Lekas Lekas: Memahami Filosofi Urgensi di Abad Modern
Konsep lekas lekas, atau kecepatan yang mendesak, telah menjadi mantra yang tidak terhindarkan dalam ritme kehidupan modern. Sejak fajar revolusi industri hingga ledakan informasi digital, tekanan untuk bergerak lebih cepat, merespons lebih instan, dan menyelesaikan tugas dalam waktu yang semakin sempit terus meningkat. Kita tidak hanya dituntut untuk bergerak, tetapi untuk bergerak dengan urgensi yang konsisten.
Namun, apakah kecepatan yang tak terkendali ini benar-benar membawa kita pada kualitas hidup dan hasil yang lebih baik, ataukah ia hanya menciptakan siklus kelelahan dan dangkal? Artikel ini akan menelusuri secara mendalam dimensi filosofis, psikologis, dan praktis dari budaya `lekas lekas`, menganalisis bagaimana kita dapat menguasai kecepatan tanpa kehilangan substansi, dan bagaimana menemukan irama yang optimal di tengah gempuran tuntutan instan.
Penting untuk membedakan antara efisiensi yang terencana dengan kecepatan yang reaktif. Dalam banyak kasus, dorongan untuk `lekas lekas` merupakan respons yang tidak disengaja terhadap lingkungan yang kacau, bukan strategi yang disengaja untuk mencapai tujuan besar. Memahami akar dari kebutuhan untuk mempercepat segala sesuatu adalah langkah pertama menuju pengelolaan waktu dan energi yang lebih bijaksana. Kehidupan yang terburu-buru sering kali adalah kehidupan yang tidak diprioritaskan dengan baik.
I. Dimensi Filosofis dari Kecepatan: Kontradiksi Urgensi dan Kedalaman
Secara historis, urgensi sering dikaitkan dengan krisis atau bahaya. Konsep `lekas lekas` pada masa lalu merujuk pada kebutuhan sesaat untuk bertindak cepat demi kelangsungan hidup atau peluang yang singkat. Namun, di era kontemporer, urgensi telah berubah dari keadaan darurat menjadi standar operasional. Kita hidup dalam keadaan "darurat kronis."
A. Kecepatan Versus Kualitas (The Trade-Off)
Salah satu dilema terbesar dari budaya `lekas lekas` adalah pertukaran abadi antara kecepatan (volume) dan kualitas (substansi). Dalam bidang manufaktur, ini dikenal sebagai tiga serangkai proyek: Anda bisa memilih dua dari tiga (cepat, murah, atau berkualitas). Dalam kehidupan pribadi dan profesional, tekanan untuk menyelesaikan tugas dengan cepat sering kali mengorbankan pemeriksaan detail, proses refleksi, dan kedalaman pemikiran yang diperlukan untuk inovasi sejati atau karya abadi.
Filsuf dan pemikir telah lama memperingatkan bahaya hidup yang terlalu cepat. Seneca, seorang Stoik Romawi, menekankan bahwa hidup yang dianggap pendek bukanlah karena keterbatasan waktu, melainkan karena waktu tersebut disia-siakan dalam aktivitas yang tidak esensial. Kecepatan yang berlebihan, menurut pandangan ini, adalah bentuk lain dari kemalasan, karena kita menghindari pekerjaan sulit berupa pemikiran mendalam dengan mengisi waktu kita dengan aktivitas yang mudah dan cepat.
B. Fenomena Waktu yang Dipercepat
Ahli sosiologi dan studi budaya telah mencatat bahwa zaman modern dicirikan oleh percepatan sosial. Teknologi, pasar modal, dan bahkan media massa berfungsi berdasarkan kecepatan yang terus meningkat. Akibatnya, kita mengalami "temporal poverty" (kemiskinan waktu), sebuah keadaan di mana meskipun kita mungkin memiliki lebih banyak sumber daya dan perangkat yang seharusnya menghemat waktu, kita justru merasa semakin terdesak dan kurang memiliki waktu luang yang bermakna. Ini adalah ironi terbesar dari budaya `lekas lekas`: semakin cepat kita bergerak, semakin sedikit waktu yang kita rasakan.
