Indonesia, sebagai negara kepulauan yang dinamis, menghadapi tantangan multidimensi dalam mencapai pembangunan infrastruktur yang merata dan berkelanjutan. Keberhasilan dalam memfasilitasi pertumbuhan ekonomi jangka panjang sangat bergantung pada kemampuan negara untuk mengintegrasikan teknologi mutakhir dengan kerangka regulasi yang adaptif. Di tengah kompleksitas ini, peran sentral dimainkan oleh LKIR, yang didefinisikan dalam konteks ini sebagai Lembaga Kajian Infrastruktur dan Regulasi. LKIR tidak hanya berfungsi sebagai lembaga penelitian, tetapi juga sebagai katalisator kebijakan yang menjembatani kesenjangan antara inovasi teknis dan implementasi kebijakan publik.
Artikel ini akan mengupas tuntas mandat, metodologi, dan dampak strategis LKIR dalam membentuk lanskap infrastruktur nasional masa depan. Analisis akan mencakup spektrum luas, mulai dari kerangka teori pembangunan berkelanjutan hingga studi kasus rinci mengenai implementasi teknologi dalam proyek-proyek vital, serta rekomendasi kebijakan untuk memastikan bahwa pertumbuhan infrastruktur sejalan dengan prinsip keadilan sosial dan kelestarian lingkungan.
Mandat utama LKIR adalah menghasilkan rekomendasi kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy recommendations) yang dapat memastikan bahwa investasi infrastruktur tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga resilien terhadap perubahan iklim dan inklusif secara sosial. Hal ini memerlukan pendekatan interdisipliner yang menggabungkan ilmu teknik sipil, ekonomi makro, hukum administrasi, dan ilmu lingkungan.
Aktivitas LKIR distrukturkan di sekitar tiga pilar fundamental yang saling berinteraksi, menciptakan kerangka analisis holistik yang diperlukan untuk pembangunan di abad ke-21. Jika salah satu pilar ini diabaikan, risiko kegagalan proyek atau inefisiensi alokasi sumber daya meningkat secara eksponensial.
Pendekatan holistik LKIR mengakui bahwa infrastruktur modern adalah sistem yang terhubung (System of Systems). Kegagalan pada satu subsistem—misalnya, jaringan energi—dapat menyebabkan keruntuhan berjenjang pada transportasi atau komunikasi. Oleh karena itu, regulasi harus berfokus pada interdependensi, bukan sekadar entitas tunggal.
Untuk mencapai keluaran yang valid dan terukur, LKIR mengadopsi metodologi campuran yang kompleks. Pada sisi kuantitatif, model Ekonometri Spasial digunakan untuk memetakan hubungan antara kepadatan infrastruktur (misalnya, kilometer jalan, akses air bersih) dan indikator pembangunan sosial ekonomi (Gini Ratio, tingkat kemiskinan). Data geospatial intelligence dari citra satelit resolusi tinggi menjadi masukan utama dalam penilaian ini.
Sementara itu, kajian kualitatif melibatkan delphi method dengan para pemangku kepentingan, wawancara mendalam dengan komunitas terdampak, dan analisis komparatif regulasi internasional (misalnya, standar pembiayaan infrastruktur dari OECD atau Bank Dunia). Hasil dari kedua pendekatan ini diolah menjadi Laporan Kajian Kebijakan Strategis (LKKS) yang disajikan kepada otoritas pengambilan keputusan.
Pembangunan infrastruktur tradisional sering kali berfokus pada kecepatan konstruksi dan minimisasi biaya awal, mengabaikan total biaya kepemilikan (TCO) dan dampak eksternalitas negatif. LKIR mendorong pergeseran paradigma menuju infrastruktur berkelanjutan, yang ditopang oleh empat pilar teoretis utama: resiliensi sirkular, dekarbonisasi total, digitalisasi mendalam, dan keadilan akses.
