Di tengah riuhnya dinamika kehidupan modern yang seringkali menuntut kita untuk fokus pada pencapaian individu, ada sebuah mutiara kearifan lokal dari Ranah Minang yang menawarkan perspektif berbeda. Sebuah falsafah yang mengajarkan keseimbangan, empati, dan harmoni dalam interaksi sosial. Falsafah itu terangkum dalam sebuah pepatah singkat namun sarat makna: "Lamak di awak, katuju di urang."
"Lamak di awak, katuju di urang."
(Enak bagi kita, disukai pula oleh orang lain)
Secara harfiah, kalimat ini berarti sesuatu yang terasa enak atau baik bagi diri kita, hendaknya juga disukai atau diterima dengan baik oleh orang lain. Namun, kedalaman maknanya jauh melampaui sekadar urusan selera atau kesenangan sesaat. Ia adalah kompas moral, panduan etiket, dan pilar dalam membangun hubungan yang sehat dan berkelanjutan, baik dalam skala personal, komunal, maupun profesional. Falsafah ini mengajak kita untuk tidak hanya memikirkan keuntungan dan kepuasan pribadi, tetapi juga mempertimbangkan dampak dari setiap tindakan dan perkataan kita terhadap lingkungan sekitar.
Membedah Dua Sisi Mata Uang: Awak dan Urang
Untuk memahami esensi falsafah ini secara utuh, kita perlu membedah kedua komponen utamanya: "lamak di awak" dan "katuju di urang". Keduanya bukanlah dua kutub yang berlawanan, melainkan dua sisi dari satu mata uang yang sama, yaitu kehidupan yang paripurna.
"Lamak di Awak" merepresentasikan kepentingan, kebutuhan, dan kebahagiaan individu. Ini adalah pengakuan bahwa setiap manusia memiliki hak untuk mencari apa yang baik bagi dirinya. Ini mencakup pemenuhan kebutuhan dasar, pengembangan diri, pencapaian aspirasi, dan penjagaan kesehatan mental serta fisik. Tanpa "lamak di awak", seseorang bisa kehilangan identitas, motivasi, dan arah hidup. Ia mungkin akan terus-menerus mengorbankan diri hingga kelelahan dan kehilangan jati dirinya. Falsafah ini tidak menentang kepentingan pribadi; sebaliknya, ia menjadikannya sebagai titik awal yang fundamental. Anda harus tahu apa yang baik untuk Anda sebelum bisa membagikan kebaikan itu kepada orang lain. Anda tidak bisa menuang dari cangkir yang kosong.
Di sisi lain, "Katuju di Urang" adalah cerminan dari kecerdasan sosial dan empati. "Urang" di sini merujuk pada orang lain, komunitas, atau masyarakat luas. Komponen ini mengingatkan kita bahwa manusia adalah makhluk sosial yang hidup berdampingan. Tindakan kita, sekecil apapun, akan menimbulkan riak yang memengaruhi orang lain. "Katuju di urang" berarti mempertimbangkan perasaan, kenyamanan, dan perspektif orang lain. Ini adalah tentang membangun jembatan, bukan tembok. Ini adalah tentang komunikasi yang santun, perilaku yang etis, dan kontribusi yang positif terhadap kolektif. Tanpa "katuju di urang", seseorang bisa menjadi egois, terisolasi, dan menciptakan konflik di mana pun ia berada. Kesuksesan yang diraih dengan cara merugikan orang lain adalah kesuksesan yang rapuh dan hampa.
Kegeniusan falsafah ini terletak pada bagaimana ia menyatukan kedua konsep tersebut. Ia menolak dikotomi antara egoisme dan altruisme. Ia mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati dan keberhasilan yang langgeng tercapai ketika apa yang baik untuk kita juga membawa kebaikan bagi orang lain. Ini adalah seni mencari titik temu, sebuah simfoni di mana melodi individu berpadu harmonis dengan orkestra sosial.
Aplikasi dalam Kehidupan Personal dan Keluarga
Dalam ranah paling personal, falsafah ini menjadi panduan yang sangat relevan. Hubungan, baik itu dengan pasangan, keluarga, maupun sahabat, adalah arena di mana keseimbangan ini terus-menerus diuji.
Dalam hubungan romantis, misalnya, "lamak di awak" bisa berarti memiliki waktu untuk diri sendiri, mengejar hobi, atau memiliki ruang pribadi. Ini penting untuk menjaga kewarasan dan identitas. Namun, hal ini harus diimbangi dengan "katuju di urang" (dalam hal ini, pasangan). Artinya, cara kita mengambil ruang pribadi itu harus dikomunikasikan dengan baik, tidak mengabaikan kebutuhan pasangan, dan tetap menunjukkan komitmen terhadap hubungan. Keputusan besar yang terasa "lamak" bagi satu pihak, seperti pindah kerja ke kota lain, harus didiskusikan dan dipertimbangkan dampaknya agar bisa "katuju" atau setidaknya bisa diterima oleh pasangan setelah melalui kompromi yang sehat.
