Simbol Enggang: Penjaga langit dan kenangan spiritual.
Frasa 'mabuk di enggang lalu' mengandung resonansi yang jauh melampaui makna harfiahnya. Ia bukanlah tentang keracunan fisik oleh zat tertentu di masa lampau. Sebaliknya, ia merujuk pada keadaan ekstasi spiritual, kejutan indrawi, dan penyerahan diri total yang dialami seseorang ketika berhadapan dengan kekuatan alam purba—terutama di ketinggian kanopi hutan hujan tropis yang menjadi habitat Enggang (Rangkong), burung agung yang dihormati sebagai utusan dewa dan penjaga dunia atas dalam mitologi Nusantara, khususnya Borneo. Mabuk di sini adalah kekaguman yang melumpuhkan, sebuah kejenuhan kesadaran yang disebabkan oleh keindahan yang terlampau dahsyat dan kompleksitas ekosistem yang menantang nalar manusia.
Perjalanan 'lalu' (masa lalu) yang dimaksud adalah kilas balik, memori abadi yang terukir jauh sebelum modernitas menjangkau batas-batas hutan belantara. Itu adalah perjalanan transendental ke dalam diri, di mana suara gemuruh sayap Enggang yang terbang rendah seolah menjadi instrumen ritual yang merobek tirai antara realitas dan dimensi spiritual. Ketika para pendahulu kita, para tetua adat, atau bahkan penjelajah batin modern mendaki ke strata teratas hutan, mereka tidak hanya mencari kayu atau buah, mereka mencari makna. Mereka mencari titik nol di mana batasan individu melebur, menghasilkan sensasi 'mabuk' yang amat suci. Sensasi ini adalah hasil dari bombardir aroma tanah basah, cahaya hijau yang tersaring, suara serangga yang tak terhitung jumlahnya, dan kehadiran nyata makhluk-makhluk mistis yang seolah bersembunyi di balik kabut. Di titik inilah, Enggang, dengan paruh kasualnya yang mencolok dan penerbangannya yang megah, bertindak sebagai jangkar sekaligus pemandu menuju kehampaan yang penuh makna.
Ekstasi ini dimulai dari sensasi fisik yang paling dasar. Udara di ketinggian kanopi berbeda; ia lebih tipis namun sarat uap air, membawa napas kehidupan dari jutaan spesies yang saling terkait. Bau lumut yang lembap bercampur dengan harum bunga hutan yang mekar sesaat. Mata yang berusaha menangkap detail tak terhingga dari lapisan-lapisan daun dan ranting akhirnya menyerah, menghasilkan semacam kelelahan visual yang paradoksnya membuka mata batin. Ini adalah kondisi menyerah pada chaos, mengakui bahwa pikiran logis tidak mampu menguraikan kompleksitas hutan yang merupakan alam semesta mini. Kaki yang gemetar saat berpijak di dahan raksasa, rasa pusing akibat melihat ke bawah dari ketinggian, semuanya berkontribusi pada peleburan ego. Dalam kondisi kerentanan total ini, 'mabuk' itu hadir—bukan pelemahan, melainkan peningkatan frekuensi spiritual. Ia adalah resonansi yang tercipta antara jiwa manusia yang rapuh dan ketenangan alam semesta yang abadi.
Kondisi mabuk spiritual di bawah naungan Enggang ini sering diabadikan dalam bentuk mitos dan tarian tradisional. Seni bercerita yang diwariskan dari generasi ke generasi selalu menekankan pentingnya pengalaman ini sebagai titik balik menuju kedewasaan atau kebijaksanaan. Siapa pun yang pernah mengalami keindahan yang mengancam jiwa di jantung hutan tropis, di mana Enggang menjulang tinggi sebagai arsitek langit, akan membawa pulang luka memori yang manis. Luka ini adalah pengingat bahwa kita hanyalah bagian kecil dari siklus tak berujung. Inilah esensi filosofis dari 'mabuk di enggang lalu': sebuah pengakuan bahwa perjalanan terpenting bukanlah kemana kita pergi, melainkan seberapa jauh kita berani melepaskan kendali diri di hadapan keagungan yang tak tertandingi.
