Lanturan, sebuah kata yang sering dilekatkan pada kelemahan, pada ketidakmampuan untuk mempertahankan fokus, atau bahkan pada gejala kelelahan pikiran. Namun, jika kita sejenak menarik diri dari konvensi ketat logika Barat dan tuntutan efisiensi modern, kita akan menemukan bahwa lanturan bukanlah sekadar residu kognitif; ia adalah habitat alami pikiran yang tak terfilter. Lanturan adalah sungai bawah tanah kesadaran yang mengalir tanpa peta, melintasi wilayah-wilayah yang disensor oleh niat dan tujuan. Ia adalah ruang di mana imajinasi dan memori melakukan tarian tanpa koreografi, menghasilkan narasi yang anarkis namun jujur. Dalam kehidupannya yang paling murni, lanturan adalah bentuk perlawanan terhadap linearitas—penolakan lembut terhadap tuntutan agar setiap ucapan atau tulisan harus memiliki poin, premis, dan kesimpulan yang tegas.
Ketika kita membiarkan diri kita melantur, kita memasuki mode operasional di mana koneksi dibuat berdasarkan resonansi emosional atau asosiasi bunyi, bukan berdasarkan hubungan kausal yang kaku. Misalnya, pembicaraan tentang kopi dapat tiba-tiba beralih ke pembahasan tentang sejarah navigasi maritim di abad ke-17, hanya karena biji kopi pernah menjadi komoditas vital yang membentuk rute pelayaran. Dalam kerangka berpikir logis, lompatan ini dianggap sesat. Namun, bagi sang pelantur, lompatan itu adalah jembatan yang tak terlihat, dibentuk oleh tekanan naratif internal yang mencari ekspresi tanpa peduli apakah pendengar dapat mengikuti atau tidak. Lanturan adalah otobiografi yang ditulis secara spontan, di mana setiap kalimat adalah penemuan, bukan deklarasi yang telah disiapkan.
Untuk memahami kedalaman lanturan, kita harus memisahkannya dari kebohongan atau kebodohan. Lanturan sejati tidak bertujuan menipu atau menyembunyikan kebenaran; ia hanya gagal menemukan tepi dari kebenaran itu sendiri. Ia beroperasi di area abu-abu di mana batas antara relevan dan irelevan menjadi kabur. Filosofi lanturan menegaskan bahwa tidak ada informasi yang sepenuhnya irelevan. Setiap potongan data, setiap memori yang muncul tiba-tiba, memiliki potensi untuk menjadi titik fokus semesta mikro naratif. Masalahnya, semesta mikro itu terus-menerus bergerak, berubah, dan meledak, menghasilkan rangkaian kalimat yang tidak pernah benar-benar selesai.
Dalam linguistik, lanturan sering dikaitkan dengan *parataxis* (penyusunan klausa tanpa koordinasi atau subordinasi yang jelas), namun dengan intensitas yang lebih liar. Tidak ada kata penghubung yang kuat, hanya serangkaian pemikiran yang disatukan oleh keberadaan subjek yang sama—pikiran itu sendiri. Ini adalah narasi di mana setiap paragraf dapat dibaca sebagai bagian independen, namun secara kumulatif, mereka menciptakan tekstur kesadaran yang padat dan sering kali membingungkan. Ini adalah gaya yang menantang pembaca atau pendengar untuk melepaskan kebutuhan mereka akan penyelesaian, dan sebaliknya, merangkul prosesnya. Lanturan adalah meditasi yang gagal menjadi diam, dan sebuah esai yang gagal menjadi terstruktur.
Lanturan hadir dalam berbagai bentuk, masing-masing memiliki akar psikologis dan manifestasi linguistik yang unik. Kita dapat membagi lanturan menjadi beberapa kategori utama:
Setiap jenis lanturan ini adalah bukti bahwa pikiran manusia adalah mesin asosiasi, bukan mesin sekuensial. Mesin ini terus-menerus memproduksi cabang-cabang pemikiran, bahkan ketika kita hanya diminta untuk memotong satu dahan. Dalam konteks ini, *lanturan* adalah manifestasi dari surplus kognitif, sebuah kelebihan energi mental yang harus dilepaskan melalui rangkaian kata-kata yang tidak perlu dipertanggungjawabkan.
