Representasi sebuah *Lettre de Cachet*, disegel untuk menjamin kerahasiaan dan kewenangan yang mutlak.
Di bawah sistem Monarki Absolut Prancis, di mana perkataan raja adalah hukum yang tak terbantahkan, terdapat instrumen kekuasaan yang paling ringkas, paling rahasia, dan paling ditakuti: Lettre de Cachet. Frasa ini, yang secara harfiah berarti "surat dengan segel," melambangkan esensi dari wewenang kerajaan yang sewenang-wenang. Surat ini bukan sekadar surat biasa; ia adalah perintah yang ditandatangani oleh raja (atau atas namanya), ditutup dengan segel pribadi atau segel kerajaan kecil (*cachet*), yang memerintahkan penahanan, pengasingan, atau tindakan administratif tanpa proses pengadilan yang semestinya.
Pengaruh *Lettre de Cachet* meluas jauh melampaui ranah hukum pidana. Ia merembes ke dalam politik tingkat tinggi, pertikaian keluarga bangsawan, dan bahkan sengketa moral di antara warga biasa. Meskipun sering dikaitkan dengan penahanan politisi atau filsuf yang menentang kekuasaan, penggunaan terbesarnya justru dalam urusan internal keluarga, di mana para bangsawan atau borjuis kaya meminta raja untuk menahan anggota keluarga mereka yang dianggap memalukan, boros, atau gila. Memahami surat perintah ini adalah memahami cara kerja kekuasaan pribadi di dalam Ancien Régime—rezim lama—Prancis.
Kelahiran *Lettre de Cachet* harus dilihat dalam konteks perkembangan hukum dan birokrasi kerajaan Prancis. Pada awalnya, surat perintah ini hanyalah manifestasi administratif dari kekuasaan raja untuk memberi perintah, yang merupakan hak prerogatif alami dari seorang penguasa berdaulat. Raja memiliki dua jenis surat perintah utama: *lettres patentes* (surat paten) yang terbuka, disahkan oleh parlemen, dan bersifat publik; serta *lettres closes* atau *lettres de cachet* yang tertutup, rahasia, dan tidak memerlukan pendaftaran atau pengesahan dari badan peradilan manapun.
Selama Abad Pertengahan, penggunaan surat rahasia untuk memanggil, memberi selamat, atau menugaskan seseorang sudah menjadi praktik umum. Namun, pada masa Raja Matahari, Louis XIV, dan para menteri utamanya seperti Kardinal Richelieu dan Mazarin, instrumen ini mulai distandarisasi sebagai alat penahanan. Louis XIV, yang dikenal karena sentralisasi kekuasaan dan doktrin "Satu Raja, Satu Hukum," menyempurnakan penggunaannya. Surat ini menjadi vital untuk memotong birokrasi peradilan yang lamban, terutama dalam kasus yang dianggap sensitif bagi negara atau kehormatan kerajaan.
Peningkatan penggunaan ini terkait erat dengan penguatan absolutisme. Ketika raja mengklaim wewenang ilahi (*Droit Divin*), kekuasaannya untuk bertindak cepat dan tanpa hambatan hukum tradisional dianggap sah. Penahanan melalui *Lettre de Cachet* seringkali dilihat bukan sebagai hukuman, melainkan sebagai tindakan polisi preventif atau tindakan administratif oleh pater familias tertinggi di negara itu—Sang Raja sebagai Ayah Bangsa.
Penting untuk membedakan antara jenis-jenis *Lettre de Cachet*. Meskipun yang paling terkenal adalah perintah penahanan (*d'emprisonnement*), surat ini sebenarnya memiliki beberapa fungsi:
Inti dari semua jenis surat ini adalah kerahasiaan (*claus*). Segel yang menutupinya memastikan bahwa isinya hanya diketahui oleh penerima dan pelaksana perintah, mencegah subjek penahanan untuk mempersiapkan pembelaan atau mengajukan banding di pengadilan umum. Kerahasiaan ini adalah pedang bermata dua: melindungi kehormatan keluarga dari skandal publik, namun pada saat yang sama, menghilangkan hak dasar individu untuk diadili secara terbuka.
Proses penerbitan dan pelaksanaan *Lettre de Cachet* adalah cerminan kompleksitas birokrasi kerajaan pada abad ke-18. Surat ini bukanlah dokumen yang dikeluarkan secara sembarangan, tetapi melalui rantai komando yang ketat, meskipun sangat rahasia.
Terdapat dua sumber utama inisiatif untuk mengeluarkan *Lettre de Cachet*:
Ketika permintaan swasta diajukan, petugas kerajaan akan melakukan penyelidikan rahasia yang disebut *enquête*. Petugas ini akan mewawancarai tetangga, pelayan, dan kerabat subjek. Laporan ini kemudian diserahkan kepada menteri. Jika menteri setuju bahwa perilaku subjek telah "menghina" kehormatan keluarga dan tidak dapat diselesaikan melalui pengadilan sipil tanpa menimbulkan skandal publik, barulah surat itu disiapkan.