Konsep resiliensi sirkular menuntut infrastruktur didesain untuk daur ulang material, umur layanan yang panjang, dan kemudahan dalam pembongkaran atau adaptasi fungsi di masa depan. LKIR mengadvokasi penggunaan material konstruksi rendah karbon dan sistem modular yang memungkinkan peningkatan kapasitas tanpa perombakan total.
LCA adalah alat utama yang digunakan LKIR untuk mengevaluasi TCO Sejati (True Cost of Ownership). Ini mencakup tidak hanya biaya konstruksi, tetapi juga biaya pemeliharaan selama 50 tahun, biaya mitigasi dampak lingkungan (seperti kompensasi karbon), dan biaya kegagalan struktural. Penerapan LCA yang ketat ini berfungsi sebagai penyaring proyek yang tidak berkelanjutan di tahap perencanaan awal.
Infrastruktur modern tidak hanya terdiri dari baja dan beton, tetapi juga data. Digitalisasi mendalam merujuk pada integrasi sensor, kecerdasan buatan (AI), dan teknologi Distributed Ledger Technology (DLT) atau blockchain untuk manajemen aset secara real-time. LKIR fokus pada bagaimana regulasi dapat memfasilitasi pertukaran data yang aman dan interoperabilitas antar-sektor (misalnya, data lalu lintas dengan data konsumsi energi).
Regulasi yang diusulkan oleh LKIR mencakup standar minimum keamanan siber untuk semua sistem kontrol industri (ICS) yang digunakan dalam infrastruktur kritis, serta kerangka etika penggunaan AI dalam pemeliharaan prediktif.
Infrastruktur yang baik harus mengurangi ketimpangan, bukan memperparah. Kajian LKIR selalu memasukkan metrik keadilan spasial, memastikan bahwa proyek-proyek vital (akses air, listrik, konektivitas digital) diprioritaskan di wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal). Ini membutuhkan revisi terhadap model pembiayaan yang ada, seringkali terlalu bergantung pada kelayakan komersial murni, yang cenderung menguntungkan wilayah padat penduduk.
Model Cross-Subsidy Regulation (CSR), di mana proyek yang sangat menguntungkan di wilayah perkotaan memberikan kontribusi dana untuk proyek yang secara komersial kurang menarik di daerah pedesaan, adalah salah satu rekomendasi kunci yang didorong oleh LKIR.
Bagian ini menyajikan studi kasus spesifik di mana LKIR telah memainkan peran penting dalam menavigasi kompleksitas regulasi untuk proyek-proyek infrastruktur transformatif. Studi kasus ini menyoroti bagaimana kerangka regulasi yang kaku seringkali menjadi hambatan utama inovasi.
Transisi energi menuntut pergeseran dari pembangkit listrik terpusat menuju jaringan cerdas yang terdistribusi, memungkinkan rumah tangga dan bisnis kecil menjadi produsen (prosumer). Namun, regulasi energi lama didesain untuk model monopoli vertikal.
Isu utama yang dihadapi LKIR adalah harmonisasi regulasi net metering (penghitungan ekspor/impor listrik dari prosumer) yang seringkali tidak menarik secara ekonomi bagi investor ritel. LKIR melakukan kajian komparatif regional dan menemukan bahwa batasan kapasitas yang terlalu rendah serta tarif kompensasi yang tidak adil menghambat adopsi energi surya atap.
Intervensi LKIR: LKIR merekomendasikan skema Peer-to-Peer Energy Trading yang diatur secara mikro, menggunakan teknologi blockchain untuk mencatat transaksi energi antar tetangga tanpa melalui operator grid sentral secara eksklusif. Ini membutuhkan revisi mendalam pada Undang-Undang Ketenagalistrikan dan penetapan standar keamanan siber untuk smart meter yang terintegrasi.
Dampak dari rekomendasi ini adalah peningkatan proyek energi terbarukan berskala kecil dan menengah sebesar 45% di pilot project yang diuji coba, menunjukkan potensi besar ketika regulasi beradaptasi dengan teknologi desentralisasi.
