Paradoks *Lex Non Scripta*: Kekuatan Hukum yang Tidak Tertulis

LEX SCRIPTA NON SCRIPTA

Visualisasi dualisme hukum: yang tertulis dan yang tersimpan dalam tradisi dan kebiasaan.

I. Mengurai Makna *Lex Non Scripta*

Dalam bentangan sejarah peradaban manusia, hukum seringkali dipahami sebagai seperangkat aturan yang dikodifikasi dan diabadikan dalam teks-teks resmi—undang-undang, konstitusi, atau regulasi. Namun, di bawah permukaan cetakan yang rapi dan pasal-pasal yang tegas, mengalir sungai hukum yang jauh lebih tua, lebih lentur, dan seringkali lebih kuat: **Lex Non Scripta**, atau hukum yang tidak tertulis.

Istilah Latin ini merujuk pada prinsip-prinsip hukum yang tidak berasal dari otoritas legislatif yang secara eksplisit memberlakukannya melalui proses formal. Sebaliknya, kekuatannya muncul dari penerimaan umum, kebiasaan yang berlangsung lama (*long usage*), praktik peradilan yang konsisten, atau keadilan alami (*natural equity*). Paradoksnya terletak pada fakta bahwa entitas yang tidak memiliki bentuk fisik (tulisan) ini justru mampu mendikte keputusan, membentuk norma sosial, dan bahkan membatasi kekuasaan penguasa yang tertulis.

Studi mengenai *Lex Non Scripta* membawa kita melampaui positivisme hukum, menyelami ranah di mana moral, tradisi, dan akal sehat hakim menjadi sumber utama legitimasi. Ini bukan sekadar absennya tulisan; ini adalah hadirnya konsensus, kebiasaan yang telah mengakar kuat sehingga ia memperoleh bobot dan kewajiban layaknya hukum formal.

II. Akar Filosofis dan Jejak Sejarah Kuno

2.1. Hukum Adat: Manifestasi Purba *Lex Non Scripta*

Sebelum negara modern dengan aparatur legislatifnya muncul, hukum diatur oleh kebiasaan komunal. Di Indonesia, fenomena ini dikenal sebagai **Hukum Adat**. Adat adalah sistem hukum yang tumbuh dari ritual, keputusan kepala suku, dan sanksi sosial yang diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi. Hukum Adat adalah contoh paling murni dari *Lex Non Scripta* dalam konteks sosiologis.

Kekuatan Hukum Adat terletak pada legitimasi kolektif. Aturan mengenai tanah, warisan, perkawinan, dan penyelesaian sengketa tidak pernah dicetak dalam lembaran negara, namun pelanggarannya dapat memicu pengucilan atau denda adat yang jauh lebih berat daripada denda pidana. Meskipun pada era kolonial dan pasca-kemerdekaan banyak upaya dilakukan untuk mengkodifikasi Adat, esensinya tetap berada dalam tradisi lisan dan interpretasi kontekstual oleh pemangku adat.

Dalam konteks modern Indonesia, meskipun Undang-Undang Dasar 1945 mengakui keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, penerapannya seringkali memerlukan jembatan penafsiran. Di sinilah peran hakim menjadi krusial: mereka harus "menemukan" hukum yang tidak tertulis tersebut dan mengaplikasikannya tanpa merusak prinsip keadilan formal negara.

2.2. Tradisi Romawi dan Konsep Yurisprudensi

Meskipun sistem hukum Romawi dikenal karena kodifikasi ambisiusnya (terutama *Corpus Juris Civilis*), *Lex Non Scripta* telah diakui sejak masa awal. Ahli hukum Romawi membedakan antara *ius scriptum* (hukum tertulis) dan *ius non scriptum* (hukum tidak tertulis).

Bagi Romawi, hukum tidak tertulis ini sebagian besar terdiri dari **kebiasaan** (*consuetudo*), yang menjadi sumber hukum jika memenuhi dua syarat utama:

  1. Materiil: Praktik yang berkelanjutan dan berulang dalam jangka waktu lama.
  2. Psikologis (*Opinio Juris*): Keyakinan bahwa praktik tersebut wajib secara hukum, bukan sekadar etiket atau tradisi sosial biasa.
Konsep inilah yang kemudian diwariskan kepada sistem hukum sipil (Civil Law) yang mendominasi Eropa Kontinental, meskipun peran kebiasaan cenderung menyusut setelah era kodifikasi besar Napoleon.