Menteri yang paling sering terlibat adalah Menteri Rumah Tangga Kerajaan, karena urusan penahanan pribadi dianggap terkait dengan "rumah tangga" besar kerajaan Prancis. Untuk efisiensi, menteri sering kali memiliki banyak formulir *Lettre de Cachet* yang sudah ditandatangani oleh raja tetapi dibiarkan kosong—dikenal sebagai surat perintah 'blanko' (*lettres en blanc*). Ini memungkinkan menteri mengisi nama subjek dan detail penahanan tanpa harus menunggu tanda tangan raja setiap saat. Praktik ini, meskipun efisien, meningkatkan potensi penyalahgunaan kekuasaan secara drastis, memungkinkan para menteri dan birokrat mereka untuk menjalankan kehendak pribadi dengan stempel otoritas tertinggi.
Naskah surat itu sendiri biasanya singkat dan lugas, memerintahkan penangkapan dan penahanan subjek di lokasi tertentu "atas perintah Raja" (*de par le Roi*). Surat itu secara eksplisit mencantumkan nama subjek, lokasi penahanan, dan kadang-kadang alasan singkat (misalnya, "demi kepentingan keluarga yang baik").
Surat tersebut diserahkan kepada seorang perwira, seringkali seorang letnan polisi atau komandan lokal, untuk dieksekusi. Pelaksanaan dilakukan secara diam-diam, biasanya pada malam hari atau dini hari, untuk menghindari keributan. Setelah ditangkap, subjek dibawa ke tempat penahanan. Destinasi penahanan sangat bervariasi:
Lamanya penahanan tidak ditentukan oleh hukum, melainkan oleh keputusan raja (atau menteri), seringkali setelah berkonsultasi dengan keluarga yang meminta. Penahanan bisa berlangsung beberapa minggu, berbulan-bulan, atau bahkan seumur hidup, tergantung pada sifat pelanggaran dan kemampuan keluarga untuk memengaruhi pihak berwenang. Tidak ada tanggal berakhirnya hukuman yang pasti tercantum dalam surat tersebut; kebebasan tergantung pada izin baru dari raja, yang juga berbentuk *Lettre de Cachet*—perintah pembebasan.
*Lettre de Cachet* menjadi alat sentral dalam menjalankan kekuasaan, bukan hanya untuk menghukum tetapi juga untuk menjaga tatanan sosial yang diinginkan oleh rezim dan kelas atas.
Dalam ranah politik, surat ini adalah senjata utama melawan oposisi. Ini memungkinkan raja untuk menyingkirkan para kritikus tanpa mengganggu stabilitas publik dengan pengadilan formal. Penulis, filsuf, dan pamphleteer adalah korban yang sering. Jika seseorang menerbitkan materi yang menentang kebijakan kerajaan, menyerang agama, atau menghina bangsawan, *Lettre de Cachet* bisa segera dikeluarkan.
Contoh paling terkenal adalah kasus Voltaire. Filsuf Pencerahan ini dua kali dikirim ke penjara Bastille melalui *Lettre de Cachet*: pertama karena menulis puisi satir yang menghina Adipati Orleans, dan kedua setelah perkelahian dengan seorang bangsawan bernama Chevalier de Rohan. Kasus Voltaire menunjukkan bahwa surat perintah ini berfungsi untuk menegakkan hierarki sosial, melindungi kehormatan bangsawan dari kritik intelektual, dan memastikan bahwa kritik terhadap rezim ditangani secara rahasia.
Secara statistik, mayoritas *Lettres de Cachet* (diperkirakan lebih dari 70%) dikeluarkan atas permintaan keluarga, bukan negara. Ini adalah aspek yang sering diabaikan dalam mitos-mitos yang berfokus hanya pada Bastille dan korban politik. Keluarga menggunakan alat ini untuk:
Dalam konteks ini, *Lettre de Cachet* dipandang oleh aristokrasi sebagai cara yang manusiawi—atau setidaknya lebih bermartabat—untuk menangani masalah domestik. Hukuman penjara umum dianggap memalukan; penahanan di biara yang tenang atau penjara negara yang terkelola dengan baik dianggap sebagai rehabilitasi tertutup. Ini memungkinkan keluarga untuk menjaga properti, menjaga reputasi, dan menerapkan disiplin patriarki, dengan Raja bertindak sebagai mediator dan penegak hukum moral tertinggi.
Meskipun *Lettre de Cachet* adalah pilar kekuasaan absolut, instrumen ini juga menjadi fokus utama serangan ideologis pada Abad Pencerahan. Filsuf dan ahli hukum melihat surat ini sebagai perwujudan tirani dan pelanggaran terhadap kebebasan individu.
Para pemikir Pencerahan seperti Montesquieu, Rousseau, dan Diderot sangat mengkritik konsep wewenang arbitrer (*pouvoir arbitraire*). Mereka berpendapat bahwa kebebasan sipil tidak dapat dipertahankan jika setiap warga negara dapat ditahan tanpa dakwaan, tanpa proses hukum, dan tanpa pengadilan. Konsep *habeas corpus* (hak untuk mengetahui alasan penahanan) yang sudah mapan di Inggris, tidak ada dalam hukum Prancis, dan *Lettre de Cachet* adalah antitesis langsung dari keadilan prosedural.
Kebebasan warga negara terletak pada kepastian bahwa ia tidak akan pernah ditahan kecuali atas perintah undang-undang; *Lettre de Cachet* secara sistematis meniadakan kepastian ini.
