Hukum acara perdata merupakan instrumen fundamental yang mengatur bagaimana hak-hak perdata ditegakkan dan dipertahankan di hadapan pengadilan. Salah satu prinsip krusial yang menjamin keabsahan dan efektivitas suatu proses peradilan adalah prinsip keterlibatan pihak yang memiliki kepentingan langsung. Dalam terminologi hukum, prinsip ini dikenal dengan istilah litis consortes. Istilah yang berasal dari bahasa Latin ini secara harfiah merujuk pada ‘rekan-rekan dalam gugatan’ atau ‘para pihak yang bersatu dalam perkara’.
Litis consortes bukanlah sekadar pengelompokan pihak secara acak, melainkan merupakan keharusan prosedural yang, jika diabaikan, dapat mengakibatkan gugatan menjadi cacat formil dan berujung pada putusan niet ontvankelijke verklaard (gugatan tidak dapat diterima atau N.O.). Esensi dari litis consortes terletak pada jaminan bahwa putusan pengadilan dapat bersifat mengikat secara menyeluruh dan tidak menimbulkan sengketa baru atau ketidakpastian hukum di kemudian hari, terutama bagi pihak yang seharusnya terlibat namun terlewatkan dari proses persidangan.
Pembahasan mendalam mengenai litis consortes memerlukan pemahaman menyeluruh tentang klasifikasi, dasar filosofis, implikasi prosedural, dan tantangan praktis yang ditimbulkannya. Pengadilan di Indonesia, dalam kerangka Herzien Inlandsch Reglement (HIR) dan Rechtsreglement Buitengewesten (RBG), menempatkan keharusan litis consortes sebagai tembok pertahanan pertama dalam menilai kelayakan sebuah gugatan. Tanpa terpenuhinya persyaratan ini, proses persidangan, betapapun mendalam materi pokoknya, akan terhenti di tengah jalan karena kegagalan memenuhi persyaratan formil.
Litis consortes adalah konsep yang mengatur keharusan menyertakan lebih dari satu penggugat atau lebih dari satu tergugat dalam satu gugatan yang sama, manakala sengketa yang diajukan menyentuh kepentingan hukum mereka secara bersamaan dan tak terpisahkan. Keterlibatan pihak-pihak ini bukan berdasarkan pilihan penggugat semata, melainkan didasarkan pada hubungan hukum yang mendasar di antara mereka dan objek sengketa.
Secara etimologi, litis berarti sengketa atau perkara, dan consortes berarti rekan atau peserta. Gabungan kedua kata ini merujuk pada subjek-subjek hukum yang memiliki kaitan erat dalam pokok sengketa. Definisi ini berakar kuat pada tradisi hukum Romawi yang menekankan pada finalitas putusan dan pencegahan multiplicity of suits (banyaknya gugatan yang muncul dari satu peristiwa hukum).
Terdapat dua pilar filosofis utama yang mendasari keharusan litis consortes, yang keduanya bertujuan untuk mewujudkan keadilan prosedural dan material:
Jika suatu putusan pengadilan tidak mengikat semua pihak yang memiliki hak dan kewajiban terkait objek sengketa, maka putusan tersebut akan menjadi tidak efektif. Contoh klasik adalah sengketa warisan. Apabila seorang ahli waris menggugat harta warisan tanpa menyertakan seluruh ahli waris lainnya sebagai tergugat atau penggugat, maka putusan yang dihasilkan hanya mengikat pihak yang bersengketa. Ahli waris yang tidak disertakan masih dapat mengajukan gugatan baru di kemudian hari, menyebabkan ketidakpastian hukum yang berkepanjangan dan menciptakan konflik yurisdiksi. Kehadiran seluruh litis consortes memastikan bahwa penyelesaian sengketa adalah final dan mengikat semua pihak terkait.
Pihak yang kepentingannya terdampak langsung oleh hasil putusan, harus diberikan kesempatan untuk membela hak-haknya. Menghilangkan salah satu litis consortes berarti melanggar haknya untuk didengar (audi alteram partem). Pengadilan, dalam menjalankan fungsinya, wajib memastikan bahwa semua pihak yang potensial terkena dampak telah diberikan ruang yang adil untuk membela diri. Dalam konteks tergugat, ini berarti mencegah putusan yang merugikan seseorang yang tidak pernah dipanggil ke pengadilan.
