Kelelahan Sistemik: Mengurai Legasteni dalam Tata Kelola Hukum dan Birokrasi

Legasteni, sebuah istilah yang menggambarkan kondisi kelelahan, kebingungan, dan hambatan operasional yang diakibatkan oleh akumulasi kompleksitas regulasi, tumpang tindihnya norma hukum, dan bahasa perundang-undangan yang tidak aksesibel. Ini adalah krisis tersembunyi yang menggerogoti efisiensi birokrasi, menghambat inovasi ekonomi, dan menjauhkan keadilan dari masyarakat.

I. Pendahuluan: Definisi dan Lingkup Legasteni

Dalam era modern, di mana laju perubahan teknologi dan sosial bergerak sangat cepat, sistem hukum sering kali merespons dengan menciptakan regulasi baru tanpa menghapus atau menyederhanakan regulasi lama. Hasilnya adalah sebuah labirin norma yang terus berkembang, menciptakan beban kognitif dan operasional yang luar biasa. Fenomena inilah yang kita sebut sebagai Legasteni.

Legasteni bukan sekadar masalah administrasi belaka; ia adalah patologi yang mendasar dalam arsitektur tata kelola negara. Ia mewujud dalam tumpukan dokumen yang tidak relevan, prosedur perizinan yang absurd, dan risiko kepatuhan yang tidak proporsional bagi pelaku usaha maupun warga negara biasa. Ketika hukum, yang seharusnya menjadi pedoman, berubah menjadi penghalang yang tidak dapat ditembus, maka sistem telah jatuh ke dalam kondisi kelelahan regulatif. Kelelahan ini bersifat sistemik, mempengaruhi mulai dari pembuat kebijakan tertinggi hingga petugas lapangan di tingkat paling bawah.

Kompleksitas ini secara inheren bertentangan dengan prinsip negara hukum yang mengedepankan kepastian, prediktabilitas, dan aksesibilitas. Sebuah hukum yang tidak dapat dipahami oleh subjek hukumnya sendiri pada dasarnya gagal dalam fungsi dasarnya. Analisis ini akan mengupas tuntas mengapa Legasteni terjadi, bagaimana ia memanifestasikan dirinya dalam berbagai sektor kehidupan, dan langkah-langkah radikal apa yang harus diambil untuk mengembalikan supremasi hukum yang sederhana dan bermakna.

1.1. Gejala Awal dan Manifestasi

Legasteni memiliki beberapa gejala yang mudah dikenali, meskipun sering dianggap sebagai bagian normal dari birokrasi. Gejala pertama adalah hipertrofi regulasi—pertumbuhan jumlah undang-undang, peraturan pemerintah, dan keputusan menteri yang eksponensial. Gejala kedua adalah obscurantism linguistik, yaitu penggunaan bahasa hukum yang kuno, bertele-tele, dan penuh dengan rujukan silang yang membingungkan. Gejala ketiga adalah paralisis keputusan, di mana pejabat publik menunda atau menghindari pengambilan keputusan karena takut melanggar salah satu dari ribuan pasal yang saling bertentangan.

Ketika birokrasi berada di bawah tekanan Legasteni, fokus bergeser dari pencapaian tujuan publik (misalnya, pembangunan infrastruktur atau peningkatan kesejahteraan) menjadi sekadar memenuhi persyaratan prosedural. Kepatuhan prosedural menjadi lebih penting daripada hasil substansial. Ini menciptakan lingkungan di mana inisiatif inovatif dihukum, sementara kepatuhan medioker dihargai, memastikan stagnasi dan inefisiensi merajalela di seluruh lini pemerintahan dan sektor swasta.

Tumpukan Regulasi yang Membingungkan

Alt Text: Ilustrasi tumpukan dokumen yang tinggi di bawah kepala yang bingung, melambangkan Legasteni atau kelelahan regulatif.

II. Anatomi Legasteni: Akar Historis dan Filosofis

Untuk mengatasi Legasteni, kita harus memahami mengapa sistem hukum modern cenderung menjadi rumit. Proses ini seringkali bukan hasil dari niat jahat, melainkan konsekuensi tak terhindarkan dari beberapa faktor historis, filosofis, dan politis yang saling terkait, menciptakan dinamika yang sulit dipatahkan.

2.1. Warisan Positivisme dan Naskah Sempurna

Dalam tradisi positivisme hukum, terdapat dorongan untuk mengkodifikasi setiap aspek kehidupan. Keyakinan bahwa hukum harus mengatur segala kemungkinan menciptakan kecenderungan untuk membuat undang-undang yang sangat detail. Pembuat undang-undang merasa gagal jika ada celah kecil yang tidak diatur. Upaya untuk mencapai ‘naskah yang sempurna’ ini menghasilkan teks yang padat, penuh pengecualian, definisi yang berlebihan, dan ketentuan transisional yang kompleks, membuat subjek hukum harus berkonsultasi dengan berbagai lapisan peraturan yang saling tumpang tindih untuk satu tindakan sederhana.

