Lokeswara: Samudra Welas Asih dan Pencerahan Abadi

Ikonografi Lokeswara memegang teratai

Visualisasi sederhana Bodhisattva Lokeswara, Sang Pemegang Teratai.

Pendahuluan: Karuna dan Keagungan Lokeswara

Dalam panteon Mahayana, khususnya tradisi Vajrayana, tidak ada sosok yang lebih sentral dan dihormati melebihi Lokeswara. Dikenal secara luas sebagai Avalokiteśvara dalam literatur Sanskerta, nama ini secara harfiah berarti ‘Tuan yang Memandang ke Bawah’ (Loka: dunia; Iśvara: tuan/penguasa). Ia adalah perwujudan agung dari Karuna, atau welas asih universal, sebuah sifat mendasar yang mendorong semua Bodhisattva untuk menunda pencerahan penuh mereka demi membantu membebaskan makhluk lain dari penderitaan samsara.

Lokeswara bukan sekadar figur mitologis; ia adalah prinsip kosmik yang mengajarkan bahwa jalan menuju pencerahan sejati harus didasarkan pada empati yang tak terbatas. Kehadirannya melintasi batas-batas geografis dan kultural, dihormati di Tibet sebagai Chenrezig, di Tiongkok sebagai Guanyin, dan di Jepang sebagai Kannon. Setiap manifestasi ini, meskipun berbeda nama dan gender (dalam beberapa kasus), mempertahankan inti dari janji welas asih Lokeswara.

Kajian mendalam mengenai Lokeswara memerlukan penelusuran melalui spektrum yang luas, mulai dari etimologi nama yang kompleks, ikonografi yang berubah-ubah (dari Padmapani yang sederhana hingga Syamasahasrabhuja yang berlengan seribu), hingga peranannya yang krusial dalam sejarah penyebaran Buddhisme di Asia, termasuk warisan monumental yang ditinggalkannya di Nusantara.

Etimologi dan Kontroversi Nama

Nama Bodhisattva ini memunculkan salah satu perdebatan filologis paling menarik dalam sejarah Buddhisme. Nama Sanskerta yang paling umum diterima adalah Avalokiteśvara. Interpretasi ini dipecah menjadi beberapa bagian: ‘Ava’ (ke bawah), ‘lokita’ (memandang/melihat), dan ‘īśvara’ (tuan, penguasa). Oleh karena itu, artinya adalah ‘Tuan yang Memandang ke Bawah (dengan Welas Asih)’. Ini menekankan peran aktifnya dalam mengamati penderitaan dunia.

Perkembangan Interpretasi: Avalokitasvara

Namun, dalam teks-teks awal, terutama terjemahan Tiongkok yang dilakukan oleh biksu Kumārajīva pada abad keempat Masehi, sering muncul nama yang diterjemahkan sebagai Guānshìyīn (觀世音), yang berarti ‘Pengamat Bunyi Dunia’ atau ‘Dia yang Mendengar Tangisan Dunia’. Nama ini disarankan berasal dari Sanskerta asli Avalokitasvara. Dalam interpretasi ini, ‘svara’ berarti bunyi atau suara. Perbedaan antara ‘Īśvara’ (Tuan) dan ‘Svara’ (Bunyi) memicu perdebatan. Sebagian sarjana berpendapat bahwa ‘Avalokitasvara’ adalah bentuk yang lebih tua, yang kemudian diubah di India menjadi ‘Avalokiteśvara’ karena pengaruh ajaran Śaiva (Hindu) yang populer pada waktu itu, di mana penambahan ‘Īśvara’ memberikan konotasi keilahian yang lebih kuat.

Meskipun demikian, pada akhirnya, tradisi Mahayana menerima Avalokiteśvara, menekankan statusnya sebagai ‘Tuan’ atau ‘Penguasa Agung’ dari welas asih, sebuah figur yang kekuasaannya didasarkan pada tekadnya untuk menolong, bukan pada kekuatan temporal semata. Dalam konteks Indo-Jawa kuno, ia dikenal sebagai Lokeśvara, sebuah terminologi yang menggabungkan kedua makna dan sangat populer di kerajaan-kerajaan maritim.

