Limfadenoma bukanlah sebuah diagnosis tunggal, melainkan sebuah istilah deskriptif yang secara luas merujuk pada pembesaran atau massa yang tumbuh di kelenjar getah bening (nodus limfa) yang memiliki karakteristik jinak atau pertumbuhan abnormal spesifik. Secara harfiah, ‘limf’ merujuk pada sistem limfatik, ‘adeno’ merujuk pada kelenjar, dan ‘oma’ sering kali mengindikasikan massa atau tumor. Meskipun akhiran ‘-oma’ sering dikaitkan dengan neoplasma, dalam konteks limfadenoma, istilah ini sering digunakan dalam literatur klinis untuk menggambarkan kondisi proliferatif non-maligna yang mempengaruhi struktur nodus limfa.
Sistem limfatik adalah jaringan kompleks yang krusial bagi kekebalan tubuh. Ia terdiri dari pembuluh limfa, cairan limfa, dan organ limfoid, termasuk nodus limfa yang berfungsi sebagai filter untuk menangkap patogen, sel abnormal, dan puing-puing sel. Ketika nodus limfa merespons infeksi, inflamasi, atau proliferasi sel yang tidak terkontrol, ia membengkak—kondisi yang secara klinis disebut limfadenopati. Limfadenoma menjadi fokus ketika pembengkakan tersebut berlangsung lama, tidak terkait langsung dengan infeksi akut, dan seringkali menunjukkan pola histopatologi yang unik dan spesifik.
Penting untuk ditekankan bahwa pemahaman mendalam mengenai limfadenoma memerlukan diferensiasi yang ketat dari limfadenopati reaktif (pembengkakan kelenjar akibat infeksi virus atau bakteri biasa) dan Limfoma (kanker nodus limfa). Banyak entitas penyakit yang kini diklasifikasikan sebagai Limfadenopati Spesifik atau Gangguan Proliferatif Limfoid, yang dulunya mungkin secara informal dikelompokkan di bawah payung limfadenoma, seperti Penyakit Castleman atau Histiositosis Sinus.
Untuk memahami patofisiologi limfadenoma, kita harus mengapresiasi arsitektur nodus limfa. Nodus limfa memiliki tiga zona utama: korteks (kaya akan limfosit B dalam folikel), parakorteks (kaya akan limfosit T), dan medula (tempat sel plasma dan makrofag berada). Pembesaran nodus (limfadenopati) terjadi karena proliferasi sel-sel imun di salah satu atau lebih zona ini, sesuai dengan rangsangan yang diterima tubuh.
Meskipun penyebab pasti dari banyak kasus Limfadenoma idiopatik (tanpa sebab yang jelas) masih menjadi subjek penelitian, secara umum, kondisi ini melibatkan disregulasi proliferasi sel limfoid atau histiosit yang tidak terkontrol. Etiologi yang mendasari sering kali melibatkan interaksi kompleks antara faktor genetik, infeksi kronis (terutama virus), dan gangguan sistem imun.
Klasifikasi limfadenoma didasarkan pada temuan mikroskopis yang dominan di nodus limfa. Ini sangat penting karena tatalaksana bervariasi drastis antar subtipe. Berikut adalah kategori utama yang sering dikaitkan dengan istilah proliferasi nodus limfa non-maligna spesifik:
Gambaran skematis nodus limfa yang bengkak (limfadenoma) di dalam sistem limfatik.
Pembentukan massa limfadenoma didorong oleh respons imun yang menyimpang atau berlebihan. Dalam kasus penyakit seperti Penyakit Castleman Multisentrik (MCD), deregulasi produksi sitokin, terutama Interleukin-6 (IL-6), memainkan peran sentral. IL-6 adalah sitokin pro-inflamasi kuat yang memicu hiperproliferasi sel B dan sel plasma di nodus limfa, yang pada akhirnya menyebabkan pembengkakan sistemik dan manifestasi klinis yang luas.
Mekanisme lainnya terlihat pada Histiositosis Sinus dengan Limfadenopati Masif (Penyakit Rosai-Dorfman), di mana terjadi akumulasi dan proliferasi histiosit (makrofag jaringan) di sinus nodus limfa. Histiosit ini menunjukkan fenomena khas yang disebut emperipolesis—yaitu, sel-sel histiosit yang ‘memakan’ atau menampung sel-sel imun lainnya (limfosit, sel plasma) di dalam sitoplasma mereka tanpa menghancurkannya. Proses proliferatif yang unik inilah yang secara fisik menyebabkan pembesaran nodus limfa yang masif dan persisten.