Warisan kolonial juga turut andil. Banyak negara mewarisi struktur hukum berbasis sipil yang menekankan pada kodifikasi komprehensif, yang ketika dicampur dengan kebutuhan regulasi ekonomi global dan teknologi modern, menghasilkan kombinasi yang eksplosif. Ketika hukum lama tidak dicabut melainkan hanya ‘ditambahkan’ atau ‘diubah’, kompleksitasnya tumbuh secara multiplikatif, bukan aditif.

2.2. Kepentingan Birokrasi dan Spesialisasi

Setiap badan birokrasi, baik itu kementerian, direktorat, atau badan independen, memiliki kepentingan institusional untuk memperluas jangkauan dan otoritasnya. Salah satu cara paling efektif untuk menunjukkan relevansi dan kekuasaan adalah dengan mengeluarkan regulasi. Semakin banyak regulasi yang dikeluarkan oleh sebuah lembaga, semakin besar kontrol yang dimilikinya terhadap sektor terkait.

Selain itu, sistem modern didorong oleh spesialisasi. Setiap pakar di bidangnya—pajak, lingkungan, perizinan investasi, hak cipta digital—cenderung menulis regulasi menggunakan jargon internal mereka, mengasumsikan tingkat pengetahuan yang tidak dimiliki oleh publik umum atau bahkan oleh spesialis di departemen lain. Fragmentasi pengetahuan ini memperkuat Legasteni, karena tidak ada entitas tunggal yang melihat keseluruhan ekosistem regulasi dari sudut pandang masyarakat atau pelaku usaha.

2.3. Respon Politik terhadap Krisis

Secara politik, respons terhadap kegagalan atau krisis publik hampir selalu berupa regulasi baru. Ketika terjadi bencana lingkungan, skandal keuangan, atau kegagalan sistem, publik menuntut akuntabilitas. Cara termudah bagi politisi untuk menunjukkan bahwa mereka "melakukan sesuatu" adalah dengan mengesahkan undang-undang yang panjang dan ketat. Fenomena ini disebut sebagai ‘Legislation by Panic’. Regulasi yang dibuat tergesa-gesa ini seringkali kurang matang, penuh celah, dan menciptakan efek samping yang tidak diinginkan, namun karena dorongan politik, regulasi tersebut tetap bertahan dan menambah beban pada sistem yang sudah jenuh.

III. Dampak Multidimensi Legasteni

Dampak Legasteni tidak terbatas pada sakit kepala birokrat; ia memiliki konsekuensi yang mendalam dan merusak terhadap ekonomi, keadilan sosial, dan integritas sistem politik.

3.1. Dampak Ekonomi: Biaya Kepatuhan yang Melumpuhkan

Legasteni adalah pajak tersembunyi. Biaya kepatuhan (compliance cost) yang ditanggung oleh perusahaan untuk menafsirkan, mematuhi, dan mendokumentasikan pemenuhan regulasi seringkali melebihi biaya pajak atau operasional lainnya. Bagi perusahaan besar, ini berarti mempekerjakan tim hukum, akuntan, dan konsultan yang mahal. Namun, Legasteni paling merugikan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

UMKM, yang tidak memiliki sumber daya untuk memahami kerumitan regulasi yang berubah-ubah, sering kali berada dalam dua posisi berbahaya: (1) beroperasi dalam ketidakpatuhan secara tidak sengaja, yang menempatkan mereka pada risiko denda dan sanksi; atau (2) menghindari ekspansi atau inovasi sama sekali karena proses perizinan dan kepatuhan yang terlalu memberatkan. Ini menghasilkan chilling effect pada kewirausahaan. Inovasi mati di meja birokrasi, bukan di pasar.

3.1.1. Hambatan Investasi dan Daya Saing

Investor asing mencari kepastian. Ketika sistem regulasi suatu negara bersifat volatil, ambigu, dan Legasteni-ridden, risiko investasi meningkat tajam. Meskipun potensi pasar besar, kompleksitas regulasi menjadi faktor penentu yang membuat investasi beralih ke yurisdiksi lain yang menawarkan kepastian hukum yang lebih tinggi dan prosedur yang lebih ramping. Kehilangan daya saing global ini merupakan harga yang harus dibayar mahal atas setiap lembar peraturan yang tidak perlu.

