LATIFUNDIUM: JEJAK KEKUASAAN DI ATAS TANAH

Sistem Kepemilikan Lahan Raksasa, Ketidaksetaraan Abadi, dan Perjuangan Agraria Global

Definisi dan Karakteristik Utama Latifundium

Latifundium (jamak: latifundia) adalah sebuah konsep yang melampaui sekadar kepemilikan tanah dalam skala besar. Ini adalah sebuah struktur sosio-ekonomi yang mendefinisikan hubungan kekuasaan, produksi, dan tenaga kerja. Secara etimologi, kata ini berasal dari bahasa Latin: latus (luas) dan fundus (lahan atau perkebunan). Latifundium merujuk pada tanah pertanian atau perkebunan yang sangat luas, dikelola secara terpusat, dan umumnya didominasi oleh produksi monokultur (satu jenis tanaman saja) yang bertujuan untuk pasar ekspor, bukan untuk konsumsi lokal.

Inti dari latifundium adalah disproporsionalitas. Sistem ini menciptakan ketidakseimbangan drastis di mana segelintir pemilik (oligarki tanah) menguasai sumber daya alam yang vital, sementara mayoritas penduduk pedesaan hanya memiliki dua pilihan: bekerja sebagai buruh tani murah di lahan tersebut atau menggarap lahan kecil yang tidak produktif (minifundia).

Empat Pilar Latifundium

  1. Skala Raksasa: Kepemilikan lahan yang mencakup ribuan, bahkan puluhan ribu hektar, sering kali tidak sepenuhnya diolah karena tujuannya adalah membatasi pasokan dan mempertahankan harga.
  2. Monokultur dan Ekspor: Fokus pada satu komoditas utama (gula, kopi, kapas, gandum) untuk diekspor ke pasar global atau metropolitan, menjadikan ekonomi lokal sangat rentan terhadap fluktuasi harga komoditas internasional.
  3. Tenaga Kerja Dependen: Ketergantungan pada tenaga kerja yang murah, tidak terampil, dan tidak memiliki tanah. Dalam sejarah, tenaga kerja ini dapat berupa budak, hamba, atau pekerja upah harian yang terikat utang (peonage).
  4. Kekuasaan Politik: Kepemilikan lahan yang masif memberikan kekuatan politik dan sosial yang tak tertandingi kepada pemiliknya, memungkinkan mereka memengaruhi undang-undang, pajak, dan kebijakan agraria untuk keuntungan pribadi.

Akar Sejarah: Latifundium di Republik Romawi

Konsep latifundium bukanlah penemuan modern, melainkan warisan langsung dari transformasi sosial yang terjadi di Republik Romawi. Awalnya, warga Romawi hidup dari lahan pertanian kecil (ager publicus). Namun, ekspansi militer Romawi yang masif, khususnya setelah Perang Punic, mengubah struktur kepemilikan lahan secara fundamental.

Transisi dari Petani Prajurit ke Budak

Ketika Romawi menaklukkan wilayah-wilayah baru di Italia, banyak petani prajurit dipanggil untuk bertugas dalam waktu yang lama. Lahan mereka menjadi terbengkalai. Pada saat yang sama, masuknya harta rampasan perang dan, yang paling penting, ribuan tawanan perang yang dijadikan budak, menciptakan peluang ekonomi baru bagi kelas senator yang kaya.

Para senator ini menggunakan kekayaan yang baru mereka peroleh untuk membeli lahan-lahan kecil yang ditinggalkan atau di bawah harga dari petani yang terdesak utang. Mereka kemudian menggabungkannya menjadi latifundia yang luas. Latifundia Romawi pada masa puncaknya menggunakan sistem budak (servi) secara intensif untuk mengelola perkebunan zaitun, anggur, dan gandum. Tenaga kerja budak ini jauh lebih murah daripada mempekerjakan petani bebas, memicu lingkaran setan di mana petani bebas tidak mampu bersaing dan terpaksa pindah ke kota, menambah jumlah kaum proletar yang tidak bertanah.

