Di antara kekayaan budaya Nusantara yang tak terhitung jumlahnya, terdapat sebuah warisan seni rupa tekstil yang menyimpan kedalaman filosofis, ekologis, dan spiritual yang luar biasa: Lansai. Istilah Lansai merujuk pada sebuah teknik tenun tradisional yang sangat spesifik, sering kali dijumpai di kantong-kantong komunitas adat di pedalaman pulau-pulau besar. Lebih dari sekadar sehelai kain, Lansai adalah narasi visual, rekaman sejarah hidup, serta manifestasi dari harmoni yang dijaga ketat antara manusia, alam, dan leluhur. Kain Lansai bukan hanya produk material, melainkan sebuah teks yang ditenun, mengandung petunjuk tentang etika sosial, sistem kepercayaan, dan kearifan lokal yang abadi.
Keagungan Lansai terletak pada prosesnya yang rumit dan tak tergesa-gesa. Proses ini menuntut kesabaran tingkat tinggi, keahlian yang diwariskan secara lisan dan praktik turun-temurun, serta penguasaan penuh terhadap material alam. Setiap tahapan, mulai dari pemilihan serat hingga penyelesaian akhir, dianggap sakral. Dalam tradisi beberapa komunitas, sehelai kain Lansai sempurna dapat membutuhkan waktu hingga bertahun-tahun untuk diselesaikan, menjadikannya benda pusaka yang tak ternilai harganya.
Artikel ini akan menelusuri secara komprehensif seluruh dimensi dari Lansai, membongkar selubung makna di balik motif-motifnya yang kompleks, memahami detail teknis dari proses pembuatannya yang epik, serta meninjau peran vitalnya dalam ekologi dan keberlanjutan budaya.
Secara etimologi, kata Lansai bervariasi maknanya tergantung dialek sub-etnis yang menggunakannya. Namun, pada intinya, Lansai selalu merujuk pada proses yang melibatkan 'simpul', 'ikat', dan 'pembukaan'. Ini menunjukkan sifatnya yang memerlukan manipulasi benang sebelum tenun dilakukan. Dalam konteks budaya tekstil, Lansai didefinisikan sebagai tenun ikat ganda (meski teknik ikat lungsi dan pakan juga sering digunakan sebagai aksen) yang menggunakan serat alami yang diolah dari tumbuhan endemik hutan hujan tropis. Kain ini memiliki nilai spiritual yang jauh melampaui nilai ekonominya.
Bagi para penenun, yang mayoritas adalah perempuan, Lansai adalah kitab suci yang diwujudkan dalam serat. Setiap benang lusi (benang memanjang) dan pakan (benang melintang) mewakili perjalanan waktu, ikatan kekerabatan, dan garis keturunan. Proses mengikat benang sebelum pewarnaan (teknik ikat) adalah metafora dari kesulitan hidup, di mana bagian yang diikat akan menolak warna, melambangkan perlindungan spiritual dari pengaruh buruk. Ketika ikatan dibuka, pola-pola cemerlang muncul, merepresentasikan keindahan yang lahir dari kesulitan dan ketahanan.
Filosofi utama Lansai berkisar pada konsep keseimbangan (keselarasan) dan penghargaan terhadap alam (tanggung jawab ekologis). Tidak ada satu pun material atau pigmen yang digunakan yang diperoleh secara merusak lingkungan. Pengambilan serat, pewarna, dan bahkan air untuk mencuci kain harus melalui ritual khusus, memastikan bahwa alam tidak hanya memberikan, tetapi juga menerima rasa hormat yang setara dari manusia. Keseimbangan ini tercermin dalam motifnya yang sering kali simetris dan berulang, menyimbolkan siklus kehidupan yang tak pernah putus: kelahiran, pertumbuhan, kematian, dan regenerasi.
Keunikan Lansai bermula dari serat yang dipilih. Berbeda dengan tenun modern yang mengandalkan kapas atau sutra impor, Lansai otentik harus ditenun dari serat lokal. Pemilihan material ini bukan hanya masalah tradisi, tetapi juga adaptasi ekologis yang cerdas, memastikan daya tahan dan keunikan tekstur yang tidak dapat ditiru.
