UJI LEPROMIN: MEMBONGKAR RAHASIA IMUNOLOGI KUSTA

Pendekatan Sejarah dan Klinis Terhadap Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV

Pengantar: Definisi dan Konteks Historis Uji Lepromin

Uji lepromin merupakan prosedur diagnostik intrakutan yang memiliki peran krusial dalam memahami spektrum klinis dan imunologis penyakit kusta (Morbus Hansen). Berbeda dengan uji kulit diagnostik lainnya seperti uji Tuberkulin yang dirancang untuk mendeteksi infeksi, uji lepromin berfungsi sebagai alat prognosis dan klasifikasi, mengukur respons imun seluler spesifik tubuh terhadap antigen *Mycobacterium leprae*.

Penyakit kusta, yang disebabkan oleh bakteri intraseluler obligat *M. leprae*, menampilkan manifestasi klinis yang luas, mulai dari bentuk tuberkuloid (respons imun kuat) hingga bentuk lepromatosa (respons imun lemah atau anergik). Uji lepromin adalah jembatan yang menghubungkan manifestasi klinis ini dengan dasar imunopatologi yang mendasarinya. Respon kulit yang dihasilkan dari uji ini mencerminkan kemampuan pasien untuk melancarkan pertahanan yang dimediasi oleh sel T (Th1), yang sangat penting untuk eliminasi patogen.

Penemuan dan Pengembangan Awal: Kontribusi Mitsuda

Konsep uji lepromin pertama kali diperkenalkan oleh dermatolog Jepang, Kensuke Mitsuda, pada tahun 1919. Mitsuda mengembangkan suatu suspensi steril yang mengandung fragmen bakteri *M. leprae* yang tidak hidup, diekstrak dari nodul lepromatosa pasien. Suspensi ini, yang dikenal sebagai 'Mitsuda's antigen' atau 'lepromin mentah', disuntikkan secara intradermal. Tujuan awal Mitsuda adalah untuk mencari cara membedakan secara imunologis antara pasien yang mengalami penyakit ringan dan pasien yang mengalami penyakit parah.

Penemuan ini terjadi dalam konteks upaya global untuk memahami dan mengendalikan kusta, yang saat itu masih diselimuti stigma dan misteri. Kontribusi Mitsuda sangat signifikan karena ia adalah orang pertama yang secara sistematis mengamati bahwa pasien kusta lepromatosa, yang memiliki beban bakteri tertinggi, menunjukkan reaksi yang paling lemah atau bahkan tidak ada terhadap antigen ini. Sebaliknya, pasien kusta tuberkuloid, yang cenderung sembuh sendiri atau memiliki lesi terlokalisasi, menunjukkan respons imun yang kuat.

Pada awalnya, uji ini hanya fokus pada reaksi yang muncul lambat, yang kemudian dikenal sebagai Reaksi Mitsuda. Namun, perkembangan selanjutnya menambahkan interpretasi terhadap reaksi cepat (Reaksi Fernandez), yang memberikan lapisan pemahaman lebih lanjut mengenai respons imun pasien.

Komponen dan Persiapan Antigen Lepromin

Antigen lepromin adalah inti dari pengujian ini. Kualitas dan komposisi antigen sangat memengaruhi keakuratan hasil. Antigen ini secara esensial adalah ekstrak seluler dari basil kusta yang terbunuh, dan ada dua jenis utama yang digunakan dalam sejarah pengujian.

1. Lepromin Mentah (Mitsuda Antigen)

Seperti yang pertama kali disiapkan oleh Mitsuda, antigen ini adalah suspensi homogen dari jaringan nodul lepromatosa yang kaya akan basil *M. leprae*. Nodul ini diambil, dihancurkan, dan disterilkan dengan pemanasan untuk memastikan bakteri tidak hidup, tetapi integritas struktur protein dan lipid antigeniknya dipertahankan. Konsentrasi bakteri biasanya distandarisasi sebelum digunakan.

2. Lepromin Terstandarisasi (Armadillo-derived Lepromin)

Keterbatasan utama lepromin mentah adalah sumbernya: nodul manusia. Setelah penemuan bahwa armadillo sembilan pita dapat terinfeksi *M. leprae* secara sistemik dan menghasilkan sejumlah besar bakteri, armadillo menjadi sumber utama antigen. Antigen yang berasal dari armadillo lebih murni, lebih homogen, dan memiliki potensi yang dapat distandarisasi, sehingga memastikan konsistensi hasil di berbagai laboratorium. Antigen yang terstandarisasi ini memungkinkan perbandingan yang lebih valid dalam studi epidemiologi dan imunologi global.

