Kunci Fermentasi Abadi dari Tanah Jawa
Dalam khazanah kuliner dan bioteknologi tradisional Indonesia, terdapat satu elemen fundamental yang memegang peranan vital dalam penciptaan salah satu makanan super paling dihormati di dunia: Tempe. Elemen tersebut dikenal sebagai laru tempe. Secara sederhana, laru adalah biakan starter, inokulum, atau ragi yang digunakan untuk memulai dan mengarahkan proses fermentasi kedelai menjadi tempe yang padat, putih, dan beraroma khas. Tanpa laru, tempe yang kita kenal tidak akan pernah tercipta.
Laru bukan sekadar bahan tambahan, melainkan jantung biologis dari transformasi ini. Ia adalah konsorsium mikroorganisme, didominasi oleh kapang dari genus Rhizopus, yang bekerja secara ajaib. Kapang ini menghasilkan hifa (benang-benang halus) yang bertindak sebagai "lem" alami, mengikat biji-biji kedelai yang telah dimasak menjadi satu kesatuan yang kohesif, menghasilkan blok protein padat yang lezat dan mudah dicerna.
Tempe diperkirakan berasal dari Jawa, kemungkinan besar di daerah pedalaman seperti Yogyakarta atau Surakarta (Solo), sekitar abad ke-16 atau ke-17. Pada mulanya, laru tempe didapatkan secara alami. Metode yang paling kuno melibatkan penggunaan daun waru, daun jati, atau daun pisang yang permukaannya secara alami mengandung spora Rhizopus. Daun-daun ini tidak hanya berfungsi sebagai pembungkus tetapi juga sebagai sumber inokulum primer. Kedelai yang hangat diletakkan di atas daun, dan suhu ideal di dalamnya merangsang pertumbuhan kapang liar yang ada pada permukaan daun tersebut. Proses alami ini, yang bergantung pada mikrobioma lingkungan, menunjukkan kearifan lokal yang luar biasa dalam memanfaatkan alam sekitar.
Seiring perkembangan zaman, kebutuhan akan starter yang lebih stabil dan kuat memunculkan tradisi pembuatan laru secara turun-temurun. Para pengrajin tempe mulai menyimpan sedikit bagian dari tempe yang sudah jadi (biasanya yang paling matang dan berspora banyak) untuk digunakan sebagai inokulum batch berikutnya. Praktik ini dikenal sebagai usar atau rales. Metode ini merupakan bentuk seleksi alami, di mana strain Rhizopus yang paling efisien dan cepat beradaptasi dipertahankan dari generasi ke generasi. Ini adalah cikal bakal bioteknologi skala rumah tangga yang telah berlangsung ratusan tahun, jauh sebelum ilmu mikrobiologi modern ditemukan.
Biji Kedelai (Bahan Dasar)
Laru (Starter Kapang)
Tempe Padat (Hasil Fermentasi)
Memahami tempe berarti harus menelusuri biologi dari laru tempe itu sendiri. Mikroorganisme utama yang bertanggung jawab adalah Rhizopus oligosporus. Namun, terdapat beberapa spesies Rhizopus lain yang juga berperan, termasuk R. oryzae, R. arrhizus, dan R. stolonifer, meskipun R. oligosporus adalah strain yang paling diinginkan karena efisiensinya dalam mengikat kedelai dan kemampuan minimalnya dalam menghasilkan metabolit sekunder yang tidak diinginkan.
Proses fermentasi yang dipicu oleh laru ini adalah proses aerobik, yang berarti membutuhkan oksigen. Ketika spora Rhizopus (yang merupakan komponen utama laru) bersentuhan dengan kedelai yang telah dimasak dan didinginkan (substrat), dan kondisi suhu serta kelembaban yang tepat terpenuhi, spora tersebut akan berkecambah. Proses ini adalah serangkaian keajaiban biokimiawi:
Aktivitas biokimia laru ini tidak hanya berfungsi sebagai 'perekat', tetapi juga sebagai 'penyempurna' gizi. Peningkatan ketersediaan protein dan mineral, serta sintesis vitamin B kompleks (termasuk B12 yang sangat langka dalam makanan nabati murni), menjadikan tempe jauh lebih unggul secara nutrisi dibandingkan kedelai yang tidak difermentasi.
