodang berwarna kuning cerah dengan topeng hitam, bertengger di dahan berwarna coklat lembut dengan latar belakang merah muda.

Ilustrasi artistik burung Kuning Kepodang bertengger di dahan.

Pendahuluan: Kilau Emas di Tajuk Pepohonan

Di tengah rimbunnya dedaunan tropis Nusantara, sebuah kilatan warna emas yang cemerlang sering kali menyelinap di antara celah cahaya matahari. Kilatan itu ditemani oleh siulan merdu yang meliuk-liuk, sebuah melodi alam yang menenangkan jiwa. Inilah penampakan sekilas dari Kuning Kepodang (*Oriolus chinensis*), seekor burung yang bukan hanya indah dalam rupa, tetapi juga kaya akan makna dalam budaya. Dikenal dengan bulunya yang kuning menyala laksana emas murni, kontras dengan sapuan hitam legam di sekitar mata dan sayapnya, Kepodang adalah permata terbang yang menghiasi langit Indonesia. Kehadirannya tidak hanya menandakan kesehatan sebuah ekosistem, tetapi juga membawa serta untaian mitos, harapan, dan cerita yang diwariskan dari generasi ke generasi. Artikel ini akan membawa kita menyelami dunia Kuning Kepodang lebih dalam, dari biologinya yang menakjubkan, perilakunya yang unik, hingga tempatnya yang istimewa di hati masyarakat.

Menjelajahi kehidupan Kuning Kepodang adalah seperti membuka sebuah buku kuno yang penuh dengan rahasia alam. Setiap aspek kehidupannya, mulai dari cara ia membangun sarangnya yang rumit seperti ayunan, pilihan makanannya yang beragam, hingga perjalanannya yang jauh sebagai burung pengembara, menyajikan sebuah kisah adaptasi dan ketahanan yang luar biasa. Burung ini adalah contoh sempurna dari bagaimana keindahan dapat berpadu dengan kekuatan, dan bagaimana sebuah spesies dapat menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas ekologis dan budaya sebuah bangsa. Mari kita mulai perjalanan ini untuk mengenal lebih dekat sang duta keindahan alam, burung Kuning Kepodang, dan memahami mengapa kilaunya lebih dari sekadar warna, melainkan sebuah warisan yang harus kita jaga bersama.

Morfologi dan Identifikasi: Membedah Keindahan Sang Pesolek

Daya tarik utama Kuning Kepodang tidak diragukan lagi terletak pada penampilan fisiknya yang memukau. Untuk benar-benar mengapresiasi pesonanya, kita perlu memahami detail-detail morfologinya. Kepodang jantan adalah manifestasi keindahan yang paling mencolok. Tubuhnya didominasi oleh warna kuning cerah, sebuah pigmen karotenoid yang didapat dari makanannya. Warna kuning ini bukan sekadar kuning biasa, melainkan sebuah rona keemasan yang seolah-olah menyala, terutama saat tertimpa sinar mentari. Warna ini menutupi hampir seluruh bagian tubuhnya, dari kepala, leher, dada, perut, hingga punggung.

Keindahan warna kuning ini dipertegas oleh kontras yang dramatis dari warna hitam pekat. Sebuah "topeng" hitam yang tebal membentang dari pangkal paruh, melewati area mata, hingga ke belakang kepala. Garis hitam ini memberikan tatapan yang tajam dan misterius, sekaligus menonjolkan matanya yang berwarna merah delima. Sayapnya juga dihiasi dengan warna hitam, dengan beberapa bercak atau tepi bulu berwarna kuning atau keputihan yang memberikan corak yang elegan saat ia terbang. Ekornya pun didominasi warna hitam dengan ujung berwarna kuning, menciptakan pola yang indah saat ia bermanuver di udara. Paruhnya cukup kokoh, berwarna merah muda atau merah jambu pucat, sedikit melengkung di ujung, sebuah adaptasi sempurna untuk mematuk buah dan menangkap serangga.

