Menjelajahi Makna "Lajim"
Kata "lajim" sering kita dengar dan gunakan dalam percakapan sehari-hari. Ia meluncur begitu saja dari bibir kita untuk menggambarkan sesuatu yang biasa, umum, atau sudah menjadi kebiasaan. Namun, pernahkah kita berhenti sejenak untuk merenungkan makna yang lebih dalam dari kata ini? Apa sesungguhnya yang membentuk sesuatu menjadi lajim? Mengapa kelaziman begitu penting dalam struktur masyarakat, dan di sisi lain, kapan ia bisa menjadi penghalang kemajuan? Artikel ini akan membawa kita menyelami konsep kelaziman, dari akarnya yang sederhana hingga implikasinya yang kompleks dalam kehidupan manusia.
Pada dasarnya, kelaziman adalah perekat sosial. Ia adalah seperangkat aturan tak tertulis, norma, dan perilaku yang diterima secara luas oleh suatu kelompok masyarakat. Ketika kita mengatakan "sudah lajimnya begitu," kita sebenarnya sedang merujuk pada sebuah konsensus sosial yang telah terbentuk melalui proses panjang, baik disadari maupun tidak. Konsensus ini menciptakan prediktabilitas. Kita tahu bagaimana harus bersikap saat bertemu orang lain, cara makan di tempat umum, atau aturan antre di fasilitas publik. Tanpa kelaziman, dunia akan terasa kacau, setiap interaksi sosial akan menjadi negosiasi yang melelahkan dari awal.
Akar dan Fondasi Kelaziman
Sesuatu tidak serta-merta menjadi lajim. Prosesnya melibatkan pengulangan, peniruan, dan penguatan sosial. Sebuah perilaku yang awalnya dilakukan oleh segelintir orang, jika dianggap bermanfaat atau efisien, akan mulai ditiru oleh orang lain. Semakin banyak yang melakukannya, semakin kuat pula tekanan sosial bagi individu lain untuk mengikuti. Media, pendidikan, dan keluarga memainkan peran krusial dalam menanamkan dan melestarikan apa yang dianggap lajim. Anak-anak belajar dari orang tua mereka, siswa belajar dari guru, dan masyarakat luas belajar dari apa yang mereka lihat di televisi atau internet.
Tradisi adalah salah satu bentuk kelaziman yang paling kuat. Ia diwariskan dari generasi ke generasi, membawa serta nilai-nilai, kearifan, dan identitas sebuah budaya. Upacara adat, perayaan hari besar, hingga resep masakan keluarga adalah contoh kelaziman yang mengakar dalam sejarah. Menjaga tradisi ini seringkali dianggap sebagai cara untuk menghormati leluhur dan menjaga keutuhan komunitas. Namun, tradisi juga bisa menjadi pedang bermata dua. Ketika dunia berubah, beberapa tradisi yang lajim mungkin tidak lagi relevan atau bahkan bisa menghambat perkembangan.
Di luar tradisi, ada juga kelaziman yang terbentuk secara organik dari kebutuhan praktis. Misalnya, lajimnya orang berjalan di sisi kiri jalan di beberapa negara dan di sisi kanan di negara lain. Ini bukan soal benar atau salah secara moral, melainkan sebuah konvensi yang diciptakan untuk keselamatan dan ketertiban. Demikian pula dengan etiket bisnis, seperti berjabat tangan saat bertemu klien atau bertukar kartu nama. Semua ini adalah kelaziman yang memfasilitasi interaksi agar berjalan lebih lancar dan efisien.
Dalam skala yang lebih kecil, setiap keluarga, kelompok pertemanan, atau bahkan tempat kerja memiliki kelazimannya sendiri. Ada lelucon internal yang hanya dipahami oleh anggota kelompok, ada rutinitas minum kopi bersama setiap pagi di kantor, atau cara unik sebuah keluarga merayakan ulang tahun. Kelaziman-kelaziman mikro ini memperkuat rasa memiliki dan identitas kelompok, menciptakan sebuah dunia kecil yang nyaman dan akrab bagi para anggotanya.
Manfaat Kelaziman dalam Tatanan Sosial
Manfaat utama dari kelaziman adalah efisiensi kognitif. Bayangkan jika setiap kali kita ingin membeli sesuatu di toko, kita harus menciptakan dari awal cara berkomunikasi dengan penjual, cara bertransaksi, dan cara membawa pulang barang. Tentu akan sangat melelahkan. Kelaziman membebaskan pikiran kita dari tugas-tugas remeh ini. Kita tidak perlu berpikir keras tentang cara menyapa tetangga atau cara menggunakan sendok dan garpu. Energi mental kita bisa dialihkan untuk memecahkan masalah yang lebih kompleks dan kreatif.
Kelaziman adalah bahasa tubuh sebuah masyarakat. Tanpa mempelajarinya, kita akan menjadi orang asing di tengah keramaian, gagap dalam interaksi, dan buta terhadap isyarat yang tak terucap.