Percepatan ini menciptakan tekanan psikologis yang konstan. Setiap tugas, tidak peduli seberapa kecil, terasa seperti harus diselesaikan saat ini juga. Email, pesan instan, dan notifikasi adalah artefak dari budaya ini; mereka menuntut respons segera, melatih otak kita untuk selalu berada dalam mode reaktif, menjauhkan kita dari mode proaktif yang penting untuk pekerjaan yang membutuhkan fokus mendalam (Deep Work).
II. Urgensi dalam Psikologi dan Neuroscience: Respon Otak terhadap Desakan
Dorongan untuk bertindak `lekas lekas` bukanlah semata-mata pilihan sadar; ia memiliki landasan kuat dalam cara kerja sistem saraf kita dan respons kita terhadap tekanan.
A. Lingkaran Umpan Balik Dopamin dan Respon Instan
Di era digital, konsep urgensi dieksploitasi melalui desain antarmuka pengguna. Notifikasi, pop-up, dan pesan yang ditandai sebagai "penting" atau "segera" memicu pelepasan dopamin di otak kita. Menyelesaikan tugas kecil, seperti membalas pesan atau memeriksa daftar, memberikan "hit" dopamin yang memuaskan. Kita menjadi kecanduan pada rasa penyelesaian instan ini.
Masalahnya, otak kita mulai menyamakan kecepatan (melakukan banyak hal kecil dengan cepat) dengan produktivitas sejati (melakukan hal penting yang berdampak besar). Hal ini menciptakan perangkap aktivitas: kita merasa sibuk karena terus-menerus bergerak `lekas lekas`, padahal sebenarnya kita hanya melakukan pekerjaan dangkal yang mudah digantikan. Fenomena ini menjelaskan mengapa banyak orang merasa sangat lelah di penghujung hari tetapi sulit menunjukkan hasil yang substansial. Mereka korban dari urgensi palsu.
B. Stres Kronis dan Kecepatan
Ketika lingkungan kerja atau sosial terus-menerus menuntut kecepatan, tubuh kita memasuki keadaan respons stres yang berkepanjangan (fight or flight). Meskipun tidak ada harimau di kantor, tenggat waktu yang ketat memicu pelepasan kortisol. Jika tuntutan `lekas lekas` terus-menerus terjadi, kortisol menjadi kronis, menyebabkan:
- Penurunan fungsi kognitif, terutama kemampuan memecahkan masalah kompleks.
- Peningkatan kecenderungan untuk membuat kesalahan ceroboh karena pemrosesan informasi yang terburu-buru.
- Kehilangan kemampuan untuk berpikir strategis jangka panjang, karena otak selalu fokus pada krisis yang paling dekat.
Maka, ironisnya, kecepatan yang dipaksakan akhirnya memperlambat kita secara keseluruhan karena mengurangi efektivitas mental dan fisik. Tindakan yang dilakukan dengan terburu-buru memerlukan perbaikan di kemudian hari, menghabiskan waktu lebih banyak daripada jika dilakukan dengan tenang dan benar sejak awal—pepatah kuno "cepat lambat" (hasty makes waste) masih berlaku.
III. Mengelola Lekas Lekas: Praktik Produktivitas yang Disengaja
Bertindak cepat tidak selalu buruk, asalkan kecepatan tersebut merupakan hasil dari perencanaan yang matang, bukan dorongan reaktif. Tujuannya adalah mentransformasi `lekas lekas` reaktif menjadi efisiensi proaktif.
A. Matriks Eisenhower: Menjinakkan Urgensi Palsu
Alat paling fundamental untuk mengendalikan budaya `lekas lekas` adalah membedakan antara yang mendesak dan yang penting. Matriks Eisenhower (atau Matriks Urgensi-Penting) memaksa kita untuk mengkategorikan tugas ke dalam empat kuadran, yang secara efektif menyingkap di mana waktu kita benar-benar harus diinvestasikan:
- Mendesak dan Penting (Kuadran I): Krisis. Ini adalah tugas yang harus diselesaikan `lekas lekas`. Namun, fokus utama harus mengurangi kuadran ini melalui perencanaan proaktif.
- Tidak Mendesak tetapi Penting (Kuadran II): Kualitas. Ini adalah inti dari produktivitas sejati—perencanaan jangka panjang, pengembangan keterampilan, pencegahan masalah. Tugas di sini jarang menuntut `lekas lekas` hari ini, tetapi jika diabaikan, akan menjadi krisis di Kuadran I.