Dalam dinamika keluarga, seorang anak yang ingin mengejar karier di bidang seni (lamak di awak) mungkin berhadapan dengan orang tua yang berharap ia menjadi dokter (keinginan orang tua). Falsafah ini tidak menyarankan untuk tunduk sepenuhnya atau memberontak secara membabi buta. Ia mendorong adanya dialog. Si anak bisa menjelaskan passion dan potensinya dengan cara yang santun, menunjukkan rencana yang matang, sehingga orang tua bisa memahami dan akhirnya "katuju" atau merestui pilihan tersebut. Sebaliknya, anak juga perlu mendengarkan kekhawatiran orang tua dan mencari cara untuk meredakannya. Ini adalah proses mencari win-win solution, di mana kebahagiaan individu tidak harus mengorbankan harmoni keluarga.
Bahkan dalam hal-hal sederhana seperti memilih menu makan malam keluarga atau destinasi liburan, prinsip ini berlaku. Tujuannya bukan agar semua orang mendapatkan persis apa yang mereka inginkan, melainkan agar semua orang merasa didengar, dihargai, dan pada akhirnya, keputusan yang diambil adalah yang paling sedikit menimbulkan ketidaknyamanan bagi semua pihak, sebuah kondisi yang "lamak" dan "katuju" secara kolektif.
Relevansi di Dunia Profesional dan Bisnis
Dunia kerja dan bisnis sering dianggap sebagai arena kompetisi yang keras. Namun, prinsip "lamak di awak, katuju di urang" justru bisa menjadi kunci sukses yang berkelanjutan dan beretika.
Seorang pemimpin yang menerapkan falsafah ini akan menciptakan lingkungan kerja yang positif. "Lamak di awak" bagi pemimpin adalah tercapainya target dan tujuan perusahaan. Namun, cara mencapainya haruslah "katuju di urang" (timnya). Ini berarti ia tidak akan memeras tenaga karyawannya hingga habis, melainkan memberikan apresiasi, memastikan kesejahteraan mereka, menyediakan ruang untuk berkembang, dan mendengarkan masukan. Hasilnya? Tim yang loyal, termotivasi, dan produktif. Kemenangan perusahaan menjadi kemenangan bersama, bukan kemenangan pemimpin atas bawahannya.
Dalam konteks bisnis dan produk, "lamak di awak" bagi perusahaan adalah keuntungan (profit). Namun, produk atau jasa yang ditawarkan harus "katuju di urang" (konsumen dan masyarakat). Ini melahirkan konsep bisnis yang etis. Produk yang dibuat tidak hanya laku, tetapi juga berkualitas, aman, dan memberikan solusi nyata bagi konsumen. Perusahaan tidak akan menggunakan bahan berbahaya atau melakukan praktik pemasaran yang menipu hanya demi keuntungan sesaat. Mereka memahami bahwa kepercayaan konsumen adalah aset jangka panjang yang jauh lebih berharga. Bisnis yang berkelanjutan adalah bisnis yang menciptakan nilai bagi dirinya sendiri sekaligus bagi pelanggannya.
Dalam kerja tim, seorang anggota tim yang brilian (lamak di awak) harus mampu berkolaborasi dan menyampaikan idenya dengan cara yang bisa diterima dan dipahami oleh rekan-rekannya (katuju di urang). Kehebatan individu tidak akan berarti jika ia tidak bisa bersinergi dengan tim. Sebaliknya, ia harus mampu mengangkat performa tim secara keseluruhan, bukan hanya menonjolkan diri sendiri. Inilah esensi dari kolaborasi yang efektif.
Menavigasi Kehidupan Bermasyarakat
Falsafah ini adalah fondasi dari kehidupan komunal yang rukun dan damai. Di tingkat masyarakat, ia termanifestasi dalam etika bertetangga, tanggung jawab sosial, dan partisipasi sipil.
Contoh paling sederhana adalah dalam kehidupan bertetangga. Merenovasi rumah tentu "lamak di awak" karena membuat hunian lebih nyaman. Namun, agar "katuju di urang", prosesnya harus mempertimbangkan tetangga. Beri tahu mereka sebelumnya, hindari bekerja di jam-jam istirahat, dan pastikan material bangunan tidak mengganggu akses jalan umum. Begitu pula saat mengadakan acara di rumah. Merayakan momen bahagia itu "lamak", tapi pastikan volume musik tidak mengganggu tetangga yang sedang beristirahat agar tetap "katuju".
Dalam skala yang lebih besar, prinsip ini menyentuh isu-isu lingkungan. Membangun pabrik itu "lamak" bagi ekonomi, tetapi agar "katuju", pabrik tersebut tidak boleh mencemari lingkungan yang menjadi sumber kehidupan masyarakat sekitar. Pembangunan haruslah berkelanjutan, mempertimbangkan dampak ekologis dan sosial, bukan sekadar eksploitasi sumber daya.