Representasi Latifundium Romawi Skema yang menunjukkan perkebunan besar Romawi dengan struktur villa sentral dan pekerja budak di bawahnya, dikelilingi oleh lahan pertanian luas. VILLA Wilayah Raksasa yang Dikuasai oleh Elit

Gambar: Ilustrasi skematik Latifundium Romawi, menyoroti skala dan pusat kekuasaan.

Dampak Politik: Kehancuran Kelas Menengah

Filosof dan negarawan Romawi, seperti Tiberius Gracchus, menyadari bahwa konsentrasi lahan ini adalah racun bagi Republik. Latifundia menghilangkan basis ekonomi bagi petani kecil yang merupakan tulang punggung tentara Romawi. Ketika petani kecil bangkrut, negara kehilangan rekrutan yang andal dan menciptakan krisis sosial dan militer yang mendalam.

Upaya reformasi agraria yang dipimpin oleh Gracchus bersaudara, yang mencoba membatasi jumlah lahan yang dapat dimiliki oleh satu individu dan mendistribusikan kelebihan lahan kepada warga miskin, disambut dengan kekerasan politik brutal. Kegagalan reformasi agraria di Romawi mempercepat transisi dari Republik yang didasarkan pada warga negara bebas menjadi kekaisaran yang didasarkan pada elit pemilik tanah dan populasi budak yang luas.

Latifundium di Abad Pertengahan dan Sistem Feodal

Meskipun sistem perbudakan yang menjadi ciri khas latifundia Romawi mulai mereda dengan runtuhnya Kekaisaran Barat, prinsip dasar kepemilikan lahan yang luas dan terpusat tetap hidup dalam sistem feodalisme. Di Eropa, tanah-tanah raksasa diorganisasi menjadi manorialisme, di mana para bangsawan (lord) menguasai manor dan petani menjadi hamba yang terikat pada tanah (serfdom).

Manorialisme memiliki banyak kesamaan fungsional dengan latifundium: kontrol ekonomi total oleh pemilik, produksi yang berorientasi pada keuntungan pemilik, dan kurangnya mobilitas serta hak kepemilikan bagi pekerja yang menggarap lahan. Meskipun budak digantikan oleh hamba, hubungan kekuasaan tetap eksploitatif dan terstruktur berdasarkan kontrol tanah.

Transisi ke Kolonialisme

Warisan feodal inilah yang kemudian dibawa oleh para penjelajah Eropa, khususnya Spanyol dan Portugis, ke benua Amerika. Model ini, yang sudah teruji dalam menciptakan kekayaan bagi segelintir orang melalui kontrol lahan dan tenaga kerja, menjadi cetak biru bagi sistem kolonial di Dunia Baru. Di sinilah latifundium menemukan panggung barunya yang paling ekstrem dan bertahan lama.

Amerika Latin: Panggung Utama Latifundium Modern

Amerika Latin adalah wilayah di mana sistem latifundium tidak hanya bertahan tetapi juga bermetamorfosis menjadi institusi ekonomi dan politik yang sangat kuat. Pasca-penaklukan, kekuasaan Spanyol dan Portugal mendistribusikan lahan secara massal kepada para conquistador dan elit kolonial melalui sistem seperti encomienda dan, kemudian, repartimiento.

Sistem Hacienda dan Fazenda

Pada dasarnya, latifundium di Amerika Latin mengambil dua bentuk utama: Hacienda (umum di bekas koloni Spanyol) dan Fazenda (Brasil). Kedua sistem ini didasarkan pada konsentrasi lahan yang ekstrem dan eksploitasi tenaga kerja pribumi dan keturunan Afrika. Bahkan setelah kemerdekaan dari Spanyol dan Portugal, struktur tanah yang tidak setara ini tidak berubah; justru, para elit lokal (criollos) mengambil alih kekuasaan dan mempertahankan struktur latifundium untuk kepentingan mereka sendiri.