Enggang, atau Rangkong, adalah inti dari narasi ekstasi ini. Di banyak kebudayaan Dayak, Enggang adalah manifestasi Dewata Dunia Atas (Bantang Petara). Ciri fisiknya—paruh besar berongga (casque) yang ringan namun terlihat monumental, bulu ekor putih bersih dengan garis hitam, dan ukuran tubuhnya yang memerlukan kekuatan penerbangan luar biasa—menjadikannya simbol sempurna untuk transisi dan mediasi. Enggang terbang sangat tinggi, menghubungkan tanah (manusia) dengan langit (dewa). Ketika Enggang melintas, ia membawa pesan, atau dalam konteks 'mabuk' ini, ia membawa getaran. Getaran sayapnya yang bergemuruh bukanlah sekadar suara; ia adalah frekuensi yang memicu keadaan kesurupan, trance, atau mabuk yang dicari oleh para shaman dan pelawat spiritual.
Paruh Enggang yang unik, sering diukir sebagai hiasan kepala atau gagang senjata ritual, bukan hanya estetika. Ia melambangkan mahkota spiritual, wadah untuk menerima pengetahuan dewata. Ketika seseorang mencapai titik 'mabuk' tertinggi di bawah habitat Enggang, ia seolah-olah mengenakan paruh itu di kepalanya sendiri, membiarkan kebijaksanaan alam semesta mengalir tanpa hambatan ke dalam jiwanya yang kosong. Pelepasan ini adalah bentuk keracunan kesadaran yang paling murni. Kita dibanjiri oleh data sensorik dan makna non-verbal, yang melumpuhkan kemampuan bahasa dan logika. Mabuk ini bersifat konstruktif, menghancurkan ego lama untuk melahirkan pemahaman baru tentang keterhubungan. Enggang adalah gerbang yang selalu terbuka menuju memori kosmik, menawarkan ekstasi yang hanya bisa dicapai melalui kerendahan hati yang ekstrem.
Untuk memahami intensitas 'mabuk di enggang lalu', kita harus menghargai geografi tempat ia terjadi. Hutan hujan tropis di kawasan Enggang (seperti di Taman Nasional Betung Kerihun atau Pegunungan Muller) bukanlah lansekap datar yang mudah dipetakan. Ia adalah tiga dimensi, berlapis-lapis, dan vertikal. Kanopi hutan bukanlah atap, melainkan alam semesta itu sendiri. Berada 50 hingga 70 meter di atas permukaan tanah, di dahan pohon Meranti atau Ulin raksasa, adalah pengalaman yang mengubah orientasi spasial dan temporal manusia. Perubahan ketinggian ini adalah katalisator utama bagi keadaan 'mabuk' tersebut.
Saat pendakian dimulai, terjadi perubahan dramatis dalam persepsi. Di permukaan tanah, segala sesuatu lambat, gelap, dan didominasi oleh kelembaban yang mencekik. Namun, semakin tinggi, pandangan melebar, cahaya matahari yang keras mulai menembus, dan suhu udara menjadi sedikit lebih ringan, meski tetap lembap. Titik transisi ini, dari kegelapan lantai hutan menuju cahaya yang memancar di kanopi, adalah momen epifani. Ibarat kelahiran kembali, meninggalkan rahim bumi menuju ruang terbuka. Kebebasan visual yang tiba-tiba ini sering kali memicu respons biologis yang mirip dengan pusing atau vertigo, yang oleh budaya tradisional diartikan sebagai sentuhan dari roh penjaga. Tubuh menegang, adrenalin memuncak, dan pikiran, yang terbiasa dengan batasan horizon, kini dipaksa untuk mencerna panorama 360 derajat yang tak terbatas.