Serat yang paling sering digunakan dalam Lansai dikenal sebagai *Serat Jelai Hutan* (nama lokal yang spesifik), yang berasal dari batang tanaman sejenis rami liar. Proses pengambilan serat ini sangat melelahkan dan harus dilakukan pada fase bulan tertentu, yang diyakini mempengaruhi kekuatan tarik serat.
Warna dalam Lansai adalah bahasa. Tidak ada warna yang digunakan sembarangan. Setiap pigmen berasal dari sumber daya alam yang diproses melalui fermentasi, perebusan, dan pencampuran yang membutuhkan keahlian kimia alami tingkat tinggi. Resep pewarna seringkali dirahasiakan dan hanya diwariskan kepada pewaris tenun. Beberapa sumber warna utama meliputi:
Pewarnaan ini bukan sekadar tugas teknis; ini adalah ritual. Penenun harus dalam keadaan suci, dan biasanya ada larangan sosial tertentu yang harus dipatuhi selama proses pewarnaan agar pigmen dapat "menerima" roh penenun dan menyatu dengan serat.
Bagian inilah yang mendefinisikan mengapa Lansai memiliki nilai yang sangat tinggi. Proses pembuatannya sangat panjang, sistematis, dan melibatkan serangkaian ritual yang menjaga kualitas dan makna spiritual kain. Proses ini dapat dibagi menjadi tiga fase besar: Persiapan Serat dan Pengikatan, Pewarnaan dan Fiksasi, serta Penenunan itu sendiri.
Setelah serat kering dan bersih, ia dipintal menjadi benang. Pemintalan dilakukan secara manual menggunakan alat pemintal tradisional. Ketelitian sangat penting; benang harus memiliki ketebalan yang merata sepanjang ribuan meter. Kesalahan sedikit pun dalam ketebalan akan mengganggu motif ikat nantinya. Proses ini dilakukan dalam keheningan, seringkali di malam hari, untuk menjaga fokus.
Benang yang telah dipintal kemudian direntangkan pada alat penegang yang disebut *Rahang Lansai*. Benang lusi (vertikal) dihitung dengan sangat presisi. Untuk satu lembar Lansai berukuran standar (sekitar 2 x 1,5 meter), jumlah benang lusi bisa mencapai 5.000 hingga 8.000 helai. Penghitungan ini sering kali dilakukan dengan nyanyian ritual agar tidak terjadi kekeliruan, karena satu benang yang salah dapat merusak seluruh pola.
Motif Lansai tidak digambar; ia dihafal dan dibayangkan. Penenun ahli merancang pola berdasarkan pesanan, fungsi kain, atau tradisi klan. Mereka menentukan bagian mana dari benang yang harus diwarnai dan bagian mana yang harus dipertahankan warnanya. Perancangan ini adalah pekerjaan intelektual yang membutuhkan pemahaman mendalam tentang matematika tenun.
Ini adalah tahap ikat (resist-dyeing) yang sebenarnya. Ribuan ikatan dibuat pada benang lusi dan/atau pakan menggunakan tali rafia alam atau serat daun pisang yang kuat. Ikatan harus sangat kencang dan presisi. Jika ikatan longgar 1 milimeter saja, pewarna akan merembes, menghasilkan motif yang kabur. Untuk Lansai ikat ganda, proses ini harus dilakukan dua kali: sekali pada lusi dan sekali pada pakan, yang melipatgandakan kerumitan dan waktu pengerjaan.
Tahap Ngebat ini merupakan pekerjaan yang paling memakan waktu. Seorang penenun muda mungkin membutuhkan enam bulan hanya untuk menyelesaikan pengikatan pada benang lusi untuk satu lembar kain Lansai berukuran sedang. Sementara itu, kain Lansai pusaka dengan motif paling rumit bisa membutuhkan waktu satu tahun atau lebih hanya untuk fase pengikatan awal, sebelum pewarnaan dimulai.
Benang yang sudah diikat dicelupkan ke dalam bak pewarna dasar, biasanya biru dari nila. Pencelupan dilakukan berulang kali (kadang lebih dari 20 kali) selama beberapa hari atau minggu hingga intensitas warna yang diinginkan tercapai. Setiap pencelupan harus diikuti dengan pengeringan sempurna. Konsistensi suhu dan kualitas pewarna sangat dijaga, seringkali dengan menambahkan ramuan khusus untuk 'membangkitkan' warna.