Di Meksiko, misalnya, setelah Undang-Undang Reformasi (Leyes de Reforma) pada abad ke-19, lahan komunal milik gereja dan komunitas pribumi (ejidos) diserahkan ke pasar, yang secara efektif memungkinkan para tuan tanah kaya untuk mengakuisisi lahan-lahan tersebut dengan harga murah, memperluas latifundia mereka ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Struktur ini dikenal sebagai enganche atau peonage—sebuah sistem di mana pekerja terikat pada tanah melalui utang yang tidak pernah bisa dilunasi.

Pola Operasi Hacienda:

Hacienda bukan hanya unit produksi, tetapi juga pusat kekuasaan sosial. Pemilik (hacendado) bertindak sebagai hakim, polisi, dan bank bagi buruh mereka. Pekerja diberi upah rendah atau upah dalam bentuk kupon yang hanya dapat ditukarkan di toko milik hacienda (tienda de raya). Utang ini diwariskan dari generasi ke generasi, memastikan pasokan tenaga kerja tetap terikat secara efektif pada lahan.

Ketidaksetaraan yang Mencengangkan

Data historis dari berbagai negara Amerika Latin menunjukkan tingkat ketidaksetaraan kepemilikan lahan yang mencengangkan. Pada awal abad ke-20, di beberapa negara Amerika Tengah dan Andean, kurang dari 2% populasi menguasai lebih dari 60% lahan pertanian terbaik. Ketidaksetaraan ini adalah akar utama ketidakstabilan politik, revolusi, dan migrasi besar-besaran yang mendefinisikan kawasan tersebut selama lebih dari satu abad.

Sistem ini menciptakan polarisasi pedesaan yang ekstrem: di satu sisi ada latifundia yang luas dan tidak sepenuhnya diolah (karena tujuannya adalah kekayaan dan kekuasaan, bukan efisiensi total), dan di sisi lain ada minifundia—lahan kecil, terfragmentasi, dan seringkali tidak produktif yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan subsisten keluarga buruh tani.

Dampak Kronis Latifundium terhadap Pembangunan

Latifundium telah meninggalkan luka sosial dan ekonomi yang sulit disembuhkan. Dampaknya meluas jauh melampaui sektor pertanian, membatasi industrialisasi, menghambat modernisasi, dan melanggengkan kemiskinan struktural.

1. Kemiskinan dan Eksploitasi Tenaga Kerja

Dengan menguasai pasar tenaga kerja dan lahan, pemilik latifundium mampu menekan upah hingga ke tingkat subsisten. Kurangnya alternatif pekerjaan memaksa buruh tani untuk menerima kondisi kerja yang buruk dan upah yang tidak manusiawi. Ini menciptakan masyarakat yang terbagi secara kaku berdasarkan kelas dan ras, di mana akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan modal sangat terbatas bagi mayoritas.

2. Penghambatan Industrialisasi

Kepemilikan lahan yang terpusat mengalihkan modal yang seharusnya digunakan untuk investasi industri ke pembelian lahan lebih lanjut atau konsumsi mewah oleh elit pemilik tanah. Selain itu, karena sebagian besar penduduk pedesaan sangat miskin, pasar domestik untuk barang-barang manufaktur tidak pernah berkembang secara memadai. Dengan sedikit permintaan domestik, industrialisasi sulit dimulai dan didukung.

3. Ketidakstabilan Politik

Ketika distribusi sumber daya utama (tanah) sangat tidak setara, konflik sosial adalah hal yang tak terhindarkan. Latifundium adalah mesin penghasil revolusi. Sejarah Amerika Latin dipenuhi dengan pemberontakan, perang gerilya, dan kudeta yang berakar pada permintaan mendasar untuk reformasi agraria. Pemilik latifundium sering menggunakan kekuatan militer atau politik untuk menekan setiap upaya reformasi, yang pada akhirnya melahirkan kediktatoran yang kejam.

4. Degradasi Lingkungan dan Monokultur

Fokus latifundium pada monokultur (seperti tebu, kedelai, atau kopi) untuk tujuan ekspor telah menyebabkan degradasi lingkungan yang parah. Praktik ini menguras nutrisi tanah, meningkatkan kebutuhan akan pupuk kimia dan pestisida, dan memerlukan deforestasi skala besar. Keanekaragaman hayati dikorbankan demi efisiensi produksi tunggal, membuat ekosistem lokal rentan terhadap penyakit dan perubahan iklim.

