Mengurai Kompleksitas Lumpuh Kaku (Spastisitas dan Rigiditas)

Kondisi medis yang menggabungkan kelumpuhan (hilangnya fungsi motorik atau paresis) dengan kekakuan (peningkatan tonus otot yang abnormal, sering disebut spastisitas atau rigiditas) merupakan tantangan neurologis yang kompleks dan membutuhkan pemahaman mendalam mengenai sistem saraf pusat. Fenomena lumpuh kaku ini bukan sekadar hilangnya kemampuan bergerak, tetapi juga melibatkan perjuangan tubuh melawan otot yang tegang secara kronis, membatasi fungsionalitas, menyebabkan nyeri, dan secara signifikan menurunkan kualitas hidup penderitanya.

Artikel ini akan mengupas tuntas patofisiologi, spektrum etiologi, metode diagnostik canggih, serta strategi manajemen intervensi yang komprehensif, mulai dari pendekatan farmakologis, terapi fisik terstruktur, hingga pilihan bedah modern, untuk memberikan gambaran holistik mengenai penanganan kondisi lumpuh kaku.

I. Jaringan Saraf Motorik dan Mekanisme Gangguan

Untuk memahami mengapa seseorang mengalami lumpuh kaku, kita harus terlebih dahulu mengerti bagaimana sistem motorik normal bekerja. Gerakan diprakarsai di korteks motorik otak (Upper Motor Neuron/UMN) dan diteruskan melalui jalur kortikospinal ke sumsum tulang belakang. Di sumsum tulang belakang, sinyal diteruskan ke Lower Motor Neuron (LMN), yang kemudian mengirimkan instruksi ke otot melalui sambungan neuromuskular.

Spastisitas versus Rigiditas: Perbedaan Kunci

Meskipun keduanya tampak sebagai kekakuan, spastisitas dan rigiditas memiliki dasar neurologis yang berbeda, dan pembedaan ini sangat penting untuk penentuan terapi yang tepat. Kekakuan (tonus otot yang meningkat) adalah manifestasi dari lesi pada UMN yang mengganggu kontrol hambat (inhibitor) dari otak terhadap refleks tulang belakang.

Spastisitas (Tipe Kekakuan UMN)

Spastisitas didefinisikan sebagai peningkatan tonus otot yang bergantung pada kecepatan. Ini adalah komponen utama dari sindrom UMN. Karakteristik utamanya adalah:

Rigiditas (Tipe Kekakuan Ganglia Basalis)

Rigiditas adalah peningkatan tonus otot yang tidak bergantung pada kecepatan. Ini biasanya dikaitkan dengan penyakit pada ganglia basalis, bukan pada jalur kortikospinal.

Dalam konteks 'lumpuh kaku' pasca-cedera otak atau cedera tulang belakang, fokus utama kekakuan yang menyertai kelumpuhan adalah spastisitas. Kelumpuhan terjadi akibat kerusakan langsung pada jalur motorik, sementara spastisitas adalah efek samping dari hilangnya inhibisi kortikal.

Jalur Saraf Motorik Terganggu Korteks Motorik (UMN) Area Lesi (Kelumpuhan) Otot Kaku Ilustrasi jalur saraf motorik yang terganggu di tingkat otak dan tulang belakang, menyebabkan kelumpuhan dan kekakuan (spastisitas) pada otot. Ditunjukkan kerusakan pada jalur desenden.

Gambar 1: Ilustrasi jalur saraf motorik yang terganggu menyebabkan kelumpuhan dan kekakuan.

II. Spektrum Etiologi: Penyebab Utama Lumpuh Kaku

Kondisi lumpuh kaku adalah sindrom, bukan penyakit tunggal. Penyebabnya bervariasi luas, namun semuanya melibatkan kerusakan pada UMN di otak atau sumsum tulang belakang. Mengenali etiologi spesifik sangat penting untuk prognosis dan strategi rehabilitasi.

A. Kelainan Serebrovaskular (Stroke)

Stroke, baik iskemik (penyumbatan) maupun hemoragik (perdarahan), adalah penyebab paling umum dari kelumpuhan unilateral (hemiparesis) yang berkembang menjadi spastisitas. Spastisitas biasanya muncul beberapa minggu atau bulan pasca-stroke akut (fase flaksid).