Litis consortes dapat diklasifikasikan berdasarkan peran pihak dalam gugatan (aktif atau pasif) dan sifat keharusan keterlibatannya (material atau formal).
Terjadi ketika terdapat lebih dari satu orang yang bertindak sebagai penggugat dalam satu perkara. Keadaan ini muncul karena hak-hak mereka atas objek sengketa adalah hak bersama atau terkait erat. Misalnya, beberapa pemilik tanah yang berbatasan menggugat satu pihak yang melakukan pencemaran, atau beberapa pemegang saham minoritas yang menggugat keputusan direksi perusahaan.
Terjadi ketika terdapat lebih dari satu orang yang bertindak sebagai tergugat. Ini adalah bentuk yang paling sering ditemui dan paling krusial dalam konteks cacat formil. Keharusan menyertakan semua pihak sebagai tergugat timbul karena gugatan penggugat tidak mungkin dikabulkan atau dieksekusi tanpa melibatkan semua pihak tersebut. Misalnya, dalam gugatan pembatalan perjanjian jual beli tanah, yang harus digugat adalah penjual dan pembeli secara bersama-sama, karena keduanya memiliki kepentingan hukum yang terkait langsung dengan keabsahan perjanjian tersebut.
Ini adalah inti dari doktrin litis consortes. Pihak-pihak ini disebut juga sebagai Necessary Parties. Keterlibatan mereka bersifat mutlak karena sengketa tidak dapat diselesaikan secara tuntas tanpa kehadiran mereka. Jika salah satu litis consortes material tidak disertakan, maka gugatan tersebut mengandung cacat formil yang disebut Exceptie Plurium Litis Consortium.
Ciri-ciri Litis Consortes Material:
Pihak-pihak ini disebut Permissive Parties. Mereka memiliki kepentingan yang berhubungan, tetapi penyelesaian sengketa secara tuntas masih mungkin dilakukan tanpa kehadiran mereka. Keterlibatan mereka bersifat opsional, didasarkan pada efisiensi proses peradilan (joinder). Misalnya, dua orang memiliki piutang yang berbeda dari satu debitur yang sama. Mereka boleh mengajukan gugatan bersama (Litis Consortes Aktif Formal) untuk menghemat waktu dan biaya, meskipun hak masing-masing bisa dituntut secara terpisah.
Perbedaan mendasar antara material dan formal terletak pada konsekuensi hukum: kegagalan menyertakan litis consortes material berakibat N.O., sementara kegagalan menyertakan litis consortes formal tidak menghalangi pengadilan untuk melanjutkan pemeriksaan dan memutus pokok perkara.
Dalam praktik hukum acara perdata Indonesia, penentuan apakah suatu kasus memerlukan litis consortes material adalah langkah awal yang kritis. Kegagalan dalam langkah ini memunculkan keberatan (eksepsi) yang dikenal sebagai Exceptie Plurium Litis Consortium.
Eksepsi ini adalah keberatan yang diajukan oleh tergugat, yang menyatakan bahwa gugatan penggugat mengandung cacat formil karena tidak menyertakan semua pihak yang seharusnya terlibat sebagai tergugat (litis consortes pasif material). Jika eksepsi ini diterima oleh Majelis Hakim, maka hakim akan menyatakan gugatan tidak dapat diterima (N.O.).
Tujuan utama dari eksepsi ini adalah mengingatkan penggugat, dan memastikan pengadilan, bahwa putusan yang dihasilkan harus mengikat seluruh subjek hukum yang berkepentingan. Penerimaan eksepsi ini bukan berarti penggugat kalah dalam materi pokok, tetapi gugatannya gugur secara prosedur, dan penggugat masih berhak mengajukan gugatan ulang setelah memperbaiki susunan pihak.
Beberapa kasus secara inheren memerlukan kehadiran pihak-pihak tertentu sebagai litis consortes pasif:
Ketika objek sengketa adalah harta bersama (misalnya warisan atau harta perkawinan), semua pemilik bersama atau ahli waris wajib disertakan, baik sebagai penggugat maupun tergugat, bergantung pada posisi mereka dalam perkara.