Setelah pewarnaan pertama, benang dikeringkan di tempat teduh. Proses pengukuhan (fiksasi) warna dilakukan dengan merendam benang dalam campuran air lumpur khusus yang kaya mineral atau air rebusan daun tertentu. Ini memastikan warna tidak akan luntur meski dicuci berkali-kali. Ritual ini melambangkan pengukuhan tekad atau janji.
Ikatan yang menahan warna dasar dibuka sebagian. Hanya ikatan yang tidak memerlukan pewarnaan kedua (misalnya, bagian yang harus tetap putih atau menjadi warna dasar) yang dibuka. Ikatan yang melindungi area untuk warna merah dan kuning tetap dipertahankan.
Area yang sebelumnya terbuka dan telah menyerap warna kini ditutup kembali. Pada saat yang sama, area baru diikat untuk melindungi warna kedua atau ketiga. Proses ini sangat membutuhkan ketelitian visual karena penenun harus membayangkan bagaimana kombinasi warna akan membentuk motif akhir. Kesalahan di sini adalah kesalahan permanen.
Benang dicelupkan ke pewarna sekunder, biasanya merah dari mengkudu. Karena merah adalah warna yang sulit menembus, proses ini adalah yang terlama dan terberat. Benang dapat direndam, diangkat, dan direndam lagi selama berbulan-bulan. Setelah merah selesai, mungkin ada pencelupan ketiga untuk warna aksen kuning atau hijau. Setiap lapisan warna menambah kedalaman dan kompleksitas visual pada Lansai.
Rincian mendalam pada fase B ini menunjukkan investasi waktu dan emosi yang tak tertandingi. Setiap kali benang diangkat dari bak pewarna, terdapat momen harapan dan doa. Kesalahan di fase ini berarti setidaknya satu tahun kerja keras dan penantian telah sia-sia.
Setelah semua ikatan dibuka, benang lusi disusun kembali pada alat tenun. Benang-benang yang berwarna-warni ini kini memamerkan pola-pola ikat yang rumit. Proses penataan ini kritis, memastikan setiap helai benang lusi berada pada posisi yang benar sesuai urutan pola yang dirancang. Proses ini sering dibantu oleh beberapa orang karena panjang benang lusi mencapai puluhan meter.
Lansai ditenun menggunakan alat tenun gedog (backstrap loom) atau alat tenun bingkai tradisional yang sederhana. Alat tenun gedog dipilih karena memungkinkan penenun merasakan setiap serat, menjalin hubungan fisik dan spiritual dengan karyanya. Ketegangan benang dipertahankan oleh berat tubuh penenun itu sendiri.
Penghubungan benang lusi dengan benang pakan dilakukan sehelai demi sehelai. Jika Lansai yang dibuat adalah ikat ganda, penenun harus memastikan bahwa pola ikat pada lusi bertemu sempurna dengan pola ikat pada pakan. Presisi inilah yang membuat Lansai amat langka. Hanya penenun yang telah mencapai tingkat 'master' yang berani mencoba ikat ganda. Kecepatan menenun sangat lambat, hanya beberapa sentimeter per hari, untuk menjaga ketegangan, kerapatan, dan keselarasan motif.
Saat menenun, penenun seringkali menyanyikan lagu-lagu kuno atau melafalkan mantra perlindungan, yang diyakini dapat ‘memasukkan’ kekuatan spiritual dan keberuntungan ke dalam kain. Sehelai Lansai dengan kualitas tertinggi dapat memakan waktu satu hingga dua tahun proses tenun murni, setelah semua persiapan dan pewarnaan yang memakan waktu minimal tiga tahun.
Motif dalam Lansai bukanlah sekadar hiasan; mereka adalah sistem penulisan yang dibaca oleh komunitas. Setiap pola memiliki nama, makna, dan fungsi sosial yang jelas. Penggunaan motif tertentu hanya diperbolehkan oleh klan atau individu dengan status sosial tertentu.
Representasi hewan sering digunakan sebagai simbol pelindung atau manifestasi arwah leluhur. Motif *Naga Pembawa Hujan* melambangkan kesuburan dan kekuasaan, dan biasanya hanya dikenakan oleh pemimpin adat atau keturunan bangsawan tertinggi. Sementara motif *Burung Enggang* (Rangkong) melambangkan alam atas, kebebasan, dan transisi spiritual, sering digunakan dalam upacara kematian atau penyucian.