Penting untuk dicatat bahwa antigen lepromin mengandung berbagai protein, lipid, dan karbohidrat dari *M. leprae*. Respons yang diukur dalam uji ini adalah respons terhadap campuran kompleks antigen tersebut, bukan hanya satu komponen spesifik.

Prinsip Imunologi: Hipersensitivitas Tipe IV

Uji lepromin mengukur respons hipersensitivitas lambat (Delayed-Type Hypersensitivity, DTH) atau Hipersensitivitas Tipe IV. Reaksi DTH adalah manifestasi kunci dari imunitas seluler yang dimediasi oleh sel T helper (khususnya subtipe Th1). Kemampuan sel T untuk mengenali antigen *M. leprae* dan memicu respons inflamasi adalah indikator langsung dari kekuatan pertahanan tubuh terhadap infeksi.

Fase Imunopatologi

  1. Pengenalan Antigen: Ketika antigen lepromin disuntikkan ke dalam kulit, sel penyaji antigen (APC), seperti sel Langerhans dan makrofag, menangkap antigen.
  2. Aktivasi Sel T: APC mempresentasikan fragmen antigen kepada sel T memori yang spesifik terhadap *M. leprae*. Pada individu yang memiliki imunitas seluler yang kuat (seperti pasien tuberkuloid), sel T ini telah tersensitisasi sebelumnya.
  3. Pelepasan Sitokin: Sel T yang teraktivasi (Th1) melepaskan sejumlah besar sitokin pro-inflamasi, yang paling penting adalah Interferon gamma (IFN-γ) dan Tumor Necrosis Factor alpha (TNF-α).
  4. Rekrutmen dan Granuloma: Sitokin ini merekrut dan mengaktifkan makrofag, menyebabkan mereka bermigrasi ke lokasi suntikan. Makrofag yang teraktivasi ini mencoba menelan dan menghancurkan antigen. Akumulasi sel-sel imun ini membentuk nodul yang dapat diraba (indurasi)—yaitu, granuloma.

Kehadiran dan kekuatan respons DTH ini sangat bergantung pada polarisasi respons sel T pasien. Pasien kusta tuberkuloid (TT) memiliki dominasi respons Th1 yang kuat, yang menghasilkan IFN-γ dan memungkinkan makrofag untuk membunuh bakteri intraseluler. Sebaliknya, pasien kusta lepromatosa (LL) menunjukkan respons yang didominasi Th2, menghasilkan sitokin seperti IL-4, IL-5, dan IL-10. Sitokin Th2 ini cenderung menekan aktivasi makrofag dan respons DTH, yang menyebabkan kegagalan pembentukan granuloma yang efektif, sehingga bakteri berproliferasi tanpa terkendali.

Prosedur Standar dan Interpretasi Hasil Uji Lepromin

Uji lepromin melibatkan prosedur injeksi intradermal yang sederhana, tetapi interpretasinya memerlukan dua periode pembacaan yang terpisah untuk menilai dua jenis reaksi yang berbeda: reaksi cepat (Fernandez) dan reaksi lambat (Mitsuda).

Teknik Injeksi

Sebanyak 0.1 mL suspensi antigen lepromin disuntikkan secara intradermal di lengan bawah bagian fleksor. Injeksi harus menghasilkan wheal (benjolan) yang terlihat, memastikan bahwa antigen berada di lapisan dermis.

Dua Fase Pembacaan Kunci

1. Reaksi Cepat (Reaksi Fernandez)

Pembacaan dilakukan 48 hingga 72 jam setelah injeksi. Reaksi ini, dinamakan berdasarkan J.M. Fernandez, adalah reaksi hipersensitivitas langsung (DTH akut). Ia menilai sensitisasi awal terhadap antigen *M. leprae*.

2. Reaksi Lambat (Reaksi Mitsuda)

Pembacaan paling krusial dilakukan 3 hingga 4 minggu (biasanya 21 hari) setelah injeksi. Reaksi Mitsuda adalah manifestasi dari pembentukan granuloma yang matang—respons imun seluler yang sebenarnya. Ini adalah penentu utama klasifikasi kusta.