Berbeda dengan sang jantan yang flamboyan, Kepodang betina menampilkan keanggunan yang lebih bersahaja. Meskipun masih memiliki pola warna yang serupa, intensitas warnanya tidak secerah jantan. Bagian atas tubuhnya, seperti punggung dan kepala, sering kali berwarna kuning zaitun atau kehijauan, sebuah kamuflase alami yang membantunya saat mengerami telur di sarang. Bagian bawah tubuhnya, dari dada hingga perut, cenderung lebih pucat, kadang-kadang dengan sedikit coretan atau bintik-bintik halus berwarna kehitaman. Topeng hitam di wajahnya juga tidak setebal dan sejelas milik jantan. Perbedaan ini, yang dikenal sebagai dimorfisme seksual, umum terjadi di dunia burung, di mana jantan berevolusi untuk menarik perhatian betina, sementara betina berevolusi untuk tidak menarik perhatian predator.

Burung remaja atau anakan Kepodang memiliki penampilan yang lebih mirip dengan betina dewasa, bahkan cenderung lebih kusam. Bagian atas tubuh mereka berwarna hijau zaitun, sementara bagian bawahnya berwarna keputihan dengan banyak coretan vertikal berwarna gelap. Paruh mereka biasanya berwarna lebih gelap, kehitaman atau abu-abu, dan baru akan berubah menjadi merah muda seiring bertambahnya usia. Penampilan ini memberikan perlindungan maksimal bagi mereka yang masih rentan dan belum berpengalaman. Secara ukuran, Kuning Kepodang termasuk burung berukuran sedang, dengan panjang tubuh sekitar 23 hingga 28 sentimeter. Posturnya ramping dan proporsional, menjadikannya penerbang yang gesit dan anggun.

Selain penampilan visual, identifikasi Kuning Kepodang juga sangat bergantung pada suaranya. Kicauannya adalah salah satu yang paling merdu di alam. Suaranya berupa siulan jernih, berirama, dan terdengar seperti "ciul... ciul..." atau serangkaian nada yang menyerupai suara suling. Kicauan ini sering kali menjadi penanda kehadirannya jauh sebelum ia terlihat. Selain siulan merdu, ia juga memiliki panggilan lain yang lebih kasar dan serak, biasanya digunakan sebagai tanda bahaya atau saat berkomunikasi dengan Kepodang lain dalam jarak dekat. Kemampuan untuk mengenali variasi suaranya ini menjadi kunci penting bagi para pengamat burung untuk mendeteksi dan memahami perilaku sang permata emas ini.

Habitat dan Distribusi: Penjelajah Lintas Batas

Kuning Kepodang adalah spesies yang sangat adaptif dan memiliki wilayah persebaran yang luar biasa luas. Ia bukanlah burung yang hanya menetap di satu jenis lingkungan, melainkan seorang penjelajah sejati yang dapat ditemukan dari hutan Siberia yang dingin hingga kebun-kebun tropis di kepulauan Indonesia. Distribusinya mencakup sebagian besar Asia Timur dan Tenggara. Subspesies yang berbeda menempati wilayah geografis yang beragam, menunjukkan kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap berbagai iklim dan tipe vegetasi.

Di wilayah utara seperti Siberia, Tiongkok, dan Korea, Kuning Kepodang bersifat migratori. Mereka akan menghabiskan musim panas di sana untuk berkembang biak, memanfaatkan kelimpahan serangga dan buah-buahan. Saat musim dingin tiba dan sumber makanan menipis, mereka akan melakukan perjalanan epik ribuan kilometer ke selatan, menuju daerah yang lebih hangat di Asia Tenggara, termasuk Semenanjung Malaya, Filipina, dan tentu saja, Indonesia. Perjalanan ini adalah bukti ketahanan fisik dan kemampuan navigasi yang luar biasa, dipandu oleh medan magnet bumi dan posisi bintang.

Di Indonesia sendiri, Kuning Kepodang dapat ditemukan di banyak pulau besar seperti Sumatra, Jawa, Bali, Kalimantan, dan Sulawesi, serta pulau-pulau kecil di sekitarnya. Beberapa populasi di Indonesia bersifat penetap (residen), yang berarti mereka tinggal dan berkembang biak di wilayah yang sama sepanjang tahun. Namun, populasi ini juga akan bertambah jumlahnya saat kedatangan para migran dari utara. Fleksibilitas ini membuat Kepodang menjadi salah satu burung yang relatif mudah dijumpai di berbagai tempat.