Ketinggian ini juga tempat flora dan fauna paling eksotis dan langka bersembunyi. Anggrek epifit yang hanya mekar di dahan tertinggi, serangga dengan warna-warna neon yang tidak pernah turun ke tanah, dan tentu saja, Enggang yang meluncur dengan keanggunan seorang kaisar. Semua elemen ini berkumpul, menciptakan simfoni visual dan auditori yang melampaui kapasitas pemrosesan otak. Intensitas suara jangkrik di puncak kanopi jauh lebih memekakkan daripada di bawah. Warna hijaunya pun berbeda; bukan hijau pekat, melainkan spektrum hijau muda, kuning limau, dan perunggu yang memantulkan cahaya. Keindahan yang hiper-realistis ini menyerang sistem saraf, menghasilkan semacam intoksikasi estetika. Inilah yang mendasari 'mabuk' tersebut: bukan hanya sensasi, tapi penerimaan tak terhindarkan atas keagungan biologis yang absolut.
Kita dapat membagi pengalaman kanopi menjadi beberapa lapisan sensorik yang masing-masing berkontribusi pada keadaan mabuk. Lapisan pertama adalah **Zona Akar dan Tanah Lembap (Zona Kematian dan Kelahiran)**. Di sini, bau dekomposisi mendominasi, mengingatkan kita pada kefanaan. Ini adalah persiapan, fase pembersihan sebelum naik. Lapisan kedua adalah **Zona Tengah (Zona Perjuangan Hidup)**, di mana liana dan rotan berjuang keras mencari cahaya, melambangkan ambisi dan kompetisi. Di sini, tubuh fisik kita bekerja paling keras, memerangi kelelahan dan kelembaban. Puncak dari pengalaman adalah **Zona Emergen (Zona Dewata dan Enggang)**. Ini adalah zona di mana pohon-pohon tertinggi menjulang, menembus awan tipis pagi hari, dan Enggang bersarang. Di sinilah terjadi pelepasan fisik dan awal dari penyerapan spiritual.
Saat tubuh mencapai Zona Emergen, sensasi yang dirasakan adalah kombinasi antara kelelahan akut dan euforia yang aneh. Otak, yang kekurangan oksigen akibat upaya mendaki, mulai memproduksi zat kimia yang mirip dengan keadaan meditasi mendalam. Ditambah dengan angin sepoi-sepoi yang tiba-tiba terasa dingin setelah panasnya hutan, dan pemandangan hutan yang membentang tak berujung seperti permadani hijau yang bergelombang. Seseorang merasa terpisah dari tubuhnya sendiri, mengamati dunia dari perspektif kosmik. Mabuk di sini adalah hasil dari kimiawi otak yang diinduksi oleh lingkungan yang ekstrem. Ia adalah pengorbanan fisik yang berujung pada hadiah spiritual yang tiada tara. Setiap helaan napas terasa berat, namun setiap pandangan terasa ringan, membuka jalan bagi kesadaran untuk melayang bebas bersama Enggang.
Kompleksitas yang memusingkan ini diperkuat oleh interaksi mikroskopis yang tidak terlihat. Jutaan mikroorganisme yang berinteraksi di lumut dan kulit pohon menghasilkan feromon dan senyawa organik yang dilepaskan ke udara. Mungkin saja, intoksikasi ini juga sebagian disebabkan oleh zat-zat alami yang terhirup, mirip dengan efek halusinogen ringan yang dihasilkan oleh jamur tertentu, tetapi dalam konteks ekologis yang jauh lebih besar. Hutan, dengan segala kerumitan biologisnya, bertindak sebagai apotek spiritual raksasa, dan Enggang adalah apoteker agung yang menandai lokasi pelepasan esensi-esensi yang memabukkan tersebut. Ini bukan keracunan, melainkan saturasi sensorik yang disengaja dan disambut baik, sebuah pengembaraan sukarela menuju batas-batas akal sehat.