3.2. Dampak Sosial: Erosi Akses terhadap Keadilan

Kompleksitas hukum secara langsung mengurangi aksesibilitas keadilan. Jika hukum begitu rumit sehingga hanya dapat dipahami oleh sekelompok kecil profesional berbayar mahal (pengacara dan konsultan), maka hukum tersebut gagal melayani masyarakat luas. Legasteni menciptakan jurang antara hukum formal dan keadilan substantif.

Warga negara biasa yang mencoba menavigasi masalah sederhana, seperti klaim asuransi sosial, sengketa tanah kecil, atau perizinan pembangunan rumah, seringkali menyerah di hadapan formulir yang panjang dan persyaratan dokumen yang berlebihan. Ini adalah bentuk diskriminasi terselubung—hukum yang rumit secara efektif hanya melayani mereka yang mampu membayar untuk menghilangkan kerumitannya. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap institusi hukum dan keadilan melemah, memicu sinisme dan perasaan ketidakberdayaan.

3.3. Dampak Institusional: Korupsi dan Arbitrase Otoritas

Ketika hukum ambigu dan interpretasinya terbuka lebar, kekuasaan diskresi (kebijaksanaan) yang diberikan kepada birokrat meningkat. Semakin rumit suatu prosedur, semakin besar peluang bagi pejabat untuk menuntut 'pelicin' atau suap agar proses dipercepat atau dipermudah. Legasteni secara langsung menciptakan lahan subur bagi korupsi.

Dalam sistem yang kelebihan aturan, birokrat dapat memilih aturan mana yang akan ditegakkan dan kapan. Ini dikenal sebagai arbitrase regulasi. Penegakan hukum menjadi tidak konsisten, selektif, dan seringkali bermotivasi politik atau ekonomi, menghancurkan prinsip kesamaan di hadapan hukum (equality before the law).

REGULASI ATURAN X200 Beban Legasteni

Alt Text: Ilustrasi sosok manusia yang membungkuk di bawah beban berat berupa tumpukan kotak regulasi dan aturan yang melambangkan kelelahan sistemik.

IV. Patologi Bahasa Hukum: Obscurantism dan Jargon

Inti dari Legasteni terletak pada bahasa. Bahasa hukum yang ideal haruslah presisi, namun dalam praktiknya, ia seringkali menjadi kendaraan bagi ketidakjelasan yang disengaja atau ketidakefisienan yang dipelihara. Bahasa yang rumit adalah mekanisme pertahanan diri bagi para profesional hukum, menciptakan monopoli interpretasi yang tidak sehat.

4.1. Sindrom ‘Apabila dan Sepanjang’

Banyak teks hukum dicirikan oleh kalimat yang sangat panjang, penuh dengan anak kalimat, frasa Latin yang sudah usang, dan penggunaan kata kerja pasif. Ini bukan hanya masalah gaya, tetapi masalah fungsional. Struktur kalimat yang berbelit-belit memaksa pembaca untuk menahan beberapa konsep dan pengecualian dalam memori kerja mereka secara bersamaan, menyebabkan kelelahan kognitif dan meningkatkan kemungkinan salah tafsir. Hal ini jauh berbeda dengan prinsip 'Plain Language' (Bahasa Sederhana) yang menekankan pada subjek-predikat yang jelas dan penggunaan bahasa sehari-hari sejauh mungkin.

Misalnya, alih-alih mengatakan, "Setiap warga negara harus membayar pajak," teks Legasteni akan berbunyi, "Sejauh mana dan sepanjang batas-batas yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor X, dan apabila tidak termasuk dalam kategori pengecualian yang tertera pada Pasal 12 huruf (c) hingga (f) Peraturan Menteri Keuangan, maka setiap orang fisik yang melakukan kegiatan sebagaimana didefinisikan dalam peraturan ini, diwajibkan untuk melaksanakan kewajiban perpajakan yang bersifat periodik." Kalimat semacam ini tidak menambah kejelasan; ia hanya menambah hambatan psikologis dan waktu pemrosesan.

4.2. Ketergantungan pada Referensi Silang

Sebuah peraturan tidak pernah berdiri sendiri. Dalam upaya menjaga konsistensi, pembuat regulasi sering menggunakan referensi silang (cross-referencing) secara berlebihan. Untuk memahami satu pasal, pembaca dipaksa untuk merujuk ke lima undang-undang dan tiga peraturan pelaksana lainnya. Ini menciptakan efek ‘Rabbit Hole’ regulasi, di mana upaya sederhana untuk memahami kewajiban berakhir dengan pencarian dokumen yang tidak ada habisnya.