Ilustrasi Reaksi Lepromin Indurasi (Nodul) - Reaksi Positif Mitsuda Lokasi Uji Lepromin

Visualisasi Reaksi Mitsuda Positif pada Kulit.

Korelasi Klinis dan Klasifikasi Kusta Ridley-Jopling

Peran terpenting uji lepromin adalah sebagai penanda untuk memposisikan pasien dalam spektrum penyakit kusta, yang paling terkenal diatur oleh sistem Klasifikasi Ridley-Jopling (1966). Klasifikasi ini membagi penyakit menjadi lima kelompok berdasarkan manifestasi klinis, histopatologi, dan—yang terpenting—respons imun seluler pasien.

Spektrum kusta bergerak dari kutub resistensi tinggi (Tuberkuloid) hingga kutub kerentanan tinggi (Lepromatosa).

1. Kusta Tuberkuloid (TT - Tuberculoid Tuberculoid)

2. Kusta Tuberkuloid Borderline (BT - Borderline Tuberculoid)

3. Kusta Borderline (BB - Mid Borderline)

Ini adalah titik ketidakstabilan di tengah spektrum. Pasien di BB sangat rentan terhadap perubahan status imunologis, sering kali bergerak menuju tuberkuloid (peningkatan imunitas) atau lepromatosa (penurunan imunitas), terutama selama episode reaksi kusta.

4. Kusta Lepromatosa Borderline (BL - Borderline Lepromatous)

5. Kusta Lepromatosa (LL - Lepromatous Lepromatous)

Dengan demikian, uji lepromin bertindak sebagai biomarker spektrum. Hasil positif kuat menempatkan pasien di sisi Tuberkuloid, menunjukkan prognosis yang lebih baik terkait kemampuan tubuhnya membatasi penyakit. Hasil negatif kuat menempatkan pasien di sisi Lepromatosa, menunjukkan risiko komplikasi yang lebih tinggi dan perlunya rejimen pengobatan yang lebih intensif (Multidrug Therapy, MDT).

Lepromin dalam Epidemiologi dan Kekebalan Komunitas

Meskipun uji lepromin sebagian besar telah digantikan untuk klasifikasi diagnostik harian oleh pengujian bakteriologis dan histopatologis yang lebih cepat, perannya dalam studi epidemiologi dan pemahaman kekebalan komunitas tetap signifikan sepanjang sejarah.

Penilaian Kekebalan Populasi

Dalam populasi yang terpapar kusta, uji lepromin digunakan untuk menilai prevalensi kekebalan spesifik terhadap *M. leprae*. Jika sebagian besar penduduk di daerah endemik menunjukkan respons Mitsuda yang positif, ini menunjukkan bahwa mereka telah mengalami kontak dengan bakteri atau mikobakteri yang berkerabat dekat (sensitisasi silang) dan telah mengembangkan kekebalan seluler yang protektif.

Hubungan dengan Vaksinasi BCG

Salah satu kontroversi dan area penelitian terbesar yang melibatkan lepromin adalah hubungannya dengan Vaksinasi Bacillus Calmette-Guérin (BCG). BCG, yang dikembangkan untuk melawan tuberkulosis, adalah vaksin yang dilemahkan dari *Mycobacterium bovis*. Karena *M. bovis* dan *M. leprae* berbagi beberapa epitop antigenik, vaksinasi BCG diketahui dapat menyebabkan konversi uji lepromin negatif menjadi positif pada sebagian besar individu yang sehat. Ini menunjukkan sensitisasi silang, di mana imunitas yang didapat dari BCG memberikan kekebalan silang parsial terhadap kusta.

Studi epidemiologi yang luas telah menunjukkan bahwa respons lepromin positif sering berkorelasi dengan perlindungan terhadap perkembangan bentuk kusta lepromatosa yang parah. Oleh karena itu, uji lepromin digunakan di masa lalu untuk menilai efektivitas atau kebutuhan akan vaksinasi BCG dalam populasi berisiko.