Gejala utama limfadenoma adalah adanya pembengkakan nodus limfa yang teraba. Namun, sifat pembengkakan, lokasi, dan gejala penyerta sangat penting untuk membedakannya dari kondisi benigna yang lebih umum atau, sebaliknya, dari keganasan.
Dokter akan menilai beberapa karakteristik penting saat pemeriksaan fisik:
Kehadiran gejala konstitusional adalah petunjuk penting yang membedakan limfadenoma spesifik dari limfadenopati ringan. Gejala B meliputi:
Gejala B sangat umum pada Penyakit Castleman Multisentrik dan juga dapat ditemukan pada Limfadenitis Nekrotisasi Histiositik (Penyakit Kikuchi-Fujimoto), mengindikasikan respons inflamasi sistemik yang kuat.
Langkah diagnostik untuk limfadenoma bersifat bertingkat dan seringkali memerlukan prosedur invasif untuk mendapatkan diagnosis definitif, terutama untuk membedakannya dari limfoma atau metastasis.
Tahap awal mencakup riwayat kesehatan pasien, riwayat perjalanan (untuk menyingkirkan infeksi tropis), dan paparan lingkungan. Pemeriksaan darah lengkap (CBC) dan panel kimia darah dasar dapat memberikan petunjuk. Peningkatan Laju Endap Darah (LED) dan C-Reactive Protein (CRP) menunjukkan inflamasi sistemik. Pada kasus Castleman Multisentrik, mungkin terdapat anemia, trombositopenia, dan peningkatan dramatis kadar IL-6.
Diagnosis definitif limfadenoma, khususnya untuk subtipe spesifik seperti Castleman atau Rosai-Dorfman, hampir selalu memerlukan pemeriksaan histopatologi melalui biopsi.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, kita harus menelaah secara detail entitas penyakit yang paling sering dikaitkan dengan istilah limfadenoma atau limfadenopati spesifik non-maligna.
Penyakit Castleman (CD) adalah gangguan proliferatif limfoid heterogen yang ditandai oleh hiperplasia nodus limfa yang unik. CD diklasifikasikan menjadi dua jenis utama, berdasarkan distribusi nodus yang terkena:
UCD adalah bentuk yang lebih umum dan jinak. Nodus limfa yang bengkak terbatas pada satu lokasi (misalnya, di mediastinum atau retroperitoneum). Pasien UCD biasanya asimtomatik, dan nodus ditemukan secara insidental pada pencitraan. Patogenesisnya diperkirakan lokal, dan prognosisnya sangat baik setelah reseksi bedah lengkap.
MCD adalah kondisi sistemik yang parah, melibatkan limfadenopati di dua atau lebih kelompok nodus yang tidak berdekatan, sering disertai gejala B yang parah, anemia, dan disfungsi organ. MCD seringkali terkait dengan infeksi Human Herpesvirus 8 (HHV-8) dan deregulasi IL-6. Klasifikasi MCD lebih lanjut dibagi menjadi:
Ahli patologi mengidentifikasi dua pola utama CD di bawah mikroskop:
Mekanisme yang mendorong proliferasi sel limfoid dalam CD melibatkan lingkaran umpan balik positif dari IL-6. IL-6 yang berlebihan merangsang sel B untuk berdiferensiasi menjadi sel plasma, yang pada gilirannya menghasilkan lebih banyak IL-6. Siklus ini menyebabkan kondisi inflamasi kronis yang terus-menerus dan pembesaran kelenjar limfa yang progresif di berbagai situs anatomis.
Penyakit Rosai-Dorfman (RDD) adalah limfadenoma spesifik langka yang diklasifikasikan sebagai Histiositosis Limfoid. Ini ditandai oleh limfadenopati servikal bilateral yang masif dan persisten. Meskipun benigna, ukuran kelenjar getah bening yang membengkak dapat menyebabkan komplikasi obstruksi.
Diagnosis RDD ditegakkan berdasarkan temuan histologis yang dramatis: ekspansi luas sinus nodus limfa oleh populasi histiosit (makrofag) besar. Ciri khasnya adalah emperipolesis. Histiosit pada RDD menunjukkan imunoreaktivitas positif terhadap penanda S-100 dan CD68, yang membedakannya dari makrofag lainnya.