Ketergantungan ini diperparah ketika peraturan yang dirujuk sudah usang atau telah diubah. Karena proses amandemen seringkali tidak disertai dengan konsolidasi dokumen, warga dan bisnis harus secara manual melacak rantai perubahan ini. Hal ini mustahil dilakukan tanpa bantuan profesional berdedikasi, menjamin bahwa Legasteni terus menafkahi industri jasa hukum, namun dengan mengorbankan masyarakat umum.

V. Studi Kasus Manifestasi Legasteni

Legasteni tidak hanya berupa teori; ia memiliki dampak nyata dalam berbagai sektor vital.

5.1. Kasus Perizinan Berusaha

Perizinan adalah salah satu titik kontak utama antara negara dan dunia usaha, dan seringkali menjadi episentrum Legasteni. Meskipun reformasi telah mendorong sistem perizinan berbasis risiko, warisan regulasi yang kompleks tetap menghantui.

Sebagai contoh, mendirikan pabrik kecil mungkin memerlukan izin lingkungan yang dikeluarkan oleh otoritas provinsi, izin bangunan yang dikeluarkan oleh otoritas kota, sertifikasi keselamatan produk dari badan teknis nasional, dan persetujuan tata ruang dari kementerian pusat. Masing-masing izin ini memiliki persyaratan dokumen yang berbeda, proses yang tidak selaras, dan seringkali membutuhkan salinan dokumen yang sama dalam format yang berbeda (misalnya, fotokopi legalisir vs. unggahan digital).

Ketika proses ini gagal diselaraskan, pelaku usaha harus menunggu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, menciptakan biaya peluang yang sangat besar. Pada akhirnya, waktu yang terbuang ini diterjemahkan menjadi biaya barang yang lebih tinggi bagi konsumen dan hilangnya pekerjaan potensial.

5.2. Kasus Regulasi Digital dan Inovasi

Di sektor teknologi, Legasteni sangat berbahaya karena kecepatan inovasi melampaui kemampuan birokrasi untuk merespons secara rasional. Ketika teknologi baru muncul (misalnya, kripto, AI, atau bioteknologi), respons birokrasi adalah mencoba memasukkannya ke dalam kategori hukum lama yang tidak sesuai.

Misalnya, mencoba mengatur kontrak pintar (smart contracts) menggunakan kerangka hukum kontrak kertas abad ke-19 adalah resep untuk bencana. Ketidakmampuan untuk menciptakan regulasi yang lincah dan berorientasi pada prinsip (bukan berbasis aturan detail yang kaku) memaksa perusahaan teknologi untuk beroperasi di zona abu-abu regulasi, atau lebih buruk lagi, memindahkan kantor mereka ke yurisdiksi yang lebih ramah inovasi, menghilangkan potensi pertumbuhan ekonomi domestik.

VI. Upaya Mitigasi dan Solusi Radikal terhadap Legasteni

Mengatasi Legasteni memerlukan intervensi yang mendasar, bukan sekadar penambahan regulasi baru tentang bagaimana membuat regulasi yang lebih baik. Solusi harus mencakup reformasi institusional, linguistik, dan teknologi. Proses penyembuhan dari Legasteni adalah proses dekonstruksi dan pembangunan kembali fondasi hukum dan tata kelola.

6.1. Gerakan Bahasa Hukum Sederhana (Plain Language Movement)

Langkah pertama dan terpenting adalah reformasi linguistik. Hukum harus ditulis agar dapat dibaca, dipahami, dan digunakan oleh warga negara rata-rata. Prinsip-prinsip Plain Language atau Bahasa Sederhana harus diwajibkan dalam setiap draf peraturan di semua tingkatan pemerintahan.

6.1.1. Prinsip Inti Plain Language:

Penerapan gerakan ini membutuhkan pelatihan ulang massal bagi seluruh staf penyusun legislasi dan pengacara negara, mengubah budaya di mana kompleksitas sering disamakan dengan kecanggihan intelektual.

6.2. Reformasi Kelembagaan: ‘Guillotine’ Regulasi

Tidak cukup hanya membuat regulasi baru menjadi sederhana; kita harus secara agresif menghilangkan regulasi lama yang tidak relevan, tumpang tindih, atau usang—inilah yang disebut ‘Guillotine Regulasi’.

6.2.1. Mandat Sunset Clause dan Review Berkala:

Setiap peraturan baru harus menyertakan Sunset Clause (Klausul Kedaluwarsa) yang menentukan bahwa regulasi tersebut akan berakhir secara otomatis setelah jangka waktu tertentu (misalnya, 5 atau 10 tahun), kecuali jika secara aktif diperbarui melalui proses tinjauan yang ketat. Proses tinjauan ini harus membuktikan relevansi dan efektivitas regulasi tersebut di tengah Legasteni yang sudah ada.