Kritik tersebut tidak hanya datang dari filsuf, tetapi juga dari parlemen provinsi (badan peradilan tinggi Prancis) yang berusaha membatasi kekuasaan kerajaan. Parlemen sering menolak mendaftarkan dekrit kerajaan, tetapi karena *Lettre de Cachet* bersifat rahasia dan administratif, mereka tidak memiliki wewenang hukum untuk menentangnya secara langsung. Namun, mereka menggunakan setiap kesempatan untuk memprotes "surat-surat mengerikan" ini dalam *remontrances* (protes resmi) mereka kepada raja.
Ketika sistem ini meluas, potensi penyalahgunaan meningkat. Menteri, petugas polisi, dan bahkan petugas kecil yang bekerja di bawah mereka kadang-kadang mengeluarkan surat perintah untuk keuntungan pribadi: membalas dendam, menghilangkan saingan bisnis, atau mengamankan warisan. Meskipun raja, secara teori, harus menyetujui setiap surat, praktik surat blanko memungkinkan ratusan surat dikeluarkan setiap tahun tanpa pengawasan langsung dari Versailles.
Salah satu kasus yang menunjukkan penyalahgunaan yang meluas adalah statistik penggunaan surat di bawah Louis XV dan Louis XVI. Jumlah surat yang dikeluarkan tidak pernah konstan, tetapi diperkirakan total puluhan ribu surat telah dikeluarkan selama dua abad terakhir *Ancien Régime*. Angka ini menunjukkan bahwa surat tersebut adalah alat yang sangat aktif dan sering digunakan, jauh dari sekadar formalitas langka untuk masalah politik besar.
Perdebatan seputar *Lettre de Cachet* tidak hanya bersifat filosofis. Seiring dengan krisis keuangan kerajaan, masyarakat borjuis yang makmur mulai menuntut hak-hak yang lebih besar, dan tuntutan untuk menghapus wewenang arbitrer ini menjadi seruan utama bagi reformasi. Reformasi bukan hanya tentang keadilan, tetapi tentang siapa yang berhak mengontrol kebebasan warga negara.
Tempat-tempat di mana korban *Lettre de Cachet* ditahan menjadi simbol ketidakadilan. Penjara-penjara ini, terutama Bastille, telah diromantisasi dalam literatur dan menjadi mitos sentral dalam narasi Revolusi Prancis.
Bastille, benteng yang paling sering dikaitkan dengan Lettre de Cachet, melambangkan kekuasaan kerajaan yang absolut.
Bastille adalah penjara negara yang terletak di Paris, dibangun untuk mempertahankan kota, namun kemudian diubah menjadi penjara untuk bangsawan dan tahanan politik. Meskipun mitos Pencerahan menggambarkan Bastille penuh sesak dengan korban yang tidak bersalah, pada kenyataannya, Bastille adalah penjara yang relatif kecil. Ketika Bastille diserbu pada awal Revolusi, hanya ditemukan tujuh tahanan, dan tidak satupun dari mereka adalah tahanan politik penting; beberapa di antaranya adalah pemalsu atau orang yang ditahan atas permintaan keluarga.
Namun, pentingnya Bastille adalah simbolis. Karena ia menampung bangsawan, penulis terkemuka (seperti Voltaire dan Marquis de Sade), dan tokoh-tokoh penting yang ditahan tanpa proses hukum, ia menjadi lambang tirani. Para tahanan di Bastille, terutama yang kaya, sering diperlakukan dengan standar yang lebih baik daripada penjara biasa, diperbolehkan membawa pelayan, pakaian bagus, dan bahkan makan malam yang layak. Meskipun demikian, kurangnya kepastian hukum—ketidakmampuan untuk mengetahui kapan penahanan akan berakhir—adalah siksaan terbesar.
Château de Vincennes, yang terletak di luar Paris, sering digunakan sebagai alternatif untuk tahanan kelas atas. Sementara itu, untuk kasus-kasus domestik atau moral yang kurang penting, destinasi penahanan bisa berupa rumah-rumah sakit umum yang besar (*hôpital général*), yang sebenarnya merupakan campuran antara penjara, rumah miskin, dan rumah sakit jiwa. Institusi-institusi ini menampung puluhan ribu orang miskin, gelandangan, dan juga subjek *Lettre de Cachet* dari kelas menengah yang tidak memiliki uang untuk penahanan yang lebih nyaman.
Kualitas penahanan sangat tergantung pada status sosial dan kekayaan keluarga yang meminta. Keluarga yang kaya dapat membayar tunjangan (*pension*) yang tinggi untuk memastikan kerabat mereka diperlakukan dengan baik. Mereka yang tidak mampu membayar, seringkali hanya dilemparkan ke dalam kondisi yang mengerikan di penjara provinsi atau rumah sakit umum, menunggu nasib yang tidak jelas.
Kisah *Lettre de Cachet* diperkaya oleh kisah individu yang menjadikannya terkenal, baik sebagai korban yang menentang maupun sebagai pengguna yang ambisius.
Donatien Alphonse François, Marquis de Sade, adalah contoh paling ekstrem dari penggunaan *Lettre de Cachet* domestik. Sebagian besar hidupnya dihabiskan di penjara, bukan karena pengadilan kriminal formal, tetapi atas perintah dari mertuanya yang malu dan Ratu. De Sade ditahan berulang kali di Vincennes dan Bastille karena perilakunya yang cabul dan skandal seksual. Keluarga bangsawan menggunakan surat ini untuk mengontrol moralitas anggotanya, dan dalam kasus De Sade, untuk secara efektif menghapus kehadirannya dari masyarakat tanpa harus menjalani pengadilan yang akan mempermalukan seluruh nama baik mereka.