Dalam skala modern, laru tempe tidak lagi hanya bergantung pada daun waru. Laru modern diproduksi secara komersial dalam kondisi steril dan terstandarisasi. Laru komersial, yang sering dijual dalam bentuk bubuk atau pelet, biasanya menggunakan media sekam padi atau tepung tapioka sebagai pembawa (carrier) spora yang telah dikulturkan. Tujuan dari standarisasi ini adalah untuk memastikan konsentrasi spora yang tinggi dan kemurnian strain Rhizopus yang digunakan, sehingga menghasilkan tempe dengan waktu fermentasi yang konsisten dan hasil yang optimal.
Meskipun laru modern menawarkan konsistensi yang unggul, laru tradisional yang diwariskan seringkali membawa warisan rasa yang unik, dipengaruhi oleh mikroflora pendukung (seperti bakteri asam laktat) yang turut hadir dalam biakan kuno, memberikan dimensi rasa yang lebih kompleks—sebuah sentuhan terroir mikrobial.
Proses pembuatan tempe adalah seni sekaligus ilmu pengetahuan yang presisi. Setiap tahapan dirancang untuk menciptakan lingkungan yang sempurna bagi aktivasi dan proliferasi laru tempe. Kesalahan kecil dalam suhu, keasaman, atau kelembaban dapat menghambat pertumbuhan Rhizopus dan menghasilkan tempe yang gagal (terfermentasi berlebihan atau kurang matang).
Sebelum laru dapat beraksi, kedelai harus dipersiapkan secara matang. Proses ini memakan waktu antara 24 hingga 48 jam dan terdiri dari:
Setelah kedelai siap, barulah laru tempe ditambahkan. Dosis laru harus tepat. Jika terlalu sedikit, fermentasi akan lambat dan rentan kontaminasi. Jika terlalu banyak, pertumbuhan miselium akan terlalu cepat dan menghasilkan panas berlebih, yang dapat mematikan kapang itu sendiri sebelum tempe matang sempurna.
Rasio umum adalah sekitar 0.1% hingga 0.5% berat laru bubuk terhadap berat kedelai kering. Laru dicampur secara merata ke dalam kedelai yang telah didinginkan, memastikan setiap biji mendapatkan kontak dengan spora. Pencampuran ini biasanya dilakukan di atas wadah yang lebar dan steril.
Setelah diinokulasi, kedelai dibungkus. Pembungkus tradisional (daun pisang atau daun jati) menyediakan ventilasi alami dan sedikit kelembaban. Pembungkus modern (plastik berlubang atau polietilen) memerlukan kontrol lebih ketat terhadap perforasi untuk memastikan aerasi yang cukup.
Fermentasi terjadi di ruang inkubasi yang hangat. Rhizopus oligosporus adalah organisme mesofilik hingga termotoleran, tumbuh optimal pada suhu 30°C hingga 35°C. Selama fermentasi, kapang menghasilkan panas metabolik. Jika inkubasi dilakukan dalam jumlah besar (produksi industri), panas ini harus dikelola untuk mencegah suhu internal tempe melebihi 40°C, yang dapat menyebabkan 'over-fermentation' atau kerusakan kapang. Idealnya, proses ini memakan waktu 36 hingga 48 jam, menghasilkan blok tempe yang tertutup miselium putih tebal.
Fungsi laru tempe melampaui sekadar mengikat biji; ia adalah katalisator yang mengubah kedelai yang keras menjadi makanan super yang mudah diserap tubuh. Peningkatan nilai gizi tempe dibandingkan kedelai mentah sangat drastis, menjadikannya sumber protein nabati yang tiada bandingnya.
Protein adalah komponen utama kedelai. Namun, protein kedelai mentah sulit dicerna. Selama fermentasi, enzim proteolitik dari Rhizopus memecah protein kompleks (makromolekul) menjadi asam amino bebas dan peptida rantai pendek. Ini memiliki dua manfaat besar:
Salah satu kontribusi terbesar laru adalah kemampuannya untuk mendegradasi senyawa anti-nutrisi yang secara alami ada pada kedelai. Asam fitat, atau fitat, adalah senyawa yang mengikat mineral seperti zat besi, seng, dan kalsium, sehingga mencegah penyerapannya oleh tubuh.