Salah satu hambatan paling kronis dalam pembangunan infrastruktur Indonesia adalah akuisisi lahan. Proses yang berlarut-larut, konflik kepentingan, dan penilaian yang tidak konsisten menyebabkan penundaan proyek bertahun-tahun, meningkatkan biaya hingga 30-50% dari anggaran awal.
LKIR mengidentifikasi bahwa masalah utama bukanlah ketiadaan hukum, melainkan ketidakmampuan integrasi data spasial antara Badan Pertanahan Nasional (BPN), pemerintah daerah, dan pengembang proyek. LKIR mengusulkan penggunaan Sistem Informasi Geografis (SIG) yang terintegrasi dan transparan yang dapat diakses oleh semua pihak, termasuk masyarakat yang lahannya terdampak.
Prinsip Keadilan Nilai Tanah: LKIR juga mendorong adopsi prinsip ‘Nilai Kompensasi Penuh dan Adil’ yang tidak hanya mencakup nilai pasar properti, tetapi juga biaya dislokasi sosial, hilangnya mata pencaharian, dan biaya psikologis akibat perpindahan. Pengaturan ini diintegrasikan ke dalam revisi Peraturan Presiden terkait Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, menjadikannya lebih manusiawi dan efisien.
Implementasi pilot proyek di pembangunan jalur kereta api kecepatan tinggi menunjukkan bahwa penggunaan sistem SIG terintegrasi memotong waktu negosiasi lahan dari rata-rata 36 bulan menjadi 18 bulan, sebuah indikasi efisiensi regulasi berbasis teknologi.
Sistem air di banyak kota besar menghadapi tantangan kebocoran (Non-Revenue Water - NRW) yang masif dan polusi sumber air baku. Regulasi PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) seringkali ketinggalan zaman, tidak memungkinkan investasi modal yang memadai atau penetapan tarif yang mencerminkan biaya operasional sejati.
Kajian LKIR menunjukkan bahwa penolakan politik terhadap kenaikan tarif yang realistis menyebabkan PDAM tidak mampu melakukan peremajaan pipa dan implementasi teknologi smart water management. Hal ini menciptakan lingkaran setan: infrastruktur buruk, NRW tinggi, kualitas layanan rendah, dan keengganan politik untuk reformasi tarif.
Rekomendasi LKIR: Diperlukan skema Targeted Subsidy Mechanism (TSM), di mana subsidi diberikan langsung kepada rumah tangga miskin, sementara tarif untuk pengguna industri dan kelas atas ditetapkan berdasarkan biaya penuh (full cost recovery). Selain itu, LKIR merekomendasikan penetapan KPI (Key Performance Indicators) tata kelola yang ketat bagi direksi PDAM, dengan sanksi tegas jika tingkat NRW melebihi batas yang ditentukan (misalnya, 20%).
Reformasi ini memerlukan koordinasi antara Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Keuangan, dan Pemerintah Daerah, sebuah tugas harmonisasi regulasi yang menjadi fokus utama kegiatan advokasi LKIR.
Teknologi bukan hanya alat, tetapi pendorong utama perumusan regulasi baru. LKIR secara aktif meneliti bagaimana Kecerdasan Buatan (AI), Internet of Things (IoT), dan teknologi material baru dapat diintegrasikan secara aman dan efektif ke dalam kerangka infrastruktur nasional.
Penggunaan AI dalam pengelolaan aset infrastruktur (AIM) memungkinkan pemeliharaan prediktif, di mana kerusakan diidentifikasi sebelum terjadi. Jembatan, bendungan, dan terowongan dapat dipantau 24/7 menggunakan sensor yang mengirimkan data ke algoritma AI yang dilatih untuk mendeteksi anomali mikroskopis.
Regulasi yang diperlukan dalam konteks AIM, yang menjadi perhatian LKIR, meliputi:
LKIR mengkaji potensi material cerdas (self-healing concrete, aspal yang menyerap polusi) dan dampaknya pada regulasi standar mutu bahan bangunan nasional (SNI). Pengadopsian material baru sering terhambat oleh proses sertifikasi yang lambat dan ketiadaan kerangka pengujian yang memadai.
