Di Ambang Batas: Menyelami Makna "Kurang Waras"

Pikiran adalah labirin yang kompleks.
Ilustrasi abstrak kepala manusia dengan pikiran yang kompleks dan berlapis.

Di sudut-sudut percakapan, di sela-sela candaan, atau dalam bisikan penilaian, frasa "kurang waras" sering kali meluncur begitu saja. Ia bisa menjadi label untuk teman yang melakukan hal impulsif, julukan untuk diri sendiri saat merasa kewalahan, atau stigma yang dilekatkan pada mereka yang perilakunya menyimpang dari norma. Kata-kata ini, meski sering dianggap sepele, membawa beban sejarah dan psikologis yang mendalam. Ia adalah sebuah pintu gerbang menuju pertanyaan yang lebih besar: Apa sebenarnya arti "waras"? Di mana garis batasnya? Dan apa yang terjadi ketika kita merasa diri kita atau orang lain telah melintasinya?

Artikel ini bukanlah sebuah panduan diagnostik atau ensiklopedia medis. Sebaliknya, ini adalah sebuah perjalanan eksploratif. Sebuah upaya untuk membongkar dan memahami spektrum luas dari kondisi mental manusia, terutama dalam konteks dunia modern yang penuh tekanan, paradoks, dan kecepatan yang tak henti-hentinya. Kita akan menyelami mengapa begitu banyak dari kita, di satu titik dalam hidup, merasa "kurang waras". Kita akan melihat bagaimana label ini terbentuk, bagaimana tekanan zaman membentuk kerapuhan kita, dan yang terpenting, bagaimana kita bisa menavigasi perasaan ini dengan lebih banyak welas asih, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

Sejarah Label: Dari Kutukan hingga Kondisi

Sebelum kita bisa memahami kondisi mental di masa kini, kita perlu melihat ke belakang, ke masa ketika jiwa yang gelisah tidak dilihat sebagai kondisi medis, melainkan sebagai tanda-tanda lain. Dalam peradaban kuno, perilaku yang tidak biasa sering kali dikaitkan dengan kekuatan supranatural. Seseorang yang mendengar suara-suara bisa dianggap sedang menerima pesan dari dewa, sementara yang lain yang mengalami depresi mendalam mungkin dianggap telah dikutuk atau dirasuki roh jahat. "Kewarasan" saat itu terikat erat dengan harmoni kosmik dan spiritual. Penyimpangan darinya adalah urusan para dukun, pendeta, atau pengusir setan.

Seiring berjalannya waktu, terutama dengan munculnya pemikiran Yunani Kuno, penjelasan mulai bergeser ke arah yang lebih biologis. Hippocrates, misalnya, berteori bahwa kesehatan mental bergantung pada keseimbangan empat cairan tubuh (humor): darah, dahak, empedu kuning, dan empedu hitam. Kelebihan empedu hitam, menurutnya, bisa menyebabkan melankolia—sebuah konsep yang menjadi cikal bakal pemahaman kita tentang depresi. Meski keliru secara ilmiah, ini adalah langkah revolusioner karena memindahkan sumber "kegilaan" dari dunia gaib ke dalam tubuh manusia itu sendiri.

Namun, pergeseran ini tidak serta-merta menghapus stigma. Selama Abad Pertengahan di Eropa, pandangan spiritual kembali dominan, dan rumah sakit jiwa pertama (asylum) didirikan. Tempat-tempat ini sering kali lebih mirip penjara daripada pusat penyembuhan. Para pasien dirantai, diisolasi, dan diperlakukan dengan metode yang kejam, didasari oleh keyakinan bahwa "kegilaan" harus ditaklukkan atau diusir secara paksa. Label seperti "gila," "sinting," atau "orang aneh" menjadi identitas permanen yang mengucilkan individu dari masyarakat.

Revolusi ilmiah dan era Pencerahan membawa angin segar. Muncul tokoh-tokoh seperti Philippe Pinel di Prancis yang memperjuangkan perlakuan manusiawi terhadap pasien gangguan jiwa. Ia melepaskan rantai para pasien di Rumah Sakit Salpêtrière, sebuah tindakan simbolis yang menandai dimulainya era psikiatri modern. Gangguan mental mulai dipandang sebagai penyakit otak, sebuah kondisi medis yang memerlukan diagnosis, perawatan, dan penelitian. Istilah-istilah klinis seperti skizofrenia, depresi, dan gangguan bipolar mulai menggantikan label-label lama yang menghakimi.