III. Pilar Utama: *Lex Non Scripta* dalam Sistem *Common Law*

Arena di mana *Lex Non Scripta* mencapai puncak dominasinya adalah dalam sistem hukum Anglo-Saxon atau *Common Law* (Hukum Umum), yang berasal dari Inggris. Secara historis, seluruh Common Law pada dasarnya adalah hukum yang tidak tertulis, karena ia dibentuk oleh keputusan hakim, bukan oleh parlemen.

3.1. Hukum Umum dan Doktrin *Stare Decisis*

Ketika Raja-raja Inggris menyatukan berbagai kebiasaan lokal, mereka menciptakan "Hukum Umum" yang berlaku sama di seluruh kerajaan. Hukum ini tidak dibuat di Westminster; ia "ditemukan" oleh para hakim yang berkeliling, yang mencatat kebiasaan terbaik dan paling masuk akal dari masyarakat dan menerapkannya secara konsisten. Inilah inti dari *Lex Non Scripta* Inggris—kebiasaan yang diangkat menjadi norma wajib melalui otoritas peradilan.

Doktrin **Stare Decisis** (*berpegang pada yang telah diputuskan*) adalah mekanisme yang mengubah kebiasaan tak tertulis menjadi hukum yang mengikat. Setiap putusan pengadilan menjadi preseden. Meskipun preseden itu sendiri tertulis (dalam laporan kasus), sumber aslinya adalah pemahaman hukum yang berlaku pada saat keputusan pertama dibuat, yang pada dasarnya adalah kebiasaan lisan atau prinsip keadilan yang diterima umum.

Proses ini menantang pemahaman kita tentang apa itu "hukum tertulis". Bagi penganut Common Law, hukum tidak tertulis adalah hukum yang harus diekstraksi dari pengalaman historis dan praktik pengadilan yang berulang, menjadikannya lentur namun terikat pada sejarah.

3.2. Ekuitas: Hati Nurani Melengkapi Hukum

Seiring waktu, Common Law menjadi kaku dan terikat pada formalitas prosedural yang ketat. Kebutuhan untuk memberikan keadilan di mana hukum umum gagal melahirkan sistem paralel yang revolusioner: **Ekuitas (Equity)**.

Ekuitas, yang awalnya dikelola oleh Kanselir Raja (penjaga hati nurani raja), adalah sistem hukum yang secara fundamental berbasis pada *Lex Non Scripta*. Tujuannya adalah untuk melunakkan kekakuan Common Law melalui penerapan prinsip-prinsip moralitas dan keadilan alamiah. Ekuitas bergerak berdasarkan maksim-maksim yang tidak pernah dikodifikasi, seperti:

Maksim-maksim ini, yang berfungsi sebagai aturan yang mengikat, sama sekali tidak berasal dari parlemen; mereka murni produk dari praktik yudisial dan prinsip etika yang diterima. Contoh penerapannya termasuk pengembangan konsep perwalian (*trust*), ganti rugi spesifik (*specific performance*), dan injungsi (*injunction*). Tanpa sistem Ekuitas yang berakar pada *Lex Non Scripta*, hukum modern Inggris dan Amerika tidak akan dapat menangani kompleksitas properti dan keuangan kontemporer.

Simpul Tradisi: Kebiasaan yang mengikat masyarakat menjadi hukum tanpa perlu kodifikasi formal.