Dalam hal pemilihan habitat, Kuning Kepodang menunjukkan preferensi yang fleksibel. Habitat idealnya adalah hutan terbuka, tepi hutan, hutan sekunder, dan hutan mangrove. Ia menyukai area di mana tajuk pohon tidak terlalu rapat, yang memberinya ruang untuk terbang dan mencari makan. Ketinggian pohon yang tinggi sangat disukai untuk bersarang dan bertengger, memberinya sudut pandang yang luas untuk mengawasi predator dan pesaing. Namun, daya adaptasinya yang tinggi memungkinkannya untuk berkembang biak di lingkungan yang telah diubah oleh manusia.

Tidak jarang kita menemukan Kuning Kepodang di perkebunan kelapa, kebun buah-buahan, taman-taman kota yang rimbun, bahkan di halaman belakang rumah di area pedesaan. Selama ada pohon-pohon tinggi yang cukup dan ketersediaan makanan seperti buah ara, pepaya, dan serangga besar, mereka dapat hidup dengan nyaman. Kemampuannya untuk hidup berdampingan dengan manusia inilah yang membuatnya tetap menjadi pemandangan yang akrab di banyak wilayah, meskipun tekanan pembangunan terus meningkat. Namun, perlu dicatat bahwa ia tetap membutuhkan area dengan vegetasi yang cukup lebat untuk bersembunyi dan bersarang, sehingga hilangnya pohon-pohon besar di perkotaan dan pedesaan tetap menjadi ancaman serius bagi kelangsungan hidup populasi lokalnya. Kehadirannya di sebuah taman kota bukan hanya sekadar pemandangan indah, tetapi juga indikator bahwa ruang hijau tersebut masih memiliki kualitas ekologis yang cukup baik untuk menopang kehidupan satwa liar.

Perilaku dan Kebiasaan Hidup: Ritme di Puncak Kanopi

Kehidupan Kuning Kepodang sebagian besar dihabiskan di kanopi pohon, dunia yang tersembunyi dari pandangan kita di darat. Di sinilah ia mencari makan, bersosialisasi, dan membangun keluarganya. Ia adalah burung yang aktif dan enerjik, terutama di pagi dan sore hari. Aktivitas paginya sering kali dimulai dengan serangkaian siulan merdu dari dahan tertinggi, sebuah cara untuk mengumumkan wilayah teritorialnya dan berkomunikasi dengan pasangannya.

Pola makannya bersifat omnivora, dengan preferensi kuat terhadap buah-buahan dan serangga. Ia adalah pemakan buah (frugivora) yang rakus. Buah-buahan berdaging lunak seperti buah ara, berbagai jenis beri, pepaya, dan pisang adalah favoritnya. Dengan memakan buah, Kepodang memainkan peran ekologis yang sangat penting sebagai penyebar biji. Setelah memakan daging buah, bijinya akan dikeluarkan di tempat lain melalui kotorannya, membantu proses regenerasi hutan dan penyebaran tanaman. Selain buah, dietnya dilengkapi dengan protein hewani dari serangga. Ia adalah pemburu yang tangkas, mampu menangkap ulat, belalang, kumbang, dan serangga lainnya dari dedaunan dan cabang pohon. Terkadang, ia juga akan meluncur dari tenggerannya untuk menangkap serangga yang sedang terbang.

Secara sosial, di luar musim kawin, Kuning Kepodang bisa bersifat soliter atau hidup dalam pasangan. Namun, mereka juga dapat membentuk kelompok-kelompok kecil, terutama di sekitar pohon yang sedang berbuah lebat. Mereka bisa sangat vokal saat berkumpul, menciptakan simfoni siulan dan panggilan yang ramai. Meskipun penampilannya indah, Kepodang bisa menjadi burung yang cukup agresif, terutama dalam mempertahankan sumber makanan atau wilayah sarangnya. Ia tidak akan segan-segan untuk mengusir burung lain, bahkan yang berukuran lebih besar, yang dianggap mengancam.

Salah satu perilaku yang paling menarik adalah cara ia bergerak di antara pepohonan. Ia jarang turun ke tanah. Pergerakannya lincah, melompat dari dahan ke dahan dengan kecepatan dan ketepatan yang mengagumkan. Penerbangannya kuat dan bergelombang, dengan kepakan sayap yang mantap. Saat terbang di area terbuka, kontras warna kuning dan hitamnya menciptakan pemandangan yang spektakuler.