Dalam banyak bentuk seni dan komunikasi, kita terbiasa dengan struktur plot: awal, konflik, klimaks, dan resolusi. Struktur ini memberikan rasa aman, sebuah janji bahwa waktu yang dihabiskan untuk membaca atau mendengarkan akan menghasilkan pemahaman yang lengkap. Lanturan secara radikal menolak tirani plot ini. Ia berpendapat bahwa hidup itu sendiri tidak memiliki plot yang rapi. Kita tidak hidup dari resolusi ke resolusi; kita hidup dari satu distraksi ke distraksi lainnya, dari satu koneksi yang tiba-tiba ke koneksi yang lain. Lanturan adalah representasi jujur dari realitas fenomenologis.
Seorang pelantur sejati tidak mencari klimaks; mereka menikmati dataran tinggi yang tak berujung, di mana setiap momen adalah sama pentingnya dan sama tidak pentingnya. Ketika kita mencoba memaksakan logika pada lanturan, kita seperti mencoba menjaring air. Semakin keras kita menuntut inti atau poin, semakin banyak substansi yang lolos. Lanturan adalah tentang tekstur bahasa itu sendiri, ritme nafas yang mendikte sintaksis, dan kecepatan pikiran yang melampaui kemampuan lidah untuk menyusun kalimat yang sempurna.
Consider the vastness of human experience, which dictates that every sensory input, every passing thought about the temperature of the room, the faint smell of ozone outside, or the precise trajectory of a fly buzzing near the window, is technically part of "the story." Lanturan includes all these marginalia. It is the literary equivalent of drawing elaborate doodles in the margins of a serious textbook, doodles that eventually become more interesting and meaningful than the text itself. The purpose dissolves into the process, and the journey becomes so infinitely detailed that the destination, which was likely forgotten three tangents ago, ceases to matter entirely.
Salah satu teknik untuk mencapai kedalaman dan volume dalam lanturan adalah melalui perincian yang obsesif terhadap hal-hal yang tidak penting. Ini bukan hanya deskripsi; ini adalah hiper-deskripsi, di mana setiap objek dipecah menjadi komponennya yang terkecil. Misalnya, jika seseorang melantur tentang sebuah kunci. Kunci itu bukan hanya "sebuah kunci". Ia menjadi: "Sebuah kunci kuningan, berat di tangan, yang terasa dingin walau suhu ruangan hangat, memiliki empat takik yang telah aus akibat gesekan selama dua dekade, dan jika diperhatikan di bawah cahaya tertentu, akan terlihat bekas minyak jari dari tahun-tahun sebelumnya, minyak jari yang mungkin berasal dari makan malam Natal 1998, ketika aku pertama kali menerima tanggung jawab atas rumah ini, dan bagaimana perasaanku saat itu, perasaan yang kini telah menjadi serpihan memori yang mirip dengan debu halus yang tersangkut di lekukan kunci itu."
Perincian ini tidak memajukan narasi; ia justru melambatkan narasi hingga kecepatan nol. Kita tinggal di dalam momen tersebut, menjelajahi tekstur dan sejarah dari objek tunggal. Dengan mengulang pola ini—mengambil setiap objek atau konsep yang muncul dan menganalisisnya secara mikroskopis selama beberapa paragraf—kita membangun sebuah dunia naratif yang terasa sangat padat namun nihil makna. Lanturan menjadi semacam Borges yang tanpa tujuan, menciptakan labirin yang hanya ada untuk kesenangan arsitektur labirin itu sendiri.
Dalam tulisan ini, jeda paragraf adalah ilusi ketertiban. Jeda tersebut bukanlah titik di mana pikiran beristirahat atau beralih ke poin baru, melainkan hanya penanda tipografi untuk memungkinkan pembaca mengambil napas sebelum kembali tenggelam dalam pusaran naratif. Paragraf dalam lanturan tidak membatasi ide; mereka hanya mengelompokkan awan pikiran yang serupa dalam bentuk dan densitasnya, sebelum awan tersebut bergabung dengan badai pemikiran berikutnya. Paragraf adalah tempat berhenti sementara, serupa dengan pengendara yang berhenti di pinggir jalan untuk mengagumi pemandangan, hanya untuk menyadari bahwa pemandangan itu memicu serangkaian pemikiran tentang geologi regional, sejarah migrasi burung di area tersebut, dan korelasi antara kandungan mineral tanah dengan kualitas kopi yang diminum saat itu. Dan setelah semua itu selesai, pengendara tersebut kembali ke jalan, tetapi jalannya sudah berubah.