Honoré Gabriel Riqueti, Comte de Mirabeau, salah satu tokoh orator Revolusi Prancis, juga menjadi korban *Lettre de Cachet* berkali-kali. Penahanan pertamanya adalah atas permintaan ayahnya yang otoriter. Penahanan yang paling signifikan terjadi ketika ia ditangkap karena perselingkuhan dan diculik bersama kekasihnya. Ia dikirim ke Château de Joux. Selama masa penahanannya, Mirabeau menulis beberapa karya penting yang mengecam tirani monarki absolut, menjadikannya pahlawan bagi mereka yang menentang wewenang arbitrer.
Di balik nama-nama besar, terdapat ribuan kasus di mana *Lettre de Cachet* digunakan oleh borjuasi yang baru kaya untuk menindas pesaing, menyingkirkan suami yang boros, atau mengendalikan anak perempuan yang terlalu independen. Sejarah mencatat bahwa seorang wanita dapat dengan mudah meminta surat perintah untuk menahan suaminya yang pemabuk selama beberapa bulan, memberikan dia waktu untuk mengelola kembali keuangan keluarga. Kasus-kasus ini jauh lebih umum, menunjukkan betapa surat perintah ini terintegrasi ke dalam kehidupan sehari-hari sebagai alat administrasi sosial dan moral, bukan hanya alat politik.
Namun, dalam setiap kasus, hak untuk diperiksa, hak untuk membela diri, dan hak untuk menghadapi penuduh benar-benar ditiadakan. Individu yang ditahan sering tidak tahu siapa yang mengajukan petisi, atau berapa lama mereka akan mendekam di balik jeruji besi. Ketidakpastian inilah yang mendefinisikan kengerian *Lettre de Cachet* bagi korbannya.
Menjelang akhir *Ancien Régime*, di bawah Louis XVI, tekanan untuk mereformasi atau menghapus *Lettre de Cachet* meningkat. Louis XVI, yang dikenal memiliki sifat lebih lunak daripada para pendahulunya, menyadari bahwa surat ini adalah sumber ketidakpopuleran yang signifikan.
Jacques Necker, Menteri Keuangan dan Direktur Jenderal Keuangan, serta Chrétien Guillaume de Lamoignon de Malesherbes, seorang pengacara dan negarawan terkemuka, adalah tokoh yang paling keras berjuang untuk pembatasan. Malesherbes, khususnya, memiliki tugas mengawasi penjara-penjara negara. Dia terkejut oleh kondisi dan ketidakadilan yang dia temukan, terutama lamanya penahanan tanpa alasan yang jelas.
Di bawah pengaruhnya, ada upaya untuk membuat proses pengeluaran surat lebih ketat: persyaratan bahwa keluarga harus membayar biaya penahanan, penyelidikan yang lebih formal sebelum surat dikeluarkan, dan penetapan batas waktu (walaupun sering diabaikan) untuk penahanan. Tujuannya adalah untuk mengurangi arbitraritas dan memastikan bahwa surat itu hanya digunakan untuk kasus-kasus 'rehabilitasi' domestik yang sah, bukan pembalasan dendam pribadi.
Meskipun ada upaya reformasi, monarki tidak pernah siap untuk sepenuhnya menyerahkan hak prerogatifnya untuk mengeluarkan surat-surat ini. Kekuatan untuk menahan seseorang tanpa pengadilan adalah inti dari kedaulatan absolut. Menghapus *Lettre de Cachet* secara total berarti mengakui bahwa raja tunduk pada hukum peradilan, sebuah ide yang bertentangan dengan doktrin absolutisme ilahi.
Akibatnya, reformasi yang diterapkan hanya bersifat kosmetik. Meskipun jumlah penahanan politik berkurang drastis di bawah Louis XVI dibandingkan dengan Louis XIV, penahanan domestik tetap tinggi. Para reformis tidak berhasil meyakinkan raja bahwa kekuasaan untuk memenjarakan seseorang adalah hak yang harus didelegasikan kepada sistem peradilan formal, bukan kepada seorang menteri yang bertindak atas nama raja.
Takdir *Lettre de Cachet* terikat erat dengan kejatuhan monarki.
Penghapusan *Lettre de Cachet* adalah salah satu tuntutan utama yang diartikulasikan dalam *Cahiers de Doléances* (Buku Pengaduan) yang dikumpulkan dari seluruh Prancis menjelang pertemuan Estate-General. Masyarakat dari semua kelas sosial memprotes alat tirani ini.
Pada tanggal 13 Maret 1790, Majelis Konstituante Nasional mengeluarkan dekret yang secara resmi menghapus *Lettre de Cachet*. Dokumen bersejarah ini mendeklarasikan bahwa tidak ada warga negara yang dapat ditahan kecuali melalui perintah yudisial, menjamin apa yang kemudian dikenal sebagai hak proses hukum (*due process*). Penghapusan ini disambut sebagai kemenangan besar bagi prinsip-prinsip Pencerahan dan kebebasan sipil.