Di Indonesia, terminologi juga mengalami evolusi. Kata-kata seperti "gila" atau "sakit jiwa" memiliki konotasi yang sangat berat. Kemudian muncul istilah yang lebih informal dan luas seperti "kurang waras". Frasa ini menarik karena ia menyiratkan sebuah spektrum. Ia tidak absolut seperti "gila", melainkan menunjukkan adanya pergeseran dari sebuah titik "waras" yang ideal. Penggunaannya dalam bahasa sehari-hari mencerminkan ambiguitas perasaan kita terhadap kesehatan mental: di satu sisi kita mulai menyadarinya, di sisi lain kita masih sering meremehkannya menjadi bahan candaan atau label yang mudah dilontarkan. Sejarah ini penting karena ia menunjukkan bahwa cara kita menamai sesuatu akan membentuk cara kita memahaminya, dan pada akhirnya, cara kita meresponsnya.

Spektrum Normalitas: Di Mana Garis Batasnya?

Pertanyaan mendasar yang sering muncul adalah: Apa itu "normal"? Masyarakat sering kali memiliki gambaran implisit tentang perilaku, emosi, dan pikiran yang dianggap normal. Seseorang yang bekerja dari pagi hingga sore, bersosialisasi di akhir pekan, memiliki tujuan karier yang jelas, dan menunjukkan emosi yang "sesuai" dengan situasi dianggap berada dalam spektrum normal. Namun, definisi ini sangat rapuh dan sangat dipengaruhi oleh budaya, waktu, dan konteks individu.

"Kewarasan dan kegilaan adalah seperti malam dan siang. Kita tahu keduanya ada, tetapi kita tidak pernah bisa menentukan dengan pasti di mana yang satu berakhir dan yang lain dimulai."

Psikologi modern lebih suka melihat kesehatan mental bukan sebagai saklar on/off (waras/tidak waras), melainkan sebagai sebuah kontinum atau spektrum yang dinamis. Bayangkan sebuah gradasi warna dari putih ke hitam. "Putih" mungkin mewakili kesehatan mental yang optimal, sementara "hitam" mewakili penderitaan psikologis yang parah. Kebanyakan dari kita tidak berada di salah satu ujung ekstrem, melainkan bergerak di sepanjang area abu-abu di antaranya. Posisi kita di spektrum ini bisa bergeser dari hari ke hari, bahkan dari jam ke jam, tergantung pada stres, dukungan sosial, kesehatan fisik, dan berbagai faktor lainnya.

Sebagai contoh, mari kita lihat kecemasan. Merasa cemas sebelum presentasi penting atau wawancara kerja adalah hal yang sangat normal dan bahkan adaptif. Kecemasan ini memotivasi kita untuk bersiap dan tampil lebih baik. Ini adalah bagian sehat dari spektrum. Namun, jika kecemasan itu menjadi begitu melumpuhkan sehingga seseorang tidak bisa keluar rumah, terus-menerus merasa panik tanpa alasan yang jelas, dan mengganggu fungsi sehari-hari, maka ia telah bergeser ke ujung spektrum yang memerlukan perhatian lebih, yang secara klinis bisa disebut sebagai gangguan kecemasan.

Hal yang sama berlaku untuk kesedihan. Merasa sedih setelah kehilangan, kegagalan, atau kekecewaan adalah respons manusiawi yang wajar. Namun, jika kesedihan itu berlangsung berbulan-bulan, disertai dengan kehilangan minat pada semua hal, perubahan drastis pada pola tidur dan makan, serta perasaan putus asa yang mendalam, ia telah melintasi ambang batas menuju depresi klinis. Garis batas antara kesedihan normal dan depresi tidak selalu tajam; sering kali ia kabur dan subyektif.

Konsep "kurang waras" sering kali muncul di area abu-abu ini. Saat kita melakukan sesuatu yang tidak biasa, seperti tertawa di saat yang tidak tepat, atau tiba-tiba membeli tiket ke kota lain tanpa rencana, atau menghabiskan akhir pekan hanya untuk menatap langit-langit kamar. Perilaku ini mungkin bukan gejala gangguan klinis, tetapi cukup menyimpang dari "norma" sehingga orang—atau bahkan diri kita sendiri—melabelinya sebagai "aneh" atau "kurang waras". Inilah mengapa memahami konsep spektrum sangat penting. Ia membebaskan kita dari jebakan biner "waras" versus "gila" dan memungkinkan kita untuk melihat kondisi mental kita sebagai sesuatu yang cair, kompleks, dan unik bagi setiap individu.