Perjalanan klinis RDD sangat bervariasi. Meskipun kebanyakan kasus menyelesaikan diri sendiri (self-limiting), beberapa pasien mengalami penyakit ekstranodal yang mengancam fungsi organ, terutama ketika RDD menyerang sistem saraf pusat, mata, atau saluran pernapasan. Pengobatan biasanya bersifat konservatif, namun kasus progresif mungkin memerlukan kortikosteroid, kemoterapi dosis rendah, atau terapi biologis (misalnya, inhibitor MEK) jika ada mutasi genetik terkait.
KFD adalah kondisi limfadenopati benigna, biasanya akut atau subakut, yang paling sering menyerang wanita muda Asia. Ini ditandai oleh limfadenopati servikal yang terlokalisasi dan demam, yang seringkali mirip dengan limfadenitis infeksius atau bahkan limfoma.
Patologi KFD menunjukkan area nekrosis (kematian sel) di parakorteks dan hilangnya struktur folikel normal. Di sekitar area nekrosis, terdapat infiltrat padat histiosit (makrofag) dan sel dendritik. Ciri khas adalah tidak adanya neutrofil—yang merupakan petunjuk penting untuk membedakannya dari limfadenitis bakteri.
Etiologi KFD diduga terkait dengan respons imun terhadap agen virus yang belum teridentifikasi (mungkin Herpesvirus atau Epstein-Barr Virus) pada individu yang rentan secara genetik, atau dianggap sebagai manifestasi awal dari penyakit autoimun (seperti Lupus Eritematosus Sistemik). KFD hampir selalu membaik dengan sendirinya (self-limiting) dalam beberapa bulan, dan tatalaksana utamanya adalah manajemen suportif.
Meskipun secara teknis merupakan respons terhadap infeksi atau inflamasi, jenis limfadenopati ini sering kali kronis dan memerlukan diferensiasi dari keganasan. Limfadenoma granulomatosa ditandai oleh pembentukan granuloma—kumpulan makrofag epitelioid.
Kedalaman analisis histopatologi, termasuk penggunaan puluhan penanda imunohistokimia (seperti CD3, CD20, CD30, Ki-67, Bcl-2, dll.), adalah satu-satunya cara untuk memilah subtipe limfadenoma spesifik dari keganasan, yang seringkali memiliki penampakan makroskopis yang serupa.
Tantangan terbesar dalam manajemen limfadenoma adalah menyingkirkan kemungkinan Limfoma (kanker sistem limfatik) atau metastasis kanker padat ke nodus limfa. Ketepatan diagnosis adalah kunci, karena tatalaksana yang salah dapat menunda pengobatan untuk keganasan yang agresif.
Dokter akan sangat waspada terhadap keganasan jika nodus limfa memiliki karakteristik berikut:
Meskipun secara klinis sulit dibedakan, di tingkat seluler, limfadenoma spesifik memiliki ciri khas yang berbeda dari limfoma:
Tatalaksana limfadenoma sangat bergantung pada subtipe yang didiagnosis. Karena limfadenoma mencakup spektrum kondisi dari self-limiting hingga penyakit sistemik yang mengancam nyawa (seperti MCD yang tidak diobati), pendekatan harus disesuaikan secara individual.
Untuk Limfadenoma yang bersifat reaktif kronis, KFD, dan RDD yang terlokalisasi dan asimtomatik, pendekatan utama adalah observasi ketat. Karena KFD dan banyak kasus RDD bersifat self-limiting, intervensi agresif dihindari. Pasien dimonitor selama beberapa bulan untuk memastikan nodus mengecil atau tidak menunjukkan perkembangan keganasan.
Reseksi bedah kuratif adalah pilihan utama untuk:
Terapi sistemik diperlukan untuk bentuk Limfadenoma Multisentrik dan sistemik yang parah:
Tujuan utama pengobatan MCD adalah menekan produksi IL-6 dan mengontrol gejala inflamasi sistemik.
Jika RDD agresif atau melibatkan organ vital:
Tatalaksana ditujukan pada agen penyebab. Limfadenitis TBC memerlukan regimen multidrug antibiotik antituberkulosis yang ketat selama 6 hingga 9 bulan. Sarkoidosis dapat memerlukan kortikosteroid jika terjadi disfungsi organ. Pengelolaan ini berbeda fundamental dari tatalaksana gangguan proliferatif limfoid primer lainnya.