Di wilayah kering atau semi-kering, latifundia seringkali mengalihkan air secara eksklusif untuk tanaman komersial mereka, meninggalkan komunitas kecil tanpa sumber daya air yang memadai untuk pertanian subsisten atau bahkan kebutuhan dasar. Ini menunjukkan bagaimana kekuasaan atas tanah juga diterjemahkan menjadi kekuasaan atas sumber daya alam lainnya.

Kesenjangan Tanah dan Kekuatan Ilustrasi grafis yang menunjukkan kesenjangan antara latifundium yang sangat luas dan minifundia yang terfragmentasi. LATIFUNDIUM Monokultur & Kekayaan Oligarki Minifundia Ketidaksetaraan Kepemilikan Lahan

Gambar: Kontras visual antara latifundium yang dominan dan minifundia yang terdesak.

Perjuangan Melawan Latifundium: Gerakan Reformasi Agraria

Sejak abad ke-20, upaya untuk membongkar sistem latifundium telah menjadi agenda utama banyak gerakan sosial dan politik di seluruh dunia. Reformasi agraria bukanlah sekadar pembagian tanah, tetapi proses restrukturisasi masyarakat, redistribusi kekuasaan, dan demokratisasi ekonomi.

Studi Kasus Reformasi yang Revolusioner

1. Meksiko (Pasca Revolusi)

Revolusi Meksiko adalah respons langsung terhadap konsentrasi latifundium (haciendas). Setelah revolusi, konstitusi baru memungkinkan negara untuk menyita tanah dan mendistribusikannya melalui sistem ejido—tanah komunal yang dimiliki oleh desa, di mana individu memiliki hak pakai (usufruct) tetapi tidak bisa menjualnya. Meskipun reformasi ini menghadapi kemunduran dan tekanan politik yang berkelanjutan, ia berhasil membubarkan banyak latifundia terbesar dan mengubah lanskap sosial pedesaan.

2. Kuba (Pasca 1959)

Reformasi agraria di Kuba bersifat radikal dan komprehensif. Hampir semua kepemilikan lahan pribadi skala besar disita dan dinasionalisasi, diubah menjadi koperasi negara atau perkebunan negara. Tujuannya bukan hanya pemerataan tanah tetapi juga penghapusan total kelas tuan tanah dan industrialisasi pertanian di bawah kontrol sosialis.

3. Bolivia dan Peru

Di Andes, gerakan reformasi agraria seringkali didorong oleh mobilisasi kuat masyarakat adat yang menuntut kembali tanah leluhur mereka. Reformasi tahun 1953 di Bolivia, misalnya, secara dramatis mengubah struktur kepemilikan lahan, menghapuskan sistem kerja paksa yang tersisa (pongueaje), dan mendistribusikan lahan kepada petani pribumi yang dulunya terikat sebagai hamba.

Tantangan dan Resistensi

Setiap upaya reformasi agraria menghadapi perlawanan sengit. Elit pemilik tanah memiliki sumber daya yang tak terbatas, termasuk koneksi politik dan kontrol media. Mereka sering kali menggunakan kekerasan, membiayai kelompok paramiliter, atau melakukan lobi internasional untuk menekan pemerintah agar membatalkan atau melemahkan undang-undang reformasi.

Bahkan ketika reformasi berhasil dilaksanakan, seringkali muncul masalah baru, seperti: kurangnya modal atau teknologi bagi petani kecil yang baru memperoleh tanah, kurangnya dukungan irigasi dan pasar, dan fragmentasi lahan yang terlalu kecil (kembali ke minifundia) sehingga tidak efisien secara ekonomi.

Maka, perjuangan melawan latifundium bukan hanya tentang pembagian lahan, tetapi tentang penyediaan akses kredit, pendidikan pertanian, dan pembangunan infrastruktur pedesaan yang komprehensif untuk memastikan keberlanjutan ekonomi dari lahan yang baru didistribusikan.