Pemicu Modern yang Menggeser Batas Kewarasan

Jika kita menerima bahwa kewarasan adalah sebuah spektrum, maka kita harus bertanya: mengapa di era modern ini, begitu banyak orang merasa terdorong ke arah ujung yang lebih menantang? Dunia kontemporer, dengan segala kemajuan teknologinya, juga menciptakan serangkaian tekanan unik yang secara konstan menguji ketahanan mental kita.

Tekanan Digital dan Paradoks Konektivitas

Kita hidup di zaman yang paling terhubung dalam sejarah manusia, namun juga yang paling kesepian. Media sosial adalah contoh utama dari paradoks ini. Gulungan tak berujung di Instagram, Facebook, atau TikTok menyajikan etalase kehidupan orang lain yang telah dikurasi dengan sempurna. Kita melihat liburan mewah, pencapaian karier, hubungan romantis yang ideal, dan tubuh yang sempurna. Secara sadar kita tahu ini bukan gambaran utuh, tetapi alam bawah sadar kita terus-menerus membuat perbandingan. Perasaan "saya tidak cukup baik" atau "hidup saya membosankan" menjadi bisikan konstan yang menggerogoti harga diri. Ini adalah resep sempurna untuk kecemasan dan depresi.

Selain itu, ada bombardir informasi yang tiada henti. Setiap detik, kita disuguhi berita tentang krisis politik, bencana alam, ketidakadilan sosial, dan ramalan suram tentang masa depan. Otak manusia tidak dirancang untuk memproses begitu banyak penderitaan global secara bersamaan. Akibatnya, banyak yang mengalami "information overload" atau "doomscrolling," sebuah kebiasaan kompulsif untuk terus mengonsumsi berita negatif yang pada akhirnya menyebabkan perasaan tidak berdaya, sinisme, dan kelelahan emosional yang mendalam. Batas antara tetap terinformasi dan meracuni pikiran sendiri menjadi sangat tipis.

Kultus Produktivitas dan "Hustle Culture"

Masyarakat modern memuja produktivitas. Kita didorong untuk terus bergerak, terus berprestasi, terus mengoptimalkan setiap menit dalam hidup kita. "Hustle culture" atau budaya kerja keras tanpa henti diagung-agungkan. Istirahat dianggap sebagai kemalasan, dan tidak melakukan apa-apa dianggap sebagai pemborosan waktu. Slogan seperti "rise and grind" atau "sleep is for the weak" menjadi mantra bagi banyak orang, terutama generasi muda.

Tekanan ini menciptakan siklus yang berbahaya. Kita bekerja lembur, mengorbankan waktu tidur, mengabaikan hobi, dan menipiskan hubungan sosial demi mengejar target karier atau finansial. Batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi menjadi kabur, terutama dengan maraknya kerja jarak jauh. Ponsel kita adalah kantor portabel yang tidak pernah tutup. Akibatnya, burnout atau kelelahan kerja menjadi epidemi senyap. Gejalanya bukan hanya kelelahan fisik, tetapi juga kelelahan emosional, perasaan sinis terhadap pekerjaan, dan menurunnya efikasi diri. Saat seseorang mencapai titik ini, mereka sering merasa kosong, apatis, dan kehilangan arah—sebuah kondisi yang sangat dekat dengan perasaan "kurang waras".

Krisis Identitas dan Pencarian Makna

Di masa lalu, identitas seseorang sering kali sudah ditentukan oleh keluarga, komunitas, atau agama. Namun, di era modern yang lebih individualistis, kita dibebani dengan tugas untuk "menemukan" atau "menciptakan" diri kita sendiri. Kebebasan ini, meskipun memberdayakan, juga bisa sangat menakutkan. Kita dihadapkan pada pilihan yang tak terbatas: karier apa yang harus dipilih, di mana harus tinggal, siapa yang harus dicintai, nilai-nilai apa yang harus dianut.

Pencarian makna ini bisa mengarah pada krisis eksistensial. Pertanyaan-pertanyaan besar seperti "Apa tujuan hidup saya?" atau "Apa gunanya semua ini?" bisa terasa sangat membebani. Ketika dunia di sekitar kita terasa kacau dan tidak pasti—dengan isu-isu seperti perubahan iklim, ketidakstabilan ekonomi, dan polarisasi politik—menemukan pijakan makna menjadi semakin sulit. Kekosongan eksistensial ini bisa bermanifestasi sebagai apatis, kecemasan, atau perasaan terasing yang mendalam dari dunia dan dari diri sendiri.