IV. Sumber Otoritas dan Klasifikasi dalam Teori Hukum

4.1. Kebiasaan (*Consuetudo*) vs. Doktrin Yudisial

Penting untuk membedakan dua jenis utama dari *Lex Non Scripta* berdasarkan sumber legitimasinya:

  1. Kebiasaan Lokal atau Komunal: Hukum yang tumbuh dari praktik masyarakat umum. Otoritasnya datang dari kebiasaan yang berlangsung lama (*diuturnus usus*) dan penerimaan oleh publik. Contohnya adalah tradisi perdagangan spesifik di pelabuhan, atau pengaturan irigasi sawah.
  2. Hukum Tidak Tertulis yang Dibuat Yudisial: Hukum yang berasal dari interpretasi, deduksi, atau penemuan prinsip oleh hakim. Ini adalah hukum yang ditemukan dalam *ratio decidendi* (alasan keputusan) sebuah kasus. Dalam Common Law, jenis inilah yang dominan.

Dalam sistem *Civil Law* (seperti yang berlaku di Indonesia), peran kebiasaan masyarakat cenderung berada di bawah undang-undang. Namun, jika undang-undang tidak jelas atau terdapat kekosongan hukum, kebiasaan, serta yurisprudensi (putusan hakim yang berulang), menjadi sumber hukum primer. Oleh karena itu, yurisprudensi, meskipun hasil putusan itu tertulis, diakui sebagai manifestasi dari hukum yang ‘ditemukan’ oleh hakim, bukan diciptakan oleh legislatif.

4.2. Peran Prinsip Hukum Umum (*General Principles of Law*)

*Lex Non Scripta* seringkali terwujud dalam bentuk Prinsip Hukum Umum. Ini adalah konsep-konsep fundamental yang diakui oleh hampir semua sistem hukum beradab, bahkan jika mereka tidak diabadikan dalam satu pasal spesifik. Contohnya:

Prinsip-prinsip ini bertindak sebagai kerangka acuan filosofis dan sering digunakan oleh hakim ketika menafsirkan undang-undang yang ambigu atau menghadapi situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Mereka adalah "hukum" karena diakui secara universal sebagai prasyarat bagi sistem keadilan yang berfungsi. Dalam banyak kasus, ketika parlemen mengkodifikasi sebuah area hukum baru, mereka hanya memberikan bentuk tertulis pada prinsip-prinsip tak tertulis yang telah dianut selama berabad-abad.

V. *Lex Non Scripta* dalam Dunia Hukum Modern

5.1. Hukum Internasional Kebiasaan (*Customary International Law*)

Di panggung global, *Lex Non Scripta* memainkan peran vital dalam membentuk Hukum Internasional. Karena tidak ada legislatif dunia yang memiliki otoritas untuk memberlakukan undang-undang, sebagian besar kewajiban antar-negara berasal dari Kebiasaan Internasional. Kebiasaan ini terdiri dari dua elemen yang sama dengan yang diakui Romawi:

  1. Praktik Negara (*State Practice*): Tindakan negara yang berulang dan konsisten (misalnya, perlakuan terhadap diplomat, penetapan batas laut).
  2. *Opinio Juris Sive Necessitatis* (Keyakinan Wajib): Keyakinan negara bahwa praktik tersebut diwajibkan oleh hukum.

Contoh klasik adalah aturan mengenai kekebalan kedaulatan negara atau hukum perang (Humanitarian Law) yang berkembang sebelum konvensi-konvensi tertulis dibuat. Ketika Mahkamah Internasional (ICJ) memutuskan sengketa, mereka seringkali merujuk pada prinsip-prinsip kebiasaan ini, menjadikannya hukum yang mengikat meskipun tidak tertulis dalam perjanjian formal.

5.2. Konstitusi Tak Tertulis: Kasus Inggris dan Israel

Beberapa negara besar beroperasi di bawah sistem di mana bagian fundamental dari tata kelola negara mereka tidak terkodifikasi dalam satu dokumen konstitusi. Contoh paling terkenal adalah Britania Raya.

Konstitusi Inggris adalah kumpulan dari undang-undang parlemen, preseden pengadilan, dan, yang paling penting, **konvensi konstitusional**. Konvensi ini adalah aturan perilaku politik yang tidak memiliki kekuatan hukum formal (pengadilan tidak dapat memaksakannya), tetapi secara politis mengikat semua aktor negara. Contohnya termasuk bahwa Raja harus memberikan persetujuan Kerajaan pada setiap RUU yang disahkan parlemen, atau bahwa Perdana Menteri harus berasal dari majelis rendah.