Simbol kejatuhan surat perintah ini terjadi beberapa bulan sebelumnya, pada Juli 1789, ketika penyerbuan Bastille bukan hanya tindakan militer, tetapi penghancuran simbol fisik dari wewenang arbitrer raja. Meskipun penjara itu hampir kosong, penghancurannya mengirimkan pesan yang kuat bahwa era di mana raja dapat memenjarakan rakyatnya secara diam-diam telah berakhir.
Meskipun *Lettre de Cachet* telah dihapus secara resmi, konsep penahanan administratif yang diabaikan proses hukum tidak sepenuhnya hilang. Selama periode kekacauan Revolusi dan era Napoleon, bentuk-bentuk penahanan sewenang-wenang lainnya muncul, seperti penangkapan massal tanpa surat perintah yang tepat, menunjukkan bahwa masalah tirani tidak hanya terletak pada suratnya, tetapi pada konsentrasi kekuasaan eksekutif yang tidak terbatas.
Namun, penghapusan *Lettre de Cachet* secara permanen memastikan bahwa Prancis, dan kemudian negara-negara kontinental lainnya, mulai membangun sistem peradilan pidana berdasarkan prinsip praduga tak bersalah, hak untuk diadili, dan kepastian hukum. Kisah surat rahasia ini menjadi peringatan abadi tentang bahaya ketika kekuasaan eksekutif dan yudikatif bersatu dalam satu tangan, tanpa mekanisme pengawasan yang kuat.
Untuk benar-benar memahami dimensi *Lettre de Cachet*, kita harus melihat lebih dalam pada lapisan masyarakat yang menggunakannya dan dampaknya terhadap struktur keluarga serta psikologi kolektif Prancis.
Dalam konteks domestik, *Lettre de Cachet* adalah alat yang memperkuat otoritas patriarki. Seorang ayah atau kepala keluarga dapat menggunakan kekuatan negara untuk menegakkan disiplin dalam ranah pribadinya, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh peradilan sipil tanpa prosedur yang panjang dan memalukan. Kemampuan ini memberikan kekuasaan mutlak atas nasib anak-anak yang menolak kehendak orang tua, terutama mengenai pernikahan dan warisan. Dalam masyarakat yang sangat menghargai garis keturunan dan harta benda, surat ini adalah polis asuransi moral dan finansial bagi kelas atas.
Ironisnya, alat kekuasaan absolut raja justru memberikan kekuasaan absolut tingkat mikro kepada individu kaya di rumah tangga mereka sendiri. Ini adalah contoh di mana negara menyewa wewenang kedaulatannya kepada warga negara terpilih untuk menjaga tatanan sosial—sebuah pertukaran yang menjaga loyalitas kelas atas kepada Monarki.
Dampak paling mendalam dari *Lettre de Cachet* mungkin adalah psikologi ketakutan dan kerahasiaan yang diciptakannya. Setiap orang tahu bahwa, secara teori, mereka bisa hilang sewaktu-waktu. Tidak ada yang aman dari pembalasan dendam pribadi yang disamarkan sebagai perintah raja, atau dari murka menteri yang sedang dalam suasana hati buruk. Ketidakpastian ini menciptakan budaya ketaatan yang dipaksakan. Penulis dan komentator harus sangat berhati-hati dengan apa yang mereka tulis dan ucapkan di ranah publik dan pribadi.
Ketakutan ini tidak hanya berlaku bagi musuh-musuh raja, tetapi juga bagi anggota keluarga yang ditahan. Dipenjarakan berarti reputasi subjek menjadi tercemar tanpa ada kesempatan untuk membersihkannya melalui pengadilan terbuka. Bahkan setelah dibebaskan, stigma "tahanan kerajaan" seringkali melekat.
Setelah Revolusi, *Lettre de Cachet* bertransisi dari instrumen politik menjadi motif sastra yang kuat, melambangkan kebrutalan feodalisme yang telah berlalu.
Penulis periode Romantisisme menggunakan *Lettre de Cachet* sebagai plot device untuk menciptakan pahlawan yang mulia namun dianiaya. Dalam karya-karya seperti *The Count of Monte Cristo* oleh Alexandre Dumas, penahanan sewenang-wenang karakter utama, Edmond Dantès, adalah mesin pendorong seluruh narasi. Dantès dipenjara bukan oleh keadilan, tetapi oleh konspirasi pribadi dan kekuasaan pejabat. Fiksi ini memperkuat citra Bastille dan *Lettre de Cachet* sebagai simbol kejahatan sistematis rezim lama.
Dalam drama dan novel, surat tertutup ini selalu muncul pada momen dramatis, dikirim oleh penjahat yang berkuasa atau ayah yang tiranis, menekankan bahwa di bawah monarki, takdir pribadi dapat dihancurkan oleh selembar kertas rahasia. Sastra membantu mengukir warisan *Lettre de Cachet* dalam memori kolektif, memastikan bahwa surat ini tetap menjadi sinonium bagi ketidakadilan yang ditimbulkan oleh kekuasaan yang tak terkendali.
Warisan hukum dari penghapusan *Lettre de Cachet* adalah pengukuhan prinsip kebebasan individu sebagai dasar negara hukum modern. Pasal-pasal tentang kebebasan pribadi dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara tahun 1789, yang menetapkan bahwa tidak ada yang dapat dituduh, ditahan, atau ditawan selain dalam kasus-kasus yang ditentukan oleh hukum, adalah respons langsung terhadap praktik *Lettre de Cachet* yang sewenang-wenang.