Lokeswara dalam Sutra Mahayana: Janji Pencerahan

Kisah dan fungsi Lokeswara didominasi oleh dua sutra utama yang menjadi pilar ajaran Mahayana mengenai welas asih: Sutra Teratai (Saddharma Puṇḍarīka Sūtra) dan Sutra Jantung (Prajñāpāramitā Hṛdaya Sūtra).

Penyebaran Melalui Sutra Teratai

Bab ke-25 dari Sutra Teratai, yang berjudul "Gerbang Universal Bodhisattva Avalokiteśvara" (Avalokiteśvara Pūrvayoga Parivarta), adalah teks paling penting yang mendefinisikan peran Lokeswara. Bab ini menjelaskan bahwa Lokeswara dapat mengambil 33 bentuk yang berbeda—pria, wanita, dewa, iblis, atau bahkan Buddha itu sendiri—untuk menanggapi kebutuhan makhluk hidup sesuai dengan konteks dan kondisi yang mereka hadapi. Ia dipercaya akan datang seketika kepada siapa pun yang memanggil namanya dalam bahaya, kesengsaraan, atau ketakutan.

“Jika ada makhluk yang tak terhitung banyaknya, yang mengalami berbagai macam bencana, penderitaan, atau ketakutan, dan mereka memanggil nama Bodhisattva Avalokiteśvara, maka Bodhisattva itu akan segera mendengar suara mereka dan membebaskan mereka.”

Pengajaran ini menekankan sifat Lokeswara yang sangat praktis dan mudah diakses. Ia adalah penyelamat yang siap sedia, sebuah janji yang memberikan penghiburan luar biasa bagi umat awam yang menghadapi kesulitan dalam kehidupan sehari-hari.

Lokeswara dan Prajñāpāramitā

Dalam Sutra Jantung, Lokeswara memainkan peran filosofis yang berbeda namun sama pentingnya. Ia disajikan bukan hanya sebagai manifestasi welas asih, tetapi juga sebagai teladan sempurna dari kebijaksanaan (Prajñā). Sutra ini dimulai dengan Lokeswara yang sedang melakukan praktik mendalam prajñāpāramitā (kesempurnaan kebijaksanaan) dan menyadari bahwa lima skandha (bentuk, perasaan, persepsi, formasi mental, kesadaran) adalah kosong (śūnyatā). Dialognya dengan Śariputra kemudian menjadi inti ajaran kekosongan.

Peran ganda Lokeswara di sini sangat penting: Welas asihnya tidak bersifat sentimental atau buta, melainkan didasarkan pada pemahaman mendalam tentang sifat realitas, yaitu śūnyatā. Karuna dan Prajñā, welas asih dan kebijaksanaan, harus berjalan beriringan. Lokeswara adalah model bagaimana kebijaksanaan mencapai realitas, dan welas asih mewujudkan respons yang tepat terhadap realitas tersebut.

Mantra Agung: Om Mani Padme Hum

Tidak ada atribut Lokeswara yang lebih terkenal di seluruh dunia selain mantranya yang sakral: Om Mani Padme Hum (atau Oṃ Maṇi Padme Hūṃ). Mantra ini adalah ekspresi fonetik dari inti Karuna dan telah menjadi tulang punggung praktik spiritual di Tibet, Nepal, dan Mongolia.