Pembatalan atau dinyatakan tidak sahnya suatu perjanjian harus melibatkan seluruh pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut. Jika A dan B melakukan perjanjian dengan C dan D, dan A menggugat pembatalan, maka B, C, dan D harus diikutkan, karena putusan pembatalan akan menghapuskan hak dan kewajiban mereka semua.
Dalam gugatan terkait jaminan (hak tanggungan atau fidusia), semua pihak yang memegang kepentingan hipotek atau jaminan di atas objek sengketa harus dipanggil. Kegagalan memanggil kreditur yang memiliki hak jaminan terdahulu dapat menyebabkan gugatan dinilai N.O.
Ketika tergugat mengajukan eksepsi plurium litis consortium, hakim wajib memeriksa dengan seksama hubungan hukum antara para pihak dan objek sengketa. Jika hakim meyakini bahwa memang terdapat pihak lain yang berkepentingan dan wajib disertakan, terdapat dua kemungkinan tindakan:
Penting untuk dicatat bahwa perbaikan susunan pihak (penambahan litis consortes) harus dilakukan sebelum jawaban tergugat, atau setidaknya sebelum proses pembuktian dimulai, untuk menghindari penundaan yang berkepanjangan dan pelanggaran terhadap asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan.
Keharusan untuk menyertakan litis consortes material sangat sensitif dalam sengketa tanah dan warisan. Dalam sengketa tanah, seringkali pemilik asal, pemegang hak gadai, atau pihak yang menguasai fisik tanah harus disertakan, meskipun gugatan hanya ditujukan kepada satu pihak yang menerbitkan sertifikat. Jika gugatan menargetkan pembatalan sertifikat, maka Badan Pertanahan Nasional (BPN) juga harus disertakan sebagai tergugat, meskipun dalam konteks perdata murni, BPN seringkali hanya ditempatkan sebagai pihak yang turut tergugat. Namun, dalam konteks administrasi, BPN harus menjadi tergugat utama apabila pembatalan sertifikat menjadi tuntutan primer.
Konsep litis consortes seringkali disamakan atau dicampuradukkan dengan konsep keterlibatan pihak lain dalam sengketa, seperti Intervensi dan Turut Tergugat. Meskipun ketiganya melibatkan pihak lebih dari dua, dasar hukum, sifat keharusan, dan dampaknya sangat berbeda.
Litis consortes adalah pihak yang seharusnya sudah ada sejak awal gugatan diajukan, karena kepentingan hukum mereka terikat langsung dengan inti objek sengketa. Jika mereka tidak ada, gugatan cacat formil (N.O.). Kehadiran mereka bersifat mandatory (wajib).
Intervensi adalah masuknya pihak ketiga ke dalam proses peradilan yang sedang berjalan. Pihak ketiga ini masuk atas inisiatifnya sendiri karena merasa kepentingannya terancam oleh sengketa antara penggugat dan tergugat (intervensi berdiri sendiri/tussenkomst) atau karena ia ingin mendukung salah satu pihak (intervensi mendukung/voeging).
Perbedaan mendasar adalah, jika pihak yang berintervensi tidak dimasukkan, gugatan awal tidak lantas menjadi N.O. Intervensi adalah hak opsional bagi pihak ketiga untuk melindungi diri, sementara litis consortes adalah kewajiban prosedural bagi penggugat untuk memastikan legalitas gugatannya.
Turut Tergugat (Mee Gedaagde) adalah pihak yang dimasukkan ke dalam gugatan karena ia memiliki kaitan atau hubungan hukum dengan objek sengketa, tetapi tidak memiliki kewajiban untuk memenuhi tuntutan penggugat. Peran utamanya adalah mematuhi atau tunduk pada putusan pengadilan yang akan dijatuhkan.