1. Lokasi Lesi Kritis

Kerusakan pada kapsula interna, yang merupakan jalur padat UMN (kortikospinal), hampir selalu menghasilkan spastisitas berat pada sisi tubuh yang berlawanan. Pola spastisitas post-stroke umumnya adalah pola fleksi pada lengan (bahu adduksi, siku fleksi, pergelangan tangan fleksi) dan pola ekstensi pada tungkai (lutut ekstensi, pergelangan kaki plantar fleksi).

B. Cedera Tulang Belakang (Spinal Cord Injury/SCI)

Kelumpuhan kaku akibat SCI bergantung pada tingkat keparahan dan lokasi cedera. SCI di tingkat toraks ke atas (lesi UMN) akan menyebabkan kelumpuhan kaku di bawah tingkat lesi.

1. SCI Komplet dan Inkomplet

Pada SCI komplet, sinyal dari otak terputus total. Fase syok spinal awal ditandai dengan kelumpuhan flaksid, namun ini akan berkembang menjadi spastisitas berat, terutama refleks ekstensor yang kuat, yang dapat mengganggu perpindahan dan postur.

C. Multiple Sclerosis (MS)

MS adalah penyakit demielinasi autoimun yang menyerang otak dan sumsum tulang belakang. Kekakuan otot (spastisitas) sering menjadi gejala awal yang paling melemahkan pada MS, dipicu oleh lesi plak demielinasi yang tersebar di jalur kortikospinal. Spastisitas pada MS sering bersifat progresif dan fluktuatif.

D. Kelumpuhan Otak pada Anak (Cerebral Palsy/CP)

CP adalah kondisi yang melibatkan kelainan perkembangan otak yang terjadi saat kehamilan atau segera setelah lahir. Jenis CP yang paling umum, Spastic CP, ditandai oleh lumpuh kaku. Klasifikasi spastisitas pada CP meliputi:

E. Penyakit Motor Neuron (Amyotrophic Lateral Sclerosis/ALS)

ALS melibatkan degenerasi progresif baik UMN maupun LMN. Gejala lumpuh kaku pada ALS muncul dari kerusakan UMN, ditandai dengan spastisitas dan hyperreflexia, sementara kerusakan LMN menyebabkan kelemahan, atrofi otot, dan fasikulasi. Gabungan kedua kerusakan ini membuat penanganan sangat sulit.

III. Diagnosis dan Penilaian Objektif Spastisitas

Diagnosis lumpuh kaku didasarkan pada riwayat klinis dan pemeriksaan neurologis. Namun, untuk mengukur kekakuan secara objektif—sebuah keharusan dalam merencanakan terapi dan memantau respons—dibutuhkan alat ukur terstandardisasi.

A. Anamnesis dan Pemeriksaan Klinis

Dokter perlu menentukan lokasi lesi (UMN vs. LMN), distribusi kelumpuhan (monoparesis, hemiparesis, paraparesis, tetraparesis), dan karakteristik kekakuan (apakah bergantung pada kecepatan atau tidak).

B. Skala Penilaian Standar

Penilaian spastisitas paling umum menggunakan skala klinis:

1. Modifikasi Skala Ashworth (Modified Ashworth Scale/MAS)

MAS adalah alat penilaian kekakuan pasif yang paling sering digunakan. Penilaian dilakukan dengan menggerakkan sendi dengan kecepatan tertentu dan mencatat tingkat resistensi. Skala ini berkisar dari 0 (tidak ada peningkatan tonus) hingga 4 (anggota gerak kaku dalam fleksi atau ekstensi).

2. Skala Kekejangan Tardieu (Modified Tardieu Scale/MTS)

MTS dianggap lebih unggul daripada MAS karena ia menilai kekakuan pada berbagai kecepatan dan menentukan Sudut Tangkapan (Angle of Catch), memberikan informasi penting tentang komponen dinamis dan statis dari spastisitas. Ini sangat penting untuk memutuskan penggunaan toksin botulinum.

C. Pencitraan dan Elektrofisiologi

IV. Strategi Manajemen Kekakuan dan Kelumpuhan

Penanganan kondisi lumpuh kaku membutuhkan pendekatan multidisiplin yang melibatkan neurolog, rehabilitator medik, fisioterapis, terapis okupasi, dan kadang kala ahli bedah saraf. Tujuannya bukan hanya mengurangi kekakuan, tetapi juga memaksimalkan fungsi, mencegah komplikasi sekunder, dan mengurangi nyeri.