Makna dan Komponen Mantra

Secara harfiah, terjemahan yang paling populer adalah "Permata di dalam Teratai." Namun, maknanya jauh lebih dalam dan berlapis:

  1. Oṃ (Aum): Suara kosmik, mewakili tubuh, ucapan, dan pikiran yang tidak murni dari pengucap, serta tubuh, ucapan, dan pikiran yang murni dari Buddha.
  2. Maṇi (Permata): Melambangkan metode (upaya) yang tak terpisahkan dari pencerahan—welas asih dan cinta, yang bersemangat untuk menjadi tercerahkan. Permata ini juga sering dikaitkan dengan hasrat Bodhicitta.
  3. Padme (Teratai): Melambangkan kebijaksanaan (prajñā). Sama seperti teratai tumbuh dari lumpur tetapi tetap murni di atas air, kebijaksanaan tumbuh dari kekotoran duniawi tetapi tidak tercemar olehnya.
  4. Hūṃ: Menyatakan ketidakpisahan metode dan kebijaksanaan. Ini adalah penyatuan yang tak terpisahkan, pencapaian pencerahan.

Setiap suku kata juga dipercaya membersihkan satu jenis penderitaan dari enam alam samsara, membimbing praktisi menuju pembebasan. Mengulang mantra ini, baik secara lisan, visual (menulisnya), maupun mekanis (melalui roda doa), adalah cara yang paling mendasar untuk terhubung dengan energi welas asih Lokeswara.

Ikonografi Kompleks Lokeswara: Bentuk dan Simbolisme

Ikonografi Lokeswara adalah salah satu yang paling beragam dan kaya dalam Buddhisme. Bentuknya dapat berkisar dari seorang pertapa yang sederhana hingga sosok berkuasa dengan ribuan tangan dan mata, mencerminkan kemampuannya yang tak terbatas untuk menolong.

1. Padmapani (Pemegang Teratai)

Ini adalah manifestasi Lokeswara yang paling kuno dan elegan, sangat populer di India dan Asia Tenggara, termasuk di Borobudur. Padmapani digambarkan sebagai sosok yang anggun, seringkali hanya memiliki dua lengan. Atribut utamanya adalah bunga teratai (padma) yang sedang mekar penuh atau kuncup. Teratai melambangkan kemurnian dan kelahiran spiritual, menunjukkan bahwa Lokeswara membawa makhluk keluar dari penderitaan (lumpur) menuju pencerahan (mekarnya bunga).

Dalam Padmapani, aura ketenangan dan keanggunan sangat ditekankan. Ia sering mengenakan perhiasan yang mewah, melambangkan kekayaan spiritual, dan di mahkotanya, ia membawa citra Amitābha Buddha, Buddha yang merupakan keluarga spiritual Lokeswara.

2. Simhasanada (Penunggang Singa)

Salah satu bentuk pelindung, Simhasanada Lokeswara digambarkan duduk di atas singa. Singa melambangkan kekuatan dan keperkasaan ajaran Dharma. Bentuk ini sering diasosiasikan dengan perlindungan dari penyakit, khususnya kusta, dan menunjukkan kekuatannya untuk menaklukkan rintangan dan kegelapan.

3. Ekadasamukha (Sebelas Kepala)

Bentuk berlengan dan berkepala banyak ini muncul dari legenda yang menggambarkan kegagalan Lokeswara dalam mengakhiri penderitaan dunia. Dikatakan bahwa setelah mencapai pencerahan dan menyaksikan kembali penderitaan yang tak berkesudahan, kepalanya pecah karena kesedihan yang tak tertahankan. Buddha Amitābha kemudian menyatukan pecahan tersebut menjadi sepuluh kepala baru yang ditumpuk, dengan kepalanya sendiri sebagai puncak kesebelas.

4. Sahasrabhuja (Seribu Tangan dan Seribu Mata)

Ini adalah manifestasi welas asih yang paling dramatis. Setiap tangan Lokeswara memegang alat, mudra, atau simbol yang berbeda untuk membantu makhluk hidup. Simbol ini adalah perwujudan konkret dari janji Sutra Teratai bahwa ia akan mengambil bentuk apa pun yang dibutuhkan. Seribu tangan melambangkan jangkauan bantuannya yang tak terbatas, sementara seribu mata di telapak tangan melambangkan kebijaksanaan yang sempurna yang dengannya ia melihat dan memahami penderitaan.