Contoh paling umum adalah notaris/PPAT dalam gugatan pembatalan akta, atau BPN dalam gugatan pembatalan sertifikat tanah (meskipun dalam beberapa kasus BPN dapat menjadi tergugat utama). Turut tergugat biasanya tidak perlu membela diri atau mengajukan eksepsi, karena tuntutan kerugian atau kewajiban hukum tidak dibebankan kepadanya. Jika turut tergugat dihilangkan, gugatan cenderung tidak cacat plurium litis consortium, namun putusan mungkin sulit dieksekusi tanpa kehadiran mereka.
Dalam praktik yang semakin kompleks, garis antara Litis Consortes Pasif Material dan Turut Tergugat terkadang menjadi kabur, khususnya ketika pihak yang memiliki peran administrasi (seperti bank yang memegang jaminan, atau kantor lelang) memiliki kewenangan eksekutorial yang memengaruhi hak pihak lain.
Manajemen perkara yang melibatkan banyak pihak memerlukan kehati-hatian prosedural yang tinggi, mulai dari tahap pendaftaran hingga pelaksanaan putusan. Keterlibatan litis consortes material sangat memengaruhi validitas seluruh proses persidangan.
Setiap litis consortes (baik aktif maupun pasif) harus dipanggil secara sah dan patut. Jika terdapat sepuluh tergugat sebagai litis consortes pasif material, dan salah satu dari mereka tidak dipanggil sesuai prosedur (misalnya, alamat salah atau panggilan tidak sampai), maka seluruh proses persidangan dapat dianggap cacat. Ini didasarkan pada prinsip bahwa keadilan harus diberikan kepada semua pihak yang berkepentingan.
Jika salah satu litis consortes pasif tidak hadir meskipun sudah dipanggil secara patut, putusan verstek (putusan tanpa kehadiran) dapat dijatuhkan. Namun, putusan verstek tersebut harus dipertimbangkan secara hati-hati oleh hakim, karena putusan itu harus tetap adil dan mengikat bagi pihak yang tidak hadir, serta pihak yang hadir.
Apabila litis consortes terdiri dari banyak individu (misalnya ratusan ahli waris), pengadilan seringkali mendorong mereka untuk menunjuk kuasa hukum yang sama. Meskipun setiap litis consortes pasif memiliki hak untuk diwakili oleh kuasa hukum yang berbeda, persatuan kuasa hukum dapat menyederhanakan proses. Namun, penting diingat bahwa meskipun kuasa hukumnya sama, hak untuk mengajukan pembelaan (eksepsi dan pokok perkara) tetap melekat pada masing-masing subjek hukum.
Dalam kasus litis consortes pasif material, pembelaan yang diajukan oleh satu tergugat seringkali bermanfaat bagi seluruh tergugat lainnya, terutama jika pembelaan tersebut menyangkut cacat formil gugatan (seperti Exceptie Plurium Litis Consortium atau eksepsi kompetensi absolut). Namun, ketika masuk ke pokok perkara, pembelaan mereka bisa saja berbeda, bahkan saling bertentangan, yang kemudian menjadi tantangan bagi hakim.
Salah satu kompleksitas litis consortes muncul ketika kepentingan di antara para tergugat atau di antara para penggugat ternyata tidak sejalan. Misalnya, dalam sengketa warisan, beberapa ahli waris (sebagai litis consortes aktif) mungkin setuju untuk menggugat pihak ketiga, namun mereka memiliki pandangan berbeda mengenai pembagian hasil yang diminta dalam gugatan tersebut.
Dalam kondisi ideal, konflik kepentingan antar-litis consortes harus diselesaikan melalui mediasi internal atau, jika tidak mungkin, pengadilan harus memastikan bahwa putusan tidak secara otomatis mengasumsikan solidaritas kepentingan, melainkan membedakan hak dan kewajiban masing-masing pihak berdasarkan porsi kepentingan mereka dalam objek sengketa.
Untuk mencapai kedalaman pemahaman, penting untuk menganalisis penerapan litis consortes dalam berbagai bidang hukum, yang menunjukkan bagaimana hubungan hukum yang kompleks mendikte susunan pihak yang wajib ada.
Pasal 832 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) menegaskan bahwa harta peninggalan diwariskan kepada ahli waris sesuai dengan urutan dan kedudukan yang sah. Oleh karena itu, jika gugatan berkaitan dengan hak atas warisan (baik penetapan ahli waris maupun pembagian harta warisan), seluruh ahli waris, tanpa kecuali, wajib diikutkan. Jika satu ahli waris saja terlewat, gugatan berisiko N.O. karena putusan tidak akan mengikat ahli waris yang tidak disertakan.