A. Pendekatan Farmakologis (Obat-obatan)

Obat-obatan ditujukan untuk mengurangi hiperaktivitas refleks spinal yang menyebabkan spastisitas. Pengobatan dibagi menjadi agen sistemik (untuk spastisitas umum) dan agen fokus (untuk spastisitas lokal).

1. Agen Sistemik

Obat ini bekerja di seluruh sistem saraf pusat. Penggunaan dosis harus hati-hati karena potensi efek samping sistemik seperti kantuk dan kelemahan umum.

2. Agen Intratekal (Pompa Baclofen Intratekal / ITB)

Untuk pasien dengan spastisitas berat yang tidak merespons obat oral atau mengalami efek samping sistemik yang parah, ITB adalah solusi revolusioner. Pompa bedah ditanam di perut, mengirimkan dosis kecil Baclofen langsung ke cairan serebrospinal, di sekitar kornu anterior sumsum tulang belakang. Ini memberikan konsentrasi obat yang jauh lebih tinggi di lokasi yang dibutuhkan dengan efek samping sistemik yang minimal.

3. Injeksi Toksin Botulinum Tipe A (BoNT-A)

BoNT-A adalah standar emas untuk mengobati spastisitas fokal (kekakuan pada kelompok otot tertentu, seperti pergelangan tangan pasca-stroke). Toksin disuntikkan langsung ke otot yang spastik, di mana ia memblokir pelepasan asetilkolin pada sambungan neuromuskular, menyebabkan kelumpuhan sementara pada otot tersebut.

Pemilihan agen farmakologis harus selalu disesuaikan dengan kebutuhan individu. Jika spastisitas menghambat tidur dan nyeri, Baclofen sistemik mungkin lebih tepat. Jika spastisitas hanya mengganggu langkah kaki, injeksi BoNT-A pada otot betis bisa menjadi pilihan terbaik.

Perluasan pengetahuan mengenai modulasi neuromuskular juga mencakup penggunaan Cannabinoids (misalnya, Sativex, di beberapa negara) yang telah menunjukkan potensi untuk mengurangi spastisitas yang berhubungan dengan Multiple Sclerosis, meskipun mekanismenya masih terus diteliti.

B. Terapi Fisik dan Rehabilitasi (Landasan Penanganan)

Terapi fisik (fisioterapi) dan terapi okupasi (ergoterapi) merupakan fondasi dalam manajemen lumpuh kaku. Tanpa rehabilitasi intensif, otot yang spastik akan memendek secara permanen, menyebabkan kontraktur ireversibel.

1. Peregangan dan Penjajaran Postur (Stretching and Positioning)

Peregangan pasif dan aktif harus dilakukan setiap hari untuk mempertahankan panjang otot dan rentang gerak (Range of Motion/ROM). Peregangan yang lambat dan tahanan lebih efektif daripada gerakan cepat, karena gerakan cepat dapat memicu refleks regang (spastisitas).

2. Modalitas Fisik

Beberapa modalitas digunakan untuk meredakan tonus otot secara sementara, memungkinkan terapi yang lebih efektif:

3. Orthotics dan Alat Bantu (Bracing)

Orthosis (alat bantu eksternal) sangat penting untuk menjaga sendi dalam posisi fungsional dan mencegah kontraktur statis. Contohnya termasuk:

Diagram Terapi Peregangan Terapis Arah Peregangan Lambat Diagram terapi fisik yang menunjukkan peregangan pasif pada tungkai bawah untuk mengurangi kekakuan otot spastik.

Gambar 2: Diagram terapi peregangan pasif lambat, esensial dalam manajemen spastisitas.

C. Intervensi Bedah dan Prosedur Invasif

Intervensi bedah dipertimbangkan ketika terapi konservatif (obat dan fisik) gagal mengendalikan spastisitas berat atau ketika kekakuan telah menyebabkan deformitas struktural permanen (kontraktur).

1. Bedah Ortopedi (Untuk Kontraktur dan Deformitas)

Tujuan utama bedah ortopedi adalah memulihkan rentang gerak fungsional yang hilang akibat pemendekan otot dan tendon kronis.