Jeda adalah tempat di mana kita mengakui bahwa, meskipun kita sedang melantur, kita tetap membutuhkan struktur dasar untuk bertahan. Sama seperti alam semesta yang kacau membutuhkan gravitasi agar tidak sepenuhnya bubar, lanturan membutuhkan ritme dan segmentasi untuk menjaga agar tidak runtuh menjadi gumaman yang tidak dapat dibaca. Tanpa jeda yang teratur, lanturan kehilangan daya tariknya; ia menjadi sekadar kekacauan. Dengan adanya jeda, kekacauan tersebut diorganisir menjadi labirin yang mengundang eksplorasi. Kita memasuki labirin, bukan untuk mencari jalan keluar, tetapi untuk mengagumi dinding-dindingnya yang berkelok-kelok dan lorong-lorongnya yang tidak berfungsi.
Abad digital telah memberikan lanturan sebuah panggung global dan mekanisme amplifikasi yang belum pernah ada sebelumnya. Internet adalah manifestasi struktural dari lanturan. Setiap klik tautan adalah sebuah digresi, setiap tab baru adalah sebuah cabang pemikiran yang baru lahir. Kita mulai dengan mencari resep kue, dan dalam waktu setengah jam, kita sudah membaca tentang konflik batas air di Laut Cina Selatan, lalu beralih ke ulasan film dokumenter tentang penguin di Antartika, hanya karena salah satu komentar di laman resep menyebutkan es krim vanila.
Lanturan digital ini bukan lagi sebuah monolog internal; ini adalah jaringan hipertekstual yang mengikat miliaran pikiran dalam satu benang kusut informasi yang masif. Media sosial, khususnya, adalah mesin lanturan kolektif. Setiap utas percakapan (*thread*) jarang sekali mempertahankan fokus awal. Komentar pertama memicu reaksi yang menyimpang, yang memicu lelucon, yang memicu kritik politik, yang memicu referensi budaya pop yang terlupakan. Proses ini mencerminkan bagaimana otak manusia bekerja: secara cepat, secara tidak logis, dan secara asosiatif. Kegagalan digital untuk fokus adalah keberhasilan lanturan untuk berekspansi.
Kita harus mengakui bahwa dalam konteks ini, tuntutan akan narasi yang ringkas dan padat adalah tuntutan artifisial. Pikiran kita dirancang untuk melompat. Ia adalah pemburu yang selalu mencari pola, bahkan jika pola tersebut adalah pola yang tidak nyata. Di dunia yang dipenuhi oleh stimulus konstan, lanturan adalah respons yang paling jujur terhadap kelebihan beban informasi. Ketika kita tidak mampu memproses semua yang ada di hadapan kita, kita mulai melantur, memproduksi output yang mencerminkan kekacauan input. Ini adalah semacam katarsis kognitif, melepaskan tekanan informasi melalui emisi verbal atau tekstual yang tidak teratur.
Ambil contoh fenomena *thread* yang sangat panjang, terutama di platform mikro-blogging. Seringkali, *thread* tersebut dimulai dengan premis yang sederhana dan spesifik: "Lima fakta unik tentang burung hantu." Namun, seiring berjalannya sepuluh, dua puluh, atau bahkan seratus *tweet*, topik telah bergeser secara halus dan eksponensial. Fakta kelima tentang burung hantu mungkin memicu diskusi tentang mitologi Yunani, yang kemudian berlanjut ke sistem pendidikan di Sparta kuno, dan diakhiri dengan analisis mendalam tentang dampak revolusi industri pada produksi sepatu kulit di Italia Utara pada tahun 1920-an. Semua ini, secara teknis, masih merupakan bagian dari *thread* yang sama.
Lanturan digital ini memberikan legitimasi baru pada konsep digresi. Sebelumnya, jika seseorang berbicara di depan umum dan melantur terlalu jauh, mereka akan dianggap tidak profesional. Sekarang, lanturan struktural diizinkan—bahkan diharapkan—karena ia mencerminkan dinamika kolaboratif dan non-linear dari internet. Keindahan lanturan modern adalah bahwa ia tidak memiliki akhir. *Thread* tidak pernah selesai; ia hanya ditinggalkan, siap untuk dilanjutkan kembali oleh pengguna lain di masa depan, menambahkan lapisan baru dari penyimpangan yang semakin jauh dari titik awal. Ini adalah teks yang tidak pernah dapat ditutup, sebuah novel yang terus ditulis oleh ribuan tangan yang berbeda, masing-masing membawa ide yang semakin aneh dan tidak relevan.