LKIR berkolaborasi dengan lembaga standardisasi untuk mempercepat proses adopsi teknologi material mutakhir ini. Hal ini mencakup reformasi regulasi pengadaan barang dan jasa publik untuk memungkinkan pengujian dan pembelian material yang belum memiliki rekam jejak historis panjang namun menawarkan efisiensi jangka panjang yang superior.
Infrastruktur digital, seperti jaringan serat optik, menara telekomunikasi, dan pusat data (data centers), harus diakui dan diperlakukan setara dengan jalan tol dan listrik dalam hal prioritas regulasi dan alokasi pembiayaan. Pandangan LKIR adalah bahwa akses internet berkecepatan tinggi adalah prasyarat untuk pembangunan sosial ekonomi.
Oleh karena itu, LKIR mendorong regulasi Dig Once Policy, di mana setiap kali jalan digali untuk keperluan infrastruktur fisik (pipa air, gas), pemasangan saluran serat optik wajib dilakukan bersamaan, mengurangi biaya dan gangguan berulang. Regulasi ini memerlukan koordinasi yang belum pernah ada sebelumnya antara Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan Kementerian PUPR dan otoritas daerah.
Visi jangka panjang LKIR adalah menciptakan ekosistem regulasi yang lincah (agile) dan antisipatif, yang mampu merespons laju perubahan teknologi tanpa mengorbankan keamanan dan keadilan. Untuk mencapai hal ini, diperlukan reformasi struktural dalam cara regulasi infrastruktur dirumuskan dan ditegakkan.
Salah satu hambatan utama inovasi adalah takutnya regulator terhadap risiko yang belum teruji. LKIR merekomendasikan pembentukan Regulatory Sandbox khusus untuk proyek infrastruktur berteknologi tinggi.
Sandbox ini akan memungkinkan pengembang untuk menguji teknologi baru (misalnya, drone untuk inspeksi jembatan, sistem transportasi hiperloop) dalam lingkungan yang terkontrol dengan dispensasi regulasi tertentu, selama periode waktu yang ditentukan. Setelah teknologi terbukti aman dan efektif, regulasi dapat diperbarui secara permanen. Hal ini meminimalkan risiko kebijakan publik yang terlalu dini, sambil mempercepat adopsi teknologi yang terbukti berhasil.
Untuk mendukung sandbox, LKIR menyusun kerangka hukum yang memprioritaskan penilaian risiko fungsional di atas kepatuhan prosedural semata. Ini berarti fokus regulasi bergeser dari 'bagaimana sesuatu dibangun' menjadi 'apakah sesuatu itu berfungsi dengan aman dan mencapai tujuan publik'.
Pembiayaan infrastruktur berkelanjutan tidak bisa lagi hanya mengandalkan anggaran negara atau utang konvensional. LKIR mengadvokasi diversifikasi sumber pembiayaan yang diatur melalui kerangka hukum yang solid.
Pengaturan LVC membutuhkan koordinasi regulasi antara UU Perencanaan Tata Ruang, UU Pajak Daerah, dan UU Pengadaan Tanah, sebuah tugas kompleks yang menjadi fokus utama tim hukum LKIR.
Keberhasilan LKIR dalam jangka panjang sangat bergantung pada kapasitas institusionalnya untuk menarik dan mempertahankan talenta lintas disiplin. Regulasi internal LKIR harus memastikan independensi dari kepentingan politik jangka pendek, memungkinkan analisis yang obyektif dan berani.
Rekomendasi institusional meliputi:
Menciptakan regulasi yang ambisius selalu disertai risiko. Dalam konteks LKIR, risiko terbesar terletak pada keengganan institusional untuk berubah dan potensi eksploitasi celah regulasi oleh entitas swasta yang mencari keuntungan jangka pendek.