Dalam kasus gugatan pembatalan sertifikat tanah yang melibatkan pihak penerbit (BPN) dan pihak pemegang hak baru, baik BPN (sebagai turut tergugat atau tergugat) dan pemegang sertifikat yang digugat pembatalannya harus disertakan. Jika terdapat rantai kepemilikan yang panjang, setiap pihak dalam rantai tersebut yang berpotensi terdampak oleh pembatalan hak, harus dipertimbangkan sebagai litis consortes pasif material.
Ketika pemegang saham (atau sekelompok pemegang saham) mengajukan gugatan terhadap direksi atau dewan komisaris (gugatan derivatif) karena kerugian yang dialami perusahaan, mereka harus bertindak sebagai litis consortes aktif, mewakili kepentingan perusahaan secara keseluruhan. Meskipun bukan kasus litis consortes murni, prinsip kebersamaan kepentingan sangat ditekankan.
Gugatan untuk membubarkan perseroan terbatas harus melibatkan semua pemegang saham dan organ perseroan (direksi dan komisaris) sebagai litis consortes pasif. Putusan pembubaran secara radikal mengubah hak dan kewajiban seluruh entitas dan individu terkait, sehingga keharusan melibatkan mereka semua bersifat mutlak.
Dalam perikatan yang bersifat tanggung menanggung (solidair), penggugat memiliki kebebasan untuk menggugat salah satu atau seluruh debitur. Dalam kasus ini, debitur yang tidak digugat bukanlah litis consortes pasif material. Namun, jika gugatan tersebut terkait dengan objek jaminan bersama yang dimiliki oleh beberapa orang, semua pemilik jaminan harus disertakan sebagai litis consortes untuk memastikan eksekusi jaminan dapat dilakukan secara sah.
Prinsip litis consortes sangat menentukan kekuatan mengikat putusan (binding effect of judgment) dan mencegah munculnya doktrin Res Judicata (perkara yang sama telah diputus) yang tidak efektif.
Putusan yang dijatuhkan terhadap litis consortes material mengikat semua pihak tersebut, bahkan jika salah satu tergugat tidak aktif dalam persidangan (selama ia dipanggil secara sah). Ini adalah inti dari prinsip finalitas: penyelesaian menyeluruh dalam satu kali proses.
Jika dalam kasus litis consortes pasif, hanya sebagian yang terbukti bersalah atau bertanggung jawab, putusan harus secara eksplisit memisahkan tanggung jawab tersebut. Namun, jika tanggung jawabnya bersifat tak terpisahkan (misalnya pembatalan akta), maka putusan yang membatalkan akta tersebut berlaku bagi semua pihak yang namanya tercantum dalam akta.
Dalam sistem perdata Indonesia, upaya hukum seperti banding, kasasi, atau peninjauan kembali (PK) pada umumnya bersifat individual. Namun, jika putusan melibatkan litis consortes pasif material dan satu pihak mengajukan upaya hukum, hal ini dapat membawa dampak signifikan bagi pihak lainnya.
Misalnya, jika Tergugat I mengajukan banding dan putusan banding membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama karena alasan formil (misalnya kurang pihak), maka pembatalan tersebut berlaku untuk seluruh litis consortes pasif, meskipun Tergugat II dan Tergugat III tidak mengajukan banding. Hal ini karena putusan formil (N.O.) atau putusan yang berkaitan dengan keabsahan sengketa secara keseluruhan harus berlaku sama bagi semua pihak yang terikat oleh objek sengketa tunggal.
Meskipun doktrin litis consortes bertujuan untuk memastikan keadilan dan kepastian hukum, penerapannya di lapangan seringkali menimbulkan tantangan besar, terutama dalam kasus-kasus dengan jumlah pihak yang sangat banyak (massal).