Latifundium di Abad Ke-21: Agribisnis dan Globalisasi

Meskipun bentuk klasik latifundium (hacienda yang dikelola oleh keluarga bangsawan) mungkin telah berkurang di beberapa wilayah, esensi strukturalnya—konsentrasi lahan, monokultur untuk ekspor, dan eksploitasi tenaga kerja—tetap hidup dan bahkan diperkuat melalui agribisnis global dan finansialisasi tanah.

Bangkitnya Latifundium Korporat

Latifundium modern tidak selalu dimiliki oleh individu dengan gelar kehormatan, tetapi oleh perusahaan multinasional, dana investasi, dan dana pensiun global. Mereka mengakuisisi tanah dalam skala masif di seluruh Afrika, Asia Tenggara, dan Amerika Latin. Motifnya tetap sama: mengontrol produksi komoditas (kedelai, kelapa sawit, jagung, tebu) untuk pasar global.

Fenomena ini dikenal sebagai Land Grabbing (Perampasan Tanah). Investor asing membeli atau menyewa jutaan hektar lahan dari pemerintah lokal atau elit, seringkali mengabaikan hak-hak tradisional masyarakat adat atau petani kecil yang telah menduduki dan mengelola lahan tersebut selama berabad-abad. Perampasan ini sering kali didukung oleh janji-janji pembangunan yang jarang terwujud, dan justru menghasilkan pengungsian massal dan konflik lahan yang brutal.

Perbedaan dan Persamaan dengan Model Lama

Finansialisasi Tanah

Dalam konteks modern, tanah telah menjadi aset finansial, bukan hanya sumber produksi pangan. Dana investasi membeli tanah sebagai bentuk lindung nilai (hedge) terhadap inflasi atau sebagai spekulasi komoditas. Investor bahkan dapat membeli saham dalam perusahaan yang memiliki lahan pertanian, jauh dari lokasi fisik tanah tersebut. Proses ini melepaskan kepemilikan tanah dari tanggung jawab sosial atau ekologis lokal, memperparah eksploitasi sumber daya.

Di Brasil dan Argentina, perluasan perkebunan kedelai yang dimiliki oleh perusahaan besar telah menggusur ribuan peternak kecil dan petani subsisten. Lahan yang dulunya digunakan untuk berbagai tanaman pangan kini didominasi oleh satu komoditas tunggal untuk pakan ternak di Eropa atau Tiongkok. Ini tidak hanya meningkatkan ketidaksetaraan lahan tetapi juga mengancam ketahanan pangan lokal.

Isu-isu Kontemporer dalam Konteks Latifundium Global

Perjuangan melawan warisan latifundium di masa kini harus menghadapi dimensi-dimensi baru yang kompleks, terutama yang berkaitan dengan perubahan iklim dan hak asasi manusia.

Latifundium dan Perubahan Iklim

Agribisnis skala latifundium adalah kontributor signifikan terhadap krisis iklim. Deforestasi besar-besaran, terutama di Amazon dan Asia Tenggara untuk komoditas seperti kedelai dan minyak sawit, melepaskan karbon dalam jumlah besar. Selain itu, praktik monokultur yang bergantung pada pupuk berbasis bahan bakar fosil memperparah emisi gas rumah kaca.

Paradoksnya, sistem ini juga sangat rentan terhadap dampak iklim. Ketika perkebunan raksasa bergantung pada irigasi intensif, kekeringan regional dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang luas. Ketika lahan dipegang oleh segelintir entitas besar, kegagalan panen tunggal memiliki dampak yang meluas terhadap stabilitas pasar global, sementara masyarakat lokal kehilangan ketahanan pangan karena tidak ada keragaman tanaman subsisten.