Proyek infrastruktur skala besar rentan terhadap korupsi dan moral hazard. LKIR tidak hanya merumuskan regulasi teknis, tetapi juga kerangka tata kelola yang ketat. Teknologi DLT (Distributed Ledger Technology) atau blockchain diusulkan untuk meningkatkan transparansi dalam rantai pasok proyek. Dengan mencatat setiap transaksi material, subkontrak, dan perizinan di ledger yang tidak dapat diubah, pengawasan menjadi lebih mudah dan jejak korupsi dapat dilacak secara instan.
Regulasi anti-korupsi yang didorong LKIR mencakup persyaratan Beneficial Ownership Disclosure yang ketat, memastikan bahwa pemilik manfaat sejati di balik perusahaan kontraktor terungkap, memutus praktik perusahaan cangkang dalam tender proyek publik.
Infrastruktur adalah investasi jangka panjang, seringkali melampaui masa jabatan satu pemerintahan. Risiko politik (policy reversal) adalah ancaman nyata. LKIR mengadvokasi pelembagaan Rencana Induk Infrastruktur Nasional (RIIN) yang disahkan melalui Undang-Undang, bukan sekadar Peraturan Presiden. Regulasi UU memberikan kekuatan hukum yang lebih tinggi dan membutuhkan konsensus politik yang lebih luas, sehingga mengurangi kemungkinan pembatalan kebijakan saat terjadi pergantian kekuasaan.
RIIN harus mencakup indikator kinerja kuantitatif yang jelas dan mekanisme pengawasan multi-pihak, termasuk parlemen dan lembaga masyarakat sipil, untuk memastikan akuntabilitas berkelanjutan.
Meskipun regulasi yang dikeluarkan LKIR bersifat nasional, implementasinya sangat bergantung pada kapasitas teknis dan administratif pemerintah daerah. Banyak daerah kekurangan SDM yang terlatih dalam pengadaan PPP, analisis risiko lingkungan, atau implementasi teknologi cerdas.
Solusi Regulasi LKIR: Diperlukan regulasi yang mewajibkan transfer pengetahuan dan bantuan teknis yang intensif dari pusat ke daerah. LKIR merekomendasikan pembentukan Unit Pelaksana Teknis (UPT) regional yang didanai pusat untuk memberikan pendampingan ahli secara langsung kepada Pemda dalam fase perencanaan dan pengawasan proyek kritis.
Selain itu, sistem insentif fiskal harus direvisi: Dana Transfer Daerah (DTD) harus dikaitkan dengan kinerja implementasi regulasi infrastruktur yang dikeluarkan oleh LKIR, mendorong Pemda untuk berinvestasi dalam kapasitas SDM lokal.
Kegagalan regulasi di masa lalu sering kali berasal dari pendekatan sektoral (silo) di mana transportasi diatur terpisah dari energi, dan energi terpisah dari air. Visi LKIR menuntut regulasi sinergis yang mengakui keterkaitan fundamental antarsistem.
Kajian LKIR menggunakan Nexus Approach untuk mengevaluasi proyek pembangunan. Misalnya, pembangunan bendungan (air) harus dievaluasi tidak hanya dari manfaat irigasi dan pembangkit listrik (energi), tetapi juga dampaknya pada ketahanan pangan dan ekosistem hulu-hilir.
LKIR mengadvokasi regulasi Integrated Resource Planning (IRP), di mana setiap proyek infrastruktur besar harus menyerahkan laporan IRP yang menunjukkan optimalisasi penggunaan ketiga sumber daya (air, energi, pangan), memastikan tidak ada solusi sektoral yang menciptakan masalah baru di sektor lain.
Regulasi harus memfasilitasi pembangunan koridor infrastruktur yang mengintegrasikan berbagai fungsi. Contoh: Jalan tol masa depan harus menjadi koridor hijau yang dilengkapi dengan saluran utilitas terintegrasi (serat optik, pipa minyak/gas), stasiun pengisian kendaraan listrik (SPKLU), dan sistem drainase berkelanjutan yang meminimalkan limpasan permukaan.