Detail pada motif fauna ini sangat realistis namun juga digayakan, menunjukkan pemahaman mendalam penenun tentang anatomi dan peran hewan tersebut dalam ekosistem. Misalnya, motif Naga harus memiliki sisik yang terwakili oleh simpul-simpul ikat yang sangat kecil, menunjukkan detail yang mustahil tanpa fokus total dari penenun.
Pola-pola tumbuhan melambangkan pertumbuhan, kelangsungan hidup, dan koneksi ke bumi. Motif *Pohon Kehidupan* (Batang Garing) adalah yang paling umum namun paling krusial, berfungsi sebagai jembatan antara dunia bawah, tengah (manusia), dan atas. Motif ini selalu ditempatkan di bagian tengah kain dan harus terikat dengan warna yang stabil dan tahan lama.
Motif flora juga mencakup representasi akar, daun, dan bunga yang spesifik, yang digunakan untuk upacara adat seperti pernikahan. Kain Lansai dengan motif bunga tertentu hanya boleh dikenakan oleh pengantin perempuan, melambangkan harapan akan keturunan yang subur dan ikatan keluarga yang kuat.
Motif geometris adalah yang paling abstrak dan seringkali paling kuno. Pola-pola seperti *Tangga Langit*, *Pusaran Air*, atau *Bintang Sembilan* mewakili konsep waktu, ruang, dan interaksi antara elemen-elemen alam semesta. Pengulangan pola geometris ini bukan hanya estetika, melainkan teknik meditasi visual bagi penenun, memastikan benang tetap teratur dan pikiran tetap jernih.
Setiap motif geometris memerlukan teknik pengikatan yang sangat rumit. Misalnya, untuk menciptakan pola 'Pusaran Air' yang berliku-liku, penenun harus melakukan pengikatan benang pada sudut yang tidak konvensional, membutuhkan koordinasi tangan dan mata yang ekstrem.
Lansai adalah penanda identitas. Dalam masyarakat tradisional, kain ini berfungsi sebagai:
Oleh karena itu, penenun Lansai tidak sekadar pengrajin; mereka adalah sejarawan, filsuf, dan penyimpan memori komunal. Keahlian mereka dihargai setinggi-tingginya, dan mereka memegang posisi penting dalam struktur sosial komunitas.
Keberlanjutan Lansai menghadapi tekanan besar dari modernisasi, perubahan ekologi, dan tuntutan pasar global. Melestarikan Lansai berarti tidak hanya menyelamatkan tekniknya, tetapi juga melindungi ekosistem dan filosofi di baliknya.
Ancaman terbesar bagi Lansai adalah faktor waktu dan kurangnya minat generasi muda. Dalam masyarakat modern yang menuntut efisiensi, proses pembuatan Lansai yang memakan waktu tiga hingga lima tahun dianggap tidak realistis secara ekonomi. Generasi muda beralih ke pekerjaan yang lebih cepat menghasilkan uang. Pengetahuan tentang pengikatan yang rumit, resep pewarna alami, dan pemahaman filosofis motif berisiko punah bersama para penenun tua.
Untuk menanggapi ini, berbagai inisiatif konservasi telah didirikan. Program-program ini berfokus pada dokumentasi menyeluruh dari setiap tahap pembuatan (termasuk rekaman ritual dan nyanyian), serta pendirian sekolah tenun khusus yang mensubsidi waktu belajar para penenun muda. Penting untuk dicatat bahwa proses pembelajaran seorang penenun Lansai sejati memakan waktu minimal 15 hingga 20 tahun, setara dengan gelar doktoral dalam seni rupa terapan.
Kualitas Lansai bergantung pada ketersediaan serat Jelai Hutan dan tanaman pewarna yang murni. Deforestasi dan perubahan fungsi lahan mengancam sumber daya ini. Ketika hutan berkurang, kualitas air juga menurun, yang secara langsung mempengaruhi proses perendaman dan pewarnaan—sebab pewarna alami sangat sensitif terhadap polusi dan pH air.