Di antara tangan-tangan tersebut, ada beberapa atribut penting yang selalu dipegang: busur dan anak panah (menembus delusi), cawan (mengumpulkan penderitaan), roda dharma (mengajarkan jalan), dan teratai (kemurnian).

Perjalanan Historis dan Difusi Global

Transformasi Lokeswara dari dewa sekunder menjadi Bodhisattva universal adalah kisah yang mencerminkan evolusi Buddhisme Mahayana dan Vajrayana, bermula dari India dan menyebar ke seluruh Asia.

India: Asal Mula di Goa dan Universitas

Bukti ikonografi Lokeswara tertua ditemukan di gua-gua seperti Ellora dan Ajanta (abad ke-5 hingga ke-7 M). Di sini, Lokeswara sering dipasangkan dengan Bodhisattva Vajrapani (simbol kekuatan). Ia menjadi figur pelindung utama di universitas-universitas monastik besar seperti Nālandā dan Vikramashila. Perannya diperkuat dalam sistem tantra yang berkembang di India timur, yang kelak akan dibawa ke Tibet.

Tibet dan Mongolia: Chenrezig

Di wilayah Tibet dan Himalaya, Lokeswara dikenal sebagai Chenrezig. Ia tidak hanya dianggap sebagai Bodhisattva, tetapi juga pelindung nasional Tibet. Ada kepercayaan kuat bahwa Dalāi Lāma dan Paṇchen Lāma adalah emanasi (tülku) dari Chenrezig. Kepercayaan ini memberikan Lokeswara peran politik dan spiritual yang unik.

Di Tibet, bentuknya yang paling umum adalah berkepala sebelas atau bertangan empat (Caturbhuja), sering digambarkan duduk dalam meditasi. Melalui sekolah-sekolah Kagyū, Gelug, dan Nyingma, praktik mantra Om Mani Padme Hum menyebar luas, menciptakan landasan spiritual yang seragam bagi seluruh wilayah.

Asia Timur: Transformasi Gender

Penyebaran ke Tiongkok (Guanyin), Korea (Gwanseum-bosal), dan Jepang (Kannon/Kanzeon) membawa transformasi budaya yang signifikan, terutama perubahan representasi gender.

Guanyin di Tiongkok

Di Tiongkok, Lokeswara dikenal sebagai Guanyin (觀音). Meskipun teks-teks India awalnya menggambarkan Lokeswara sebagai pria, pada masa Dinasti Tang (abad ke-7 M), representasinya mulai menjadi androgini. Pada periode Song (abad ke-10 dan seterusnya), Guanyin hampir secara eksklusif digambarkan sebagai sosok wanita yang lembut, sering memegang guci air suci dan dahan willow.

Transformasi ini diduga didorong oleh kebutuhan budaya Tiongkok akan figur ibu yang welas asih, yang dapat memberikan perlindungan domestik, kelahiran, dan kemudahan. Guanyin wanita menjadi dewi welas asih yang paling populer di Tiongkok, melampaui popularitas figur Buddha lainnya.

Kannon di Jepang

Di Jepang, dikenal sebagai Kannon atau Kanzeon. Tradisi Jepang mempertahankan kedua bentuk gender, namun yang paling umum adalah bentuk Padmapani (Sho Kannon) dan bentuk berlengan seribu (Senju Kannon). Kannon dihormati dalam aliran Nichiren, Tendai, dan Shingon. Di sini, Kannon sering dipuja di kuil-kuil pinggir laut, mencerminkan perlindungannya terhadap pelaut dan perjalanan yang berbahaya.

Lokeswara di Tanah Nusantara: Warisan Śailendra dan Majapahit

Lokeswara memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam tradisi Buddhisme yang berkembang di kepulauan Indonesia, khususnya selama masa Kerajaan Sriwijaya dan dinasti Śailendra di Jawa Tengah.