2. Bedah Saraf (Untuk Mengurangi Input Saraf)

Prosedur ini bertujuan memotong jalur refleks yang hiperaktif, seringkali di tingkat sumsum tulang belakang.

V. Mengatasi Komplikasi Sekunder dari Lumpuh Kaku

Lumpuh kaku, jika tidak dikelola dengan baik, dapat menyebabkan serangkaian komplikasi sekunder yang memperburuk kondisi fisik dan mental pasien.

A. Kontraktur dan Deformitas Sendi

Kontraktur adalah pemendekan otot dan struktur periartikular (sekitar sendi) yang permanen, mengakibatkan keterbatasan rentang gerak yang bersifat statis. Spastisitas yang berlangsung lama adalah penyebab utama. Penanganan utamanya adalah pencegahan melalui *stretching* dan *splinting* agresif. Setelah kontraktur terbentuk, diperlukan intervensi bedah ortopedi.

B. Nyeri dan Ketidaknyamanan

Nyeri pada pasien lumpuh kaku dapat berasal dari beberapa sumber:

  1. Nyeri Muskoloskeletal: Akibat tarikan otot yang tegang pada sendi dan tendon (misalnya, nyeri pinggul akibat spastisitas adduktor).
  2. Nyeri Neuropatik: Nyeri yang berasal dari lesi saraf pusat itu sendiri (misalnya, nyeri sentral pasca-stroke).
  3. Nyeri Sekunder: Akibat posisi duduk atau berbaring yang buruk (misalnya, nyeri punggung).

Penanganan nyeri melibatkan obat anti-spastisitas, analgetik, dan kadang kala obat nyeri neuropatik seperti Gabapentin atau Pregabalin.

C. Gangguan Higiene dan Integritas Kulit

Spastisitas ekstrim, seperti kepalan tangan yang tertutup rapat atau tungkai yang sangat berdekatan, dapat menyulitkan caregiver untuk membersihkan area tersebut, meningkatkan risiko infeksi kulit (ulkus, jamur). Injeksi BoNT-A sering digunakan secara strategis untuk tujuan higiene ini, bahkan jika fungsi motorik tidak dapat dipulihkan sepenuhnya.

VI. Biomekanika Spastisitas dan Efeknya pada Gaya Berjalan

Spastisitas tidak hanya berarti otot kaku; ia secara fundamental mengubah pola gerakan dan efisiensi biomekanik. Analisis gaya berjalan (gait analysis) adalah alat penting untuk memahami dampak fungsional dari lumpuh kaku.

A. Spastisitas Tungkai Bawah dan Pola Gait Patologis

Tiga pola gait utama yang terkait dengan spastisitas tungkai bawah adalah:

1. Equinus Gait (Kaki Kuda)

Disebabkan oleh spastisitas otot betis (gastrocnemius dan soleus). Tumit tidak menyentuh tanah, dan pasien berjalan pada jari kaki atau bola kaki. Hal ini menyebabkan ketidakstabilan dan peningkatan kebutuhan energi yang dramatis untuk berjalan.

2. Crouched Gait (Gaya Berjongkok)

Terlihat pada pasien CP atau SCI di mana terdapat spastisitas hamstring dan fleksor pinggul yang kuat, menyebabkan lutut dan pinggul selalu sedikit tertekuk. Ini meningkatkan beban pada sendi dan dapat menyebabkan dislokasi atau subluksasi jangka panjang.

3. Scissoring Gait (Gaya Menggunting)

Disebabkan oleh spastisitas adduktor pinggul (otot paha bagian dalam). Tungkai menyilang satu sama lain saat melangkah, meningkatkan risiko jatuh dan menyulitkan pemakaian celana atau popok.

B. Peran Latihan Penguatan Otot Antagonis

Meskipun otot yang lemah adalah bagian dari kelumpuhan, penting untuk tidak mengabaikan penguatan otot antagonis (otot yang berlawanan) dari otot yang spastik. Otot spastik cenderung mendominasi, sementara otot yang seharusnya menyeimbangkan menjadi lemah karena tidak digunakan atau dihambat secara resiprokal. Program penguatan yang terfokus (misalnya, menguatkan dorsofleksor kaki untuk melawan spastisitas plantar fleksor) sangat penting untuk memulihkan keseimbangan motorik.