Surat perintah rahasia ini selamanya akan dikenang sebagai penanda paling jelas dari batas-batas di mana kekuasaan absolut beroperasi. Meskipun ia berhasil menjaga kehormatan keluarga dan menertibkan politik selama dua abad, biayanya adalah pengorbanan kebebasan dan kepastian hukum—harga yang akhirnya ditolak oleh bangsa Prancis melalui Revolusi.
Untuk memahami sepenuhnya bagaimana *Lettre de Cachet* dapat bertahan begitu lama, perlu diperhatikan detail birokrasi yang mendukungnya. Surat ini bukan hanya perintah raja, tetapi produk dari sistem administratif yang kompleks.
Semua permintaan dan penerbitan *Lettre de Cachet* dicatat dalam arsip Kementerian Rumah Tangga Kerajaan. Meskipun surat itu sendiri bersifat rahasia, prosesnya meninggalkan jejak kertas yang luas. Para sejarawan modern mengandalkan arsip-arsip ini untuk menghitung frekuensi penggunaan dan menganalisis motivasi di baliknya. Arsip-arsip ini menunjukkan bahwa birokrasi berusaha untuk membuat sistem yang arbitrer ini menjadi 'teratur' dan 'bertanggung jawab' secara internal, bahkan jika tidak bertanggung jawab kepada publik.
Terkadang, catatan arsip mencakup pengiriman surat dari pihak keluarga, hasil penyelidikan rahasia oleh *intendant*, keputusan menteri, dan bahkan laporan-laporan berkala dari petugas penjara mengenai perilaku tahanan. Laporan-laporan ini adalah kunci untuk menentukan apakah seorang tahanan harus dibebaskan atau ditahan lebih lanjut. Jika keluarga yang meminta melaporkan bahwa subjek telah menunjukkan "penyesalan yang tulus" atau "perbaikan moral," seorang menteri mungkin mengeluarkan *Lettre de Cachet* lain untuk pembebasan. Dengan demikian, kebebasan individu secara harfiah dikendalikan oleh dokumen dan birokrasi yang tak terlihat.
Aspek penting lainnya adalah ekonomi penahanan. Sebagian besar biaya untuk menjaga seorang tahanan di Bastille atau Vincennes ditanggung oleh keluarga yang meminta penahanan, melalui pembayaran pensiun atau tunjangan. Sistem ini menciptakan insentif yang kontradiktif bagi administrasi penjara: semakin lama seorang tahanan berada di sana, semakin banyak uang yang diperoleh penjara dari keluarga tersebut. Hal ini secara implisit memperpanjang masa penahanan, terutama bagi mereka yang keluarganya sangat kaya dan bersedia membayar mahal untuk menyingkirkan kerabat yang memalukan.
Namun, jika seorang tahanan dianggap sebagai 'tahanan raja' (karena alasan politik atau negara), biaya penahanan ditanggung oleh kas kerajaan. Dalam kasus-kasus ini, biaya untuk menjaga seorang bangsawan yang ditahan dengan selera mahal (makanan berkualitas, minuman anggur, perabotan) bisa sangat besar, menambah beban keuangan negara yang sudah berat.
Di Paris, sosok *Lieutenant Général de Police* memainkan peran penting dalam eksekusi dan administrasi *Lettre de Cachet*. Jabatan ini, yang didirikan untuk menjaga ketertiban, memiliki wewenang luas atas pengawasan kota dan penegakan hukum rahasia. Letnan Jenderal Polisi sering bertindak sebagai tangan kanan menteri, memastikan penangkapan dilakukan dengan efisiensi dan kerahasiaan maksimal.
Petugas di bawah Letnan Jenderal Polisi adalah mereka yang secara fisik melakukan penangkapan. Mereka membawa surat yang disegel dan harus memastikan bahwa identitas subjek diverifikasi secara ketat, karena kesalahan identitas dapat menimbulkan kekacauan yang serius di kalangan bangsawan. Seluruh rantai komando ini, mulai dari menteri di Versailles hingga petugas yang mengetuk pintu di tengah malam, menunjukkan betapa terstruktur dan terlembaganya praktik kekuasaan arbitrer ini.
Untuk menghargai keunikan *Lettre de Cachet*, penting untuk membandingkannya dengan alat hukum di negara-negara tetangga, terutama Inggris, yang telah mengembangkan sistem hukum yang berbeda secara fundamental.
Di Inggris, sejak akhir abad ke-17, *Habeas Corpus Act* (Undang-Undang *Habeas Corpus*) secara efektif melarang penahanan yang sewenang-wenang. Undang-undang ini menjamin bahwa setiap orang yang ditahan memiliki hak untuk diperiksa oleh pengadilan (*habeas corpus ad subjiciendum*), yang kemudian harus menentukan apakah penahanan tersebut sah secara hukum. Jika tidak, tahanan harus segera dibebaskan.
Prinsip ini secara radikal bertentangan dengan *Lettre de Cachet*. Di Prancis, raja adalah satu-satunya sumber hukum dan keadilan, dan perintahnya tidak dapat ditinjau oleh pengadilan. Perbedaan mendasar dalam filosofi hukum ini—antara supremasi parlemen dan supremasi raja—adalah salah satu alasan utama mengapa Revolusi Prancis mengambil jalur yang jauh lebih radikal dalam menuntut hak-hak sipil dibandingkan dengan evolusi politik yang lebih bertahap di Inggris.