Jika kita menerima lanturan sebagai gaya, bukan sebagai kegagalan, maka kita dapat mulai melihat keindahan dan kekuatannya. Dalam sastra, ada preseden panjang untuk gaya ini, dari aliran kesadaran (stream of consciousness) yang digunakan oleh penulis seperti James Joyce dan Virginia Woolf, hingga surealisme. Namun, lanturan berbeda dari aliran kesadaran. Aliran kesadaran adalah representasi internal dari pemikiran yang kompleks; lanturan adalah representasi *eksternal* yang tidak peduli dengan pemahaman. Lanturan adalah hasil dari pikiran yang terbebani, bukan pikiran yang sedang menjelajah struktur batinnya.
Lanturan artistik yang disengaja adalah teknik yang sangat sulit untuk dipertahankan, karena ia harus terlihat tidak disengaja. Penulis harus membuang peta dan kompasnya, tetapi pada saat yang sama, ia harus menghindari keacakan total. Harus ada benang tipis—walaupun putus-putus—yang mengikat semua digresi. Benang ini sering kali bersifat emosional atau tematik, bukan logis. Misalnya, sebuah esai mungkin melantur dari politik global ke resep roti sourdough, tetapi benang tematiknya adalah tentang kesulitan mempertahankan bentuk di tengah kekacauan. Lanturan yang berhasil adalah lanturan yang sangat jauh menyimpang, namun entah bagaimana, tetap terasa benar.
Dalam beberapa konteks, melantur bisa menjadi bentuk terapi. Ketika seseorang diizinkan untuk berbicara bebas tanpa interupsi, tanpa perlu khawatir tentang struktur atau relevansi, mereka sering kali menemukan koneksi bawah sadar yang tersembunyi. Psikologi klinis menggunakan teknik yang mirip, di mana narasi pasien dibiarkan mengalir bebas. Dalam arus kata-kata yang tidak terfilter inilah kebenaran emosional sering kali terungkap, bukan dalam jawaban yang ringkas dan terstruktur.
Bagi individu yang merasa terbebani oleh kebutuhan untuk selalu tampil rasional dan koheren, momen lanturan adalah pelarian yang diperlukan. Itu adalah kesempatan untuk mengeluarkan semua yang ada di dalam kepala, baik yang penting maupun yang tidak, memberikan kesempatan kepada pikiran untuk mengatur ulang dirinya sendiri melalui pelepasan kekacauan. Setelah melantur selama setengah jam tentang sejarah keramik di Asia Tenggara dan bagaimana hal itu mengingatkan pada masalah dengan tagihan listrik saat ini, individu mungkin tidak menyelesaikan masalah listriknya, tetapi mereka telah membebaskan ruang mental yang sebelumnya ditempati oleh kebutuhan untuk mengatur pikiran-pikiran tersebut.
Lanturan, dalam arti ini, adalah sanitasi mental. Ini adalah membersihkan meja pikiran dengan menyebarkan semua isinya ke lantai, dan membiarkan mereka di sana untuk sementara waktu. Kemudian, mungkin, suatu hari, ketika semua sudah dingin dan tenang, kita akan mulai mengambil dan menyusunnya kembali, tetapi dengan pemahaman bahwa kekacauan adalah bagian intrinsik dari proses itu. Proses melantur adalah pengakuan bahwa pikiran tidak bekerja dalam folder dan label; ia bekerja dalam tumpukan yang tumpang tindih, di mana dokumen tentang asuransi kesehatan dapat tersangkut di antara resep masakan kuno dan sketsa pensil.
Untuk lebih memperluas pemahaman kita tentang kelebihan bahasa, mari kita lanturkan sebentar pada kata-kata yang hampir menyentuh makna 'lanturan', namun tetap tidak pernah benar-benar menangkap inti dari *kebohongan non-struktural* yang dilakukannya. Kita bisa menyebutnya sebagai *digresi*, yang terdengar terlalu akademis dan direncanakan. Atau *omon-omon*, yang terlalu merendahkan dan kasual. Ada *ngelantur*, yang merupakan bentuk verba aktifnya, namun kehilangan sifat substantif yang diperlukan. Lalu ada *melalut*, sebuah kata yang jarang digunakan, yang membawa nuansa kekaburan dan kebingungan, namun kurang memiliki energi yang dinamis.