Manifestasi "Kurang Waras" dalam Kehidupan Sehari-hari

Perasaan "kurang waras" jarang sekali datang dalam bentuk episode dramatis seperti di film. Lebih sering, ia menyusup ke dalam rutinitas kita melalui perilaku-perilaku kecil, kebiasaan, dan pola pikir yang, jika dilihat satu per satu, mungkin tampak sepele. Namun, secara kolektif, mereka menciptakan perasaan bahwa ada sesuatu yang "tidak beres" dengan diri kita.

Overthinking dan Ruminasi: Monolog Internal yang Tak Berujung

Salah satu manifestasi yang paling umum adalah overthinking atau berpikir berlebihan. Ini adalah kondisi di mana pikiran kita terjebak dalam sebuah lingkaran, menganalisis percakapan yang sudah berlalu, mencemaskan skenario masa depan yang mungkin tidak akan pernah terjadi, dan mengkritik setiap keputusan kecil yang kita buat. Pikiran menjadi seperti hamster di atas roda, berlari tanpa henti tetapi tidak pernah sampai ke mana-mana. Ruminasi, sepupu dekat dari overthinking, lebih fokus pada pengulangan masalah atau emosi negatif dari masa lalu. Seseorang bisa menghabiskan berjam-jam memikirkan kembali sebuah kesalahan atau penghinaan, merasakan kembali rasa sakitnya berulang kali. Aktivitas mental yang melelahkan ini menguras energi, mengganggu tidur, dan membuat kita sulit untuk hadir di saat ini.

Impulsivitas dan Ledakan Emosi

Di sisi lain spektrum, ada impulsivitas. Ketika tekanan mental menumpuk, kapasitas kita untuk kontrol diri bisa melemah. Ini bisa muncul dalam bentuk pengeluaran impulsif (membeli barang yang tidak dibutuhkan untuk mendapatkan kebahagiaan sesaat), makan berlebihan, atau membuat keputusan besar dalam hidup (seperti berhenti kerja atau pindah kota) tanpa pertimbangan matang. Ini adalah cara pikiran bawah sadar kita untuk mencari pelepasan atau perubahan dari tekanan yang dirasakan.

Ledakan emosi juga merupakan tanda umum. Ketika kita lelah secara mental, toleransi kita terhadap frustrasi menurun drastis. Hal-hal kecil—seperti lalu lintas macet, internat lambat, atau komentar sepele dari orang lain—bisa memicu reaksi kemarahan atau tangisan yang tidak proporsional. Ini bukan karena kita adalah orang yang pemarah, tetapi karena "wadah" emosional kita sudah penuh, dan pemicu kecil itu hanyalah tetesan terakhir yang membuatnya meluap.

Penarikan Diri dan Apatis

Ketika dunia luar terasa terlalu berisik dan menuntut, respons alami kita adalah menarik diri. Kita mulai membatalkan janji dengan teman, menghindari acara sosial, dan lebih memilih untuk menyendiri. Meskipun waktu sendiri itu penting, penarikan diri yang ekstrem bisa menjadi tanda kelelahan sosial dan emosional. Interaksi sosial yang dulu terasa menyenangkan kini terasa seperti beban yang menguras energi.

Seiring dengan itu, bisa muncul apatis atau kehilangan motivasi. Hobi yang dulu kita cintai tidak lagi menarik. Tujuan yang dulu kita kejar terasa tidak penting. Ada perasaan hampa dan datar, seolah-olah warna-warni kehidupan telah memudar menjadi abu-abu. Ini bukan kemalasan; ini adalah gejala dari sistem saraf yang kelelahan, yang mencoba menghemat sisa-sisa energi mental dengan mematikan minat dan antusiasme.

Meredefinisi "Kewarasan": Dari Stigma Menuju Penerimaan

Mungkin langkah terpenting dalam perjalanan ini adalah mengubah cara kita memandang konsep "kewarasan" itu sendiri. Selama ini, kita cenderung melihatnya sebagai sebuah pencapaian—sebuah kondisi ideal di mana kita selalu bahagia, produktif, dan stabil secara emosional. Pandangan ini tidak hanya tidak realistis, tetapi juga berbahaya. Ia menciptakan tekanan untuk selalu "baik-baik saja" dan membuat kita merasa gagal ketika kita tidak mampu memenuhinya.