Perawatan diri atau *preening* juga merupakan bagian penting dari rutinitas hariannya. Setelah makan atau setelah hujan, ia akan meluangkan waktu untuk merapikan bulu-bulunya menggunakan paruhnya. Aktivitas ini tidak hanya menjaga bulunya tetap bersih dan rapi, tetapi juga penting untuk menjaga agar bulu tetap kedap air dan dalam kondisi aerodinamis yang optimal untuk terbang. Kesehatan bulu juga krusial bagi jantan, karena bulu yang cerah dan terawat baik adalah sinyal kebugaran bagi calon pasangannya. Melalui ritme kehidupan yang teratur ini, dari mencari makan di pagi hari hingga beristirahat di dahan yang aman saat malam tiba, Kuning Kepodang menjalani siklus hidupnya yang selaras dengan alam.

Reproduksi dan Siklus Hidup: Ayunan Kehidupan di Ketinggian

Musim berkembang biak adalah periode paling sibuk dan paling penting dalam siklus hidup Kuning Kepodang. Proses ini dimulai dengan sang jantan yang berusaha menarik perhatian betina melalui serangkaian pertunjukan yang memukau. Ia akan memilih lokasi yang strategis, biasanya di puncak pohon yang tinggi, dan mulai menyanyikan lagu-lagu termerdu miliknya. Kicauannya menjadi lebih sering, lebih lama, dan lebih kompleks selama periode ini. Selain bernyanyi, ia juga akan melakukan penerbangan akrobatik, menukik dan meliuk di udara untuk memamerkan keindahan bulunya yang cemerlang. Pengejaran di antara dahan-dahan juga menjadi bagian dari ritual, sebuah tarian udara yang pada akhirnya akan memperkuat ikatan pasangan.

Setelah ikatan pasangan terbentuk, tugas berikutnya adalah membangun sarang. Inilah salah satu keahlian paling luar biasa dari Kuning Kepodang. Sarang mereka bukanlah struktur cawan biasa yang diletakkan di atas dahan, melainkan sebuah mahakarya arsitektur alam yang berbentuk seperti ayunan atau kantung yang dalam. Sarang ini ditenun dengan sangat teliti dan digantungkan pada cabang horizontal yang bercabang dua, seperti huruf 'Y'. Lokasi yang dipilih biasanya tinggi di atas tanah, seringkali lebih dari 10 meter, untuk melindunginya dari predator darat.

Kedua induk, jantan dan betina, bekerja sama dalam pembangunan sarang. Mereka mengumpulkan berbagai macam material, seperti serat tanaman, rumput kering, akar halus, kulit kayu, dan bahkan sarang laba-laba yang digunakan sebagai perekat alami untuk memperkuat struktur. Proses menenunnya sangat rumit, melibatkan ribuan kali perjalanan bolak-balik untuk membawa material dan menganyamnya menjadi sebuah kantung yang kuat dan fleksibel. Bagian dalamnya sering kali dilapisi dengan bahan yang lebih lembut seperti lumut atau bulu-bulu halus untuk menciptakan tempat yang nyaman bagi telur dan anak-anak mereka kelak. Pembangunan sarang ini bisa memakan waktu hingga satu atau dua minggu.

Setelah sarang siap, sang betina akan meletakkan antara dua hingga empat butir telur. Telur-telur ini memiliki warna yang indah, biasanya berwarna dasar putih atau merah muda pucat dengan bintik-bintik atau bercak-bercak berwarna coklat kemerahan atau keunguan. Tugas mengerami sebagian besar dilakukan oleh betina, sementara sang jantan berjaga di dekatnya, melindungi wilayah dari penyusup dan sesekali membawakan makanan untuk pasangannya.

Masa pengeraman berlangsung sekitar dua minggu. Setelah menetas, lahirlah anakan-anakan yang buta, telanjang, dan sangat lemah. Pada tahap ini, kedua induk bekerja tanpa lelah. Mereka secara bergantian mencari makanan, terutama serangga yang kaya protein seperti ulat dan belalang, untuk memberi makan mulut-mulut kecil yang selalu lapar di dalam sarang. Frekuensi pemberian makan sangat tinggi, bisa terjadi puluhan kali dalam satu jam. Seiring pertumbuhan anak-anaknya, kebutuhan makanan mereka pun meningkat, menuntut kerja keras yang luar biasa dari kedua orang tuanya. Selain memberi makan, induk juga bertugas menjaga kebersihan sarang dengan membuang kotoran anakan.