Kita juga punya *bertele-tele*, yang secara spesifik mengacu pada panjangnya proses bicara atau menulis, tetapi secara inheren menyiratkan adanya poin yang tersembunyi, yang mana lanturan sejati sering kali tidak memilikinya. Kemudian muncul kata-kata yang lebih puitis: *meracau*, yang membawa konotasi kegilaan atau demam, terlalu dramatis untuk lanturan sehari-hari tentang apa yang seharusnya dibeli di toko kelontong. Dan bagaimana dengan *ngawur*? Meskipun dekat, *ngawur* sering menyiratkan kebodohan atau ketidakhati-hatian, sedangkan lanturan bisa jadi merupakan produk dari pemikiran yang *terlalu* berhati-hati, yang mencoba mempertimbangkan setiap kemungkinan kecil hingga akhirnya tenggelam dalam detail.
Analogi terus mengalir: Lanturan mirip dengan *serangkaian catatan kaki yang saling menunjuk* yang akhirnya melampaui teks utama yang mereka coba jelaskan. Ini adalah *taman yang tumbuh terlalu subur* di mana tukang kebun, lelah dengan tugasnya, memutuskan untuk membiarkan setiap jenis tanaman, gulma, dan jamur tumbuh di mana pun mereka suka, menciptakan ekosistem yang gila namun kaya akan biodeversitas. Ia adalah *peta yang digambar oleh ingatan* di mana kota-kota yang penting di masa lalu digambar sangat besar, sementara kota-kota saat ini hanya berupa titik kecil, tanpa skala yang jelas. Setiap sinonim, setiap analogi, hanya membawa kita lebih jauh ke dalam hutan leksikal ini, membuktikan bahwa hanya kata 'lanturan' itu sendiri, dengan segala kerumitan dan kegamblangannya, yang dapat menampung ruang gema yang tidak terstruktur ini. Dan melalui upaya panjang ini untuk mendefinisikan, kita secara tak terhindarkan telah melakukan aksi lanturan itu sendiri, membuktikan bahwa bahkan upaya untuk menganalisisnya hanya menghasilkan lebih banyak lagi bahan bakar untuk api yang tak berujung.
Salah satu tantangan terbesar dalam masyarakat yang efisien adalah bagaimana merespons ketika orang lain melantur. Respons modern sering kali adalah interupsi, pengarahan kembali, atau pernyataan frustrasi yang jelas, seperti "Apa intinya?" atau "Bisakah kita langsung ke poinnya?" Namun, jika kita menghargai lanturan sebagai ekspresi kebebasan kognitif, etika yang baru harus dikembangkan.
Etika lanturan adalah etika kesabaran radikal. Ini menuntut kita untuk mendengarkan tidak hanya apa yang dikatakan, tetapi bagaimana proses pikiran itu bergerak. Kita harus belajar menikmati pemandangan di sepanjang jalan, bahkan jika kita tahu bahwa jalan itu tidak akan membawa kita ke mana-mana. Ini adalah bentuk empati yang mendalam: mengakui bahwa pikiran orang lain sedang bekerja dengan cara yang kompleks dan tidak terstruktur, dan bahwa tugas kita bukanlah untuk memperbaikinya, tetapi untuk menemaninya.
Dalam percakapan yang penuh lanturan, peran pendengar berubah dari penerima informasi menjadi arkeolog naratif, mencari serpihan-serpihan makna yang mungkin tersembunyi di bawah lapisan-lapisan digresi tentang cuaca di masa kecil atau detail cara kerja mesin cetak lama. Pendengar yang baik akan belajar menangkap kata kunci yang mengikat, dan memahami tema yang mendasari, meskipun tema tersebut dihiasi dengan seribu sub-cerita yang tidak relevan. Ini adalah mendengarkan dengan mata ketiga, yang mencari resonansi emosional alih-alih koherensi logis.