Puncak di Borobudur

Candi Borobudur, mahakarya dinasti Śailendra (abad ke-8/9 M), adalah monumen yang didedikasikan sebagian besar untuk ajaran welas asih dan kebijaksanaan. Lokeswara memegang peran kunci dalam narasi relief candi, khususnya di bagian Arupadhatu dan Rupadhatu.

Pada galeri utama, relief menceritakan kisah Gaṇḍavyūha Sūtra, yang merupakan bagian akhir dari Avataṃsaka Sūtra. Tokoh utama, Sudhana, melakukan perjalanan spiritual mencari pencerahan. Salah satu guru terpenting yang ditemui Sudhana adalah Lokeswara.

Borobudur menampilkan ratusan patung Bodhisattva yang diyakini sebagian besar adalah representasi Lokeswara Padmapani. Penekanannya adalah pada keanggunan, ketenangan, dan kekayaan spiritual. Kehadiran Lokeswara yang dominan di Borobudur menekankan bahwa welas asih dan tindakan tanpa pamrih adalah kunci utama menuju pencerahan, yang digambarkan melalui perjalanan spiritual Sudhana.

Prasasti dan Candi Lain

Pengaruh Lokeswara meluas melampaui Borobudur. Ia dipuja bersama Prajñāpāramitā (Dewi Kebijaksanaan), mencerminkan keseimbangan Karuna dan Prajñā. Banyak arca Lokeswara ditemukan di candi-candi Jawa Timur era Singasari dan Majapahit, menunjukkan kesinambungan pemujaannya. Arca-arca ini sering kali menunjukkan gaya yang lebih dinamis dan detail yang lebih rumit dibandingkan dengan gaya Jawa Tengah.

Di era Singasari, Lokeswara juga mulai dipadukan dengan konsep Śiwa-Buddha, di mana batas antara dewa dan Bodhisattva menjadi kabur. Ini mencerminkan sinkretisme agama yang unik di Nusantara, di mana Lokeswara tetap dihormati sebagai manifestasi universal dari kasih sayang ilahi.

Stupa Candi Kalasan

Candi Kalasan (abad ke-8 M) di dekat Yogyakarta juga memiliki hubungan erat dengan Lokeswara dan Tārā. Kalasan, yang didedikasikan untuk Dewi Tārā, adalah manifestasi feminin dari Lokeswara. Kehadiran Tārā menunjukkan bahwa konsep welas asih telah berkembang menjadi bentuk feminin yang kuat di Nusantara, sejajar dengan perkembangan Guanyin di Tiongkok, meskipun terjadi secara independen atau paralel di kedua wilayah tersebut.

Filosofi Karuna: Inti dari Eksistensi Lokeswara

Untuk memahami sepenuhnya Lokeswara, kita harus kembali ke konsep intinya: Karuna. Welas asih yang diwujudkan oleh Lokeswara tidak pasif; ia adalah kekuatan kosmik yang transformatif dan aktif.

Karuna sebagai Bodhicitta

Karuna adalah salah satu dari Empat Kebajikan Tak Terukur (Brahmavihāra), bersama dengan Maitrī (Cinta Kasih), Muditā (Sukacita Simpatik), dan Upekṣā (Keseimbangan Batin). Namun, dalam Mahayana, Karuna mengambil dimensi yang lebih tinggi: ia menjadi Bodhicitta—pikiran pencerahan.

Bodhicitta memiliki dua aspek: aspirasi untuk mencapai pencerahan (demi diri sendiri) dan aspirasi untuk membebaskan semua makhluk dari penderitaan. Lokeswara melambangkan aspek kedua ini secara sempurna. Janjinya untuk menunda Nirwana sampai semua makhluk dibebaskan adalah komitmen radikal terhadap altruisme.

Keterkaitan dengan Ketergantungan

Filosofi Karuna didasarkan pada pemahaman akan Pratītyasamutpāda (kemunculan tergantung). Karena semua makhluk saling terhubung dalam jaringan sebab-akibat, penderitaan satu makhluk pada dasarnya adalah penderitaan semua makhluk. Oleh karena itu, Lokeswara melihat dunia sebagai satu kesatuan. Tindakan welas asihnya adalah respons logis terhadap kesalingtergantungan fundamental ini.