Perbedaan antara Lepromin dan Tuberculin

Meskipun keduanya adalah uji DTH, ada perbedaan fundamental. Uji Tuberkulin (PPD) mengukur apakah seseorang pernah terinfeksi *M. tuberculosis* atau telah divaksinasi BCG; hasilnya biasanya positif pada infeksi aktif atau laten. Sebaliknya, uji lepromin, terutama Reaksi Mitsuda, tidak menjadi positif pada tahap awal infeksi kusta. Ia hanya menjadi positif jika pasien telah berhasil mengembangkan respons imun yang kompeten dan membatasi (yaitu, berkembang menjadi kusta tuberkuloid, atau berhasil menghilangkan bakteri). Oleh karena itu, lepromin adalah uji untuk *resistensi*, bukan uji untuk *infeksi*.

Keterbatasan dan Tantangan Uji Lepromin

Meskipun memiliki nilai historis dan imunologis yang mendalam, uji lepromin memiliki beberapa keterbatasan praktis yang signifikan, menyebabkan penurunan penggunaannya dalam praktik klinis modern.

1. Bukan Alat Diagnostik Infeksi Primer

Uji lepromin bersifat negatif pada tahap awal infeksi dan pada kontak yang sehat. Uji ini juga negatif pada kusta lepromatosa. Oleh karena itu, uji ini tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis apakah seseorang baru saja terinfeksi *M. leprae*. Diagnosis kusta primer harus didasarkan pada temuan klinis (lesi kulit dan kerusakan saraf), pemeriksaan bakteriologis (apusan kulit), dan histopatologi.

2. Persyaratan Pembacaan yang Lama

Kebutuhan untuk menunggu 21 hari untuk pembacaan Reaksi Mitsuda merupakan kendala logistik yang besar. Dalam pengaturan klinis yang serba cepat, dokter membutuhkan alat yang dapat memberikan hasil dalam hitungan jam atau hari, bukan minggu.

3. Masalah Standarisasi Antigen

Meskipun antigen yang berasal dari armadillo menawarkan perbaikan, standarisasi potensi antigen lepromin di seluruh dunia tetap sulit. Variasi dalam metode persiapan dapat menyebabkan perbedaan hasil antara wilayah dan laboratorium, mengurangi universalitasnya.

4. Sensitivitas Silang dengan Mikobakteri Lain

Respons Fernandez (48 jam) dan bahkan Mitsuda dapat dipengaruhi oleh paparan mikobakteri lingkungan (Mycobacteria Other Than Tuberculosis, MOTT) atau vaksinasi BCG. Hasil positif pada populasi umum mungkin hanya mencerminkan kekebalan silang yang didapat, bukan paparan kusta spesifik, yang dapat membingungkan interpretasi epidemiologis.

5. Ketergantungan pada Sumber Biologis

Antigen lepromin memerlukan nodul lepromatosa (manusia atau armadillo). Karena kusta lepromatosa semakin jarang dan pemeliharaan armadillo sebagai sumber antigen mahal dan rumit, ketersediaan lepromin yang andal menjadi masalah logistik yang serius.

Imunologi Tingkat Lanjut: Peran Sitokin dan Respons Th1/Th2

Untuk memahami sepenuhnya mengapa uji lepromin menghasilkan spektrum hasil yang begitu luas, kita harus mendalami regulasi imunologi spesifik pada kusta, sebuah model klasik untuk pemahaman polarisasi respons sel T.

Dominasi Th1 pada Kusta Tuberkuloid (Lepromin Positif)

Pada kusta tuberkuloid (TT), respons imun seluler yang kuat didorong oleh sel T CD4+ yang berdiferensiasi menjadi sel T helper tipe 1 (Th1). Lingkungan sitokin di lesi TT didominasi oleh:

Reaksi Mitsuda yang positif adalah manifestasi klinis dari respons Th1 yang berfungsi penuh, di mana semua komponen ini bekerja sama untuk menciptakan granuloma penahan yang efisien di lokasi suntikan.

Dominasi Th2 pada Kusta Lepromatosa (Lepromin Negatif)

Sebaliknya, pada kusta lepromatosa (LL), respons imun didominasi oleh sel T CD4+ yang terpolarisasi menjadi sel T helper tipe 2 (Th2). Lingkungan sitokin ini merusak kemampuan makrofag untuk membunuh bakteri:

Ketika antigen lepromin disuntikkan ke pasien LL, respons Th2 yang dominan menggagalkan pembentukan granuloma yang matang, menyebabkan anergy imunologis, dan menghasilkan uji lepromin yang negatif. Kegagalan ini mencerminkan kegagalan makrofag in vivo untuk membersihkan bakteri dari sistem pasien.