- Mendesak tetapi Tidak Penting (Kuadran III): Ilusi. Ini adalah perangkap utama dari budaya `lekas lekas`. Tugas ini menuntut perhatian segera (seperti banyak email, panggilan telepon yang tidak relevan, atau pertemuan yang tidak perlu), tetapi tidak berkontribusi pada tujuan utama Anda. Kuadran ini harus didelegasikan atau dihilangkan.
- Tidak Mendesak dan Tidak Penting (Kuadran IV): Sampah. Tugas yang harus dihindari sepenuhnya.
Orang yang terus-menerus merasa harus bertindak `lekas lekas` biasanya terjebak di Kuadran I dan III. Solusinya adalah menghabiskan sebagian besar waktu di Kuadran II, di mana kecepatan adalah hasil dari persiapan, bukan kepanikan.
B. Penerapan Deep Work (Kerja Mendalam)
Untuk melawan tren pekerjaan dangkal yang dihasilkan dari respons `lekas lekas` yang konstan, penting untuk mengadopsi praktik kerja mendalam (Deep Work), sebuah konsep yang dipopulerkan oleh Cal Newport. Deep Work adalah kemampuan untuk fokus tanpa gangguan pada tugas yang menuntut kognisi tinggi.
Deep Work membutuhkan waktu yang sengaja dilindungi dari urgensi digital. Ini berarti:
- Blok Waktu: Menjadwalkan sesi 90-120 menit di mana semua komunikasi dilarang. Kecepatan (atau penyelesaian) yang dicapai di sini adalah kecepatan berkualitas, karena didukung oleh konsentrasi penuh.
- Memperlambat Komunikasi: Menghilangkan asumsi bahwa setiap pesan harus dibalas `lekas lekas`. Menetapkan batasan (misalnya, hanya memeriksa email pada jam tertentu) mendidik orang lain tentang irama kerja Anda dan mengurangi urgensi buatan.
- Ritual Transisi: Menciptakan ritual sebelum memulai Deep Work untuk mengirim sinyal pada otak bahwa sudah waktunya untuk bergerak dari mode reaktif (cepat, dangkal) ke mode fokus (lambat, berkualitas).
C. Hukum Parkinson dan Batas Waktu yang Tepat
Hukum Parkinson menyatakan bahwa pekerjaan akan berkembang untuk mengisi waktu yang tersedia untuk penyelesaiannya. Jika Anda memberi waktu dua minggu untuk tugas yang sebenarnya bisa diselesaikan dalam dua hari, maka tugas itu akan memakan waktu dua minggu.
Strategi untuk memanfaatkan Hukum Parkinson secara positif adalah dengan secara sengaja menetapkan batas waktu yang ketat, tetapi realistis. Ini menciptakan urgensi yang disengaja. Urgensi positif ini mendorong fokus, menghindari perfeksionisme yang tidak perlu, dan memaksa pengambilan keputusan yang cepat, memungkinkan Anda bertindak `lekas lekas` tanpa mengorbankan kualitas inti. Kuncinya adalah batas waktu yang ditetapkan harus tetap memberi ruang untuk tinjauan kualitas sebelum penyelesaian akhir.
IV. Lekas Lekas dalam Konteks Sosial dan Ekonomi
Tekanan untuk bergerak `lekas lekas` tidak hanya bersifat pribadi; ia tertanam dalam struktur ekonomi dan sosial kita, menciptakan pergeseran paradigma dalam cara bisnis beroperasi dan masyarakat berinteraksi.
A. Ekonomi Instan (The Instant Economy)
Konsumen kini mengharapkan segala sesuatu disajikan dengan `lekas lekas`. Dari pengiriman paket dalam hitungan jam hingga layanan pelanggan yang harus merespons dalam hitungan detik. Ekonomi instan ini didorong oleh platform digital yang menjanjikan menghilangkan gesekan dan penundaan.
Meskipun ini meningkatkan kenyamanan, ia juga meningkatkan tingkat stres pada rantai pasokan dan tenaga kerja. Pekerja dalam ekonomi gig (platform-based economy) sering kali dipaksa untuk bergerak `lekas lekas` di bawah tekanan algoritma dan penilaian pelanggan, mengorbankan keselamatan, kesejahteraan, dan kepastian kerja. Kecepatan menjadi komoditas, dan dampaknya sering kali dirasakan oleh mereka yang berada di ujung paling bawah.