Prognosis limfadenoma sangat bervariasi. Secara umum, entitas yang bersifat unisentrik atau self-limiting memiliki prognosis yang sangat baik, sementara bentuk multisentrik yang terkait dengan disregulasi sitokin memiliki risiko mortalitas yang lebih tinggi jika tidak diobati secara agresif.
UCD (Castleman Unisentrik): Hampir selalu kuratif setelah reseksi. Prognosis yang sangat baik.
KFD (Kikuchi-Fujimoto): Self-limiting, resolusi spontan dalam 1 hingga 6 bulan. Prognosis sangat baik, meskipun rekurensi bisa terjadi.
RDD (Rosai-Dorfman): Sekitar 50% kasus mengalami regresi spontan. Meskipun dapat menyebabkan kerusakan kosmetik dan, jarang, kematian akibat keterlibatan organ vital, RDD umumnya dianggap jinak.
MCD (Castleman Multisentrik): Merupakan kondisi yang paling serius. Pasien MCD berisiko tinggi mengalami infeksi, Limfoma B-sel sekunder, dan kegagalan organ. Pengenalan dini dan terapi anti-sitokin yang tepat sangat meningkatkan harapan hidup.
Pasien yang didiagnosis dengan limfadenoma, bahkan yang bersifat benigna, memerlukan pemantauan jangka panjang. Hal ini karena beberapa limfadenoma spesifik memiliki potensi transisi atau komplikasi:
Pemantauan biasanya melibatkan pemeriksaan fisik berkala, pencitraan (CT/PET) untuk menilai ukuran nodus limfa, dan pemeriksaan laboratorium untuk memantau penanda inflamasi (CRP, IL-6) dan fungsi organ, terutama pada mereka yang menerima terapi sistemik jangka panjang.
Mengingat kelangkaan beberapa subtipe limfadenoma seperti RDD dan KFD, penelitian mengenai patogenesis dan uji klinis terapi spesifik masih terbatas. Tantangan utama saat ini meliputi:
Pengembangan biomarker baru yang spesifik dan sensitif akan menjadi kunci untuk diagnosis non-invasif dan pemantauan respons pengobatan di masa depan. Kerangka kolaboratif internasional sangat dibutuhkan untuk mengumpulkan data pasien langka ini demi kemajuan pengetahuan dan tatalaksana limfadenoma yang optimal.
Gambaran seluler yang menunjukkan dua pola utama limfadenoma: hiperplasia folikel (seperti Castleman) dan proliferasi histiosit (seperti Rosai-Dorfman).
Penting untuk memahami bahwa patogenesis MCD jauh lebih rumit daripada hanya peningkatan IL-6. Pada iMCD, disregulasi sitokin bersifat pleiotropik, yang berarti banyak sitokin lain juga terlibat, termasuk IL-10, IL-1β, dan Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF). Peningkatan VEGF berkontribusi pada manifestasi vaskular dan efusi pada pasien.
Secara histologis, pola hialin-vaskular pada CD adalah anomali proliferatif. Folikel limfoid, yang biasanya merupakan pusat pertumbuhan sel B, mengalami involusi sentral. Pembuluh darah yang menebal dan hialinisasi (penampakan kaca buram) berjalan secara radial dari pusat folikel, meniru jarum jam atau ‘pembuluh darah tusuk sate’ (penetrating vessels). Lapisan sel mantel yang tebal mengelilingi folikel yang menyusut, menciptakan gambaran 'kulit bawang' yang sangat khas dan membedakan CD dari limfadenopati reaktif biasa.
Jika pola plasma-sel dominan, diferensiasi dari limfoma atau penyakit autoimun harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Kehadiran sel plasma poliklonal di luar folikel limfoid adalah kuncinya. Jika sel-sel plasma tampak monoklonal, kecurigaan Limfoma marginal zone atau Mieloma harus segera ditingkatkan. Uji Imunofiksasi Serum/Urine sangat diperlukan pada kasus ini.
RDD adalah penyakit misterius yang etiologinya belum sepenuhnya dipahami, tetapi diduga melibatkan kegagalan regulasi makrofag oleh limfosit T. Selain emperipolesis, histiosit pada RDD menunjukkan karakteristik selular yang unik.