Studi molekuler tentang ekspresi gen sitokin di situs injeksi lepromin telah mengonfirmasi bahwa uji positif secara kuat berkorelasi dengan peningkatan ekspresi mRNA IFN-γ dan sebaliknya pada uji negatif, memberikan validasi molekuler terhadap dasar imunologis uji ini.

Melampaui Lepromin: Alternatif Modern dalam Imunodiagnosis Kusta

Karena keterbatasan uji lepromin, penelitian telah beralih ke metode yang lebih spesifik, cepat, dan terstandardisasi untuk menilai infeksi *M. leprae* dan respons imun pasien. Metode-metode ini umumnya terbagi menjadi pendekatan serologis (mengukur antibodi) dan pendekatan molekuler (mengukur DNA atau respons sel T spesifik).

Uji Serologis: PGL-1

Metode serologis yang paling penting adalah pengukuran antibodi IgM terhadap Glikolipid Fenolik-1 (Phenolic Glycolipid-1, PGL-1). PGL-1 adalah antigen lipid unik yang hampir secara eksklusif diekspresikan oleh *M. leprae*.

Uji Imunologi In Vitro

Metode modern berfokus pada pengukuran respons sel T spesifik *in vitro*, tanpa perlu menunggu reaksi kulit 21 hari. Ini melibatkan stimulasi darah pasien dengan antigen *M. leprae* dan mengukur pelepasan sitokin.

Dengan munculnya teknologi molekuler dan serologis yang cepat, uji lepromin kini lebih banyak digunakan sebagai alat penelitian fundamental untuk memvalidasi model imunopatologi kusta daripada sebagai prosedur diagnostik rutin. Namun, pemahaman yang kita peroleh dari spektrum respons lepromin tetap menjadi kerangka dasar untuk semua klasifikasi kusta yang ada.

Detail Imunopatologi Granuloma dalam Konteks Lepromin

Untuk menghargai nilai lepromin, penting untuk memahami perbedaan struktural granuloma yang dibentuk pada kedua kutub spektrum. Reaksi Mitsuda positif adalah manifestasi makroskopis dari granuloma yang tertata rapi, sementara reaksi negatif mencerminkan kegagalan struktural total.

Granuloma Kusta Tuberkuloid (Lepromin Positif)

Pada kusta tuberkuloid (TT) dan situs positif lepromin, terbentuk granuloma epiteloid. Struktur ini sangat terorganisir:

Pembentukan granuloma epiteloid yang padat ini adalah tujuan dari respons imun seluler yang efektif. Reaksi Mitsuda yang positif menunjukkan bahwa kulit pasien memiliki kemampuan bawaan untuk melancarkan respons granulomatosa yang membatasi ini.

Granuloma Kusta Lepromatosa (Lepromin Negatif)

Pada kusta lepromatosa (LL) dan situs negatif lepromin, struktur yang terbentuk bukanlah granuloma yang membatasi, tetapi lebih merupakan infiltrat seluler yang longgar:

Reaksi lepromin negatif pada pasien LL menunjukkan ketidakmampuan tubuh untuk melakukan rekrutmen sel T Th1 dan memicu aktivasi makrofag yang diperlukan untuk membersihkan *M. leprae*. Kekurangan respons ini diyakini sebagai hasil dari seleksi genetik dan mekanisme penekanan imunologis spesifik oleh bakteri, di mana bakteri itu sendiri dapat memanipulasi makrofag untuk menjadi tempat berkembang biak yang aman.

Relevansi Lepromin dalam Penelitian Vaksin Kusta

Meskipun uji lepromin tidak lagi menjadi standar diagnostik, prinsip-prinsip yang mendasarinya telah menjadi panduan penting dalam pengembangan strategi pencegahan dan vaksinasi kusta. Tujuan utama dari setiap vaksin kusta adalah menggeser respons imun individu yang rentan dari pola Th2 (Lepromatosa, lepromin negatif) menuju pola Th1 yang protektif (Tuberkuloid, lepromin positif).

Vaksinasi berbasis Mikobakteri

Penggunaan BCG telah menjadi studi kasus penting. Keberhasilan BCG dalam memicu konversi lepromin positif mengarahkan penelitian untuk mencari strain mikobakteri lain yang mungkin memberikan perlindungan yang lebih kuat.