Meskipun Prancis paling terkenal, monarki absolut di seluruh Eropa juga memiliki bentuk surat perintah atau dekrit rahasia untuk memenjarakan subjek politik. Di Spanyol atau Austria, penguasa memiliki kemampuan serupa untuk bertindak di luar proses hukum normal. Namun, *Lettre de Cachet* Prancis menonjol karena dua alasan: pertama, penggunaannya yang meluas dalam urusan domestik, dan kedua, kerahasiaan birokratisnya yang sempurna. Di Prancis, alat ini tidak hanya digunakan untuk perang melawan musuh negara tetapi juga untuk mengelola moralitas dan kehormatan pribadi, menjadikannya unik dalam penetrasinya ke dalam kehidupan sipil.
*Lettre de Cachet* adalah kapsul waktu dari *Ancien Régime*. Ia mewakili keyakinan yang mendalam bahwa kedaulatan raja adalah mutlak, tidak tunduk pada pemeriksaan publik atau batasan hukum, dan bahwa kesejahteraan negara (*raison d'État*) menuntut tindakan cepat, rahasia, dan tanpa kompromi.
Namun, dalam upayanya untuk melindungi kehormatan, surat ini justru melahirkan penghinaan yang lebih besar. Dalam upayanya untuk menjaga tatanan, surat ini menabur benih ketidakpercayaan dan kebencian. Setiap surat yang dikeluarkan, setiap orang yang ditahan tanpa diadili, adalah pengakuan bahwa monarki takut pada transparansi dan keadilan. Pada akhirnya, *Lettre de Cachet* tidak hanya dihapus oleh Revolusi; surat itu sendiri menjadi salah satu katalis terkuat bagi Revolusi tersebut. Ia mengingatkan kita bahwa kekuasaan yang tidak dibatasi, meskipun niat awalnya mungkin baik, pada akhirnya akan menjadi instrumen tirani.
Warisan *Lettre de Cachet* bukanlah tentang penjara Bastille yang kosong, melainkan tentang prinsip yang ia langgar: hak setiap manusia untuk berhadapan dengan penuduhnya dan diadili berdasarkan hukum yang diketahui publik. Surat rahasia ini adalah epitaf terakhir bagi klaim raja-raja Prancis atas wewenang ilahi yang tak terbatas.
Detail-detail prosedural, kontroversi moral, dan dampaknya yang mendalam terhadap psikologi sosial Prancis selama abad ke-17 dan ke-18 menunjukkan bahwa *Lettre de Cachet* adalah lebih dari sekadar surat. Ia adalah manifestasi fisik dari absolutisme dalam bentuk yang paling pribadi dan menakutkan, sebuah dokumen yang mampu menghapus identitas seseorang dan menyerahkannya kepada kegelapan ketidakpastian administratif.
Penghapusan instrumen ini tidak hanya menandai akhir dari era monarki, tetapi juga permulaan era baru di mana kebebasan individu dan kepastian hukum menjadi fondasi yang tak tergoyahkan dari negara modern. Kisah *Lettre de Cachet* adalah pelajaran sejarah yang terus relevan mengenai pentingnya pembatasan kekuasaan eksekutif dan pemisahan yang tegas antara penguasa dan pengadil.
***
Pemahaman mengenai *Lettre de Cachet* harus diperluas melampaui sejarah politiknya untuk menyentuh inti dari filsafat hukum yang mendasarinya. Di Prancis, hukum publik dibedakan dari hukum privat. *Lettre de Cachet* mengaburkan batas ini secara radikal, memungkinkan kepentingan privat (kehormatan keluarga) ditangani dengan otoritas hukum publik yang paling tinggi (kekuatan raja).
Dalam teori hukum *Ancien Régime*, raja memiliki tugas ganda: menjaga *ordre public* (ketertiban umum) dan *bonnes mœurs* (moralitas yang baik). Ketika seorang bangsawan mengajukan petisi untuk menahan anaknya yang boros, mereka tidak sekadar meminta pembalasan, tetapi meminta raja untuk campur tangan demi menjaga moralitas dan mencegah kehancuran properti keluarga, yang pada gilirannya dapat mengganggu stabilitas sosial. Raja, sebagai sumber keadilan tertinggi, memiliki kewenangan *justice retenue*—keadilan yang dipertahankan atau dipegang sendiri—yang ia gunakan melalui *Lettre de Cachet*.
Wewenang ini bertentangan dengan *justice déléguée*—keadilan yang didelegasikan kepada parlemen dan pengadilan biasa. Ketika *justice retenue* digunakan, prosedur formal peradilan dihindari. Para filsuf Pencerahan mengecam keras dualitas ini, menuntut agar semua bentuk keadilan harus didelegasikan dan tunduk pada aturan umum yang transparan. Mereka melihat *justice retenue* sebagai jalan pintas tirani yang membahayakan setiap warga negara.