B. Budaya Pertemuan dan Multitasking
Di lingkungan korporat, urgensi sering dimanifestasikan melalui jadwal pertemuan yang padat dan ekspektasi multitasking yang tidak realistis. Kita didorong untuk melakukan `lekas lekas` beberapa hal sekaligus. Namun, penelitian menunjukkan bahwa otak manusia tidak benar-benar multitasking; ia hanya beralih konteks (context switching) dengan sangat cepat.
Setiap kali kita beralih antara tugas A (menulis laporan penting) dan tugas B (merespons pesan Slack yang mendesak), otak kita membutuhkan waktu untuk memuat ulang konteks tugas A. Efek ini, yang disebut "biaya peralihan" (switch cost), secara dramatis mengurangi efisiensi dan meningkatkan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan kedua tugas, meskipun kita merasa seperti bergerak `lekas lekas`. Kualitas kerja yang dilakukan saat multitasking hampir selalu lebih rendah.
C. Kecepatan dalam Komunikasi: Hilangnya Nuansa
Komunikasi modern didominasi oleh kecepatan. Kita mengirim email, tweet, dan pesan teks yang sangat ringkas untuk memastikan respons cepat. Dalam kecepatan `lekas lekas` ini, nuansa sering hilang. Kesalahpahaman meningkat karena kurangnya konteks, nada, atau refleksi yang disediakan oleh komunikasi yang lebih lambat dan lebih terstruktur (seperti surat atau percakapan tatap muka yang tenang).
Kecepatan menuntut kejelasan yang instan, tetapi kejelasan sering kali membutuhkan waktu untuk dirumuskan. Mempraktikkan komunikasi yang disengaja—berpikir sebelum merespons, memilih media komunikasi yang tepat untuk pesan yang kompleks—adalah cara untuk memperlambat laju interaksi tanpa mengorbankan efektivitas.
V. Seni Memperlambat dan Memilih Irama: Keseimbangan yang Berkelanjutan
Tujuan akhir bukanlah menolak kecepatan sepenuhnya, tetapi memilih dengan sadar di mana dan kapan kita harus bertindak `lekas lekas`, dan di mana kita harus memilih kelambatan (slowness) yang disengaja.
A. Menghargai 'Waktu Kosong' (Negative Space)
Dalam seni dan desain, ruang negatif (negative space) adalah elemen sama pentingnya dengan subjek utama. Dalam kehidupan, "waktu kosong" (atau waktu luang yang tidak terstruktur) berfungsi sebagai ruang negatif yang krusial. Budaya `lekas lekas` sering melihat waktu luang sebagai kegagalan atau pemborosan.
Padahal, waktu kosong adalah tempat di mana pemikiran mendalam, koneksi ide, dan kreativitas muncul. Otak kita memerlukan periode non-aktivitas yang terencana untuk memproses informasi yang terkumpul selama periode `lekas lekas`. Dengan sengaja memasukkan waktu luang ke dalam jadwal, kita memberi diri kita izin untuk tidak terburu-buru, dan paradoksnya, ini sering kali meningkatkan kualitas pekerjaan yang kita lakukan saat kita kembali ke tugas.
B. Manajemen Energi, Bukan Hanya Waktu
Strategi manajemen waktu tradisional (seperti membuat daftar tugas yang panjang dan mencoba menyelesaikannya `lekas lekas`) sering kali gagal karena mengabaikan keterbatasan energi manusia. Kita tidak memiliki cadangan energi yang sama sepanjang hari.
Manajemen energi berfokus pada:
- Menemukan Jam Biologis Terbaik: Identifikasi kapan Anda secara alami paling waspada dan berenergi. Tugaskan pekerjaan Kuadran II (yang penting dan membutuhkan fokus mendalam) pada periode ini. Pada jam-jam rendah energi, barulah Anda boleh menangani tugas-tugas Kuadran III (yang mendesak tetapi dangkal) dengan cara yang lebih reaktif.
- Istirahat Disengaja: Istirahat bukan jeda dari kecepatan, tetapi bagian integral dari kecepatan yang berkelanjutan. Teknik Pomodoro (bekerja fokus 25 menit, istirahat 5 menit) adalah cara untuk memaksimalkan intensitas `lekas lekas` dalam sesi pendek tanpa menyebabkan kelelahan kronis.