Solusi konservasi di sini harus berbasis ekologi. Beberapa komunitas telah menerapkan sistem hutan adat yang dilindungi secara ketat, di mana hanya pohon-pohon tertentu yang boleh dipanen untuk kebutuhan Lansai. Hal ini menciptakan simbiosis: masyarakat melindungi hutan untuk serat, dan serat memastikan kelangsungan hidup warisan budaya mereka.
Tingginya permintaan terhadap tekstil etnik telah memicu munculnya Lansai palsu. Produk tiruan sering menggunakan serat kapas atau rayon, pewarna kimia, dan diproses dengan mesin, meniru pola Lansai namun kehilangan seluruh nilai spiritual dan teknisnya. Kain-kain ini dijual dengan harga rendah, mendistorsi pemahaman publik tentang Lansai otentik.
Lansai sejati, yang ditenun tangan dengan pewarna alam, memiliki ciri khas yang tak tertandingi: aroma khas tanah dan rempah dari pewarna alami, tekstur benang yang tidak rata, dan pola ikat yang menunjukkan sedikit 'kabur' (efek bleeding) yang hanya bisa terjadi pada proses ikat tradisional—sebuah tanda otentisitas dan keindahan unik.
Meskipun menghadapi tantangan yang masif, Lansai memiliki potensi untuk bertahan melalui integrasi yang bijak dengan dunia modern. Bukan sebagai produk massal, tetapi sebagai mahakarya seni yang sangat eksklusif dan bernilai tinggi.
Beberapa penenun master Lansai kini mulai berkolaborasi dengan desainer mode dan seniman kontemporer, menciptakan produk yang lebih kecil (seperti syal atau aksen pada busana) yang masih menggunakan teknik dan material Lansai, namun lebih dapat diakses oleh pasar. Inovasi ini membantu menopang ekonomi penenun, memungkinkan mereka terus membiayai pembuatan Lansai pusaka yang memakan waktu lama.
Selain itu, pengembangan teknologi dokumentasi digital, seperti pemetaan pola Lansai ke dalam basis data digital (sebagai catatan teknis dan visual), membantu menjamin bahwa meskipun tradisi lisan menghadapi ancaman, pengetahuan teknis yang kompleks tetap tersimpan bagi generasi mendatang.
Pengakuan internasional dan lokal terhadap Lansai sebagai Warisan Budaya Takbenda sangat penting. Program edukasi harus ditekankan untuk mengajarkan kepada masyarakat umum dan wisatawan bahwa ketika mereka membeli sepotong Lansai otentik, mereka tidak hanya membeli kain, melainkan berinvestasi dalam konservasi lima tahun kerja keras, sebuah filosofi ekologis, dan kelangsungan hidup komunitas adat.
Keberadaan Lansai adalah bukti nyata dari kecerdasan budaya Indonesia. Ia menunjukkan bahwa seni rupa tekstil dapat menjadi lebih dari sekadar pakaian; ia adalah identitas, spiritualitas, dan peta jalan menuju kehidupan yang selaras dengan alam. Upaya kolektif untuk memahami dan menghargai kerumitan yang tak tertandingi dalam setiap jalinan benangnya adalah kunci untuk memastikan warisan agung ini terus ditenun untuk generasi yang akan datang.
Setiap helaian Lansai yang tersisa adalah seruan untuk kesabaran, seruan untuk menghargai yang lambat dan yang sulit, dan seruan untuk kembali pada akar kearifan ekologis yang telah dijaga oleh leluhur selama berabad-abad. Tenun Lansai adalah simfoni benang dan jiwa, sebuah perayaan abadi atas keindahan yang lahir dari ketekunan dan ikatan yang tak terputus antara manusia dan alam semesta.
***
Untuk memahami kedalaman teknis Lansai, perlu diuraikan secara spesifik teknik ikat ganda, yang merupakan puncak dari keahlian menenun tradisional dan sangat jarang ditemui di dunia. Teknik ini menuntut penguasaan tiga dimensi—horizontal (pakan), vertikal (lusi), dan kedalaman (pewarnaan)—secara simultan.