Tantangan terbesar bagi penggugat adalah mengidentifikasi secara tepat siapa saja yang harus disertakan sebagai litis consortes material. Dalam kasus sengketa tanah warisan, seringkali terdapat puluhan, bahkan ratusan ahli waris. Penggugat dituntut untuk melakukan penelusuran yang sangat mendalam dan akurat. Jika ada satu pihak yang terlewat karena tidak diketahui alamatnya atau keberadaannya, gugatan tetap berisiko N.O. ketika eksepsi diajukan oleh tergugat yang lebih mengetahui struktur hubungan hukum tersebut.
Beban pembuktian bahwa penggugat telah berupaya maksimal untuk menemukan litis consortes yang wajib ikut seringkali tidak cukup. Persyaratan pengadilan sangat kaku: jika pihak tersebut seharusnya ada, ia harus ada, terlepas dari kesulitan praktis menemukannya.
Jika salah satu litis consortes berada di luar negeri atau tidak diketahui tempat tinggalnya, proses pemanggilan menjadi sangat rumit, melibatkan pengadilan di wilayah hukum lain atau melalui jalur diplomatik. Penundaan proses persidangan akibat kesulitan pemanggilan ini dapat memakan waktu bertahun-tahun, yang bertentangan dengan asas peradilan cepat.
Dalam kasus pihak yang tidak diketahui, pengadilan biasanya mengizinkan pemanggilan melalui iklan di media massa. Namun, jika kemudian diketahui bahwa ada ahli waris lain yang tidak tercakup dalam iklan tersebut, cacat formil tetap dapat diangkat.
Terdapat perdebatan doktrinal mengenai sejauh mana hakim harus proaktif dalam mengatasi cacat litis consortes. Dalam pandangan tradisional, jika tergugat tidak mengajukan eksepsi plurium litis consortium, hakim tidak boleh secara ex officio (atas inisiatif sendiri) memutus N.O. kecuali cacat tersebut sangat jelas dan fundamental sehingga melanggar ketertiban umum.
Namun, dalam pandangan modern dan progresif, khususnya dalam sengketa yang melibatkan hak publik (seperti sengketa lingkungan atau sengketa konsumen massal), hakim memiliki peran yang lebih besar untuk memastikan bahwa semua pihak yang berkepentingan diikutsertakan, demi terciptanya keadilan substantif, terlepas dari keberatan formal yang diajukan oleh tergugat.
Dalam konteks Hukum Acara Perdata Indonesia, kebanyakan yurisprudensi masih cenderung konservatif. Jika eksepsi tidak diajukan, namun terlihat jelas ada pihak yang kepentingannya sangat terancam oleh putusan, hakim seringkali memilih untuk memutus N.O. atas dasar pertimbangan keadilan prosedural yang fundamental, atau setidaknya memutus berdasarkan eksepsi lainnya yang telah diajukan, yang secara implisit menunjuk pada kurangnya pihak.
Meskipun litis consortes utamanya adalah doktrin hukum perdata, prinsip keharusan menyertakan pihak yang berkepentingan juga memiliki analogi yang kuat dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara (PTUN). Dalam PTUN, istilah yang digunakan adalah pihak yang berkepentingan, yang wajib dipanggil oleh pengadilan.
Menurut Undang-Undang PTUN, selain penggugat dan tergugat (badan atau pejabat TUN), pihak ketiga yang kepentingannya langsung terpengaruh oleh penerbitan atau pembatalan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang digugat, wajib diikutsertakan dalam pemeriksaan.
Contoh: A menggugat KTUN izin tambang yang diberikan kepada perusahaan B. Perusahaan B adalah pihak yang berkepentingan langsung dan wajib dipanggil oleh PTUN, serupa dengan konsep litis consortes pasif material. Jika B tidak disertakan atau dipanggil, putusan pembatalan KTUN tersebut akan merugikan B tanpa adanya kesempatan untuk membela diri.
Perbedaan mendasarnya, di PTUN, pengadilan yang secara aktif mencari dan memanggil pihak berkepentingan, bukan semata-mata menjadi beban penggugat, seperti dalam hukum perdata. Namun, filosofi dasarnya tetap sama: putusan harus menyeluruh dan mengikat semua pihak yang berhak atas objek sengketa.