C. Praktik Monotasking yang Radikal
Untuk pekerjaan yang membutuhkan kualitas tinggi, kita harus menganut monotasking. Ini berarti memilih satu tugas, menutup semua gangguan, dan mendedikasikan waktu penuh padanya. Monotasking memaksa kita untuk memberikan perhatian 100%, yang secara substansial meningkatkan kecepatan penyelesaian yang sebenarnya (kecepatan menyelesaikan tugas yang berarti) dan memastikan kualitas yang tidak akan membutuhkan perbaikan di masa mendatang.
Filosofi monotasking mengajarkan kita bahwa ketika kita harus bergerak `lekas lekas`, yang terbaik adalah fokus secara eksklusif pada satu hal yang paling penting, daripada mencoba melakukan segalanya secara setengah-setengah. Ini adalah disiplin yang memerlukan pelatihan ulang terhadap otak yang telah terbiasa dengan rangsangan konstan dari notifikasi.
VI. Budaya Organisasi dan Tanggung Jawab Kolektif terhadap Kecepatan
Tekanan untuk `lekas lekas` tidak hanya dipaksakan dari luar; sering kali, itu adalah produk dari budaya organisasi yang tidak sehat. Untuk mengatasi masalah ini, perubahan harus datang dari kepemimpinan dan norma kolektif.
A. Mendefinisikan Ulang Makna "Sibuk"
Dalam banyak lingkungan kerja, bergerak `lekas lekas` dan terlihat sibuk (hustle culture) disamakan dengan menjadi berharga. Karyawan takut untuk mengambil jeda atau bekerja dengan tenang karena khawatir dianggap tidak produktif. Organisasi harus secara sadar menghargai hasil dan dampak (kualitas) daripada jam kerja yang panjang atau tingkat aktivitas yang tinggi (kecepatan).
Pemimpin harus mencontohkan bahwa bekerja dengan fokus dan sengaja lebih unggul daripada bergerak panik. Ketika atasan secara konsisten mengirim email di tengah malam dan mengharapkan respons `lekas lekas`, mereka secara tidak sengaja mengabadikan budaya urgensi kronis.
B. Audit Komunikasi Internal
Sebagian besar dorongan `lekas lekas` dalam organisasi berasal dari alat komunikasi. Melakukan audit terhadap Slack, email, dan sistem internal dapat mengungkapkan sumber utama dari interupsi yang tidak perlu. Strategi termasuk:
- Menetapkan waktu "Tanpa Slack" atau "Tanpa Rapat" untuk memberi ruang bagi Deep Work.
- Menggunakan komunikasi asinkron (tidak memerlukan respons instan) sebagai default, dan hanya menggunakan komunikasi sinkron (telepon atau rapat) untuk topik yang benar-benar membutuhkan keputusan segera.
- Mengklasifikasikan pesan secara jelas: membedakan antara informasi (untuk dibaca nanti) dan aksi (harus dilakukan `lekas lekas`).
Dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan inovasi, bergerak `lekas lekas` sering kali berarti mengambil jalan pintas etis atau mengabaikan dampak lingkungan jangka panjang. Organisasi yang berkomitmen pada keberlanjutan harus menolak dorongan instan yang murni berorientasi pada keuntungan jangka pendek demi proses yang lebih lambat, lebih bijaksana, dan lebih bertanggung jawab. Kecepatan harus melayani nilai, bukan sebaliknya.
C. Nilai Kecepatan dalam Pembelajaran
Meskipun ada manfaat dalam bergerak `lekas lekas` untuk pengujian hipotesis (lean methodology), hal ini harus diseimbangkan dengan kecepatan untuk pembelajaran yang mendalam. Belajar tidak bisa dipercepat secara drastis tanpa mengorbankan retensi dan pemahaman kontekstual.
Dalam dunia pendidikan, tuntutan untuk menghafal fakta dengan cepat sering kali menggantikan pengembangan keterampilan berpikir kritis. Jika kita ingin menciptakan masyarakat yang mampu mengatasi masalah kompleks, kita harus memberikan waktu—waktu yang tenang—bagi pemuda dan profesional untuk mengintegrasikan pengetahuan, bukan hanya mengonsumsinya secara `lekas lekas`.