Ini menjelaskan mengapa ia memiliki seribu tangan dan seribu mata. Setiap makhluk di setiap alam penderitaan membutuhkan cara yang unik untuk diselamatkan. Lokeswara, dengan kebijaksanaan (Prajñā) yang melihat kekosongan, dapat bertindak tanpa terikat pada ego atau hasil, memastikan bahwa tindakannya murni dan efektif.

Peran Kosmologis dan Hierarki Spiritual

Dalam kosmologi Mahayana dan Vajrayana, Lokeswara menduduki posisi yang jelas dalam hierarki ‘keluarga Buddha’. Ia adalah bagian dari ‘Lima Keluarga Buddha Dhyani’, sebuah sistem yang mengkategorikan prinsip-prinsip spiritual.

Keluarga Amitābha

Lokeswara termasuk dalam keluarga Padma (Teratai), yang dipimpin oleh Buddha Amitābha (Buddha Cahaya Tak Terbatas). Amitābha bersemayam di Surga Sukhavati (Tanah Kebahagiaan Murni). Lokeswara sering dianggap sebagai putra spiritual atau emanasi utama dari Amitābha. Inilah alasan mengapa citra Amitābha selalu terlihat di mahkota Lokeswara, berfungsi sebagai penanda garis keturunan spiritualnya.

Keluarga Padma diasosiasikan dengan elemen api, warna merah, dan secara filosofis, dengan transformasi nafsu (rāga) menjadi kebijaksanaan pembeda (Pratyavekṣaṇa Jñāna).

Peran dalam Tiga Tubuh Buddha (Trikaya)

Lokeswara mewakili konsep Sambhogakaya (Tubuh Kenikmatan/Komunal) dari welas asih. Sambhogakaya adalah tubuh yang diwujudkan oleh Buddha kepada Bodhisattva lainnya, bersifat halus dan sempurna, namun belum merupakan realitas murni (Dharmakaya) atau manifestasi fisik (Nirmanakaya).

Dalam perannya sebagai Sambhogakaya, Lokeswara berfungsi sebagai perantara ilahi. Ia menjembatani jurang antara realitas absolut yang tak terucapkan (Dharmakaya) dan dunia penderitaan manusia (Nirmanakaya), memastikan bahwa Karuna tetap dapat diakses dan efektif di semua alam eksistensi.

Lokeswara dalam Praktik Kontemporer

Meskipun berasal dari ribuan tahun yang lalu, pemujaan dan praktik yang terkait dengan Lokeswara tetap relevan dalam Buddhisme modern, khususnya dalam menghadapi tantangan etika dan spiritual global.

Pentingnya Meditasi dan Visualisasi

Dalam Vajrayana, praktik utama adalah meditasi visualisasi, di mana praktisi membayangkan diri mereka sebagai Lokeswara. Tujuannya bukan untuk menjadi dewa, melainkan untuk menyerap sifat-sifat welas asih tak terbatas yang diwujudkan oleh Bodhisattva tersebut. Dengan membayangkan diri sebagai Lokeswara, praktisi melatih diri mereka untuk merespons dunia dengan Karuna murni.

Meditasi ini sangat mendalam: ia melibatkan pembayangan cahaya yang memancar dari Lokeswara, menyembuhkan penderitaan semua makhluk, dan kemudian cahaya itu kembali, menyerap kembali Karuna ke dalam diri praktisi. Praktik ini secara efektif melarutkan batas antara diri dan orang lain, menguatkan Bodhicitta.

Etika Lingkungan dan Welas Asih Universal

Di era modern, ajaran Lokeswara diperluas untuk mencakup etika lingkungan. Konsep Karuna universal tidak terbatas pada makhluk hidup berakal (manusia dan dewa), tetapi mencakup seluruh alam semesta, termasuk hewan, tumbuhan, dan lingkungan. Pemujaan Lokeswara mendorong umat Buddha untuk mengembangkan rasa tanggung jawab yang mendalam terhadap planet, melihat penderitaan lingkungan sebagai refleksi dari penderitaan yang harus diatasi.