Hal ini memerlukan regulasi yang memungkinkan penggabungan fungsi perizinan yang selama ini terpisah. Sebuah Peraturan Pemerintah yang dikeluarkan berdasarkan rekomendasi LKIR mengusulkan pembentukan Badan Koordinasi Pemanfaatan Ruang Koridor Infrastruktur (BKP-KRI) yang memiliki kewenangan lintas sektoral untuk mempercepat perizinan terintegrasi.
Peran LKIR dalam lanskap pembangunan nasional bersifat krusial dan berkelanjutan. Indonesia tidak hanya sedang membangun fisik, tetapi juga membangun kerangka hukum dan kebijakan yang akan menentukan kualitas hidup generasi mendatang. Keberhasilan dalam menanggapi tantangan global—terutama mitigasi dan adaptasi perubahan iklim—sangat bergantung pada seberapa cepat dan cerdas regulasi infrastruktur dapat berevolusi.
Regulasi yang diusulkan oleh LKIR, yang berakar pada transparansi, keadilan spasial, dan pemanfaatan teknologi, merupakan peta jalan menuju infrastruktur yang tidak hanya modern, tetapi juga manusiawi dan lestari. Dengan fokus pada resiliensi sirkular dan digitalisasi mendalam, LKIR terus memposisikan dirinya sebagai garda terdepan dalam memastikan bahwa Indonesia mencapai ambisi pembangunannya dengan landasan regulasi yang kokoh dan adaptif.
Pentingnya konsensus politik, partisipasi publik yang luas, dan independensi keilmuan dalam tubuh LKIR akan menjadi penentu utama dalam mewujudkan visi infrastruktur berkelanjutan yang inklusif di seluruh kepulauan Indonesia.
Kajian mendalam yang dilakukan oleh LKIR pada tahun terakhir ini menunjukkan korelasi terbalik antara kecepatan pembiayaan proyek dan kepatuhan terhadap standar lingkungan yang ketat. Ketika terdapat tekanan politik untuk mempercepat realisasi proyek, seringkali mekanisme Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) dipercepat atau dikesampingkan. Fenomena ini memerlukan intervensi regulasi yang menempatkan keberlanjutan sebagai prasyarat pembiayaan, bukan sekadar pelengkap administratif.
LKIR merekomendasikan penetapan regulasi yang mewajibkan lembaga pembiayaan negara (misalnya, bank BUMN) untuk mengaitkan pencairan dana tahap berikutnya (tranche release) dengan laporan audit lingkungan independen yang diverifikasi oleh badan eksternal. Jika kontraktor gagal memenuhi target emisi karbon yang telah disepakati atau menyebabkan kerusakan ekosistem yang signifikan, pencairan dana akan dihentikan sementara atau dikenakan denda yang dialokasikan untuk dana restorasi lingkungan.
Regulasi ini menciptakan insentif ekonomi yang kuat bagi para pengembang untuk memprioritaskan kepatuhan lingkungan sejak tahap desain, karena kegagalan kepatuhan secara langsung mengancam kelangsungan arus kas proyek. Implementasi mekanisme ini membutuhkan revisi Peraturan Bank Indonesia terkait penyaluran kredit untuk sektor infrastruktur, memasukkan kriteria ESG (Environmental, Social, Governance) sebagai kriteria wajib dan terukur.
Secara tradisional, biaya polusi atau kerusakan habitat dianggap sebagai eksternalitas. LKIR mendorong regulasi yang menginternalisasi biaya-biaya ini melalui skema Pajak Karbon Proyek (PKP) atau Biaya Pemulihan Ekosistem (BPE). Setiap proyek yang menggunakan sumber daya alam secara intensif (seperti penambangan material atau perubahan fungsi lahan) harus menyisihkan persentase tertentu dari total biaya proyek ke dalam dana BPE yang dikelola oleh LKIR atau badan independen lainnya.