Emperipolesis bukanlah fagositosis (penghancuran), melainkan fenomena di mana sel darah putih (limfosit, eritrosit, neutrofil) hadir utuh di dalam sitoplasma makrofag. Histiosit ini membengkak, mengisi sinus nodus limfa, dan menjadi 'berbusa' (foamy) atau ‘histiosit sinusoidal’. Meskipun emperipolesis adalah tanda klasik, kehadirannya tidak mutlak dan harus diinterpretasikan bersama dengan penanda S-100 positif dan CD68 positif, serta tidak adanya penanda sel Langerhans seperti CD1a.
Keterlibatan RDD ekstranodal terjadi pada hingga 43% pasien, yang sering mempengaruhi kulit, tulang, jaringan lunak, dan sistem saraf pusat. Keterlibatan ekstranodal sering kali memerlukan intervensi yang lebih agresif karena potensi morbiditasnya, meskipun penyakit ini pada dasarnya jinak.
Terapi imunomodulasi telah merevolusi penanganan limfadenoma sistemik. Untuk iMCD, Siltuximab (anti-IL-6) telah menunjukkan respons yang baik. Namun, respons klinis terhadap Siltuximab memerlukan pemantauan ketat. Pasien mungkin mengalami perbaikan gejala B, penurunan kadar CRP, dan normalisasi hemoglobin.
Jika MCD terkait dengan HHV-8, terapi harus menggabungkan penghancuran sel B yang terinfeksi (menggunakan Rituximab) dan pengendalian virus. Rituximab menargetkan sel B CD20-positif, yang merupakan sumber utama produksi IL-6 yang diinduksi oleh HHV-8. Kombinasi Rituximab dengan liposomal doxorubicin (R-CDO) telah menjadi salah satu regimen standar untuk MCD yang terkait dengan HHV-8. Pemahaman bahwa MCD adalah penyakit yang didorong oleh sinyal yang berlebihan (over-signaling) telah mengalihkan fokus dari kemoterapi sitotoksik tradisional ke terapi yang menargetkan jalur sitokin.
Penelitian terbaru mulai mengungkap basis genetik di balik beberapa kasus limfadenoma idiopatik. Contohnya, pada RDD, mutasi pada jalur RAS-MAPK (misalnya, mutasi BRAF, NRAS, MEK) semakin banyak diidentifikasi. Penemuan mutasi ini membuka pintu bagi terapi bertarget yang biasanya digunakan dalam onkologi, seperti inhibitor MEK (misalnya, Cobimetinib), yang terbukti efektif dalam kasus RDD yang resisten terhadap pengobatan standar. Ini menandai pergeseran paradigma dari pengobatan inflamasi murni menjadi terapi bertarget molekuler spesifik.
Salah satu subtipe limfadenopati reaktif yang paling menantang dalam diagnosis banding adalah Hiperplasia Folikuler Atipikal, yang meniru Limfoma Folikuler (LF). Pada LF, folikel yang proliferasi bersifat monoklonal dan kehilangan penanda seperti BCL6 dan CD10 secara abnormal. Sebaliknya, pada hiperplasia reaktif, folikel tetap poliklonal, dan sel-sel dendritik folikuler yang normal (FDC) masih terlihat di dalam pusat folikel. Analisis BCL2/BCL6 dan Ki-67 (indeks proliferasi) yang cermat oleh patolog, ditambah dengan pemeriksaan genetik, sangat penting untuk menghindari diagnosis limfoma yang tidak perlu pada kasus limfadenoma benigna yang agresif secara morfologis.
Dalam konteks diagnosis yang sulit ini, kerja sama multidisiplin antara ahli hematologi, onkologi, dan patolog merupakan keharusan. Diagnosis Limfadenoma spesifik, seperti Castleman atau RDD, adalah diagnosis eksklusi; yaitu, harus menyingkirkan semua kemungkinan keganasan dan infeksi kronis sebelum diagnosis ini dapat ditegakkan dengan keyakinan penuh. Kompleksitas limfadenoma ini menuntut tingkat keahlian dan detail diagnostik yang tertinggi, memastikan bahwa setiap pasien menerima tatalaksana yang paling tepat untuk entitas penyakitnya yang unik.
Meskipun kata ‘limfadenoma’ terkadang menimbulkan kekhawatiran karena akhiran ‘-oma’, pemahaman mendalam tentang spektrum patologi limfoid yang jinak hingga proliferatif, serta akses terhadap teknologi diagnostik modern, memungkinkan identifikasi yang akurat dan pengelolaan yang efektif, memastikan hasil klinis yang terbaik bagi pasien.