Teknik biofeedback dan penggunaan Robotic Assisted Therapy (terapi bantuan robotik) kini semakin digunakan untuk memberikan intensitas dan pengulangan latihan yang dibutuhkan untuk membangun kembali jalur motorik, sekaligus mengatasi resistensi yang ditimbulkan oleh spastisitas.

VII. Manajemen Psikososial dan Kualitas Hidup

Dampak lumpuh kaku melampaui fisik. Keterbatasan mobilitas, nyeri kronis, dan kebutuhan akan bantuan terus-menerus memberikan beban psikologis yang signifikan pada pasien dan keluarga mereka.

A. Kesehatan Mental dan Adaptasi

Tingkat depresi dan kecemasan tinggi pada individu dengan kondisi kronis yang menyebabkan kelumpuhan dan kekakuan, seperti MS atau pasca-stroke berat. Penting untuk mengintegrasikan konseling psikologis dan dukungan kelompok ke dalam rencana perawatan.

B. Peran Caregiver dan Pendidikan Keluarga

Keluarga dan caregiver adalah bagian integral dari manajemen. Mereka perlu dilatih tidak hanya dalam hal teknik transfer dan penggunaan alat bantu, tetapi juga dalam teknik peregangan yang tepat untuk mencegah komplikasi.

Beban caregiver (caregiver burden) sangat nyata. Dukungan resor (respite care) dan kelompok dukungan dapat mencegah kelelahan dan *burnout* pada anggota keluarga yang merawat.

C. Teknologi Bantu dan Modifikasi Lingkungan

Teknologi modern dapat mengatasi sebagian besar keterbatasan yang disebabkan oleh kelumpuhan. Ini termasuk:

VIII. Wawasan Patofisiologi Mendalam: Gangguan Neurotransmiter

Pada tingkat molekuler, spastisitas adalah hasil dari ketidakseimbangan antara input eksitatori dan input inhibitori di dalam kornu anterior sumsum tulang belakang. Setelah cedera UMN, terjadi perubahan permanen pada sinapsis yang sangat memengaruhi fungsi LMN.

A. Peran GABA dan Glisin

GABA (Gamma-Aminobutyric Acid) dan Glisin adalah neurotransmiter inhibitori utama di sumsum tulang belakang. Kerusakan UMN menyebabkan penurunan kontrol terhadap pelepasan GABA dan Glisin, atau sensitivitas reseptor terhadap zat ini menurun.

B. Denervasi Hypersensitivity

Ketika jalur saraf utama (UMN) rusak, neuron target yang tersisa (LMN) menjadi "sangat sensitif" terhadap sinyal yang tersisa. Ini disebut denervasi hipersensitivitas. LMN mulai merespons dengan hiperaktif terhadap input sekecil apa pun, menyebabkan refleks yang berlebihan dan spastisitas.

C. Sprouting Kolateral

Sebagai respons terhadap kerusakan, akson-akson saraf di sekitar lesi mencoba untuk membentuk koneksi baru (sprouting kolateral). Sayangnya, koneksi baru ini sering kali maladaptif, berkontribusi pada sirkuit refleks yang abnormal dan meningkatkan kekakuan.

D. Terapi Target Masa Depan

Penelitian sedang berfokus pada mekanisme spesifik ini. Pengembangan obat di masa depan mungkin tidak hanya berfokus pada modulasi GABA secara luas, tetapi pada penargetan kanal ion spesifik (seperti kanal kalsium) atau penggunaan terapi sel punca untuk memperbaiki kerusakan mielin atau mempromosikan neuroplastisitas yang adaptif.

Selain itu, teknik stimulasi listrik non-invasif seperti Transcranial Direct Current Stimulation (tDCS) dan Transcranial Magnetic Stimulation (TMS) terapeutik sedang dieksplorasi untuk mencoba memodulasi kembali eksitabilitas korteks motorik yang telah terganggu pasca-stroke atau cedera, dengan harapan dapat mengembalikan sedikit kontrol hambat yang hilang.

IX. Peran Penting Penilaian Multidisiplin Lanjutan

Keberhasilan jangka panjang dalam mengelola lumpuh kaku sangat bergantung pada evaluasi berkelanjutan. Spastisitas adalah kondisi yang dinamis; tingkat kekakuan dapat berubah drastis dari hari ke hari atau dari tahun ke tahun, dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti infeksi, nyeri, stres, atau perubahan cuaca.