Kata 'lalu' dalam frasa ini menggarisbawahi pentingnya sejarah dan memori kolektif. 'Mabuk di enggang lalu' merujuk pada kebiasaan, ritual, atau perjalanan yang dilakukan oleh generasi sebelumnya, yang kini hanya tinggal kenangan atau mitos. Ekstasi yang dialami di kanopi tinggi adalah warisan spiritual yang harus dihormati dan direkonstruksi melalui ingatan. Para penjelajah masa kini yang mencari sensasi ini sesungguhnya sedang mencoba berjalan di jejak para leluhur yang mencari sumber kekuatan, obat, atau visi masa depan di tempat-tempat Enggang bersarang.
Dalam konteks ritual Dayak kuno, perjalanan ke hutan terdalam dan tertinggi seringkali merupakan inisiasi. Pemuda atau calon shaman diwajibkan melakukan perjalanan sunyi, menghadapi ketakutan akan kegelapan, ketinggian, dan keheningan yang menyesakkan. Mabuk adalah tahap akhir dari inisiasi ini. Setelah berhari-hari berpuasa, berkeringat, dan bergumul dengan unsur-unsur alam, tubuh mencapai titik kelelahan di mana pintu antara alam sadar dan bawah sadar terbuka. Di sana, di kanopi, Enggang akan muncul sebagai simbol keberhasilan atau sebagai roh yang menyampaikan nubuat. Pengalaman ini adalah 'mabuk' karena ia memutarbalikkan persepsi realitas—seperti pengalaman kematian sementara yang memberikan kehidupan spiritual baru. Perjalanan ini adalah cetak biru yang kini hanya bisa diakses melalui meditasi mendalam atau eksplorasi fisik ekstrem, menjadikannya 'lalu' atau milik masa lampau yang sakral.
Penting untuk dicatat bahwa 'mabuk lalu' ini juga mencerminkan hilangnya koneksi. Seiring hutan menyusut dan Enggang semakin langka, akses fisik dan spiritual ke tempat-tempat ekstasi ini semakin sulit. Memori tentang sensasi itu menjadi kabur, seperti mimpi yang perlahan terlupakan. Oleh karena itu, frasa ini menjadi elegi: ratapan atas hilangnya keadaan spiritual yang mudah dicapai oleh nenek moyang mereka. Kita kini harus bekerja jauh lebih keras, melawan kebisingan modernitas, untuk mencapai tingkat pelepasan kesadaran yang pernah dihidupkan oleh kehadiran Enggang yang berlimpah di angkasa. Perjalanan 'lalu' ini adalah panggilan untuk memulihkan memori ekologis dan spiritual yang telah terputus oleh waktu.
Bagaimana kita merekonstruksi keadaan psikologis para leluhur saat mengalami 'mabuk' ini? Ini melibatkan pemahaman tentang bagaimana manusia primitif berinteraksi dengan lingkungan yang belum terindustrialisasi. Ketidakmampuan untuk menjelaskan fenomena alam secara ilmiah memaksa mereka untuk memberikan atribusi spiritual pada setiap sensasi. Guncangan emosional yang intens saat melihat Enggang terbang bukan hanya kekaguman ornithologis; itu adalah komunikasi langsung dengan dewa. Kedinginan mendadak di kanopi bukan hanya perbedaan suhu; itu adalah nafas roh.
Rekonstruksi menunjukkan bahwa 'mabuk di enggang lalu' adalah pengalaman multisensori yang memuncak pada disorientasi yang disengaja. Para pejalan spiritual mencari titik di mana realitas mulai retak. Mereka menggunakan kelelahan, rasa takut akan ketinggian, dan paparan terhadap pemandangan yang terlalu indah untuk diproses sebagai alat untuk mencapai transendensi. Ini adalah bentuk ekstasis vitae (ekstasi kehidupan) yang diciptakan oleh interaksi murni antara organisme manusia dan biosfer purba. Mereka ingin mabuk oleh kehidupan, bukan menghindarinya. Ketika mereka kembali, mereka membawa 'kasque' spiritual di kepala mereka, yang diisi dengan kebijaksanaan hutan. Ingatan akan 'mabuk lalu' ini berfungsi sebagai peta batin yang mengajarkan pentingnya keberanian dan kerentanan dalam pencarian makna.