Dalam gugatan kelompok (class action) atau gugatan perwakilan yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung, prinsip litis consortes diterapkan secara massal dan dimodifikasi. Penggugat (wakil kelompok) secara efektif mewakili ratusan atau ribuan litis consortes aktif (anggota kelompok). Meskipun anggota kelompok tidak terdaftar satu per satu dalam berkas perkara, mereka terikat oleh putusan yang dihasilkan.
Syarat mutlak agar gugatan kelompok dapat diterima adalah homogenitas masalah hukum dan fakta di antara anggota kelompok. Jika homogenitas ini tidak terpenuhi, pengadilan akan menolak gugatan perwakilan tersebut, karena ia gagal memenuhi prinsip dasar representasi yang adil bagi seluruh litis consortes aktif yang diwakilinya.
Kehadiran litis consortes yang lengkap tidak hanya menjamin keabsahan formil gugatan, tetapi juga secara fundamental meningkatkan kualitas materiil putusan pengadilan. Ketika semua pihak yang berkepentingan hadir, pengadilan mendapatkan gambaran yang utuh dan komprehensif mengenai hubungan hukum yang dipersengketakan.
Setiap litis consortes pasif memiliki perspektif dan bukti yang mungkin berbeda mengenai objek sengketa. Misalnya, dalam sengketa hak atas merek, Tergugat I mungkin memiliki bukti penggunaan merek yang berbeda dengan Tergugat II, meskipun keduanya digugat karena pelanggaran merek yang sama. Dengan hadirnya semua pihak, pengadilan dapat mengumpulkan fakta-fakta yang diverifikasi dari berbagai sumber, menghindari pengambilan keputusan yang didasarkan pada informasi yang bias atau parsial dari satu pihak saja.
Doktrin litis consortes berfungsi sebagai mekanisme pencegahan terhadap penyalahgunaan proses pengadilan, di mana seorang penggugat sengaja menghilangkan pihak tertentu untuk mendapatkan keuntungan prosedural atau taktis. Contohnya, menggugat sebagian dari ahli waris yang diketahui lebih lemah posisinya, dengan harapan mendapatkan putusan yang menguntungkan tanpa perlawanan dari ahli waris yang kuat.
Ketika tergugat mengajukan eksepsi plurium litis consortium dan eksepsi tersebut diterima, hal ini mengirimkan pesan kuat bahwa pengadilan tidak akan mentolerir upaya untuk memecah belah sengketa demi kepentingan sepihak, menegaskan kembali pentingnya integritas proses peradilan.
Keputusan pengadilan untuk menerima atau menolak eksepsi litis consortes merupakan manifestasi langsung dari kewenangan absolut hakim dalam mengatur jalannya persidangan. Walaupun eksepsi adalah hak tergugat, penentuan apakah cacat formil ini benar-benar ada dan menyebabkan gugatan N.O. sepenuhnya berada di tangan Majelis Hakim.
Hakim tidak hanya melihat pada identitas pihak yang terlewat, tetapi juga pada substansi hubungan hukumnya. Jika pihak yang terlewat ternyata hanya memiliki kepentingan yang sangat marjinal dan putusan tidak akan mempengaruhinya secara signifikan, hakim mungkin menolak eksepsi tersebut dan melanjutkan pemeriksaan perkara. Namun, jika kepentingan pihak tersebut bersifat substansial dan tidak terpisahkan, hakim harus memutus N.O. sebagai bentuk perlindungan hak asasi yang fundamental.
Untuk melengkapi pembahasan Litis Consortes, perlu dilihat lebih dalam mengenai bagaimana doktrin ini berinteraksi dengan dinamika pembuktian dan pembagian beban tanggung jawab.
Dalam sistem hukum acara perdata, beban pembuktian (bewijslast) dibebankan kepada penggugat untuk membuktikan dalil-dalilnya, dan kepada tergugat untuk membuktikan eksepsi dan dalil bantahannya. Ketika terdapat banyak litis consortes pasif, setiap tergugat memiliki hak dan beban untuk mengajukan bukti bantahan secara independen.