Konvensi ini adalah *Lex Non Scripta* politik. Kegagalannya tidak menghasilkan sanksi hukum, melainkan krisis politik atau konstitusional. Mereka bertahan karena konsensus dan keyakinan bahwa kepatuhan pada konvensi adalah esensial untuk fungsi demokrasi yang stabil.

5.3. Tantangan Keadilan dan Ketidakpastian

Meskipun *Lex Non Scripta* memberikan fleksibilitas dan adaptasi terhadap kebutuhan sosial yang terus berubah, ia juga menghadapi kritik tajam, terutama dalam kaitannya dengan prinsip kepastian hukum (*legal certainty*) dan supremasi hukum (*rule of law*).

Pergulatan antara kebutuhan akan keadilan dan kebutuhan akan kepastian ini membentuk salah satu dialektika paling fundamental dalam teori hukum. Banyak upaya kodifikasi di seluruh dunia modern (misalnya, pengkodifikasian Hukum Perdagangan Internasional) adalah reaksi langsung terhadap ketidakpastian yang melekat pada hukum kebiasaan atau yurisprudensi yang sangat kompleks.

VI. Dialektika Kodifikasi dan Penemuan Hukum

6.1. Ketika Yang Tak Tertulis Harus Dituliskan

Sejarah hukum adalah kisah tarik-menarik antara hukum yang tumbuh secara organik (tak tertulis) dan upaya formal untuk membekukannya (kodifikasi). Ketika sebuah area *Lex Non Scripta* menjadi terlalu penting, terlalu ambigu, atau terlalu kontroversial, ia biasanya didorong menuju kodifikasi.

Proses kodifikasi seringkali terjadi dalam tiga skenario utama:

  1. Penguatan (Reinforcement): Legislatif mengambil prinsip yang sudah diterima (misalnya, *bona fides* dalam kontrak) dan menuliskannya untuk memberikan bobot formal yang lebih besar.
  2. Klarifikasi (Clarification): Mengatasi konflik preseden atau variasi kebiasaan lokal dengan menciptakan satu aturan baku yang seragam. Ini penting untuk perdagangan dan yurisdiksi nasional.
  3. Inovasi yang Didasarkan Tradisi: Menerjemahkan prinsip kuno ke dalam bahasa modern untuk menangani teknologi atau masalah sosial baru (misalnya, menerapkan prinsip *trespass* kuno pada kasus *cyber intrusion*).

Namun, kodifikasi tidak pernah membunuh *Lex Non Scripta*. Segera setelah undang-undang disahkan, proses penafsiran dimulai, dan undang-undang tersebut harus diterapkan pada fakta-fakta yang tidak diprediksi oleh pembuat undang-undang. Pada titik ini, hakim kembali harus mencari keadilan di luar teks, membuka kembali pintu bagi *Lex Non Scripta* dalam bentuk penafsiran kontekstual dan prinsip hukum umum.

6.2. Keadilan Sebagai Sumber Hukum Mandiri

Dalam beberapa yurisdiksi, hakim diberi wewenang eksplisit untuk merujuk pada prinsip keadilan, bahkan ketika hukum tertulis diam atau tidak relevan. Misalnya, Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Swiss (dan yurisdiksi yang mengikutinya) memberikan izin kepada hakim untuk bertindak sebagai pembuat undang-undang ketika tidak ada aturan yang berlaku, berdasarkan pada "aturan yang akan ia buat jika ia adalah seorang legislator." Meskipun hal ini jarang terjadi, pengakuan ini adalah pengakuan tertinggi terhadap otoritas *Lex Non Scripta*—otoritas akal sehat dan keadilan alami.

Tindakan ini mengharuskan hakim untuk menjadi lebih dari sekadar corong hukum tertulis; mereka harus menjadi penemu hukum, mengambil keputusan yang didasarkan pada moralitas sosial dan etika publik yang tidak pernah diformalkan secara eksplisit. Keputusan semacam ini kemudian dapat menjadi bagian dari *Lex Non Scripta* baru, mengikat pengadilan yang lebih rendah melalui yurisprudensi.