Hak Masyarakat Adat dan Latifundium

Dalam banyak kasus, lahan yang menjadi target latifundia korporat adalah wilayah adat atau komunal yang belum memiliki perlindungan hukum yang kuat. Di wilayah seperti hutan hujan Kongo atau Indonesia, konsesi besar untuk logging, pertambangan, atau perkebunan skala besar sering kali melanggar hak-hak masyarakat adat untuk menentukan nasib mereka sendiri dan mengelola lingkungan mereka secara berkelanjutan.

Gerakan sosial global saat ini menuntut pengakuan yang lebih kuat terhadap hak-hak komunal atas tanah, bukan hanya kepemilikan individu. Konsep kedaulatan pangan (food sovereignty) muncul sebagai antitesis terhadap model latifundium, yang menempatkan kontrol atas produksi pangan di tangan komunitas lokal daripada korporasi global.

Peran Teknologi dalam Latifundium Baru

Meskipun teknologi pertanian sering dipromosikan sebagai alat untuk meningkatkan hasil panen dan efisiensi, dalam konteks latifundium modern, teknologi sering kali berfungsi untuk memperkuat konsentrasi kekuasaan. Investasi besar dalam mesin dan data pertanian hanya dapat diakses oleh pemain besar, yang selanjutnya meminggirkan petani kecil. Teknologi memfasilitasi manajemen lahan yang sangat besar dari jarak jauh, mengurangi kebutuhan akan pengawasan lokal, dan meningkatkan dehumanisasi tenaga kerja di pedesaan.

Penggunaan bibit hasil rekayasa genetika yang dipatenkan oleh segelintir perusahaan raksasa juga merupakan bentuk kontrol latifundium yang baru. Petani kecil menjadi bergantung pada perusahaan-perusahaan ini untuk bibit dan bahan kimia, menciptakan bentuk keterikatan utang yang baru, mirip dengan peonage historis, namun kini dimediasi melalui kontrak dan hak kekayaan intelektual.

Oleh karena itu, perjuangan untuk reformasi agraria di masa kini tidak lagi hanya berupa pembagian fisik lahan; ia mencakup perjuangan untuk mengontrol rantai pasok global, mengakses teknologi, dan menentang dominasi politik korporasi atas kebijakan pangan nasional.

Studi Kasus Mendalam: Keberlanjutan Struktur Latifundium

Kasus Argentina: Soyization dan Penggusuran

Argentina merupakan contoh klasik bagaimana latifundium dapat diperbarui melalui komoditas tunggal modern: kedelai. Sejak revolusi kedelai pada akhir abad ke-20, lahan pertanian di wilayah Pampas mengalami konsentrasi cepat. Kedelai, terutama varietas transgenik yang tahan herbisida, diubah menjadi komoditas ekspor bernilai tinggi.

Sistem ini didominasi oleh operator besar yang menyewa ribuan hektar, sering kali dari pemilik yang tidak lagi tertarik pada pertanian tradisional. Operasi ini membutuhkan sedikit tenaga kerja permanen tetapi membutuhkan modal besar untuk mesin dan bahan kimia. Dampaknya sangat merusak: petani gandum, jagung, dan peternak kecil yang tidak mampu bersaing dengan harga sewa lahan yang melambung terpaksa menjual atau meninggalkan tanah mereka dan berimigrasi ke pinggiran kota yang miskin.

Meskipun sistem kedelai ini sangat efisien dalam menghasilkan keuntungan ekspor bagi negara, ia meningkatkan ketidaksetaraan Gini dalam kepemilikan lahan dan menciptakan ketergantungan ekonomi yang berbahaya pada satu tanaman. Seluruh rantai pasok, mulai dari benih, bahan kimia, hingga logistik ekspor, dikendalikan oleh segelintir perusahaan, mewujudkan kembali kontrol oligarki yang menjadi ciri khas latifundium historis.