Bagaimana jika kita meredefinisi "kewarasan" bukan sebagai ketiadaan masalah, melainkan sebagai kemampuan untuk menavigasi masalah tersebut dengan kesadaran dan welas asih? Kewarasan sejati mungkin bukanlah tentang tidak pernah merasa cemas, sedih, atau marah. Mungkin ia adalah tentang mengakui perasaan-perasaan itu, membiarkannya hadir tanpa penghakiman, dan belajar meresponsnya dengan cara yang konstruktif.

Gerakan neurodiversitas menawarkan perspektif yang kuat dalam hal ini. Ia mengusulkan bahwa kondisi seperti autisme, ADHD, atau disleksia bukanlah "gangguan" yang harus "disembuhkan", melainkan variasi alami dalam cara kerja otak manusia. Dengan memperluas logika ini, kita bisa melihat banyak dari apa yang kita labeli sebagai "kurang waras" sebagai bagian dari keragaman neurologis dan psikologis manusia. Seseorang yang sangat sensitif mungkin lebih rentan terhadap kecemasan, tetapi ia juga mungkin memiliki tingkat empati dan kreativitas yang luar biasa. Seseorang dengan pikiran yang "kacau" mungkin kesulitan untuk fokus pada satu tugas, tetapi ia mungkin sangat hebat dalam melihat hubungan antara ide-ide yang tampaknya tidak terkait.

Menerima keunikan dan "keanehan" kita sendiri adalah inti dari pergeseran ini. Alih-alih berusaha untuk "memperbaiki" diri agar sesuai dengan cetakan "normal" yang sempit, kita bisa mulai bertanya: Apa yang coba diberitahukan oleh perasaan ini kepada saya? Kecemasan saya mungkin memberi tahu saya bahwa saya perlu menetapkan batasan yang lebih baik. Apatis saya mungkin merupakan sinyal bahwa saya butuh istirahat yang mendalam. Impulsivitas saya mungkin adalah jeritan jiwa yang mendambakan lebih banyak spontanitas dan kegembiraan dalam hidup.

"Bunga teratai tumbuh paling indah dari lumpur yang paling dalam. Demikian pula, sering kali kebijaksanaan dan kekuatan kita yang terbesar muncul dari perjuangan mental kita yang paling gelap."

Dengan membingkai ulang pengalaman kita dengan cara ini, perasaan "kurang waras" berubah dari label kegagalan menjadi sebuah sinyal, sebuah pemandu, bahkan sebuah kesempatan untuk pertumbuhan. Ini adalah undangan untuk mengenal diri kita lebih dalam, untuk menerima kompleksitas kita, dan untuk membangun kehidupan yang lebih otentik yang menghormati pasang surut kondisi mental kita.

Strategi Menavigasi Dunia Saat Merasa Goyah

Menerima kondisi mental kita adalah langkah pertama yang krusial. Langkah selanjutnya adalah mengembangkan perangkat atau strategi untuk menavigasi hari-hari ketika kita merasa goyah, kewalahan, atau berada di ambang batas. Ini bukanlah solusi instan, melainkan praktik berkelanjutan untuk merawat taman batin kita.

Kembali ke Saat Ini: Mindfulness dan Grounding

Ketika pikiran kita terjebak dalam kecemasan tentang masa depan atau penyesalan tentang masa lalu, cara paling ampuh untuk memutus siklus tersebut adalah dengan membawa kesadaran kita kembali ke saat ini. Praktik mindfulness atau kesadaran penuh adalah tentang mengamati pikiran, perasaan, dan sensasi tubuh kita tanpa menghakiminya. Ini bisa sesederhana mengambil beberapa napas dalam-dalam dan benar-benar merasakan udara masuk dan keluar dari paru-paru, atau memperhatikan sensasi air hangat di tangan saat mencuci piring.

Teknik grounding sangat berguna saat kita merasa panik atau terdisosiasi. Cobalah metode 5-4-3-2-1: sebutkan lima hal yang bisa Anda lihat, empat hal yang bisa Anda sentuh, tiga hal yang bisa Anda dengar, dua hal yang bisa Anda cium, dan satu hal yang bisa Anda rasakan. Latihan sederhana ini memaksa otak kita untuk fokus pada input sensorik langsung, menariknya keluar dari pusaran pikiran yang abstrak dan menakutkan.