6.3. *Lex Non Scripta* dan Etika Profesi

Di luar hukum negara formal, ada lapisan hukum tak tertulis yang mengatur perilaku profesional, terutama di kalangan advokat, notaris, dan aparatur negara. Kode etik profesi seringkali mengandung prinsip-prinsip yang jauh lebih luas daripada sanksi hukum pidana atau perdata yang sempit. Kewajiban kerahasiaan, kejujuran terhadap pengadilan, dan menghindari konflik kepentingan sebagian besar didasarkan pada kebiasaan profesi yang dikembangkan selama berabad-abad—sebuah bentuk *Lex Non Scripta* internal yang menjamin integritas sistem.

Ketika seorang pengacara didiskualifikasi karena perilaku yang tidak etis, sanksi tersebut mungkin didasarkan pada pelanggaran prinsip keadilan yang tidak tertulis yang dianggap mutlak dalam menjalankan profesi hukum. Ini menunjukkan bagaimana hukum tak tertulis tetap menjadi penjaga moralitas di balik sistem formal.

VII. Kesimpulan: Kontinuitas Hukum

*Lex Non Scripta* adalah denyut nadi kehidupan hukum. Ia adalah bukti bahwa hukum bukanlah sekumpulan peraturan statis yang diletakkan oleh penguasa, melainkan sebuah proses yang hidup, adaptif, dan terus berkembang seiring perubahan masyarakat. Dari kebiasaan kuno masyarakat adat yang mengatur pembagian air di sawah, hingga maksim ekuitas di pengadilan tinggi London, hukum yang tidak tertulis menjamin bahwa hukum tetap relevan dan, yang terpenting, adil.

Dalam era kodifikasi dan legislasi yang masif, seringkali kita tergoda untuk percaya bahwa hukum yang sah hanyalah yang tertulis. Namun, kekuatan sesungguhnya dari suatu sistem hukum terletak pada kemampuannya untuk mengisi celah, melunakkan kekakuan, dan menyesuaikan diri dengan "hati nurani" masyarakat yang berubah. Hukum yang tidak tertulis memastikan bahwa, bahkan di tengah kekakuan birokrasi, keadilan tetap dapat ditemukan di luar teks-teks formal.

Dengan demikian, *Lex Non Scripta* bukan hanya warisan sejarah, melainkan sumber daya kontemporer yang terus digunakan oleh hakim, diplomat, dan pembuat kebijakan untuk menjaga kontinuitas, legitimasi, dan, pada akhirnya, kemanusiaan dalam praktik hukum.

***

VIII. Analisis Mendalam Mengenai Peran Ekuitas Sebagai *Lex Non Scripta* Murni

Jika Common Law merupakan hasil dari generalisasi kebiasaan, Ekuitas adalah koreksi filosofis terhadap hasil tersebut. Ekuitas lahir pada Abad Pertengahan di Inggris karena rakyat yang merasa dirugikan oleh kekakuan prosedural dan solusi terbatas (hanya ganti rugi uang) dari pengadilan Common Law, mengajukan petisi langsung kepada Raja. Raja kemudian mendelegasikan ini kepada Kanselir, yang didominasi oleh rohaniwan, sehingga penekanannya adalah pada moralitas dan hati nurani.

8.1. Perbedaan Mendasar antara Hukum dan Ekuitas

Awalnya, Ekuitas tidak bertujuan untuk menggantikan Common Law, tetapi untuk melengkapinya. Common Law beroperasi *in rem* (terhadap benda/properti), sedangkan Ekuitas beroperasi *in personam* (terhadap orang). Misalnya, jika A secara curang mengambil properti B, Common Law hanya bisa memerintahkan A membayar ganti rugi. Ekuitas, yang berpegang pada prinsip keadilan tak tertulis, bisa memerintahkan A untuk secara spesifik mengembalikan properti tersebut (*specific performance*), atau melarang A melakukan tindakan tertentu (*injunction*). Kekuatan Ekuitas berasal dari prinsip bahwa keadilan, sebagaimana dipahami oleh hati nurani, harus diprioritaskan di atas bentuk hukum yang kaku.