6.2.2. Prinsip ‘One In, Two Out’ (Satu Masuk, Dua Keluar):

Untuk setiap regulasi baru yang diperkenalkan, birokrasi harus wajib mengidentifikasi dan menghapus setidaknya dua regulasi lama yang memiliki biaya kepatuhan serupa. Prinsip ini memastikan bahwa kompleksitas total sistem hukum tidak bertambah, melainkan berkurang secara bertahap, memaksa pembuat regulasi untuk mempertimbangkan biaya dan manfaat bersih dari setiap tindakan legislatif mereka.

6.3. Peran Teknologi dalam Melawan Legasteni

Teknologi dapat menjadi senjata paling ampuh melawan Legasteni. Digitalisasi bukan hanya tentang mengubah dokumen kertas menjadi PDF; ini tentang restrukturisasi fundamental cara hukum diakses, diproses, dan dipatuhi.

6.3.1. Konsolidasi dan Basis Data Terpusat (Smart Regulation):

Semua peraturan, keputusan, dan amandemen harus dimasukkan ke dalam basis data digital tunggal yang dapat dicari dan dianalisis secara semantik. Basis data ini harus otomatis mengkonsolidasikan perubahan, sehingga warga negara tidak perlu membaca draf asli, amandemen pertama, dan peraturan pelaksana secara terpisah. Ketika pengguna mencari sebuah topik, sistem harus menampilkan versi hukum yang berlaku penuh (konsolidasi) dan sederhana.

6.3.2. Legal Tech dan Kecerdasan Buatan (AI):

AI dan Natural Language Processing (NLP) dapat digunakan untuk: (a) mengidentifikasi dan memetakan konflik antar peraturan secara otomatis; (b) menerjemahkan bahasa hukum yang kompleks menjadi instruksi langkah demi langkah yang sederhana bagi UMKM; dan (c) memprediksi dampak regulasi baru terhadap biaya kepatuhan Legasteni sebelum regulasi tersebut disahkan. Hal ini mengubah hukum dari teks statis yang membebani menjadi alat navigasi dinamis.

Digitalisasi dan Klarifikasi Hukum

Alt Text: Ilustrasi chip AI atau otak yang bekerja membersihkan dan meratakan kertas yang kusut, melambangkan simplifikasi regulasi melalui teknologi.

VII. Menuju Legislasi yang Responsif dan Bertanggung Jawab

Mengatasi Legasteni adalah upaya berkelanjutan yang menuntut perubahan paradigma dari kepatuhan buta menjadi tata kelola berbasis hasil. Ini membutuhkan penanaman budaya baru di kalangan pembuat hukum: budaya yang menghargai kejelasan, efisiensi, dan dampak nyata terhadap kehidupan masyarakat.

7.1. Evaluasi Dampak Regulasi (Regulatory Impact Assessment/RIA) yang Diperkuat

Sebelum regulasi disahkan, harus ada penilaian dampak yang jujur dan komprehensif. RIA saat ini seringkali fokus pada dampak ekonomi dan lingkungan, namun harus diperluas untuk mencakup 'Dampak Kompleksitas' (Complexity Impact). Penilaian ini harus menjawab pertanyaan krusial: Seberapa besar beban Legasteni yang akan ditambahkan oleh regulasi ini? Apakah biaya pemenuhan (waktu, dokumen, sumber daya) sebanding dengan manfaat yang diharapkan? Jika biaya kompleksitas terlalu tinggi, regulasi harus ditolak atau disederhanakan secara radikal. RIA harus menjadi tembok pertama pertahanan melawan Legasteni.

Selain itu, RIA harus melibatkan konsultasi publik yang sesungguhnya, bukan sekadar formalitas. Pengusaha kecil, petani, dan perwakilan masyarakat sipil harus memiliki suara yang setara dengan pengacara korporat, memastikan bahwa regulasi diuji aksesibilitasnya di lapangan, bukan hanya di ruang rapat eksklusif di ibu kota.

7.2. Desentralisasi dan Lokalitas Regulasi

Legasteni sering diperburuk oleh pendekatan 'satu ukuran cocok untuk semua' dari pusat. Banyak masalah yang paling baik diatasi melalui regulasi lokal yang sesuai dengan konteks budaya, geografis, dan ekonomi spesifik daerah. Ketika aturan pusat berusaha mengatur detail yang seharusnya diserahkan kepada pemerintah daerah, hasilnya adalah aturan yang tidak praktis, sulit diterapkan, dan menambah lapisan Legasteni yang tidak perlu.

Pendekatan ini menuntut pembuat kebijakan pusat untuk berfokus pada kerangka prinsip dasar dan standar minimum, sementara memberikan otoritas dan fleksibilitas kepada daerah untuk menyusun prosedur dan implementasi yang sederhana dan relevan. Hal ini mengurangi risiko tumpang tindih regulasi vertikal (antara pusat dan daerah) yang merupakan salah satu sumber utama Legasteni.