Sebagai simbol pengamat dunia, Lokeswara mengajarkan pentingnya kesadaran kolektif. Penderitaan individu dan penderitaan ekologis tidak dapat dipisahkan; pembebasan sejati memerlukan Karuna yang mencakup semua aspek kehidupan.

Festival dan Ziarah

Perayaan dan ziarah yang didedikasikan untuk Lokeswara/Guanyin tetap menjadi acara penting di seluruh Asia. Misalnya, hari lahir Guanyin (tanggal 19 bulan kedua kalender lunar Tiongkok) dirayakan dengan prosesi besar-besaran dan kegiatan amal. Di situs-situs bersejarah seperti Borobudur, Lokeswara terus menjadi fokus meditasi bagi para peziarah dari seluruh dunia.

Kekayaan Manifestasi Lokeswara di Seluruh Asia

Kapasitas Lokeswara untuk mengambil 33 wujud yang berbeda telah menghasilkan katalog ikonografi yang luas. Melalui variasi regional ini, kita dapat melihat bagaimana prinsip Karuna disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan spiritual lokal.

Lokeswara di Kamboja (Kerajaan Khmer)

Di bawah Kerajaan Khmer, terutama pada masa pemerintahan Jayawarman VII (abad ke-12 M), Lokeswara mencapai puncak kemegahannya. Jayawarman VII, seorang Buddhis Mahayana yang taat, menganggap dirinya sebagai Bodhisattva Raja, seorang penguasa yang mewujudkan welas asih Lokeswara.

Pembangunannya yang paling terkenal, Bayon, menampilkan ratusan wajah batu yang tersenyum tenang. Wajah-wajah raksasa ini, yang memandang ke empat arah mata angin, secara umum diidentifikasi sebagai Lokeswara, yang berfungsi sebagai penjaga kerajaan dan simbol pengawasan welas asih Bodhisattva atas rakyatnya. Dalam konteks Khmer, Lokeswara sering digambarkan dengan wajah yang lebih maskulin dan rahang yang kuat, tetapi tetap menampilkan senyum misterius yang dikenal sebagai ‘Senyum Bayon’.

Lokeswara di Sri Lanka

Meskipun Sri Lanka didominasi oleh tradisi Theravada, Lokeswara (di sana dikenal sebagai Nātha) tetap dihormati. Pemujaannya sering berbaur dengan dewa-dewi pelindung Hindu. Nātha dianggap sebagai pelindung masa depan dan sering diyakini sebagai Maitreya (Buddha masa depan). Ini menunjukkan kemampuan Lokeswara untuk menyatu dengan harapan eskatologis (akhir zaman) dalam tradisi agama lokal.

Lokeswara di Nepal

Di Lembah Kathmandu, Lokeswara dihormati dalam berbagai bentuk, termasuk Matsyendranātha (Penguasa Ikan), yang sangat penting bagi komunitas Newar. Manifestasi ini sering dianggap sebagai perwujudan Śiwa, mencerminkan kembali sinkretisme India kuno antara Bodhisattva dan dewa-dewa Hindu. Ratusan festival tahunan didedikasikan untuk Matsyendranātha, menegaskan peran Lokeswara dalam kehidupan ritual sehari-hari.

Guanyin Si Rambut Putih (Tiongkok)

Di Tiongkok, salah satu manifestasi Guanyin yang paling menyentuh adalah Guanyin dengan Rambut Putih (Báifà Guānyīn), yang mewakili usia tua dan kebijaksanaan. Ia sering ditampilkan dalam suasana yang sangat sederhana, menekankan Karuna yang sabar dan matang. Ini kontras dengan citra Padmapani yang muda dan anggun, menunjukkan fleksibilitas ikonografi untuk mewujudkan welas asih pada setiap tahap kehidupan.