Enzim fitase yang dihasilkan oleh Rhizopus oligosporus selama fermentasi secara efektif memecah asam fitat. Degradasi ini melepaskan mineral-mineral tersebut, sehingga meningkatkan bioavailabilitas (kemampuan tubuh menyerap dan memanfaatkan) zat besi dan seng hingga beberapa kali lipat. Ini adalah aspek krusial yang mengangkat tempe dari sekadar sumber protein menjadi makanan fungsional.
Secara tradisional, tempe sering dianggap sebagai sumber vitamin B12 bagi vegetarian. Kapang Rhizopus itu sendiri tidak menghasilkan B12. Namun, dalam proses fermentasi tradisional, biakan laru sering kali tidak murni; ia mengandung bakteri pendukung, seperti Klebsiella pneumoniae atau Citrobacter freundii, yang memiliki kemampuan untuk mensintesis B12.
Kandungan B12 dalam tempe sangat bergantung pada higienitas dan jenis laru yang digunakan. Tempe yang dibuat dengan laru tradisional dan dibungkus daun cenderung memiliki kadar B12 yang signifikan. Namun, pada tempe modern yang dibuat dengan inokulum murni dan kondisi steril, kandungan B12 cenderung rendah atau tidak ada. Oleh karena itu, penelitian modern menekankan pentingnya mengidentifikasi dan mengkulturkan strain bakteri B12-produsen ini untuk ditambahkan kembali ke dalam biakan laru tempe demi menciptakan produk yang lebih kaya nutrisi secara konsisten.
Seiring dengan meningkatnya minat global terhadap tempe, produksi laru tempe juga mengalami evolusi signifikan. Industri bioteknologi kini berfokus pada standarisasi, peningkatan efisiensi, dan eksplorasi substrat selain kedelai.
Pengrajin tempe modern, terutama yang beroperasi pada skala pabrik, sangat bergantung pada laru yang terstandarisasi. Laru industri harus memenuhi kriteria ketat:
Laru komersial biasanya diproduksi melalui kultur dalam bioreaktor, di mana Rhizopus dibiakan pada media steril (seperti beras atau jagung) kemudian dikeringkan dan digiling menjadi bubuk yang dicampur dengan tepung pembawa. Konsentrasi spora biasanya diukur dalam colony forming units (CFU) per gram, memastikan produsen tempe dapat menghitung dosis inokulasi dengan akurat.
Keajaiban laru Rhizopus tidak terbatas pada kedelai. Para peneliti telah bereksperimen dengan berbagai biji-bijian, kacang-kacangan, dan bahkan limbah agroindustri untuk menghasilkan varian tempe baru. Laru yang sama dapat digunakan untuk membuat:
Dalam semua kasus ini, peran laru tempe tetap sentral: melakukan hidrolisis parsial komponen makro (protein, lemak, karbohidrat) dan mengikat substrat menjadi bentuk padat yang dapat diiris dan diolah.
Tempe, hasil akhir dari proses fermentasi laru, adalah lebih dari sekadar makanan; ia adalah warisan budaya yang mendalam. Di Indonesia, khususnya di Jawa, tempe telah menjadi pilar ketahanan pangan dan simbol keragaman kuliner yang sederhana namun kaya gizi.
Metode pembungkusan tempe sangat memengaruhi mikroklima fermentasi, yang pada gilirannya dapat memengaruhi tekstur dan rasa akhir. Perbedaan dalam pembungkusan juga mencerminkan preferensi lokal terhadap sumber laru alami:
Tempe dapat diolah dalam berbagai cara, memanfaatkan tekstur khas yang diciptakan oleh laru. Tekstur kenyal miselium tempe memungkinkan tempe digoreng, dikukus, dibakar, atau direbus tanpa mudah hancur.