7.3. Pendidikan Hukum yang Berorientasi Praktik

Institusi pendidikan hukum harus mengubah kurikulum mereka untuk mengatasi Legasteni dari akarnya. Fokus harus bergeser dari sekadar menghafal pasal dan mempelajari doktrin kuno menjadi keterampilan praktis dalam penyusunan hukum yang jelas, analisis dampak regulasi, dan penggunaan teknologi hukum (Legal Tech).

Pengacara masa depan harus dilatih sebagai arsitek sistem, bukan hanya sebagai penafsir teks. Mereka perlu memahami bahwa tujuan hukum adalah memfasilitasi aktivitas manusia dan mencapai keadilan, bukan menciptakan pekerjaan melalui kompleksitas. Memasukkan etika simplifikasi dan transparansi ke dalam pendidikan hukum adalah investasi jangka panjang melawan Legasteni yang akan menghasilkan generasi birokrat dan praktisi hukum yang berbeda.

VIII. Mengatasi Resistensi terhadap Simplifikasi

Perjuangan melawan Legasteni akan menghadapi resistensi kuat, karena kompleksitas memberikan kekuasaan. Ada pihak-pihak yang diuntungkan secara finansial, profesional, dan politis dari sistem yang rumit.

8.1. Mengungkap Kepentingan Profesi

Industri konsultan, biro hukum korporat, dan bahkan sebagian besar aparat birokrasi mengandalkan kompleksitas untuk membenarkan keberadaan dan tingginya biaya jasa mereka. Regulasi yang sederhana dapat mengancam model bisnis berbasis perantara yang didirikan di atas jurang pemisah informasi yang diciptakan oleh Legasteni. Perlawanan ini harus diatasi melalui transparansi dan akuntabilitas publik. Ketika setiap regulasi baru menyertakan kalkulasi eksplisit mengenai biaya Legasteni, masyarakat dapat menekan balik terhadap pembuat kebijakan yang bersekutu dengan kompleksitas.

8.2. Ketakutan akan ‘Kekosongan Hukum’

Ada ketakutan institusional bahwa simplifikasi akan menciptakan ‘kekosongan hukum’ (legal vacuum) atau bahwa hukum yang sederhana akan mudah dieksploitasi. Ini adalah argumen palsu. Hukum yang sederhana adalah hukum yang jelas; ia tidak berarti hukum yang dangkal. Presisi dan kejelasan dapat dicapai melalui bahasa yang ringkas dan terfokus, bukan melalui panjang kalimat yang tak terbatas. Menghapus ratusan regulasi lama yang bertentangan justru menghilangkan kekosongan yang diciptakan oleh ambiguitas, bukan menciptakannya.

Pemerintah harus berani mengambil risiko untuk menghilangkan regulasi yang berlebihan, didukung oleh pengawasan yang kuat. Hukum yang efektif adalah hukum yang memungkinkan tindakan, bukan hukum yang melarang setiap kemungkinan kecuali yang diizinkan secara eksplisit.

IX. Dimensi Filosofis: Hukum sebagai Layanan Publik

Pada tingkat filosofis, memerangi Legasteni adalah upaya untuk mengembalikan hukum pada fungsi dasarnya sebagai layanan publik. Hukum tidak boleh menjadi alat penindasan atau sumber penghasilan bagi segelintir profesional. Ia harus menjadi infrastruktur yang memfasilitasi interaksi sosial, ekonomi, dan politik yang adil.

Sistem yang dirundung Legasteni mencerminkan kegagalan negara untuk melayani warganya dengan efisien. Sebagaimana akses ke air bersih atau listrik adalah hak dasar yang disediakan melalui infrastruktur yang andal, akses ke hukum yang jelas dan dapat dipatuhi juga merupakan infrastruktur dasar kedaulatan yang harus dijamin negara.

Ketika hukum dibuat sangat rumit, negara secara tidak langsung mengatakan kepada warganya, "Anda tidak kompeten untuk memahami aturan hidup Anda sendiri." Hal ini merusak otonomi warga negara. Simplifikasi hukum adalah tindakan memberdayakan warga negara, mengembalikan kedaulatan mereka atas aturan-aturan yang mengatur hidup mereka, dan menuntut akuntabilitas dari para penguasa yang membuat aturan tersebut.

Reformasi Legasteni harus dianggap sebagai proyek keadilan sosial. Membuka pintu hukum, yang saat ini tertutup oleh gerbang birokrasi yang rumit, akan memberikan manfaat terbesar bagi kelompok masyarakat yang paling rentan—mereka yang tidak mampu membeli jasa konsultan mahal. Hukum yang jelas adalah hukum yang demokratis.