Lokeswara dan Proses Transformasi Spiritual Pribadi

Praktik Lokeswara bukan hanya tentang memanggil entitas eksternal, melainkan tentang internalisasi sifat-sifatnya. Keagungannya terletak pada ajaran bahwa setiap individu memiliki potensi untuk mewujudkan Karuna tanpa batas.

Mudra dan Simbol Utama

Untuk internalisasi, penting untuk memahami mudra (sikap tangan) dan simbol yang digunakan oleh Lokeswara:

  1. Mudra Varada (Pemberian Karunia): Tangan terbuka ke bawah, sering dilakukan oleh Padmapani. Ini adalah janji kemurahan hati dan pembebasan dari rasa takut.
  2. Mudra Anjali (Doa): Tangan digabungkan di dada. Ini melambangkan penghormatan terhadap Sang Buddha dan pengakuan terhadap prinsip welas asih.
  3. Vajra (Petir): Sering dipegang oleh bentuk Vajrayana, melambangkan kebijaksanaan yang tak terhancurkan (Prajñā).
  4. Guci Air (Amṛta): Dipegang oleh Guanyin, berisi nektar keabadian atau air suci yang dapat memadamkan api penderitaan.

Ketika praktisi melakukan mudra atau merenungkan simbol ini, mereka secara bertahap mengaktifkan aspek welas asih dan kebijaksanaan dalam diri mereka sendiri.

Penderitaan sebagai Guru

Lokeswara mengajarkan bahwa penderitaan (dukkha) bukanlah akhir, melainkan katalisator Karuna. Ketika Lokeswara menyaksikan penderitaan dunia dan kepalanya pecah, itu adalah metafora bahwa welas asih sejati sangat menyakitkan—ia menuntut kita untuk merasakan beban penderitaan orang lain. Namun, melalui rekonstruksi kepalanya (oleh Amitābha), ia menunjukkan bahwa Karuna harus didukung oleh kebijaksanaan yang tak tergoyahkan agar tidak hancur oleh beban tersebut.

Ini adalah pesan transformatif: Kita harus melihat penderitaan secara langsung, tanpa penghindaran, dan meresponsnya dengan tindakan yang tak terbatas. Lokeswara adalah model bagi setiap Bodhisattva yang bercita-cita untuk mencapai pembebasan melalui pelayanan kepada makhluk lain.

Lokeswara: Cahaya di Tengah Samsara

Lokeswara, Avalokiteśvara, Chenrezig, Guanyin, atau Kannon, terlepas dari perbedaan nama dan representasi, mewakili prinsip Karuna universal yang paling murni dan paling kuat dalam Buddhisme. Ia adalah kompas moral, mengingatkan umat manusia bahwa pencerahan pribadi tidak lengkap jika tidak diiringi dengan tindakan nyata untuk meringankan penderitaan makhluk lain.

Dari relief kuno di Borobudur hingga gema mantra Om Mani Padme Hum di pegunungan Tibet, warisan Lokeswara adalah janji yang terus hidup: bahwa welas asih akan selalu tersedia, menjangkau, melihat, dan mendengar tangisan dunia. Ia adalah penjelmaan yang melampaui konsep ruang dan waktu, sebuah manifestasi abadi dari potensi kemanusiaan untuk kebaikan tanpa batas.

Memahami Lokeswara adalah memahami inti ajaran Mahayana: bahwa jalan menuju pembebasan tidak melalui penarikan diri dari dunia, melainkan melalui keterlibatan penuh, yang dimotivasi oleh cinta dan welas asih yang tak pernah lelah. Ia adalah teladan agung yang memanggil kita untuk membuka mata, melihat penderitaan di sekitar kita, dan bertindak sebagai seribu tangan welas asih di dunia ini.

***

“Semua hal adalah kosong, tetapi Karuna mengisi kekosongan itu dengan janji pembebasan.”