Lepromin sebagai Pengukur Keberhasilan Vaksin

Dalam uji klinis vaksin kusta, konversi dari status lepromin negatif ke positif adalah salah satu parameter yang paling solid untuk mengukur keberhasilan imunomodulasi. Jika suatu vaksin berhasil menginduksi respons DTH 21 hari yang kuat di lokasi suntikan, hal ini menunjukkan bahwa vaksin tersebut berhasil melatih sistem kekebalan untuk membentuk granuloma protektif, sebuah prasyarat untuk perlindungan klinis terhadap bentuk kusta yang paling parah.

Peran Antigen Rekombinan

Masa depan vaksinasi kusta kemungkinan terletak pada penggunaan antigen rekombinan (protein spesifik *M. leprae* yang diproduksi secara bioteknologi) dan adjuvant modern. Antigen rekombinan ini dirancang untuk memicu respons Th1 yang spesifik. Meskipun demikian, hasil tes lepromin historis tetap berfungsi sebagai tolok ukur (benchmark) imunologis yang harus dicapai oleh sistem vaksin baru. Pengukuran IGRA terhadap antigen spesifik ini pada dasarnya adalah versi modern dan terstandardisasi dari apa yang lepromin coba ukur secara in vivo dan mentah.

Uji lepromin mungkin lambat dan tua, tetapi ia mencerminkan mekanisme pertahanan seluler yang tepat yang harus diaktifkan oleh tubuh untuk mengendalikan infeksi kusta. Oleh karena itu, warisan intelektualnya akan terus memandu penelitian imunologi kusta untuk dekade mendatang.

Ringkasan Komprehensif: Spektrum dan Signifikansi Lepromin

Perjalanan panjang uji lepromin dari penemuan mentah oleh Mitsuda hingga penggunaannya sebagai alat penelitian canggih mencerminkan evolusi pemahaman kita tentang penyakit kusta. Uji ini, yang mengukur manifestasi makroskopis dari hipersensitivitas tipe IV yang dimediasi sel T, menawarkan jendela yang tak tertandingi ke dalam spektrum imunologis penyakit.

Signifikansi utama lepromin terletak pada kemampuannya untuk membedakan antara dua model penyakit: kusta paucibacillary (kekebalan kuat) dan kusta multibacillary (kekebalan lemah). Negatifnya uji lepromin pada pasien LL bukanlah kegagalan uji itu sendiri, tetapi merupakan penanda yang valid dari kegagalan sistem kekebalan pasien untuk merespons ancaman kronis, sebuah anergy spesifik terhadap *M. leprae*. Sebaliknya, reaksi Mitsuda yang kuat pada kusta TT adalah bukti klinis keberhasilan pertahanan seluler.

Analisis ini menggarisbawahi bahwa kusta, lebih dari penyakit bakteriologis, adalah penyakit imunologis yang manifestasinya ditentukan oleh keseimbangan halus antara respons Th1 dan Th2. Kehadiran dan kualitas granuloma, yang dinilai melalui reaksi lepromin yang tertunda, tetap menjadi penanda definitif dari resistensi individu terhadap *M. leprae*.

Meskipun praktik klinis telah bergeser ke serologi PGL-1 dan IGRA untuk kecepatan dan spesifisitas, prinsip imunologis inti yang didemonstrasikan oleh uji lepromin tetap menjadi pilar dalam pemahaman patogenesis kusta, serta dalam upaya berkelanjutan untuk menghilangkan penyakit menular kuno ini dari populasi dunia.

Poin Kunci Lepromin:

  • Mengukur resistensi, bukan infeksi.
  • Reaksi Mitsuda (21 hari) adalah indikator pembentukan granuloma T-sel spesifik (Th1).
  • Positif kuat = Kusta Tuberkuloid (TT).
  • Negatif kuat = Kusta Lepromatosa (LL).
  • Berfungsi sebagai biomarker utama dalam klasifikasi spektrum Ridley-Jopling.

Ekstra Detail Imunologi dan Histopatologi Lanjutan

Untuk melengkapi gambaran klinis dan imunologis lepromin, perluasan detail mengenai sel-sel yang terlibat dan regulasi genetik mereka sangat penting. Spektrum kusta ini tidak hanya ditentukan oleh sel T CD4+, tetapi juga oleh peran sel T CD8+, makrofag, dan faktor-faktor genetik inang.