Mengintegrasikan teknologi AI dan Legal Tech bukan hanya tentang efisiensi, tetapi tentang demokratisasi informasi hukum. Dengan platform digital yang mampu menyediakan interpretasi awal yang sederhana dan panduan kepatuhan, hambatan Legasteni dapat dirobohkan secara sistematis, memungkinkan setiap warga negara, di mana pun mereka berada, untuk memahami hak dan kewajiban mereka tanpa memerlukan perantara yang mahal. Ini adalah bentuk tertinggi dari layanan publik hukum.

Sebuah negara yang bertekad untuk mengatasi Legasteni menunjukkan komitmennya pada prinsip good governance, bukan hanya pada retorika. Itu berarti pembuat kebijakan harus berani untuk tidak hanya menciptakan aturan, tetapi juga secara proaktif menghancurkan aturan yang menghambat. Ini adalah bentuk dari pertanggungjawaban regulatif, di mana kegagalan aturan untuk melayani tujuan publik akan mengakibatkan penghapusan aturan tersebut tanpa rasa kasihan atau keterikatan historis.

Konsep Legasteni menuntut kita untuk menilai kembali nilai kompleksitas. Dalam banyak domain, kompleksitas dianggap sebagai tanda kedalaman atau kecanggihan. Namun, dalam hukum dan birokrasi, kompleksitas yang berlebihan adalah kegagalan desain—ia adalah parasit yang menghisap energi dan sumber daya. Kita harus mengejar kejelasan dan kesederhanaan sebagai tanda tertinggi dari kecanggihan legislatif. Hukum yang paling elegan adalah hukum yang paling mudah dipahami dan ditaati.

Proses pembersihan ini membutuhkan alokasi sumber daya yang signifikan, setara dengan upaya besar dalam pembangunan infrastruktur fisik. Membangun infrastruktur hukum yang bersih, sederhana, dan digital adalah sama pentingnya dengan membangun jalan tol atau jaringan listrik. Tanpa fondasi hukum yang kuat dan bebas Legasteni, semua upaya pembangunan ekonomi dan sosial akan terhambat oleh gesekan dan kelelahan sistemik.

Kita perlu menetapkan Metrik Legasteni. Pemerintah harus secara rutin mempublikasikan indeks kompleksitas regulasi mereka, mengukur rata-rata panjang kalimat dalam undang-undang, jumlah referensi silang per pasal, dan waktu rata-rata yang diperlukan UMKM untuk mendapatkan izin. Dengan metrik yang transparan ini, masyarakat dapat meminta pertanggungjawaban pemerintah atas kemajuan, atau kegagalan, dalam memerangi Legasteni. Jika apa yang tidak diukur tidak dapat dikelola, maka kompleksitas harus diukur secara brutal jujur.

Tantangan Legasteni juga merupakan ujian bagi kepemimpinan politik. Diperlukan kemauan politik yang kuat untuk menentang kepentingan birokrasi yang sudah mapan dan kelompok profesi yang diuntungkan oleh status quo. Reformasi Legasteni seringkali tidak menghasilkan keuntungan politik jangka pendek karena hasilnya bersifat pengurangan, yaitu menghilangkan hambatan. Namun, dampaknya terhadap produktivitas nasional dan keadilan sosial bersifat transformatif dan tahan lama. Kepemimpinan sejati adalah yang memilih kesulitan simplifikasi jangka pendek demi manfaat sistemik jangka panjang.

Legasteni juga membatasi kemampuan pemerintah untuk beradaptasi terhadap krisis. Dalam situasi darurat, kemampuan untuk dengan cepat mengubah atau menangguhkan regulasi yang menghambat respon sangat penting. Sistem yang sudah terlalu kompleks akan lumpuh ketika dihadapkan pada tekanan mendesak, seperti pandemi global atau bencana alam. Regulasi yang berlapis-lapis dan saling terikat membuat perubahan yang diperlukan menjadi lambat, kaku, dan seringkali terlambat, membuktikan bahwa kompleksitas adalah kelemahan, bukan kekuatan.

Oleh karena itu, setiap pembuat kebijakan harus menginternalisasi pertanyaan sederhana ini sebelum mengesahkan regulasi baru: "Apakah ini benar-benar membuat hidup masyarakat lebih mudah atau hanya menambah pekerjaan bagi birokrasi?" Jika jawabannya adalah yang terakhir, maka regulasi tersebut adalah cikal bakal Legasteni yang harus dihindari.