Berbeda dengan tenun ikat tunggal (di mana hanya lusi atau pakan yang diikat), Lansai ikat ganda (atau sering disebut *doppelt ikatan*) mengharuskan pola yang diikat pada lusi (benang memanjang) dan pola yang diikat pada pakan (benang melintang) benar-benar sinkron ketika keduanya ditenun. Jika salah satu benang meleset, pola tidak akan terbentuk, melainkan akan menghasilkan mosaik yang kacau.
1. **Penentuan Titik Koordinat:** Sebelum pengikatan dimulai, penenun harus membuat perhitungan matematis yang sangat detail, menentukan titik-titik di mana lusi dan pakan akan berpotongan untuk menghasilkan bentuk motif yang diinginkan. Ini adalah perhitungan tanpa kalkulator, murni berdasarkan memori visual dan pengalaman bertahun-tahun.
2. **Pengikatan Berlapis:** Lusi dan pakan diikat secara terpisah, mengikuti skema pola yang sama. Karena benang pakan jauh lebih pendek daripada lusi, pengikatan pakan harus jauh lebih rapat dan presisi. Kesalahan satu milimeter pada pakan dapat berarti pergeseran sentimeter pada pola lusi.
3. **Pencelupan Terpisah:** Kedua set benang dicelupkan ke pewarna secara terpisah, memastikan bahwa intensitas warna dan tingkat fiksasi sama. Jika salah satu set benang lebih gelap atau lebih terang, harmoni visual Lansai akan hilang.
Tahap penenunan akhir adalah proses yang paling mendebarkan. Benang lusi yang sudah diikat dipasang pada alat tenun. Benang pakan, juga sudah diikat, dimasukkan satu per satu melalui lusi.
1. **Sinkronisasi Visual:** Penenun harus secara visual menyesuaikan setiap kali benang pakan dimasukkan. Jika benang pakan tidak sejajar sempurna, penenun harus mengubah ketegangan atau posisi benang secara manual sebelum memukul pakan dengan sisir tenun (balida). Penyesuaian ini membutuhkan mata yang tajam dan sentuhan yang sangat halus.
2. **Peran Sisir Tenun (Balida):** Alat ini digunakan untuk memadatkan benang pakan. Dalam tenun Lansai, pukulan sisir tidak boleh terlalu kuat (yang akan merusak pola) atau terlalu lemah (yang akan menghasilkan kain yang tidak padat). Kekuatan pukulan sisir harus disesuaikan berdasarkan pola yang sedang dibentuk, menambah lapisan kerumitan akustik pada proses tenun.
Berkat teknik ikat ganda dan penggunaan serat alami Jelai Hutan yang sangat kuat, kain Lansai dikenal memiliki daya tahan luar biasa. Lansai tidak mudah robek, dan seiring waktu, warna alaminya akan menjadi lebih matang (patina) tanpa memudar. Lansai yang berumur ratusan tahun masih dapat berfungsi sebagai pakaian atau benda upacara, membuktikan keunggulan teknik konservasi material yang diterapkan para leluhur.
Tenun Lansai, dalam segala kerumitan teknis dan kedalaman spiritualnya, adalah monumen bergerak bagi kearifan Indonesia. Ia mengingatkan kita bahwa kesempurnaan sejati membutuhkan waktu, penghormatan, dan dedikasi total terhadap proses, melampaui sekadar hasil akhir.
***
Untuk menekankan kedalaman ilmu kimia alami dalam Lansai, kita akan memfokuskan pada proses mendapatkan warna merah, yang dianggap sebagai warna paling mulia dan paling sulit dipertahankan.
Warna merah Lansai didominasi oleh pigmen alizarin dan purpurin, yang terdapat pada akar Mengkudu (Morinda citrifolia). Prosesnya bukan sekadar merebus, melainkan sebuah fermentasi yang dikontrol ketat.
1. **Panen Khusus:** Hanya akar dari pohon mengkudu yang berusia minimal tiga tahun yang dipanen. Akar dicabut dengan hati-hati agar pohon utama tidak mati, melambangkan harapan akan regenerasi.
2. **Pengecilan dan Penjemuran:** Akar dicuci bersih, dipotong kecil-kecil, dan dijemur hingga kering sempurna. Proses ini menghilangkan kelembaban yang dapat mengganggu fermentasi dan meningkatkan konsentrasi pigmen.