Peran laru tempe dalam menciptakan tekstur dan profil rasa yang unik inilah yang membedakannya dari produk kedelai fermentasi lainnya seperti tahu atau miso. Kehadiran miselium memberikan cita rasa umami, kacang, dan sedikit jamur yang menjadi ciri khas tempe yang sangat disukai.
Meskipun tempe telah mendunia dan diakui sebagai makanan super yang ramah lingkungan, industri laru tempe menghadapi sejumlah tantangan, terutama dalam hal kualitas, standardisasi global, dan mempertahankan tradisi di tengah modernisasi.
Masalah utama, terutama pada produksi skala kecil, adalah inkonsistensi kualitas laru dan risiko kontaminasi. Kontaminasi dapat terjadi jika:
Untuk mengatasi ini, penting adanya program edukasi bagi produsen tempe tentang higienitas pangan dan penggunaan laru yang telah diuji serta disertifikasi. Penggunaan laru murni komersial adalah solusi yang paling efektif untuk memastikan produk yang aman dan berkualitas seragam.
Sebagai makanan berbasis kedelai, masa depan tempe terikat erat dengan masalah keberlanjutan global terkait pertanian kedelai, termasuk deforestasi dan penggunaan monokultur. Inovasi laru dapat membantu mengurangi ketergantungan pada kedelai murni melalui pengembangan tempe dari kacang-kacangan lokal yang lebih berkelanjutan atau memanfaatkan limbah hasil pertanian (seperti bungkil kelapa atau ampas singkong).
Penelitian mengenai optimasi Rhizopus untuk substrat alternatif akan menjadi kunci untuk memastikan tempe tetap menjadi sumber protein yang etis dan ramah lingkungan di masa depan.
Tempe telah diusulkan untuk didaftarkan ke UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia. Hal ini penting untuk melindungi identitas dan proses tradisional, termasuk peran laru yang autentik. Di tingkat global, perusahaan makanan di Eropa dan Amerika Utara mulai memproduksi tempe, seringkali menggunakan strain Rhizopus yang sama. Indonesia memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa kekayaan intelektual dan teknologi yang berkaitan dengan produksi laru tempe diakui sebagai kontribusi unik bangsa.
Pengembangan standarisasi mutu internasional, misalnya SNI (Standar Nasional Indonesia), harus diperjuangkan di kancah global agar tempe yang diproduksi di luar negeri tetap mempertahankan karakteristik gizi dan sensorik yang superior seperti tempe asli Nusantara.
Salah satu aspek kesehatan yang paling banyak dibahas dari kedelai, dan oleh karena itu tempe, adalah kandungan fitoestrogennya, khususnya isoflavon. Fermentasi menggunakan laru tempe memainkan peran penting dalam mengubah bentuk kimiawi senyawa ini, yang dapat memengaruhi dampak kesehatannya pada manusia.
Kedelai mentah mengandung isoflavon dalam bentuk glikosida (terikat pada molekul gula), seperti genistin dan daidzin. Dalam bentuk ini, bioavailabilitas isoflavon relatif rendah. Selama proses fermentasi yang dipimpin oleh Rhizopus:
Bentuk aglikon jauh lebih mudah diserap oleh usus manusia dibandingkan bentuk glikosida. Oleh karena itu, konsumsi tempe (yang difermentasi oleh laru) menghasilkan penyerapan fitoestrogen yang lebih tinggi dan lebih efisien, yang telah dikaitkan dengan potensi manfaat kesehatan, termasuk mengurangi risiko penyakit jantung dan mendukung kesehatan tulang.
Meskipun tempe bukan makanan probiotik (karena kapang Rhizopus umumnya mati saat dimasak), proses fermentasi oleh laru menjadikannya makanan prebiotik yang luar biasa.
Peran laru tempe adalah mempersiapkan dan memecah matriks kedelai sehingga bukan hanya nutrisi makronya yang tersedia, tetapi juga menciptakan ekosistem mikronutrisi dan serat yang meningkatkan kesehatan pencernaan secara keseluruhan. Transformasi ini membuktikan bahwa laru adalah agen biokonversi yang efektif dan revolusioner.