Pelaksana surat ini di luar Paris adalah *intendant*, pejabat kerajaan yang bertanggung jawab atas administrasi, keuangan, dan polisi di provinsi. *Intendant* adalah mata dan tangan raja di lapangan. Ketika sebuah keluarga di Bordeaux mengajukan permintaan *Lettre de Cachet*, *intendant* setempat akan menerima petisi tersebut. Dialah yang bertanggung jawab untuk melakukan penyelidikan rahasia, wawancara, dan mengumpulkan bukti, yang kemudian dirangkum dan dikirim ke Menteri Rumah Tangga Kerajaan di Versailles.
Kekuatan *intendant* dalam memfilter dan merekomendasikan penerbitan surat sangat besar. Jika seorang *intendant* memusuhi sebuah keluarga atau memiliki bias tertentu, ia dapat mempengaruhi nasib seseorang. Demikian pula, jika seorang *intendant* adalah teman baik dari keluarga pemohon, prosesnya bisa dipercepat secara signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa sistem yang seharusnya bersifat 'kerajaan' dan 'absolut' sebenarnya sangat dipengaruhi oleh jaringan kekuasaan lokal dan hubungan pribadi, jauh dari pengawasan langsung Raja.
Analisis statistik yang dilakukan oleh para sejarawan, terutama berdasarkan arsip Bastille dan arsip Kementerian Rumah Tangga Kerajaan, memberikan pandangan yang lebih terperinci mengenai siapa sebenarnya yang paling sering menjadi korban dan pengguna *Lettre de Cachet*.
Meskipun Bastille diisi oleh bangsawan terkenal, mayoritas korban *Lettre de Cachet* yang ditahan di institusi selain Bastille bukanlah bangsawan tinggi, melainkan anggota kelas borjuis yang makmur dan kelas menengah atas. Keluarga-keluarga ini memiliki kehormatan dan kekayaan untuk dilindungi, tetapi tidak memiliki sarana fisik (seperti penjaga pribadi) untuk mengendalikan anggota keluarga yang nakal.
Para petani dan buruh jarang menjadi subjek *Lettre de Cachet* domestik. Jika mereka melakukan kejahatan, mereka akan ditangani oleh pengadilan kriminal biasa. Surat ini adalah alat kelas istimewa; ia mengharuskan adanya uang untuk membayar tunjangan penahanan dan status sosial yang harus dijaga dari skandal publik. Dengan demikian, *Lettre de Cachet* adalah simbol hak istimewa, bukan hanya tirani kerajaan semata—ia adalah tirani yang disewakan kepada kaum elite.
Penggunaan surat perintah ini mencerminkan iklim politik dan moral tertentu. Sebagai contoh, di bawah Louis XV, terdapat peningkatan tajam dalam kasus penahanan yang berkaitan dengan urusan agama, terutama terhadap Jansenis (sekte Katolik yang dianggap bidat). Sementara di masa Louis XVI, meskipun ada upaya reformasi, jumlah penahanan yang berkaitan dengan pemborosan atau skandal seksual tetap tinggi, mencerminkan peningkatan kepedulian borjuasi terhadap stabilitas properti di tengah kesulitan ekonomi.
Tingginya angka penahanan domestik—yang jauh melebihi penahanan politik—menunjukkan bahwa alasan utama keberlanjutan *Lettre de Cachet* bukanlah untuk menindas kebebasan berpendapat (walaupun itu penting), tetapi untuk menyediakan mekanisme *extra-yudisial* yang cepat dan diam-diam bagi elite untuk menegakkan tatanan internal keluarga mereka tanpa merusak kehormatan publik.
Dalam konteks modern, *Lettre de Cachet* menjadi studi kasus yang sempurna mengenai konflik antara kekuasaan negara dan hak asasi manusia. Ketika Majelis Konstituante menghapus surat ini, mereka secara de facto memproklamasikan hak yang sekarang diakui secara universal: hak untuk kebebasan dan keamanan pribadi.
Pasal 7, 8, dan 9 dari Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara tahun 1789 adalah reaksi langsung terhadap praktik *Lettre de Cachet*.
Dengan demikian, penghapusan *Lettre de Cachet* tidak hanya bersifat administratif tetapi juga merupakan revolusi filosofis yang menggeser dasar kewenangan penahanan dari kehendak pribadi penguasa menjadi aturan hukum yang transparan dan dapat diprediksi. Ini adalah langkah penting dalam transisi dari subjek raja menjadi warga negara yang memiliki hak.
Meskipun dihapuskan pada tahun 1790, konsep penahanan tanpa proses hukum kembali muncul pada masa-masa penuh gejolak. Selama Era Teror dan kemudian di bawah Napoleon, berbagai bentuk penahanan administratif muncul lagi untuk menghilangkan musuh-musuh politik. Setelah restorasi Monarki Bourbon pada abad ke-19, terdapat diskusi serius di kalangan royalis untuk menghidupkan kembali *Lettre de Cachet*, setidaknya untuk keperluan domestik dan moral. Mereka berargumen bahwa surat itu adalah cara yang lembut dan bermartabat untuk menjaga kehormatan keluarga tanpa mengumbar aib di pengadilan terbuka. Namun, tekanan publik dan komitmen terhadap prinsip-prinsip konstitusional pasca-Revolusi mencegah kebangkitan penuh dari instrumen tirani ini.
Pada akhirnya, *Lettre de Cachet* tetap menjadi monumen sejarah, sebuah pengingat yang kuat bahwa kebebasan adalah hak yang harus terus dipertahankan dari cengkeraman kekuasaan yang ingin bersembunyi di balik segel rahasia.