Untuk mencapai volume dan kedalaman makna 'mabuk', kita harus membedah setiap elemen sensorik yang menyusun intoksikasi ini. Bukan hanya pemandangan besar, melainkan akumulasi detail kecil yang menyebabkan otak menyerah pada keindahan yang berlebihan.
Hutan adalah perpustakaan bau yang kompleks, tetapi kanopi Enggang memiliki profil olfaktori yang unik. Di sana terdapat tiga jenis bau utama yang saling bersaing, menyebabkan semacam mabuk penciuman. Pertama, **Bau Ozon dan Petir:** Meskipun sering diyakini bahwa ozon hanya terkait dengan badai, di ketinggian kanopi yang rentan terhadap perubahan cuaca, udara terasa 'terisi listrik'. Ini adalah bau segar, tajam, yang membersihkan saluran pernapasan tetapi juga terasa mengancam, seperti ancaman yang ditahan. Kedua, **Bau Jamur dan Tanah Mati:** Ini adalah napas bumi yang naik. Bau musky, kaya mineral, dan pengingat akan siklus kematian dan regenerasi yang tak terhindarkan. Bau ini bersifat membumikan namun juga menekan, menciptakan kontras yang membingungkan dengan cahaya di atas. Ketiga, **Bau Nektar dan Bunga Hantu:** Banyak tanaman kanopi mekar secara sporadis dan singkat, menghasilkan aroma yang intens, manis, dan kadang-kadang sedikit asam. Aroma ini adalah ekstasi murni, janji kehidupan yang berlimpah, tetapi karena mereka cepat menghilang, mereka juga berfungsi sebagai pengingat akan kefanaan. Ketiga bau ini, ketika dihirup secara terus-menerus, menciptakan kebingungan sensorik yang sangat dekat dengan mabuk ringan, memaksa pikiran untuk berhenti menganalisis dan mulai hanya merasakan.
Pengalaman aroma ini diperparah oleh kelembaban yang ekstrem. Molekul bau bertahan lebih lama dan terasa lebih berat. Kita tidak hanya mencium bau; kita merasakannya meresap ke dalam kulit. Keadaan ini menciptakan rasa sesak yang paradoks, karena meskipun kita berada di ruang terbuka, udara terasa tebal dan padat, membawa serta cerita dari setiap daun dan serangga. Rasa mabuk olfaktori ini adalah bentuk pembersihan: hidung dipaksa untuk bekerja terlalu keras, hingga akhirnya, bau menjadi satu kesatuan kabur, sebuah esensi hutan yang tak terlukiskan, yang hanya bisa dialami dalam keadaan trance.
Keheningan hutan hujan adalah mitos. Hutan selalu bersuara, tetapi di kanopi, volume dan intensitas suaranya mencapai puncaknya. Jika di bawah didominasi oleh suara air menetes dan ranting patah, di atas didominasi oleh suara-suara frekuensi tinggi yang terus-menerus. Puncak dari simfoni ini adalah suara ribuan jangkrik, serangga, dan katak pohon yang berteriak untuk menarik pasangan atau menandai wilayah. Suara ini menciptakan "dinding suara putih" yang sangat tinggi, sehingga pikiran sulit untuk fokus pada suara individu.