Selain itu, kelaziman menciptakan rasa aman dan stabilitas. Ketika kita berada dalam lingkungan di mana perilakunya dapat diprediksi, kita merasa lebih tenang. Kita tahu apa yang diharapkan dari kita dan apa yang bisa kita harapkan dari orang lain. Stabilitas ini penting untuk membangun kepercayaan, baik dalam hubungan personal maupun dalam skala masyarakat yang lebih luas. Tanpa dasar kepercayaan yang dibangun di atas norma-norma umum, kerja sama yang kompleks seperti ekonomi pasar atau sistem pemerintahan demokratis tidak akan mungkin berjalan.
Rasa memiliki atau sense of belonging juga merupakan buah dari kelaziman. Ketika kita mengikuti kebiasaan yang sama dengan orang-orang di sekitar kita—baik itu merayakan festival yang sama, menggunakan bahasa gaul yang sama, atau bahkan mendukung tim olahraga yang sama—kita merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri. Identitas kolektif ini memberikan dukungan emosional dan jaringan sosial yang sangat penting bagi kesejahteraan psikologis manusia sebagai makhluk sosial.
Dalam konteks hukum dan etika, kelaziman sering menjadi dasar bagi pembentukan aturan formal. Banyak undang-undang yang pada awalnya merupakan kodifikasi dari norma-norma yang sudah lama lajim di masyarakat. Apa yang dianggap "pantas" atau "tidak pantas" seringkali berakar pada kebiasaan turun-temurun. Dengan demikian, kelaziman berfungsi sebagai fondasi moral informal yang menopang struktur hukum formal sebuah negara.
Sisi Gelap dari Sesuatu yang Lajim
Namun, di balik semua manfaatnya, kelaziman juga menyimpan sisi gelap. Bahaya terbesar adalah stagnasi. Ketika sebuah cara dianggap sebagai "satu-satunya cara yang benar" hanya karena sudah lajim dilakukan, inovasi dan kreativitas akan terhambat. Orang-orang menjadi enggan untuk mencoba hal-hal baru karena takut dianggap aneh atau menyimpang. Kemajuan, baik dalam sains, seni, maupun sosial, seringkali lahir dari individu atau kelompok yang berani menantang kelaziman.
Galileo Galilei dianggap menyimpang ketika ia menyatakan bahwa Bumi mengelilingi Matahari, karena kelaziman pada masanya adalah sebaliknya. Para pejuang hak-hak sipil dianggap radikal karena mereka menantang kelaziman diskriminasi rasial. Para seniman impresionis dicemooh karena lukisan mereka tidak sesuai dengan kelaziman gaya realis yang diagungkan saat itu. Sejarah dipenuhi dengan contoh-contoh di mana kemajuan hanya bisa terjadi setelah kelaziman yang usang berhasil didobrak.
Kelaziman juga bisa menjadi alat penindasan. Ia menciptakan tekanan konformitas yang kuat, di mana individu yang berbeda—baik dalam pemikiran, penampilan, orientasi, atau keyakinan—dapat dikucilkan, diejek, atau bahkan dianiaya. Istilah "tidak lajim" seringkali digunakan sebagai senjata untuk melabeli dan mendiskreditkan mereka yang berada di luar arus utama. Ini menciptakan masyarakat yang homogen dan tidak toleran terhadap perbedaan, di mana keragaman yang seharusnya menjadi kekuatan justru dianggap sebagai ancaman.
Selain itu, ada fenomena yang dikenal sebagai "groupthink" atau pemikiran kelompok, di mana keinginan untuk konformitas dalam sebuah kelompok menghasilkan pengambilan keputusan yang tidak rasional atau tidak optimal. Anggota kelompok enggan menyuarakan pendapat yang berbeda dari kelaziman kelompok tersebut karena takut mengganggu harmoni. Akibatnya, ide-ide buruk bisa diterima tanpa kritik, dan peluang-peluang bagus bisa terlewatkan begitu saja. Kelaziman, dalam konteks ini, mematikan pemikiran kritis.
Ada pula kelaziman yang berbahaya atau merugikan namun tetap dipertahankan karena sudah menjadi kebiasaan. Contohnya bisa berupa kebiasaan merokok di tempat umum, membuang sampah sembarangan, atau praktik nepotisme dalam dunia kerja. Meskipun banyak orang tahu bahwa hal-hal ini negatif, sulit untuk mengubahnya karena sudah dianggap "lajim" dan "dimaklumi". Mengubah kelaziman seperti ini membutuhkan upaya kolektif yang besar dan seringkali intervensi dari hukum atau kampanye kesadaran publik yang masif.
Kelaziman di Era Digital yang Terus Berubah
Era digital telah membawa dimensi baru pada konsep kelaziman. Internet dan media sosial telah menciptakan serangkaian norma dan etiket yang sama sekali baru. Penggunaan emoji, singkatan, meme, dan bahasa gaul internet adalah kelaziman yang berkembang dengan sangat cepat. Sesuatu yang "viral" bisa menjadi lajim dalam hitungan hari, menyebar ke seluruh dunia, dan kemudian dilupakan seminggu kemudian. Kecepatan pembentukan dan peluruhan kelaziman di dunia maya jauh melampaui apa yang pernah terjadi di dunia fisik.