Namun, jika gugatan melibatkan objek sengketa yang sama, pembuktian yang berhasil dilakukan oleh satu litis consortes pasif seringkali berdampak positif bagi yang lain. Misalnya, jika Tergugat I berhasil membuktikan bahwa objek sengketa (sebuah rumah) sebenarnya sudah dialihkan kepada pihak lain sebelum gugatan diajukan, maka bukti ini otomatis melemahkan seluruh tuntutan penggugat terhadap Tergugat II dan seterusnya, karena objek sengketa sudah tidak berada di tangan mereka.
Dalam situasi ini, hakim harus berhati-hati dalam memilah bukti, memastikan bahwa setiap litis consortes memiliki kesempatan yang sama untuk mengajukan dan membantah bukti, dan bahwa putusan akhir mencerminkan kontribusi pembuktian dari semua pihak yang hadir.
Ketika gugatan dimenangkan oleh penggugat terhadap beberapa litis consortes pasif, putusan mengenai biaya perkara (kosten von het geding) juga harus mempertimbangkan status mereka. Secara umum, biaya perkara akan dibebankan secara tanggung renteng (hoofdelijk) kepada para tergugat, jika tanggung jawab pokok perkara mereka juga bersifat tanggung renteng atau tidak terpisahkan.
Namun, jika tanggung jawab masing-masing tergugat dapat dipisahkan (misalnya, masing-masing bertanggung jawab atas porsi kerusakan yang berbeda), maka hakim dapat memutus pembagian biaya perkara berdasarkan proporsi kesalahan atau kepentingan mereka dalam sengketa tersebut. Prinsip ini menegaskan bahwa bahkan dalam kebersamaan proses, keadilan individu harus tetap diperhatikan.
Dalam perkembangan hukum modern, terutama yang terkait dengan hak-hak publik dan konstitusional, konsep litis consortes semakin diperluas. Meskipun secara tradisional terbatas pada sengketa kepemilikan dan perikatan, kini konsep keharusan pihak juga merambah pada kasus-kasus yang menyangkut hak-hak asasi manusia dan lingkungan.
Contohnya, dalam gugatan citizen lawsuit (gugatan warga negara), meskipun penggugat adalah perwakilan warga, setiap lembaga pemerintah yang memiliki kewajiban hukum untuk memelihara lingkungan, harus diikutsertakan sebagai litis consortes pasif (tergugat atau turut tergugat), agar putusan dapat bersifat mengikat dan dapat dieksekusi oleh semua lembaga yang terkait. Kegagalan menyertakan salah satu lembaga yang krusial dapat mengakibatkan putusan menjadi 'macan ompong' karena eksekusi terhambat oleh tidak terikatnya lembaga tersebut.
Penyertaan semua pihak yang berkepentingan, yang merupakan inti dari litis consortes, merupakan jembatan antara keadilan prosedural (hak untuk didengar) dan keadilan material (efektivitas putusan). Tanpa jembatan ini, sistem peradilan berisiko menghasilkan keputusan yang indah secara teks namun cacat secara implementasi.
Litis consortes adalah batu penjuru dalam arsitektur hukum acara perdata. Ia adalah penjaga gerbang yang memastikan bahwa putusan pengadilan memiliki pondasi yang kuat, bersifat final, dan mampu menyelesaikan sengketa secara tuntas. Konsekuensi dari mengabaikan prinsip ini sangat berat, yaitu dinyatakan niet ontvankelijke verklaard (N.O.), sebuah hukuman formil yang menggugurkan seluruh upaya litigasi tanpa menyentuh materi pokok perkara.
Dari sisi praktisi hukum, pemahaman mendalam tentang litis consortes menuntut ketelitian maksimal dalam menyusun gugatan, terutama dalam mengidentifikasi hubungan hukum yang kompleks antara objek sengketa dan subjek hukum. Dari sisi hakim, doktrin ini membebani kewajiban untuk secara cermat menguji integritas formil gugatan, bahkan sebelum memasuki substansi. Prinsip keharusan menyertakan seluruh pihak terkait bukan hanya sekadar aturan formalitas, melainkan cerminan dari prinsip keadilan universal: bahwa tidak seorang pun boleh dirugikan oleh putusan pengadilan tanpa diberikan kesempatan yang adil untuk membela diri.