Di tengah kebisingan putih ini, suara Enggang menjadi penanda. Suara kepakan sayap Enggang yang menyerupai desisan mesin uap tua atau hembusan nafas besar adalah ritme alam semesta yang menyela kekacauan. Kemunculannya adalah momen di mana kebisingan kolektif terpecah, dan perhatian dipaksa untuk fokus pada keagungan tunggal. Dalam konteks shamanistik, kebisingan tinggi yang terus-menerus ini digunakan untuk memicu keadaan trans. Otak, yang dibanjiri oleh input auditori, mulai mencari pola dan makna yang tidak ada, menyebabkan halusinasi pendengaran ringan atau rasa pusing yang menenangkan. Inilah 'mabuk' yang disebabkan oleh resonansi, sebuah kondisi di mana telinga telah mendengar terlalu banyak, dan hasilnya adalah keheningan internal yang ironis.
Visual 'mabuk' adalah yang paling mudah dipahami. Ia adalah vertigo fisik dan spiritual yang disebabkan oleh skala. Dari ketinggian Enggang, pohon-pohon di bawah terlihat seperti brokoli yang tak terhingga, dan horizon membentang hingga batas mata. Cahaya matahari, yang berjuang keras menembus lapisan kanopi di bawah, kini bersinar keras dan terfragmentasi oleh gerakan daun. Pola cahaya dan bayangan yang terus berubah, ditambah dengan gerakan angin yang membuat seluruh pemandangan berayun, menciptakan efek optik yang memusingkan.
Lebih dari sekadar ketinggian, adalah keindahan warna yang memabukkan. Hutan dari atas bukanlah satu warna hijau. Ia adalah palet tak terbatas: hijau zamrud, hijau jade, biru kehijauan, merah kecoklatan pada pucuk daun muda. Mata dipaksa untuk memproses resolusi visual yang terlalu tinggi. Otak mencoba menemukan fokus, tetapi setiap titik fokus hanya membuka ratusan detail baru yang meminta perhatian. Kelelahan visual ini adalah inti dari mabuk spiritual. Ketika mata tidak lagi dapat memproses data, penglihatan batin mengambil alih. Pemandangan menjadi cair, batas-batas objek kabur, dan pada momen ini, sang pejalan percaya bahwa ia telah melihat wajah sejati Dewa Hutan. Ini adalah 'mabuk' yang dihasilkan dari penerimaan bahwa realitas visual adalah ilusi yang terlalu indah untuk dipahami.
Secara keseluruhan, intoksikasi Enggang Lalu adalah pertemuan yang disengaja antara tubuh yang kelelahan, pikiran yang kebingungan, dan lingkungan yang hiper-stimulatif. Ini adalah kondisi di mana semua indra mencapai ambang batas, memaksa kesadaran untuk beralih dari mode analitis ke mode intuitif. Hanya dalam kondisi kerentanan sensorik total ini, jiwa dapat menerima pesan agung yang dibawa oleh kepakan sayap Enggang, utusan dari dunia atas.
Dalam dunia modern, kita juga sering mencari keadaan 'mabuk', tetapi motivasi dan hasilnya sangat berbeda. Mabuk modern biasanya bersifat pelarian—upaya untuk meredam kebisingan dan tekanan hidup, seringkali melalui konsumsi zat yang menumpulkan indra. Sebaliknya, 'mabuk di enggang lalu' adalah pencarian—upaya untuk meningkatkan sensitivitas indra hingga batasnya, bukan untuk menghindar, melainkan untuk menerima realitas yang lebih besar dan lebih menantang. Ini adalah perbedaan mendasar antara anestesi dan ekstasi.
Mabuk modern menghasilkan kekosongan dan penyesalan, sedangkan mabuk purba menghasilkan pengisian dan pemahaman. Ketika seorang pejalan kembali dari kanopi Enggang, ia membawa serta pengetahuan praktis (tentang obat-obatan, cuaca, siklus hidup) dan pengetahuan spiritual (tentang hubungannya dengan kosmos). Pengalaman itu membentuk identitas, menjadikannya 'orang yang telah melihat dewa'. Sebaliknya, mabuk modern cenderung mengikis identitas, meninggalkan lubang memori dan kehampaan. Perbedaan antara kedua jenis intoksikasi ini berfungsi sebagai kritik terhadap kecepatan dan ketiadaan spiritualitas dalam masyarakat kontemporer.