Dana BPE ini kemudian digunakan untuk mendanai proyek restorasi, reboisasi, atau konservasi di wilayah yang terkena dampak. Regulasi ini memerlukan harmonisasi dengan kerangka perpajakan nasional dan penetapan standar metodologi untuk menghitung nilai moneter dari kerusakan ekosistem, sebuah tugas yang menantang namun penting untuk mencapai pembangunan berkelanjutan sejati.
Kegagalan pengawasan sering menjadi akar masalah mutu infrastruktur. LKIR menemukan bahwa regulasi jasa konsultansi konstruksi cenderung memprioritaskan harga terendah, yang pada gilirannya menghasilkan jasa pengawasan yang minim kualitas. Untuk mengatasi ini, LKIR merekomendasikan penerapan regulasi yang mewajibkan kualifikasi dan pengalaman spesifik untuk konsultan pengawas proyek kritis, dan mengadopsi sistem penilaian berbasis kualitas dan biaya (Quality and Cost Based Selection - QCBS) secara eksklusif untuk proyek-proyek vital senilai di atas ambang batas tertentu.
Perubahan regulasi ini bertujuan untuk memastikan bahwa integritas dan keahlian teknis konsultan pengawas dihargai, bukan sekadar harga terendah, sehingga mengurangi risiko kegagalan struktural dan ketidakpatuhan lingkungan di masa konstruksi. Hal ini menuntut revisi komprehensif pada Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di sektor konstruksi.
Meskipun kemajuan telah dicapai, beberapa kesenjangan regulasi fundamental masih menghambat efisiensi infrastruktur. LKIR telah mengidentifikasi tiga area utama yang memerlukan perhatian regulasi segera dalam lima tahun ke depan:
Indonesia sangat bergantung pada sistem kabel komunikasi bawah laut (SKKL), namun regulasi terkait perizinan penempatan, perlindungan, dan perbaikan SKKL masih terfragmentasi antara Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Komunikasi. Konflik tumpang tindih perizinan menyebabkan keterlambatan investasi digital yang krusial.
Rekomendasi Aksi LKIR: Pembentukan regulasi terpadu (Omnibus Regulation) yang menunjuk satu pintu perizinan (Single Window Licensing) untuk semua infrastruktur bawah laut, memastikan koordinasi spasial yang efektif dan melindungi SKKL dari aktivitas perikanan atau penambangan yang dapat merusak. Regulasi ini harus mencakup penetapan zona eksklusif perlindungan kabel.
Regulasi saat ini cenderung reaktif, berfokus pada penanganan polusi setelah terjadi. Kesenjangan terletak pada regulasi preventif hulu. LKIR mengusulkan regulasi yang mewajibkan pembentukan Zona Konservasi Sumber Air (ZKSA) di sekitar semua sumber air baku yang digunakan oleh PDAM.
Regulasi ZKSA ini harus membatasi secara ketat semua aktivitas pembangunan, pertanian intensif, atau industri yang berpotensi mencemari di area tersebut, dan memberikan wewenang penegakan hukum yang kuat kepada badan pengelola air. Ini memerlukan harmonisasi antara UU Lingkungan Hidup, UU Sumber Daya Air, dan regulasi Tata Ruang Daerah, memastikan perlindungan sumber air dari akar pencemaran.
Transportasi adalah kontributor utama polusi udara perkotaan. Meskipun ada regulasi emisi kendaraan, implementasinya lemah. Kesenjangan regulasi terdapat pada ketiadaan standar emisi yang terintegrasi dengan pengembangan infrastruktur transportasi publik berbasis listrik.
Rekomendasi Aksi LKIR: Mendorong regulasi yang mewajibkan implementasi Zona Emisi Rendah (Low Emission Zones - LEZ) di pusat kota, di mana kendaraan beremisi tinggi dikenakan biaya atau dilarang masuk. Pendapatan dari denda ini harus dialokasikan kembali untuk subsidi infrastruktur transportasi publik berbasis nol emisi. Regulasi ini harus didukung oleh sistem pemantauan kualitas udara real-time yang transparan dan dapat diakses publik, yang dikelola secara independen dari otoritas transportasi.