Setelah sekitar dua hingga tiga minggu berada di dalam sarang, anakan-anakan tersebut akan tumbuh bulu lengkap dan siap untuk meninggalkan sarang untuk pertama kalinya. Proses ini, yang disebut *fledging*, adalah momen yang paling berbahaya dalam hidup mereka. Mereka akan belajar terbang dengan bimbingan dan dorongan dari induknya. Meskipun sudah bisa terbang, mereka akan tetap bergantung pada induknya untuk mendapatkan makanan selama beberapa minggu lagi, sambil mengasah keterampilan berburu dan bertahan hidup mereka sendiri. Hanya dengan melewati semua tahapan yang penuh tantangan inilah, sebuah generasi baru Kuning Kepodang yang gemilang dapat lahir dan melanjutkan siklus kehidupan yang menakjubkan ini.

Simbolisme dan Mitos dalam Budaya Nusantara

Jauh melampaui perannya di alam, Kuning Kepodang memiliki tempat yang sangat istimewa dalam tatanan budaya dan kepercayaan masyarakat Nusantara, khususnya di Jawa. Warnanya yang kuning keemasan dan suaranya yang merdu telah menginspirasi lahirnya berbagai mitos, filosofi, dan karya seni. Ia bukan sekadar burung, melainkan pembawa pesan dan simbol yang sarat makna.

Salah satu mitos yang paling populer dan bertahan hingga kini adalah kepercayaan bahwa kehadiran Kuning Kepodang membawa berkah bagi ibu yang sedang mengandung. Dikatakan bahwa jika seorang wanita hamil sering melihat atau mendengar suara burung Kepodang, maka kelak anaknya akan lahir dengan paras yang rupawan dan kulit yang bersih kuning langsat. Mitos ini begitu mengakar sehingga banyak keluarga di masa lalu yang sengaja memelihara burung Kepodang di rumah dengan harapan dapat mempengaruhi penampilan calon bayi mereka. Meskipun secara ilmiah tidak ada hubungannya, mitos ini menunjukkan betapa dalamnya asosiasi antara keindahan burung ini dengan idealisme kecantikan dalam budaya lokal.

Secara filosofis, Kuning Kepodang juga dianggap sebagai simbol keselarasan, keindahan, dan kemakmuran. Warnanya yang cemerlang dihubungkan dengan emas, logam mulia yang melambangkan kekayaan dan kejayaan. Perilakunya yang setia pada pasangan dan kerja samanya dalam membangun sarang dan merawat anak dijadikan teladan tentang keharmonisan dalam rumah tangga. Oleh karena itu, Kepodang sering kali menjadi lambang keluarga yang bahagia dan sejahtera. Ia juga dipandang sebagai burung "pesolek" yang selalu menjaga penampilan, mengajarkan pesan tersirat tentang pentingnya menjaga citra diri yang baik, rapi, dan berbudi luhur.

Nama "Kepodang" sendiri sering diartikan dalam filosofi Jawa sebagai akronim dari "kebo-e ora bisa mbadal, lanang-e ora bisa medhot piwulang" yang kurang lebih berarti komitmen yang kuat dan tidak dapat diingkari. Ini merefleksikan pandangan bahwa burung ini adalah simbol kesetiaan dan integritas. Kehadirannya dalam sastra lisan, tembang-tembang macapat, dan peribahasa Jawa semakin mengukuhkan posisinya sebagai ikon budaya. Suaranya yang merdu menjadi inspirasi bagi banyak seniman untuk menciptakan gending dan lagu yang menangkap esensi keindahan alam.

Karena keindahan dan suaranya pula, Kuning Kepodang menjadi salah satu burung peliharaan yang sangat digemari. Selama berabad-abad, memelihara Kepodang dianggap sebagai simbol status sosial. Suara siulannya yang jernih di pagi hari diyakini dapat membawa ketenangan dan kegembiraan bagi pemiliknya. Namun, popularitasnya sebagai burung sangkar ini jugalah yang menjadi pedang bermata dua, yang pada akhirnya membawa ancaman serius bagi populasinya di alam liar, sebuah ironi di mana kecintaan yang berlebihan justru membahayakan kelestarian objek yang dicintai. Warisan budaya yang kaya ini menjadi pengingat bahwa hubungan manusia dengan Kuning Kepodang adalah hubungan yang kompleks, terjalin antara kekaguman, eksploitasi, dan kebutuhan mendesak untuk konservasi.