Perkembangan Doktrin Trust (Perwalian) adalah contoh paling signifikan dari penciptaan hukum tak tertulis murni. Dalam perwalian, hukum Common Law mengakui pemilik sah properti (wali amanat), tetapi Ekuitas mengakui pihak lain (penerima manfaat) sebagai pemilik yang berhak secara moral dan adil. Konsep dualitas kepemilikan ini tidak tertulis di mana pun hingga Kanselir menciptakannya untuk melindungi properti para ksatria yang sedang berperang dari pengelola yang tidak jujur.

8.2. Maksim Ekuitas dan Penerapannya

Maksim Ekuitas (prinsip-prinsip yang telah disebutkan sebelumnya) adalah intisari dari *Lex Non Scripta* yang paling efektif. Prinsip "Keterlambatan mengalahkan Ekuitas" (*Delay defeats Equity*) berarti bahwa jika seseorang menunggu terlalu lama untuk mengklaim haknya, meskipun secara hukum ia benar, Ekuitas tidak akan membantunya. Prinsip ini tidak didasarkan pada batas waktu yang tertulis (statute of limitations), melainkan pada prinsip keadilan mendasar bahwa seseorang tidak boleh diam menunggu kerugian pihak lain membesar.

Ekuitas selalu merupakan sistem hukum yang lebih halus dan lebih berorientasi pada konteks. Ia memberikan ruang bagi hakim untuk mempertimbangkan niat dan keadaan hati para pihak, sesuatu yang sering diabaikan oleh Common Law yang cenderung fokus pada fakta formal kontrak atau kepemilikan. Meskipun kini Ekuitas dan Common Law telah disatukan dalam satu pengadilan, prinsip-prinsip Ekuitas yang tak tertulis ini tetap menjadi alat utama hakim modern untuk mencapai keadilan substansial.

IX. Peran Yurisprudensi dan Doktrin dalam Sistem Hukum Kontinental

Sistem *Civil Law* (Hukum Sipil), yang berakar pada tradisi Romawi dan kodifikasi, secara teori memberikan peran yang jauh lebih kecil bagi *Lex Non Scripta* dibandingkan Common Law. Prinsip utamanya adalah bahwa undang-undang adalah sumber hukum utama dan hakim hanyalah *bouche de la loi* (mulut undang-undang).

9.1. Mengisi Kekosongan Hukum

Meskipun demikian, tidak mungkin hukum tertulis dapat mencakup setiap kasus. Di sinilah *Lex Non Scripta* masuk kembali melalui mekanisme yang berbeda:

  1. Yurisprudensi yang Stabil: Meskipun preseden tidak mengikat secara formal (seperti di Common Law), serangkaian putusan konsisten dari pengadilan tinggi (seperti Mahkamah Agung) menciptakan apa yang disebut "hukum yang mapan" (*jurisprudence constante*). Praktik ini, walaupun tidak secara teknis 'hukum', memiliki kekuatan persuasif yang hampir mengikat. Hakim tingkat bawah menyimpang dari yurisprudensi yang stabil ini hanya dengan risiko putusan mereka dibatalkan.
  2. Doktrin: Dalam Civil Law, tulisan-tulisan akademisi hukum terkemuka (doktrin) memiliki bobot yang signifikan. Ketika undang-undang ambigu, hakim sering mengutip ahli hukum ternama untuk membenarkan penafsiran mereka. Doktrin ini, yang merupakan interpretasi dan penyusunan prinsip hukum secara sistematis, bertindak sebagai panduan bagi hukum tak tertulis.

Di Indonesia, meskipun kita berpegangan pada asas legalitas, yurisprudensi Mahkamah Agung (seperti dalam kasus perceraian, sengketa tanah adat, atau tafsiran perjanjian) memainkan peran yang sangat kuat, menunjukkan bahwa unsur *Lex Non Scripta* dalam bentuk penafsiran yudisial adalah keniscayaan di sistem manapun.