Kebebasan berekspresi adalah hak yang "lamak". Namun, kebebasan itu datang dengan tanggung jawab. Ujaran kita haruslah "katuju di urang" dalam artian tidak menyebarkan kebencian, hoaks, atau menyinggung SARA. Falsafah ini mengajarkan bahwa hak individu selalu beririsan dengan hak komunal. Kebebasan kita berakhir di mana kebebasan orang lain dimulai. Ini adalah resep untuk toleransi dan kerukunan dalam masyarakat yang majemuk.
Tantangan di Era Digital
Di zaman media sosial, di mana interaksi seringkali terjadi tanpa tatap muka dan batas antara pribadi dan publik semakin kabur, falsafah "lamak di awak, katuju di urang" menjadi semakin krusial, sekaligus semakin menantang untuk diterapkan.
Mengekspresikan diri dan membagikan pencapaian di media sosial bisa menjadi hal yang "lamak", memberikan kepuasan dan validasi. Namun, kita perlu peka bagaimana konten tersebut diterima oleh audiens kita agar "katuju". Apakah kita membagikan kebahagiaan untuk menginspirasi, atau untuk pamer yang justru menimbulkan iri hati? Apakah kritik yang kita sampaikan konstruktif, atau sekadar hujatan yang menyakitkan? "Lamak di awak" saat meluapkan emosi di kolom komentar bisa berakibat fatal jika menyakiti orang lain dan merusak reputasi kita sendiri. Berpikir sebelum mengunggah adalah bentuk modern dari falsafah ini.
Privasi juga menjadi isu penting. Mengunggah foto bersama teman-teman mungkin "lamak" bagi kita, tapi apakah kita sudah meminta izin mereka? Apakah mereka nyaman foto tersebut menjadi konsumsi publik? "Katuju di urang" dalam konteks ini berarti menghormati privasi dan persetujuan orang lain di ruang digital.
Falsafah ini mengajarkan etiket digital: berkomunikasi dengan santun, berbagi informasi yang bermanfaat, menghargai perbedaan pendapat tanpa harus menyerang personal, dan membangun komunitas online yang positif. Ia mengingatkan kita bahwa di balik setiap akun dan avatar, ada manusia dengan perasaan yang nyata.
Menjadi Pribadi yang Harmonis
Menginternalisasi falsafah "lamak di awak, katuju di urang" bukanlah tentang menjadi seorang people-pleaser yang kehilangan prinsip. Justru sebaliknya, ini adalah tentang memiliki prinsip yang kuat tentang keseimbangan dan empati. Ini adalah sebuah proses pembelajaran seumur hidup yang melibatkan beberapa elemen kunci:
- Kesadaran Diri (Self-Awareness): Langkah pertama adalah benar-benar memahami apa yang "lamak" bagi diri kita. Apa nilai-nilai kita? Apa tujuan hidup kita? Apa batasan-batasan kita? Tanpa pemahaman diri yang kuat, kita akan mudah terombang-ambing oleh ekspektasi orang lain.
- Empati: Kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi orang lain. Sebelum berbicara atau bertindak, coba jeda sejenak dan bertanya, "Jika saya berada di posisinya, bagaimana perasaan saya? Apa dampak dari tindakan ini bagi mereka?"
- Komunikasi Efektif: Banyak konflik terjadi bukan karena niat yang buruk, tetapi karena komunikasi yang buruk. Belajar menyampaikan kebutuhan dan keinginan kita (sisi "lamak di awak") dengan cara yang jelas, jujur, namun tetap santun dan menghargai (sisi "katuju di urang").
- Fleksibilitas dan Kompromi: Kehidupan tidak selalu hitam dan putih. Ada kalanya kita perlu sedikit menyesuaikan keinginan kita untuk kebaikan bersama. Kemampuan untuk mencari jalan tengah adalah sebuah kekuatan, bukan kelemahan.
- Keberanian yang Beretika: Ada saatnya apa yang kita yakini benar ("lamak di awak") mungkin tidak populer atau tidak "katuju" oleh mayoritas. Dalam situasi ini, falsafah ini tidak menyuruh kita untuk bungkam, tetapi untuk menyuarakan kebenaran itu dengan cara yang bijaksana, argumentatif, dan tidak provokatif.
Pada akhirnya, "lamak di awak, katuju di urang" adalah sebuah undangan untuk hidup secara lebih sadar, lebih terkoneksi, dan lebih utuh. Ia mengajarkan bahwa kebahagiaan pribadi tidak terpisah dari kebahagiaan komunal. Kesuksesan kita menjadi lebih bermakna ketika ia juga mengangkat orang-orang di sekitar kita. Ini adalah jalan menuju kehidupan yang tidak hanya berhasil, tetapi juga berkah. Sebuah kehidupan di mana kehadiran kita membawa rasa "lamak" bagi diri sendiri dan disambut dengan "katuju" oleh dunia.