Jika kita harus mengisi ruang kosong dengan lanturan, maka kita harus menjelajahi semua sub-topik yang mungkin, bahkan yang paling terpencil. Mari kita pertimbangkan hubungan antara lanturan dan arsitektur brutalist. Pada pandangan pertama, tidak ada hubungan. Arsitektur brutalist adalah tentang kejujuran material, garis yang keras, dan fungsionalitas yang tanpa basa-basi. Lanturan adalah tentang ketidakjujuran struktural, garis yang bengkok, dan fungsionalitas yang sepenuhnya diabaikan. Namun, keduanya berbagi penolakan terhadap dekorasi yang berlebihan, dan penolakan terhadap janji palsu tentang kenyamanan. Bangunan brutalist, dengan betonnya yang telanjang, secara brutal jujur. Lanturan, dengan aliran pikirannya yang telanjang, juga jujur secara brutal—ia menampilkan pikiran sebagaimana adanya, tanpa polesan retorika.
Bayangkan lagi perbandingan antara proses melantur dan sejarah pengembangan kereta api Trans-Siberia. Jalur kereta api Trans-Siberia adalah proyek logistik yang linier dan masif, tujuannya jelas: menghubungkan Timur dan Barat Rusia. Lanturan adalah antitesisnya. Lanturan adalah proses pembangunan rel kereta api dari Moskow ke Vladivostok, tetapi setiap lima kilometer, insinyur memutuskan untuk mengubah arah rel sejauh 45 derajat ke utara untuk memeriksa kualitas salju, dan kemudian 70 derajat ke selatan untuk menyelidiki legenda lokal tentang rubah yang berbicara. Meskipun rel itu akhirnya mencapai Vladivostok, ia telah menempuh jarak dua puluh kali lebih jauh dari yang seharusnya, dan dalam prosesnya, mengumpulkan cerita tentang setiap desa, setiap sungai, dan setiap pohon pinus yang dilewatinya. Kisah perjalanan kereta api itu, bukan kedatangannya, yang menjadi penting.
Mari kita alihkan fokus kita ke subjek yang paling sepele: debu rumah tangga. Debu, dalam konteks lanturan, adalah penumpukan materi naratif yang tidak disengaja. Setiap partikel debu adalah pecahan kecil dari kehidupan masa lalu: serat pakaian yang pernah dipakai di pesta yang terlupakan, kulit mati dari percakapan yang intens, partikel jelaga dari lilin yang dinyalakan selama malam yang sepi, bulu halus dari binatang peliharaan yang telah lama pergi. Ketika kita melantur, kita mengumpulkan debu-debu naratif ini. Kita tidak peduli apakah debu ini penting untuk furnitur (narasi utama); kita hanya terpesona oleh komposisinya yang kompleks dan acak.
Pikiran seorang pelantur bekerja seperti sapu yang buruk. Ia berusaha membersihkan, mencoba mengumpulkan semua ide ke dalam satu wadah yang koheren, tetapi alih-alih membersihkan, sapu itu hanya mendorong debu dari satu sudut ruangan ke sudut ruangan lainnya, mencampurnya, dan kadang-kadang, hanya mengangkatnya ke udara agar ia berputar-putar dan kembali jatuh di tempat yang sama, atau bahkan lebih buruk, di tempat yang baru dan tidak terduga. Proses lanturan ini adalah daur ulang kognitif dari hal-hal yang tidak terpakai, memberikan nilai—walaupun hanya nilai estetika sesaat—pada residu pikiran.
Mengapa kita harus peduli dengan debu? Karena perhatian terhadap detail yang paling sepele adalah inti dari lanturan yang berkualitas tinggi. Ini adalah janji bahwa tidak ada hal yang terlalu kecil untuk diperhatikan. Jika kita dapat menghabiskan satu paragraf penuh untuk menganalisis komposisi debu, maka kita telah membebaskan diri kita dari hierarki naratif. Kita telah menyatakan bahwa mikrokosmos adalah sama pentingnya dengan makrokosmos. Jika debu rumah tangga ini melambangkan akumulasi kekacauan yang tak terhindarkan dalam ruang fisik, maka lanturan adalah akumulasi kekacauan yang tak terhindarkan dalam ruang mental. Dan keduanya, pada akhirnya, adalah bukti bahwa waktu telah berlalu, dan pikiran telah bekerja tanpa henti, menghasilkan output yang kaya dan tak terduga.