Di satu sisi, ini menciptakan sebuah kelaziman global. Orang-orang dari berbagai negara bisa tertawa pada meme yang sama atau mengikuti tren tarian yang sama di platform video pendek. Ini menciptakan rasa keterhubungan global yang belum pernah ada sebelumnya. Namun, di sisi lain, internet juga menciptakan "ruang gema" (echo chambers) di mana kelompok-kelompok dengan minat atau pandangan yang sama berkumpul. Di dalam gelembung ini, mereka mengembangkan kelaziman mereka sendiri yang mungkin sangat berbeda atau bahkan bertentangan dengan kelaziman di gelembung lain.
Ini melahirkan paradoks: kita hidup di dunia yang semakin terhubung secara global, namun pada saat yang sama semakin terfragmentasi menjadi suku-suku digital. Apa yang lajim bagi satu kelompok online bisa dianggap sangat aneh atau bahkan ofensif oleh kelompok lain. Hal ini dapat mempertajam polarisasi dan mempersulit dialog antar kelompok yang berbeda pandangan. Kelaziman tidak lagi menjadi satu payung besar yang menaungi seluruh masyarakat, melainkan mosaik dari ribuan kelaziman kecil yang saling bersinggungan.
Etiket digital juga menjadi medan pertempuran kelaziman yang baru. Kapan waktu yang pantas untuk menelepon versus mengirim pesan teks? Seberapa cepat kita diharapkan membalas email? Apakah lajim untuk melihat ponsel saat sedang berbicara dengan orang lain? Norma-norma ini masih terus berkembang dan seringkali menjadi sumber kesalahpahaman antar generasi. Generasi yang lebih tua mungkin menganggap beberapa perilaku digital sebagai tidak sopan, sementara generasi yang lebih muda menganggapnya sebagai hal yang lajim dan efisien.
Menavigasi Kelaziman: Keseimbangan Antara Konformitas dan Individualitas
Sebagai individu, kita semua terus-menerus menavigasi lautan kelaziman. Kita dihadapkan pada pilihan: sejauh mana kita harus mengikuti arus, dan kapan kita harus berenang melawannya? Tidak ada jawaban yang mudah untuk pertanyaan ini. Konformitas total akan mematikan jiwa kita, sementara penolakan total terhadap semua kelaziman akan membuat kita terisolasi dan tidak efektif dalam masyarakat.
Kuncinya terletak pada kesadaran. Langkah pertama adalah mengenali kelaziman-kelaziman yang ada di sekitar kita, baik yang besar maupun yang kecil. Alih-alih menerimanya secara buta, kita bisa bertanya pada diri sendiri: Mengapa ini menjadi lajim? Apa fungsi yang dilayaninya? Apakah ini masih relevan dan bermanfaat? Apakah ini sejalan dengan nilai-nilai pribadi saya?
Dengan kesadaran ini, kita bisa membuat pilihan yang lebih bijaksana. Mungkin kita akan memilih untuk mengikuti kelaziman dalam hal-hal praktis, seperti mematuhi rambu lalu lintas atau etiket di tempat kerja, karena hal itu membuat hidup lebih mudah bagi semua orang. Namun, dalam hal-hal yang menyangkut ekspresi diri, kreativitas, atau prinsip moral, kita mungkin memilih untuk menempuh jalan kita sendiri, meskipun itu berarti menjadi "tidak lajim".
Menemukan keseimbangan ini adalah sebuah seni. Ini membutuhkan keberanian untuk menjadi diri sendiri, tetapi juga kerendahan hati untuk mengakui bahwa kita adalah bagian dari sebuah komunitas. Ini berarti menghormati kelaziman orang lain bahkan ketika kita tidak setuju, selama kelaziman itu tidak merugikan siapa pun. Ini juga berarti memiliki empati terhadap mereka yang berada di pinggiran, yang seringkali menjadi korban dari tekanan kelaziman.
Pada akhirnya, kelaziman bukanlah sesuatu yang statis. Ia adalah organisme hidup yang terus berubah, dibentuk oleh tindakan dan pilihan jutaan individu setiap hari. Setiap kali kita memilih untuk melakukan sesuatu secara berbeda, kita memberikan sedikit dorongan yang mungkin suatu hari nanti akan menggeser arah kelaziman itu sendiri. Kita bukan hanya produk dari kelaziman, tetapi juga arsiteknya.
Jadi, saat berikutnya kita menggunakan kata "lajim", marilah kita mengingat kompleksitas di baliknya. Mari kita hargai perannya dalam menciptakan ketertiban dan komunitas, tetapi juga tetap waspada terhadap potensinya untuk menekan dan menghambat. Dengan memahami hakikat kelaziman, kita dapat menavigasi dunia dengan lebih bijaksana, berkontribusi pada masyarakat dengan cara yang positif, sambil tetap setia pada keunikan diri kita sendiri.