Ancaman dan Upaya Konservasi: Menjaga Kilau Emas Masa Depan

Di balik keindahannya yang abadi, masa depan Kuning Kepodang di alam liar menghadapi berbagai tantangan yang serius. Meskipun secara global status konservasinya menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature) masih tergolong "Risiko Rendah" (Least Concern) karena wilayah persebarannya yang luas, populasi lokal di banyak daerah, termasuk Indonesia, menunjukkan tren penurunan yang mengkhawatirkan. Ancaman-ancaman ini sebagian besar disebabkan oleh aktivitas manusia.

Ancaman terbesar dan paling langsung adalah perburuan liar untuk perdagangan burung peliharaan. Permintaan yang tinggi di pasar, didorong oleh mitos budaya dan kekaguman akan suara serta warnanya, telah memicu penangkapan besar-besaran di alam. Para pemburu menggunakan berbagai metode, mulai dari jaring kabut hingga getah pulut, untuk menangkap burung ini. Praktik ini tidak hanya mengurangi jumlah individu di alam, tetapi juga sering kali merusak struktur populasi, misalnya dengan menangkap individu jantan yang sedang dalam masa produktif untuk berkembang biak. Perdagangan ilegal ini terus berlangsung meskipun ada peraturan yang melindunginya, menunjukkan lemahnya penegakan hukum dan kurangnya kesadaran di tingkat masyarakat.

Ancaman signifikan lainnya adalah hilangnya habitat. Deforestasi untuk pembukaan lahan pertanian, perkebunan monokultur seperti kelapa sawit, serta pembangunan perumahan dan infrastruktur, telah menghancurkan hutan-hutan yang menjadi rumah bagi Kepodang. Meskipun ia dapat beradaptasi dengan lingkungan yang diubah manusia, ia tetap membutuhkan pohon-pohon tinggi dan besar untuk bersarang dan mencari makan. Hilangnya pohon-pohon tua di pedesaan dan perkotaan secara langsung mengurangi area yang layak huni baginya. Fragmentasi habitat juga menjadi masalah, di mana petak-petak hutan yang tersisa menjadi terisolasi, membatasi pergerakan dan pertukaran genetik antar populasi.

Penggunaan pestisida dan bahan kimia pertanian secara berlebihan juga berdampak buruk. Bahan kimia ini dapat meracuni serangga yang menjadi sumber makanan penting bagi Kepodang, terutama saat mereka memberi makan anak-anaknya. Akumulasi racun dalam rantai makanan (biomagnifikasi) juga dapat secara langsung membahayakan kesehatan burung, mempengaruhi kemampuan reproduksi dan tingkat kelangsungan hidupnya.

Menghadapi tantangan ini, upaya konservasi menjadi sangat mendesak. Langkah pertama dan terpenting adalah memperkuat penegakan hukum untuk memberantas perburuan dan perdagangan ilegal. Operasi pasar dan patroli di kawasan hutan perlu digalakkan, disertai dengan sanksi yang tegas bagi para pelaku. Namun, pendekatan represif saja tidak cukup. Edukasi dan penyadartahuan masyarakat memegang peranan kunci. Kampanye yang menyoroti peran ekologis Kuning Kepodang sebagai penyebar biji dan pengendali hama, serta mengubah persepsi dari "memiliki" menjadi "menikmati di alam", sangat diperlukan. Mengajak masyarakat untuk menghargai keindahan Kepodang melalui kegiatan seperti pengamatan burung (birdwatching) bisa menjadi alternatif yang lebih berkelanjutan.

Selain itu, perlindungan dan restorasi habitat adalah fondasi dari semua upaya konservasi. Melindungi kawasan hutan yang tersisa, merehabilitasi lahan terdegradasi dengan menanam pohon-pohon asli yang disukai Kepodang (seperti pohon beringin), dan menjaga keberadaan ruang terbuka hijau di perkotaan adalah investasi jangka panjang bagi masa depan spesies ini dan satwa liar lainnya. Pada akhirnya, menjaga kilau emas Kuning Kepodang bukan hanya tentang menyelamatkan satu spesies burung. Ini adalah tentang menjaga keseimbangan ekosistem, melestarikan warisan budaya, dan memastikan bahwa generasi mendatang masih dapat mendengar siulan merdunya yang menggema di antara pepohonan, sebagai tanda bahwa alam Nusantara masih hidup dan sehat.