A. Penilaian Periodik dan Adaptasi Rencana

Pasien harus dievaluasi oleh tim rehabilitasi setiap 3 hingga 6 bulan. Penilaian ini harus mencakup:

  1. Re-evaluasi MAS/MTS: Untuk menentukan apakah dosis Baclofen atau interval injeksi BoNT-A perlu disesuaikan.
  2. Skrining Kontraktur: Pengukuran aktual dari ROM sendi untuk mendeteksi pemendekan otot pada tahap awal.
  3. Analisis Gaya Berjalan Video: Untuk mendokumentasikan perubahan dalam pola berjalan dan efektivitas intervensi (misalnya, setelah pemasangan orthosis baru).

B. Integrasi Terapi Okupasi

Sementara fisioterapi fokus pada gerakan besar (gait, transfer), terapi okupasi (OT) fokus pada penggunaan tangan dan aktivitas hidup sehari-hari (Activities of Daily Living/ADL). OT mengajarkan teknik kompensasi untuk kelemahan dan kekakuan tangan, seperti penggunaan alat bantu makan adaptif, penyesuaian pakaian, dan modifikasi lingkungan rumah untuk memaksimalkan kemandirian, yang merupakan inti dari kualitas hidup.

X. Fokus pada Manajemen Deformitas Ortopedi

Pada kondisi lumpuh kaku yang timbul sejak dini (misalnya, Cerebral Palsy), deformitas ortopedi sering menjadi masalah yang paling membatasi. Spastisitas yang tidak seimbang menyebabkan tulang berkembang dalam posisi yang terpelintir atau sendi mengalami subluksasi atau dislokasi penuh.

A. Dislokasi Panggul (Hip Dislocation)

Dislokasi panggul adalah komplikasi serius, terutama pada CP spastik berat. Spastisitas otot adduktor (paha dalam) dan fleksor pinggul menarik kepala femur keluar dari soketnya. Ini menyebabkan nyeri parah dan mempersulit duduk atau berbaring.

B. Skoliosis

Skoliosis (kelengkungan abnormal tulang belakang) sangat umum pada individu dengan kelumpuhan kaku yang melibatkan batang tubuh (trunkal spasticity) atau yang sangat bergantung pada kursi roda. Ketidakseimbangan tonus otot di sepanjang tulang belakang menarik tulang belakang ke samping.

Pemilihan intervensi—apakah itu obat sistemik, BoNT-A, atau bedah—adalah keputusan yang sangat terindividualisasi. Harus selalu didasarkan pada tujuan fungsional pasien: apakah tujuannya adalah berjalan, duduk lebih tegak, atau hanya memastikan higiene dapat dipertahankan tanpa rasa sakit.

XI. Kesimpulan: Pendekatan Holistik

Kondisi lumpuh kaku, yang didominasi oleh fenomena kelumpuhan dan spastisitas pasca-lesi UMN, merupakan tantangan berkelanjutan bagi pasien dan sistem kesehatan. Tidak ada solusi tunggal, melainkan sebuah orkestrasi yang rumit antara intervensi farmakologis untuk memodulasi eksitabilitas saraf, terapi fisik yang intensif untuk mempertahankan panjang otot dan fungsi, dan intervensi bedah yang strategis untuk memperbaiki deformitas yang terjadi.

Memahami perbedaan antara spastisitas dan rigiditas, serta memahami etiologi spesifik (stroke, SCI, MS, CP) adalah langkah awal. Pengobatan yang berhasil harus melampaui sekadar mengurangi kekakuan; ia harus fokus pada pemulihan kemampuan fungsional, pengurangan nyeri, pencegahan kontraktur sekunder yang melemahkan, dan peningkatan partisipasi sosial.

Masa depan manajemen lumpuh kaku terletak pada terapi yang lebih bertarget, memanfaatkan kemajuan dalam neuroplastisitas, teknologi robotik, dan pemahaman yang lebih dalam mengenai sirkuit neuromuskular yang terganggu. Dengan pendekatan yang terintegrasi dan didukung oleh tim multidisiplin yang berkomitmen, pasien lumpuh kaku dapat mencapai potensi fungsional maksimal mereka dan menjalani kehidupan dengan kualitas yang jauh lebih baik.

Perjuangan melawan kekakuan adalah perjuangan untuk mempertahankan gerakan, martabat, dan kemandirian.