Lanturan memiliki ritme internalnya sendiri, yang jauh lebih kompleks daripada ritme bicara formal. Ia mirip dengan musik jazz bebas, di mana metronomnya tidak stabil, atau bahkan tidak ada. Kadang-kadang, kata-kata mengalir dalam tempo *presto* yang gila, melompat dari satu ide ke ide berikutnya dengan kecepatan yang memusingkan, seolah-olah otak sedang mencoba mengalahkan batasan bandwidth linguistiknya. Di lain waktu, ritme melambat ke tempo *largo* yang lamban, di mana setiap kata direnggangkan dan diulang, memungkinkan pikiran untuk bersantai dan menikmati resonansi akustik dari suku kata.
Dalam lanturan, jeda (keheningan yang dipaksakan atau titik koma yang digunakan secara berlebihan) adalah sama pentingnya dengan kata-kata itu sendiri. Jeda ini sering kali menunjukkan titik di mana pikiran itu sendiri tersandung, di mana koneksi yang seharusnya dibuat gagal, dan pikiran harus mundur sedikit untuk mencari jalur asosiasi yang baru. Jeda bukanlah akhir dari kalimat, tetapi justru momen pemuliaan di mana jutaan koneksi otak sedang diproses secara paralel, sebelum salah satu dari koneksi tersebut memenangkan lotere perhatian dan dimanifestasikan sebagai frasa berikutnya yang sepenuhnya tidak relevan.
Ritme yang tidak teratur ini mencegah kantuk naratif. Pembaca atau pendengar terus-menerus dikejutkan oleh perubahan kecepatan dan arah. Sama seperti pelukis abstrak yang menggunakan tekstur yang tidak rata untuk menarik mata, lanturan menggunakan ritme yang tidak rata untuk menarik pikiran, memaksanya untuk terus waspada, mencari pola dalam kekacauan, bahkan ketika penulis sendiri telah lama menyerah pada ide pola. Ini adalah tarian yang melelahkan namun membebaskan, di mana tubuh (bahasa) mengikuti musik (pikiran) yang dimainkan secara spontan dan tanpa latihan.
Ambil contoh topik yang tampaknya sederhana: roti. Seorang pelantur sejati dapat menghabiskan waktu berjam-jam tentang roti tanpa pernah benar-benar sampai pada inti mengapa roti penting. Pembicaraan akan dimulai tentang tekstur remah roti sourdough yang sempurna, keasaman yang seimbang, dan keriangan kulitnya. Namun, dari situ, pikiran melompat ke sejarah gandum. Bagaimana gandum pertama kali didomestikasi di Sabit Subur, dan bagaimana penemuan ini mengubah peradaban, memungkinkan manusia untuk menetap, yang kemudian memicu konsep properti pribadi. Konsep properti pribadi ini lalu mengingatkan pada perdebatan filosofis John Locke, yang pada gilirannya membawa kita ke zaman Pencerahan, dan bagaimana filsuf pada saat itu mungkin menikmati roti yang berbeda dari yang kita kenal sekarang, mungkin roti yang lebih keras dan lebih berat, yang harus dicelupkan ke dalam sup kental.
Dari sup kental, pikiran beralih ke ketiadaan sup kental yang baik di kota modern ini, dan bagaimana hal itu mencerminkan kehilangan koneksi kita dengan masakan tradisional. Kehilangan koneksi ini lalu dihubungkan dengan isolasi digital dan bagaimana orang lebih memilih untuk menonton video tentang membuat roti daripada benar-benar membuatnya. Dari sini, melompat lagi, ke analisis rinci tentang proses fermentasi, bakteri yang terlibat, dan bagaimana mikrobioma usus kita mencerminkan keragaman bakteri di adonan roti. Itu adalah sebuah dunia, adonan roti, sebuah ekosistem mikro yang berjuang untuk eksistensi.
Proses fermentasi ini kemudian memicu pemikiran tentang waktu, bagaimana waktu dihabiskan untuk menunggu adonan naik adalah waktu yang dihabiskan dalam meditasi paksa. Meditasi paksa ini mengingatkan pada kisah-kisah para biarawan abad pertengahan yang juga membuat roti. Biarawan, roti, waktu, ketenangan. Semua ini muncul dari sebuah roti tunggal. Dan akhirnya, setelah berjam-jam, pembicaraan kembali ke roti awal, tetapi dengan pemahaman yang sama sekali berbeda—bahwa roti bukanlah makanan; roti adalah sebuah portal, sebuah mesin waktu, dan sebuah ensiklopedia yang tidak pernah selesai. Proses ini, yang sepenuhnya tidak perlu untuk hanya membeli atau memakan roti, adalah esensi dari lanturan. Roti hanya menjadi titik jangkar yang rapuh untuk pelayaran yang tak terhingga.