Mengapa memori Enggang Lalu begitu penting sekarang? Karena ia menawarkan cetak biru untuk mencapai transendensi tanpa merusak diri sendiri. Ia mengajarkan bahwa sumber ekstasi terbesar adalah lingkungan kita sendiri, jika kita bersedia menyerahkan diri pada intensitasnya yang tak tertandingi. Dalam pencarian kita akan pengalaman yang otentik dan bermakna, kisah tentang ekstasi di puncak Enggang menawarkan jalan kembali ke koneksi primal, ke akar-akar eksistensi yang sering terabaikan di tengah hiruk pikuk kehidupan kota.
Paruh kasual Enggang, yang bervariasi dari spesies ke spesies (misalnya, Rangkong Badak dengan kasual oranye kemerahan, atau Rangkong Gading yang paruhnya sangat bernilai), memainkan peran penting dalam memperkuat narasi 'mabuk' ini. Kasual itu kosong, sebuah kotak resonansi tulang yang besar, namun ringan. Simbolisme kekosongan ini sangatlah kuat. Ia mewakili wadah yang harus dikosongkan oleh para pejalan spiritual—melepaskan prasangka, keinginan duniawi, dan beban ego—agar dapat diisi dengan energi dan informasi dari dunia atas.
Ketika Enggang bersuara, kasual tersebut memperkuat gema, menjadikannya suara yang dapat didengar dari jarak berkilo-kilometer. Secara metaforis, ini berarti bahwa pengalaman 'mabuk' di kanopi tinggi memperkuat suara batin individu, menjadikannya terdengar dan signifikan. Ekstasi Enggang Lalu bukanlah tentang bisikan, melainkan tentang pengumuman besar yang tidak bisa diabaikan. Ini adalah pengukuhan bahwa setelah melalui ujian kanopi, suara seseorang kini memiliki otoritas spiritual yang sama kuatnya dengan gema Enggang di puncak pohon tertinggi. Nilai kasual yang diperdagangkan secara historis mencerminkan nilai spiritual dan status yang melekat pada kepemilikan simbol dari 'tempat mabuk' tertinggi ini.
Mabuk di Enggang Lalu juga dapat ditinjau melalui lensa eko-psikologi, disiplin yang mempelajari hubungan timbal balik antara kesehatan mental manusia dan alam. Hutan hujan, dalam skala dan kerumitannya yang luar biasa, bertindak sebagai cermin sekaligus guru. Ketika seseorang mencapai kanopi, ia dihadapkan pada skala waktu geologis dan biologis yang melampaui rentang hidup manusia yang singkat. Pohon Ulin yang telah berdiri selama ratusan tahun mengajarkan kesabaran. Anggrek yang mekar hanya selama beberapa jam mengajarkan kefanaan. Ketergantungan simbiotik antara jamur, akar, dan satwa mengajarkan keterhubungan.
Intoksikasi yang terjadi adalah hasil dari realisasi mendalam bahwa keberadaan individu tidak terisolasi, melainkan terjalin erat dalam jaring kehidupan yang jauh lebih besar dan abadi. Rasa pusing (mabuk) yang terjadi bukanlah penyakit, melainkan respons sehat terhadap kebenaran kosmik yang terlalu besar untuk dicerna secara instan. Ini adalah momen 'dissolusi ego' yang dicari oleh banyak tradisi spiritual, tetapi di sini, ia diinduksi secara alami oleh lingkungan. Tubuh merasa kecil, tetapi jiwa merasa tak terbatas, seimbang di ujung dahan yang menjulang tinggi.