Salah satu kendala utama tempe adalah umur simpannya yang pendek. Tempe matang yang dihasilkan dari fermentasi laru tempe hanya memiliki masa simpan optimal 1-2 hari pada suhu kamar sebelum terjadi fermentasi berlebihan (disebut over-ripe) yang ditandai dengan peningkatan amonia dan miselium yang menghasilkan spora hitam (sporulasi).
Sporulasi hitam menunjukkan bahwa siklus hidup Rhizopus telah memasuki fase reproduksi, dan tempe mulai kehilangan kekenyalan serta rasa terbaiknya. Untuk mengatasi ini, beberapa teknologi pengemasan dan pasca-panen diterapkan:
Pengemasan adalah perpanjangan dari tahap inokulasi. Pembungkus harus memfasilitasi aerasi yang cukup agar laru tempe dapat melakukan fermentasi aerobik yang sempurna. Plastik polietilen yang digunakan saat ini harus dilubangi secara seragam dan memadai. Lubang yang terlalu kecil dapat menyebabkan tempe menjadi 'basah' dan berbau amonia. Sebaliknya, lubang yang terlalu besar akan menyebabkan dehidrasi dan pertumbuhan miselium yang tidak merata.
Bagi banyak konsumen, pembungkus tradisional daun pisang atau daun jati masih dianggap menghasilkan tempe dengan aroma dan rasa terbaik. Hal ini disebabkan oleh senyawa volatil yang dilepaskan oleh daun yang berinteraksi dengan produk fermentasi, menambah kompleksitas rasa yang tidak ditemukan pada tempe berbungkus plastik.
Profil rasa tempe yang kaya, sering dideskripsikan sebagai umami, kacang, dan sedikit jamur, adalah hasil langsung dari aktivitas metabolisme laru tempe.
Rasa umami pada tempe berasal dari peningkatan kadar asam glutamat bebas. Seperti yang telah dijelaskan, enzim proteolitik yang dikeluarkan oleh Rhizopus memecah protein menjadi asam amino. Asam glutamat, salah satu asam amino yang dilepaskan dalam jumlah signifikan, adalah senyawa yang memberikan rasa umami yang khas.
Kualitas umami ini paling terasa pada tempe yang matang sempurna. Tempe yang kurang matang memiliki kadar asam amino bebas yang lebih rendah, sementara tempe yang terlalu matang (semangit) akan mengalami degradasi lebih lanjut yang menghasilkan aroma yang sangat kuat dan kompleks, seringkali sedikit berbau amonia karena pemecahan asam amino lebih lanjut.
Selama fermentasi 48 jam, Rhizopus oligosporus menghasilkan berbagai senyawa volatil yang berkontribusi pada aroma tempe. Beberapa senyawa penting meliputi:
Kombinasi senyawa inilah yang membuat tempe memiliki aroma yang khas dan sangat berbeda dari kedelai murni. Kontrol ketat terhadap kualitas laru tempe dan kondisi inkubasi memastikan bahwa profil volatil ini terbentuk dengan harmonis, menghasilkan produk yang tidak hanya bergizi tetapi juga memuaskan secara sensorik.
Dari biji kedelai sederhana, melalui keajaiban biologis yang didorong oleh laru tempe, tercipta sebuah makanan yang merupakan mahakarya kearifan lokal. Laru tempe adalah inkubator gizi, agen detoksifikasi, dan perekat rasa yang telah mendukung kehidupan di Nusantara selama berabad-abad.
Perjalanan tempe dari daun waru sebagai inokulum alami hingga menjadi produk bioteknologi terstandarisasi yang diekspor ke seluruh dunia menunjukkan daya tahan dan adaptabilitas budaya kuliner Indonesia. Keberhasilannya terletak pada kemampuan mikroorganisme Rhizopus oligosporus, yang melalui fermentasi, berhasil memecah anti-nutrisi, meningkatkan daya cerna protein, dan menghasilkan vitamin serta senyawa bioaktif yang berharga.
Di masa depan, inovasi dalam produksi laru, eksplorasi substrat baru, dan penerapan standar kualitas global akan memastikan bahwa tempe, dengan jantung fermentasinya yang unik, akan terus menjadi sumber pangan berkelanjutan dan ikon kesehatan global yang membanggakan warisan Indonesia.