Ekspresi Kreatif sebagai Katarsis

Terkadang, emosi terlalu besar dan kompleks untuk diungkapkan dengan kata-kata. Di sinilah ekspresi kreatif berperan. Menulis jurnal, melukis, bermain musik, menari, atau bahkan merajut bisa menjadi saluran yang aman untuk melepaskan perasaan yang terpendam. Tujuannya bukanlah untuk menciptakan mahakarya, melainkan untuk proses itu sendiri. Mengubah rasa sakit atau kebingungan internal menjadi sesuatu yang nyata dan eksternal bisa memberikan rasa lega dan kendali yang luar biasa.

Membangun Koneksi yang Otentik

Meskipun ada dorongan untuk menarik diri, koneksi manusia yang tulus adalah salah satu penyangga terkuat bagi kesehatan mental. Namun, kuncinya adalah kualitas, bukan kuantitas. Memiliki satu atau dua orang teman yang bisa kita ajak bicara secara terbuka dan jujur tentang perjuangan kita jauh lebih berharga daripada memiliki ratusan kenalan di media sosial. Berbagi kerentanan kita dengan orang yang tepat tidak hanya mengurangi rasa terisolasi, tetapi juga memungkinkan kita untuk menerima dukungan dan perspektif baru.

Menetapkan Batasan yang Sehat

Di dunia yang terus-menerus menuntut energi kita, belajar mengatakan "tidak" adalah keterampilan bertahan hidup yang esensial. Ini berarti menetapkan batasan dengan pekerjaan (tidak memeriksa email setelah jam kerja), dengan orang lain (menolak permintaan yang akan menguras tenaga kita), dan bahkan dengan diri sendiri (memberi izin pada diri sendiri untuk tidak selalu produktif). Batasan adalah tindakan perlindungan diri yang krusial. Mereka menciptakan ruang yang kita butuhkan untuk beristirahat, memulihkan diri, dan mengisi kembali sumber daya mental kita.

Mencari Bantuan Profesional

Ada kalanya, upaya mandiri tidak cukup. Mencari bantuan dari seorang terapis atau konselor bukanlah tanda kelemahan, melainkan tanda kekuatan dan kesadaran diri. Berbicara dengan seorang profesional memberikan ruang yang aman dan tidak menghakimi untuk menjelajahi pikiran dan perasaan kita. Mereka dapat memberikan alat, strategi, dan wawasan yang disesuaikan dengan kebutuhan kita, membantu kita memahami pola-pola yang mungkin tidak kita sadari, dan memandu kita menuju penyembuhan dan pertumbuhan. Ini adalah investasi yang tak ternilai bagi kesejahteraan jangka panjang kita.

Kesimpulan: Merangkul Spektrum Kemanusiaan Kita

Perjalanan kita melalui labirin "kurang waras" membawa kita pada sebuah kesimpulan yang sederhana namun mendalam: perasaan ini adalah bagian yang tak terpisahkan dari pengalaman menjadi manusia di dunia yang kompleks. Ia bukanlah sebuah anomali atau kegagalan personal, melainkan respons yang wajar terhadap tekanan internal dan eksternal yang kita hadapi setiap hari.

Kita telah melihat bagaimana label ini berevolusi, bagaimana "normalitas" adalah sebuah ilusi, dan bagaimana kehidupan modern secara aktif menguji batas-batas ketahanan mental kita. Kita telah mengidentifikasi manifestasinya dalam perilaku sehari-hari dan, yang terpenting, kita telah mulai membingkai ulangnya—bukan sebagai stigma, tetapi sebagai sinyal untuk introspeksi dan perawatan diri.

Pada akhirnya, merangkul spektrum penuh dari kondisi mental kita—dari kegembiraan yang meluap hingga kesedihan yang hening, dari ketenangan yang damai hingga kecemasan yang bergejolak—adalah bentuk "kewarasan" yang paling otentik. Ini adalah tentang memberikan izin pada diri kita sendiri untuk tidak selalu "baik-baik saja". Ini adalah tentang menukar topeng kesempurnaan dengan keberanian untuk menjadi rentan. Ini adalah tentang menyadari bahwa di dalam pikiran kita yang terkadang terasa kacau, terdapat pula sumber kekuatan, kreativitas, dan empati yang tak terbatas.

Jadi, lain kali Anda atau seseorang yang Anda kenal merasa sedikit "kurang waras", mungkin alih-alih menghakimi atau mengabaikannya, kita bisa berhenti sejenak. Kita bisa bernapas. Dan kita bisa menawarkan pertanyaan yang dipenuhi welas asih: "Apa yang kamu butuhkan saat ini?" Karena dalam pertanyaan sederhana itu, terkandung pengakuan, penerimaan, dan awal dari penyembuhan sejati.