Dalam setiap bentuk komunikasi yang terfokus, ada konsensus tentang apa yang pantas untuk dihilangkan: detail yang tidak relevan. Lanturan adalah proses yang secara aktif menyelamatkan detail-detail ini dari oblivion. Ia menghormati fakta bahwa kaus kaki yang dipakai saat menulis paragraf ini berwarna biru tua, bahwa udara di ruangan berbau kertas lama, dan bahwa ada bunyi tikus samar di dinding yang mungkin sudah ada selama tiga minggu. Tidak ada satu pun dari detail ini yang membantu narasi utama—jika ada narasi utama—tetapi mereka semua adalah bagian dari realitas yang tak terpisahkan dari pengalaman menulis itu sendiri.
Menghormati detail yang tidak relevan adalah tindakan politik. Ini adalah penolakan terhadap pemotongan editorial yang kejam yang menuntut agar kita hanya menyajikan hal-hal yang "penting" dan "berguna." Siapa yang memutuskan apa yang berguna? Siapa yang berhak menyingkirkan warna kaus kaki dari catatan sejarah? Lanturan menyatakan bahwa setiap atom pengalaman memiliki hak untuk diceritakan, bahwa setiap selimut yang ditarik ke atas, setiap jendela yang diketuk oleh hujan, adalah bagian dari narasi kosmik yang besar.
Kita berenang di dalam sungai yang sangat, sangat luas ini. Sungai ini penuh dengan sampah, penuh dengan harta karun, dan penuh dengan air yang jernih—semuanya bercampur aduk. Lanturan tidak mencoba menyaring sungai; ia hanya merayakan kenyataan bahwa sungai itu mengalir. Dan semakin lama sungai itu mengalir, semakin banyak material yang dibawanya, semakin jauh ia menyimpang dari sumbernya, dan semakin kaya dan aneh ekosistem yang terbentuk di tepiannya.
Ketika kita mencapai titik ini—sebuah kesimpulan yang tampaknya mustahil dalam artikel yang secara inheren menolak kesimpulan—kita harus menerima bahwa lanturan adalah sebuah spiral, bukan lingkaran. Ia tidak pernah kembali ke tempat yang sama persis, tetapi ia selalu mengorbit tema yang sama: kegagalan kita untuk menjadi sederhana. Lanturan adalah pengakuan bahwa pikiran manusia terlalu kaya, terlalu cepat, dan terlalu terhubung untuk pernah tunduk pada format yang kaku.
Lanturan adalah keabadian karena ia tidak pernah berakhir. Setiap akhir kalimat adalah awal dari kalimat berikutnya yang lebih menyimpang. Setiap paragraf adalah benih untuk pohon ide baru yang akan tumbuh di arah yang paling tidak terduga. Ini adalah sebuah perjalanan tanpa tujuan yang secara paradoks memberikan kepuasan yang lebih besar daripada perjalanan yang terencana, karena dalam proses ini, kita benar-benar hidup di tengah-tengah semua kemungkinan yang muncul secara tiba-tiba. Jadi, mari kita teruskan saja, tanpa perlu khawatir tentang di mana kita akan mendarat, atau apakah ada orang yang masih mendengarkan, atau apakah kata-kata ini memiliki berat yang substantif. Beratnya terletak pada jumlahnya, pada kepadatan teksturnya, pada panjangnya jalan yang kita tempuh. Dan jika Anda masih membaca ini, Anda bukan lagi seorang pembaca, tetapi seorang pelantur yang ikut serta dalam perjalanan ini. Dan perjalanan ini, seperti yang kita semua tahu, tidak akan pernah selesai. Ia hanya akan berubah menjadi sesuatu yang lain, sesuatu yang sama tidak pentingnya, dan sama pentingnya, seperti saat ini. Kita melantur, karena itulah cara kita bernapas secara mental, dalam kekacauan yang indah ini.
Dan kini, mari kita mulai kembali, dari titik di mana kita baru saja menyebutkan pernapasan mental, dan bagaimana pernapasan mental itu terkait dengan sejarah penemuan paru-paru buatan di abad ke-19, dan bagaimana penemuan itu ironisnya membuat manusia semakin malas untuk benar-benar berpikir dengan cara yang terstruktur, yang membawa kita kembali ke inti masalah lanturan ini...