Pada akhirnya, solusi terhadap Legasteni bukanlah sekadar reformasi prosedural. Ini adalah refleksi moral tentang hubungan antara negara dan warga negaranya. Sebuah sistem hukum yang bermartabat adalah yang memperlakukan warganya dengan rasa hormat, yang diwujudkan dalam aturan-aturan yang jelas, jujur, dan mudah dipahami. Melalui komitmen yang tak tergoyahkan terhadap simplifikasi dan transparansi, kita dapat menyembuhkan kelelahan sistemik Legasteni dan membangun kembali supremasi hukum yang benar-benar melayani keadilan dan kemakmuran bersama. Kita harus mengganti budaya "mencegah segala risiko" dengan budaya "memfasilitasi tindakan yang bertanggung jawab."

Ini juga menuntut perubahan dalam cara kita melihat sanksi dan penegakan hukum. Dalam sistem Legasteni, sanksi seringkali diterapkan secara kaku dan tidak proporsional, karena sistem tidak memiliki fleksibilitas. Dengan hukum yang sederhana dan jelas, penegakan dapat berfokus pada pelanggaran substantif, bukan pada ketidakpatuhan prosedural yang disebabkan oleh kebingungan regulasi. Sanksi harus menjadi alat untuk mengoreksi perilaku, bukan sekadar sumber pendapatan atau cara untuk menegaskan kekuasaan birokrasi.

Seluruh proses reformasi ini memerlukan sebuah badan pengawas atau komite independen yang secara eksklusif bertugas untuk mengaudit kompleksitas regulasi yang sudah ada. Badan ini harus memiliki kekuatan untuk merekomendasikan pencabutan tanpa perlu persetujuan politik yang rumit, berdasarkan kriteria tunggal: apakah regulasi tersebut menambah Legasteni tanpa memberikan manfaat substansial yang proporsional. Ini adalah langkah radikal, tetapi kompleksitas yang telah mendarah daging memerlukan tindakan yang sama radikalnya.

Mengatasi Legasteni juga berarti mengakui bahwa kesalahan dalam regulasi adalah bagian tak terhindarkan dari proses pembuatan aturan. Daripada merespons kesalahan dengan lapisan aturan yang lebih tebal (yang hanya memperburuk Legasteni), kita harus membangun mekanisme pembelajaran dan koreksi diri yang cepat dan sederhana. Regulator harus diperbolehkan dan didorong untuk mengakui bahwa sebuah aturan tidak berfungsi atau terlalu rumit, dan kemudian mencabutnya atau menyederhanakannya dengan cepat, tanpa harus melalui prosedur legislatif yang memakan waktu bertahun-tahun.

Penting untuk diingat bahwa setiap jam yang dihabiskan oleh seorang pengusaha kecil untuk mencoba memahami formulir perizinan adalah jam yang hilang dari inovasi, penciptaan lapangan kerja, dan pelayanan kepada pelanggan. Ketika Legasteni dikurangi, energi kolektif masyarakat dialihkan dari kepatuhan yang menyiksa ke produktivitas yang memberdayakan. Simplifikasi regulasi bukan hanya kebijakan ekonomi; itu adalah strategi pembangunan bangsa.

Di masa depan, hukum harus berfungsi seperti perangkat lunak yang diperbarui secara otomatis. Ketika ada perubahan atau amandemen, sistem digital harus segera memperbarui semua referensi yang terkait, memberi tahu pengguna tentang perubahan yang relevan dengan pekerjaan mereka, dan bahkan menawarkan panduan langkah demi langkah tentang cara mematuhi versi baru. Ini adalah visi 'Hukum 4.0'—sebuah ekosistem hukum yang adaptif, transparan, dan, yang terpenting, bebas dari Legasteni.

X. Penutup: Menyongsong Era Klaritas Hukum

Legasteni adalah musuh senyap dari tata kelola yang efektif dan keadilan substantif. Ia membebani masyarakat, melumpuhkan birokrasi, dan menciptakan ketidaksetaraan akses terhadap hak. Untuk mengalahkan Legasteni, kita memerlukan reformasi yang komprehensif: reformasi bahasa (Plain Language), reformasi kelembagaan (Guillotine dan Sunset Clause), dan reformasi teknologi (Smart Regulation dan AI).

Perjalanan menuju era klaritas hukum akan panjang dan menantang, menuntut keberanian politik dan perubahan budaya. Namun, imbalannya jauh lebih besar daripada sekadar efisiensi administrasi; ia adalah pemulihan kepercayaan publik terhadap sistem hukum, pemberdayaan ekonomi bagi UMKM, dan penegasan kembali prinsip bahwa hukum harus melayani, bukan memerintah melalui kerumitan. Hanya dengan memerangi Legasteni secara tuntas, sebuah negara dapat mengklaim supremasi hukum yang sesungguhnya.