Kesimpulan: Menemukan Irama Kehidupan yang Berkelanjutan
Kecepatan telah menjadi bagian dari identitas modern. Dalam banyak hal, kemampuan untuk bertindak `lekas lekas` secara efektif adalah prasyarat untuk kesuksesan di abad ini. Namun, kunci untuk hidup yang sukses dan memuaskan bukanlah hanya kecepatan, tetapi disiplin memilih irama.
Kita harus menjadi konduktor orkestra kehidupan kita sendiri, memutuskan kapan harus mempercepat tempo (untuk krisis nyata dan eksekusi terencana) dan kapan harus memperlambat menjadi tempo andante (untuk refleksi, perencanaan, dan hubungan). Budaya yang terus-menerus menuntut kecepatan tinggi hanya akan menghasilkan kegagalan dan kelelahan.
Tantangan kita adalah menolak ilusi urgensi palsu yang terus dibombardir oleh dunia digital dan lingkungan kerja. Dengan memprioritaskan yang penting di atas yang mendesak, dengan melindungi waktu untuk kerja mendalam, dan dengan mengadopsi kecepatan sebagai alat yang disengaja daripada default yang reaktif, kita dapat memanfaatkan kekuatan `lekas lekas` untuk hasil yang berkualitas, alih-alih menjadi korban dari tekanan yang tak kunjung usai.
Pada akhirnya, hidup yang produktif bukanlah tentang melakukan segala sesuatu dengan `lekas lekas`, melainkan tentang melakukan hal yang benar pada waktu yang tepat, dengan tingkat fokus yang diperlukan untuk membuatnya berarti.
Keberlanjutan pribadi, profesional, dan sosial bergantung pada kemampuan kita untuk menyeimbangkan dorongan untuk bergerak cepat dengan kebutuhan manusia yang mendasar akan kedalaman, refleksi, dan koneksi. Pilihlah urgensi Anda dengan bijak, dan hidup Anda akan mencerminkan kualitas dari pilihan tersebut.
Untuk benar-benar menguasai kecepatan, seseorang harus terlebih dahulu menguasai keheningan dan perencanaan. Dengan demikian, setiap tindakan `lekas lekas` adalah tindakan yang berbobot dan memiliki dampak maksimal, bukan sekadar respons kosong terhadap kebisingan. Inilah resep untuk produktivitas yang sejati dan kehidupan yang damai di tengah hiruk pikuk modern.
Kita harus ingat bahwa warisan yang kita tinggalkan diukur bukan dari seberapa cepat kita hidup, tetapi dari seberapa banyak makna dan kualitas yang kita ciptakan. Bergerak `lekas lekas` hanya berharga jika kita tahu persis ke mana kita pergi dan mengapa kita melakukannya.
Keberhasilan jangka panjang memerlukan ketahanan. Ketahanan dibangun bukan dalam kecepatan lari cepat yang berulang, tetapi dalam kemampuan untuk menjaga ritme yang stabil dan berkelanjutan. Filosofi ini, yang menghargai perencanaan di atas kepanikan, memungkinkan individu untuk unggul dalam lingkungan yang menuntut kecepatan tanpa mengorbankan kesejahteraan mental mereka. Jika setiap tindakan didahului oleh pemikiran yang jernih, maka kecepatan menjadi senjata, bukan beban.
Masyarakat masa depan akan menghargai mereka yang mampu menavigasi kompleksitas dengan kecepatan yang terukur. Ini memerlukan kemampuan untuk mengabaikan kebisingan yang mendesak namun tidak penting, dan fokus pada proyek jangka panjang yang membutuhkan ketekunan. Ini adalah keindahan dari tindakan yang disengaja, di mana setiap gerakan `lekas lekas` dilakukan dengan efisiensi yang optimal, didukung oleh kesadaran penuh akan tujuannya.
Pada akhirnya, budaya `lekas lekas` harus dipahami sebagai panggilan untuk bertindak dengan *fokus* dan *niat*, bukan panggilan untuk *panik* tanpa arah. Dengan mempraktikkan manajemen perhatian yang ketat dan menetapkan batasan yang kuat terhadap gangguan digital, kita merebut kembali kendali atas waktu kita. Hal ini memungkinkan kita untuk mengalihkan kecepatan tinggi dari hal-hal sepele (seperti membalas email) ke hal-hal yang benar-benar mengubah permainan (seperti strategi, inovasi, dan hubungan personal yang mendalam).