Kasus Filipina: Kontrol Lahan Abadi

Filipina, meskipun telah menjalankan beberapa gelombang reformasi agraria (CARP) sejak akhir abad ke-20, menunjukkan betapa sulitnya membongkar struktur latifundium yang mengakar secara politik. Di banyak provinsi, keluarga-keluarga kaya raya masih menguasai perkebunan tebu atau kelapa yang sangat luas. Reformasi seringkali terhalang oleh celah hukum, korupsi, dan kekerasan. Pemilik latifundia menggunakan taktik seperti konversi lahan (mengubah status pertanian menjadi komersial atau perumahan), pengalihan hak milik ke kerabat, atau menantang keputusan pengadilan selama bertahun-tahun untuk menghindari redistribusi.

Akibatnya, petani penerima tanah (beneficiaries) sering kali menghadapi ancaman dan tekanan untuk menyerahkan kembali lahan mereka kepada pemilik lama. Ini membuktikan bahwa tanpa reformasi kelembagaan yang kuat dan perlindungan hukum bagi petani miskin, undang-undang agraria hanya akan menjadi dokumen yang tidak efektif di hadapan kekuasaan ekonomi yang terpusat.

Melampaui Latifundium: Solusi dan Arah Kebijakan

Mengatasi warisan latifundium di masa depan memerlukan pendekatan multi-sektoral yang fokus pada pemerataan, keberlanjutan ekologis, dan demokratisasi ekonomi pedesaan.

1. Penguatan Hak Komunal dan Adat

Salah satu cara paling efektif untuk mencegah perluasan latifundium korporat adalah dengan mengakui dan memperkuat hak kepemilikan komunal. Tanah yang diakui sebagai milik masyarakat adat atau komunitas desa cenderung lebih dikelola secara berkelanjutan dan diversifikasi, menahan godaan monokultur skala besar.

2. Pembatasan Skala dan Pajak Progresif

Pemerintah perlu menerapkan batasan hukum yang ketat mengenai seberapa banyak lahan pertanian yang dapat dimiliki oleh satu entitas (individu atau korporasi). Selain itu, sistem perpajakan harus dirancang secara progresif: lahan yang luas dan tidak diolah atau hanya digunakan untuk spekulasi harus dikenakan pajak yang jauh lebih tinggi daripada lahan yang diolah secara intensif oleh petani kecil.

3. Mendukung Minifundia dan Pertanian Keluarga

Alih-alih membiarkan minifundia (lahan kecil) menjadi unit subsisten yang tidak efisien, kebijakan harus diarahkan untuk mendukung petani keluarga melalui koperasi, akses kredit berbunga rendah, dan teknologi yang tepat guna. Pertanian keluarga yang didukung dapat menjadi tulang punggung ketahanan pangan, menawarkan diversifikasi tanaman, dan menciptakan lapangan kerja pedesaan yang lebih stabil dibandingkan latifundium monokultur.

4. Transparansi Kepemilikan Lahan

Banyak latifundia korporat menggunakan struktur perusahaan yang kompleks dan surga pajak untuk menyembunyikan kepemilikan sebenarnya. Pembentukan register lahan publik yang transparan dan digital, yang mengungkapkan pemilik akhir dari setiap hektar tanah, sangat penting untuk memerangi perampasan tanah ilegal dan memastikan akuntabilitas.

Kesimpulan: Warisan yang Terus Berlanjut

Latifundium adalah lebih dari sekadar sistem pertanian kuno; ia adalah manifestasi abadi dari bagaimana kekuasaan di atas tanah diorganisir untuk kepentingan segelintir orang. Dari budak di perkebunan Romawi hingga buruh musiman di perkebunan kedelai yang dikelola oleh dana investasi global, pola eksploitasi dan konsentrasi kekayaan tetap konsisten.

Meskipun dunia telah menyaksikan revolusi dan reformasi besar, tantangan struktural yang ditimbulkan oleh latifundium—ketidaksetaraan ekonomi yang ekstrem, kerentanan ekologis, dan ketidakstabilan politik—masih menjadi isu mendesak. Pembongkaran latifundium sejati menuntut bukan hanya redistribusi aset, tetapi juga restrukturisasi total sistem politik dan ekonomi yang memungkinkan tanah dan sumber daya alam menjadi milik bersama demi kebaikan seluruh masyarakat, bukan hanya alat akumulasi kekayaan elit.