3. **Mordant (Zat Pengikat Warna):** Agar warna merah menempel kuat pada serat Jelai Hutan yang berserat tebal, diperlukan mordant alami. Mordant utama Lansai seringkali berupa minyak jarak yang dicampur dengan abu hasil pembakaran sekam padi atau abu kayu keras tertentu. Campuran ini direndam selama beberapa minggu hingga menjadi pasta kental. Fungsi mordant adalah membuka pori-pori serat dan menciptakan ikatan molekuler antara serat dan pigmen alizarin.
Proses pencelupan merah dapat memakan waktu antara 6 bulan hingga satu tahun, tergantung intensitas warna yang diinginkan.
1. **Aplikasi Mordant:** Benang yang telah disiapkan direndam dan diurut dengan pasta mordant secara berulang. Setelah aplikasi, benang dikeringkan di bawah sinar matahari dan diembunkan pada malam hari—sebuah siklus yang diyakini membuat benang "lunak" dan siap menerima pigmen.
2. **Rebusan Mengkudu:** Akar mengkudu direbus dalam panci tanah liat besar, biasanya dengan tambahan daun kayu tertentu (seperti daun *ketapang*) untuk menstabilkan pH. Cairan rebusan ini tidak boleh mendidih terlalu kuat, karena dapat merusak pigmen. Suhu harus dijaga konstan selama berjam-jam.
3. **Pencelupan Berulang:** Benang dicelupkan ke dalam larutan rebusan, dan dipertahankan di sana selama beberapa hari. Proses pencelupan ini diulang 15 hingga 30 kali. Setiap kali benang diangkat, benang dicuci dengan air bersih dan dikeringkan di tempat yang tidak terkena sinar matahari langsung. Jika terkena sinar UV berlebihan, pigmen merah akan terdegradasi. Kehati-hatian dalam proses pengeringan ini menunjukkan disiplin luar biasa dari penenun.
4. **Pencelupan Terakhir dengan Lumpur Besi:** Untuk mendapatkan warna merah yang sangat tua dan cenderung marun (yang melambangkan darah dan kesuburan), benang dicelupkan sebentar ke dalam rendaman lumpur yang kaya zat besi. Zat besi berfungsi sebagai fiksatif tambahan yang menggelapkan warna. Proses ini sangat rentan, karena terlalu banyak zat besi dapat membuat serat rapuh.
Kekayaan warna merah dalam Lansai—mulai dari merah bata muda hingga merah marun yang dalam—adalah hasil dari variasi resep mordant dan jumlah pengulangan pencelupan. Lansai dengan warna merah paling dalam adalah yang paling mahal dan paling prestisius, karena mewakili jumlah waktu dan sumber daya yang paling banyak diinvestasikan.
Lansai adalah contoh sempurna dari model ekonomi sirkular yang dipraktikkan ribuan tahun sebelum konsep ini populer di dunia Barat. Etika ekologis ini memastikan bahwa produksi Lansai tidak meninggalkan jejak limbah yang berarti.
Setiap bagian dari proses Lansai dimanfaatkan:
Kepercayaan lokal menyatakan bahwa pakaian yang terbuat dari Lansai memiliki energi positif karena seluruh prosesnya dilakukan dengan pikiran yang jernih, bahan alami, dan tanpa polusi. Lansai diyakini dapat menangkal penyakit dan membawa keberuntungan, berbeda dengan tekstil yang diproduksi secara massal dengan mesin bising dan pewarna kimia yang dianggap membawa "energi dingin" atau negatif.
Prinsip Lansai adalah: *Kualitas Benang Mencerminkan Kualitas Jiwa*. Seorang penenun yang sedang dalam kondisi emosi buruk atau sakit tidak diizinkan menyentuh benang atau pewarna. Ini adalah mekanisme pengendalian mutu yang unik, memastikan bahwa setiap helai Lansai adalah produk dari ketenangan dan keharmonisan.
Konservasi Lansai hari ini adalah tindakan kritis untuk melindungi tidak hanya sebuah kerajinan tangan, tetapi juga seluruh sistem pengetahuan dan praktik hidup berkelanjutan yang menjadi tulang punggung identitas masyarakat adat di kepulauan Indonesia. Keindahan Lansai adalah keindahan dari kesabaran, kebenaran material, dan kebijaksanaan ekologis yang harus diwariskan.