Peran Sel T CD8+ dan Sitotoksisitas

Meskipun sel T CD4+ (Th1) adalah pemain kunci dalam mengaktifkan makrofag, sel T CD8+ juga memainkan peran penting dalam respons lepromin positif. Pada kusta tuberkuloid, sel T CD8+ hadir di sekitar granuloma dan dapat menunjukkan aktivitas sitotoksik. Sel-sel ini dapat membunuh makrofag yang terinfeksi dan dipenuhi basil, dengan demikian melepaskan basil ke lingkungan mikro sehingga dapat difagositosis oleh makrofag yang sehat dan teraktivasi. Kualitas respons sel T CD8+ ini berkontribusi pada efisiensi pembersihan basil yang terlihat pada kutub TT dan tercermin dalam reaksi lepromin yang kuat.

Fenomena 'Downgrading' dan 'Upgrading'

Status imunologi pasien kusta tidak statis. Fenomena reaksi kusta menunjukkan pergeseran respons imun yang dramatis, yang dapat dimonitor secara teoretis menggunakan uji lepromin, meskipun jarang dilakukan secara praktis selama episode reaksi akut.

Regulasi Genetik Kekebalan Lepromin

Penelitian genetik menunjukkan bahwa kerentanan terhadap kusta, dan khususnya, kecenderungan untuk berkembang menjadi bentuk lepromatosa (lepromin negatif), dipengaruhi oleh polimorfisme genetik yang mengontrol respons imun bawaan dan adaptif.

Misalnya, variasi pada gen yang mengkode reseptor Toll-like (TLR), terutama TLR1 dan TLR2, yang mengenali komponen *M. leprae*, dapat memengaruhi seberapa efektif makrofag merespons dan memicu respons Th1. Individu dengan variasi yang mengurangi sinyal TLR yang efektif lebih cenderung menunjukkan respons lepromin yang negatif dan berkembang menjadi LL, karena sel mereka gagal mendeteksi dan merespons invasi bakteri secara memadai. Penelitian ini memperkuat status uji lepromin sebagai fenotipe (ekspresi klinis) dari genetik imunologi yang mendasari.

Kontras Lepromin dengan Antigen Mikobakterial Lainnya

Untuk menghargai spesifisitas yang dibawa oleh lepromin, kita harus membandingkannya dengan antigen mikobakterial lainnya, terutama yang berasal dari *M. tuberculosis*.

Antigen Non-Spesifik vs. Spesifik

Antigen yang digunakan dalam uji Tuberkulin (Purified Protein Derivative, PPD) adalah campuran ratusan protein yang dimiliki bersama oleh banyak spesies mikobakteri, termasuk *M. leprae*. Oleh karena itu, uji PPD bersifat non-spesifik untuk diagnosis TBC di daerah endemik BCG atau MOTT.

Lepromin, khususnya lepromin terstandarisasi yang berasal dari basil yang berlimpah dari armadillo, mengandung banyak antigen spesifik *M. leprae* dan, yang lebih penting, disiapkan dalam bentuk agregat seluler yang kompleks yang tampaknya mendorong pembentukan granuloma lebih efektif daripada protein larut murni. Struktur antigenik yang kompleks inilah yang memicu respons Mitsuda (21 hari) yang unik, yang tidak dihasilkan oleh PPD.

Keunikan Reaksi Mitsuda

Reaksi Mitsuda adalah unik karena sifatnya yang granulomatosa dan tertunda. Reaksi kulit DTH klasik (seperti PPD atau Fernandez) memuncak dalam 48–72 jam karena peradangan dan edema yang didorong oleh sitokin. Reaksi Mitsuda membutuhkan waktu 3 minggu penuh untuk menghasilkan nodul yang padat, karena nodul ini harus membangun arsitektur granulomatosa yang rumit. Waktu yang lama ini mencerminkan kebutuhan akan aktivasi makrofag berkelanjutan, rekrutmen sel T, dan reorganisasi matriks ekstraseluler—semua elemen penting dari kekebalan protektif yang berhasil melawan *M. leprae*.

Uji lepromin, oleh karena itu, tetap merupakan ukuran historis dan imunologis yang fundamental dari kapasitas inang untuk melawan *M. leprae* dengan metode imunologi paling efektif yang tersedia—pembatasan granulomatosa.