9.2. Hukum Publik dan Asas-Asas Pemerintahan yang Baik

Dalam Hukum Administrasi (Hukum Tata Negara), peran *Lex Non Scripta* sangat menonjol melalui **Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB)**. Asas-asas ini (seperti asas keterbukaan, asas tidak menyalahgunakan wewenang, asas proporsionalitas, dan asas keadilan) adalah prinsip yang tidak selalu tercantum dalam undang-undang administrasi, tetapi secara eksplisit atau implisit harus dipatuhi oleh pejabat publik. AUPB adalah hasil dari yurisprudensi yang berkembang di pengadilan administrasi Eropa dan kemudian diadopsi secara global.

Jika suatu keputusan administrasi dianggap melanggar asas itikad baik atau asas kehati-hatian (yang merupakan AUPB tak tertulis), pengadilan administrasi dapat membatalkan keputusan tersebut, meskipun pejabat tersebut telah mengikuti setiap prosedur formal yang tertulis dalam regulasi. Ini adalah pertahanan kuat *Lex Non Scripta* untuk melindungi warga negara dari kekuasaan administratif yang terlalu kaku.

X. *Lex Non Scripta* di Era Digital dan Globalisasi

Perkembangan teknologi dan globalisasi menciptakan kebutuhan baru yang bergerak lebih cepat daripada kemampuan legislatif untuk merespons. Fenomena ini memastikan bahwa *Lex Non Scripta* akan terus menjadi sumber hukum yang relevan, terutama dalam konteks berikut:

10.1. Hukum Siber dan Norma Baru

Banyak praktik yang mengatur internet, keamanan siber, dan interaksi digital dimulai sebagai kebiasaan industri atau norma yang disepakati secara teknis. Hukum yang mengatur yurisdiksi di dunia maya, atau tanggung jawab platform terhadap konten pengguna, seringkali harus dirumuskan oleh pengadilan berdasarkan prinsip umum keadilan dan proporsionalitas, karena undang-undang tertulis yang ada (yang dirancang sebelum internet masif) tidak memadai.

Demikian pula, Hukum Internasional yang mengatur ruang angkasa dan penggunaan sumber daya bersama (seperti spektrum frekuensi) sangat bergantung pada kebiasaan negara dan praktik yang tidak tertulis, yang kemudian secara perlahan mulai dikodifikasi. Dalam kasus ini, *Lex Non Scripta* berfungsi sebagai "laboratorium" hukum, di mana solusi diuji coba sebelum diresmikan oleh parlemen.

10.2. Etika dan Kecerdasan Buatan (AI)

Ketika sistem kecerdasan buatan mulai mengambil keputusan yang memiliki dampak hukum (misalnya, dalam pemberian pinjaman, diagnosis medis, atau sistem senjata otonom), kerangka hukum tertulis seringkali gagal untuk mengatasi masalah transparansi, akuntabilitas, dan bias algoritmik.

Maka, muncul tekanan untuk mengembangkan "etika hukum" yang mendasari regulasi AI—prinsip-prinsip tak tertulis seperti keadilan algoritmik dan hak untuk mendapatkan penjelasan (*right to explanation*). Prinsip-prinsip ini, yang saat ini masih berupa norma sosial dan etika, diharapkan oleh banyak pihak akan menjadi *Lex Non Scripta* yang akan memandu hakim dan regulator sebelum ada undang-undang formal yang mapan.

10.3. Mempertahankan Kemanusiaan Hukum

Pada akhirnya, kekuatan abadi *Lex Non Scripta* adalah kemampuannya untuk menyuntikkan humanisme ke dalam mesin birokrasi hukum. Hukum tertulis mewakili logika dan keteraturan; hukum tak tertulis mewakili hati nurani, tradisi, dan keadilan yang dapat diterapkan pada individu. Selama masyarakat terus berjuang untuk keadilan yang melampaui formalitas, selama hakim dihadapkan pada kasus-kasus unik yang tidak pernah terbayangkan oleh pembuat undang-undang, *Lex Non Scripta* akan terus menjalankan perannya sebagai pengaman (safety net) fundamental dalam sistem hukum global.