Keadaan ini memicu apa yang disebut para ahli sebagai *biophilia trance*, di mana kecintaan bawaan manusia terhadap alam mencapai titik jenuh. Kita menjadi sangat selaras sehingga batas antara diri dan hutan menghilang. Angin yang menggerakkan dedaunan terasa seperti nafas kita sendiri; jeritan kera yang jauh terasa seperti resonansi emosi terpendam. Hutan menjadi cermin sempurna yang merefleksikan kedalaman dan kerumitan batin kita sendiri. Dan di atas semua itu, Enggang, sang pengawas yang tenang, memastikan bahwa pelepasan ini berlangsung dengan hormat dan terstruktur.
Perasaan mabuk, dalam konteks ini, adalah penolakan terhadap pemisahan. Ia adalah penegasan kembali bahwa manusia adalah produk hutan, bukan penguasanya. Kekuatan spiritual yang diperoleh dari pengalaman ini memungkinkan para leluhur untuk menghadapi tantangan hidup dengan kerendahan hati dan ketahanan yang luar biasa. Mereka telah diuji oleh ketinggian dan disucikan oleh penglihatan agung Enggang. Memori akan 'mabuk lalu' ini adalah warisan terpenting mereka: pengetahuan bahwa obat untuk jiwa yang sakit terletak pada penyerahan diri total kepada alam yang kejam namun indah.
Inti dari seluruh narasi ini adalah bahwa 'mabuk di enggang lalu' bukanlah akhir dari sebuah perjalanan, melainkan permulaan dari sebuah warisan. Ekstasi yang dialami di kanopi tinggi mengalir ke bawah, membentuk budaya, hukum adat, dan cara pandang terhadap dunia. Ritual-ritual besar, seperti tarian perang atau upacara panen, sering kali menirukan gerakan Enggang, mencoba memanggil kembali keadaan spiritual yang pernah dialami di atas. Melalui tarian dan ukiran, komunitas berusaha mengabadikan sensasi mabuk tersebut, menjadikannya dapat diakses bahkan bagi mereka yang tidak pernah mencapai kanopi tertinggi.
Warisan ini menekankan bahwa kerentanan adalah sumber kekuatan. Untuk mencapai 'mabuk' yang suci, seseorang harus berani meninggalkan keamanan, menantang vertigo, dan menerima keindahan yang mematikan. Ini mengajarkan bahwa pemahaman sejati sering kali datang melalui pengalaman yang menantang batas-batas fisik dan psikologis. Dalam kebudayaan yang menghormati Enggang, kegilaan yang terkontrol—yakni ekstasi—dianggap sebagai tanda kemurahan hati dewata, bukan penyakit.
Perjalanan 'lalu' ini adalah pengingat bahwa kita semua memiliki potensi untuk mencapai kesadaran yang diperkaya secara spiritual, asalkan kita bersedia menemukan 'Enggang' kita sendiri—titik tertinggi dan paling sunyi dalam hidup kita di mana kita dapat melepaskan beban dan membiarkan alam semesta membanjiri indra kita. Apakah Enggang itu gunung, lautan, ataukah hanya kedalaman batin kita sendiri, proses untuk mencapai 'mabuk' tetap sama: penyerahan total, resonansi sensorik yang berlebihan, dan penerimaan tanpa syarat terhadap chaos yang agung.
Sensasi mabuk itu adalah janji abadi: bahwa di luar batas-batas kehidupan biasa, di ketinggian tempat utusan surga terbang, terdapat dimensi realitas yang jauh lebih kaya dan lebih memuaskan. Dan memori akan sensasi itu, meskipun sudah 'lalu', terus menjadi mercusuar yang memandu pencarian spiritual kita hari ini. Kita terus mencari jejak mabuk tersebut dalam setiap perjalanan yang kita lakukan, dalam setiap hembusan angin yang menyerupai suara Enggang, dan dalam setiap kilatan cahaya yang menembus kanopi kehidupan kita yang sesak.
Intinya adalah bahwa ekstasi yang dialami adalah hadiah yang tak ternilai. Ia adalah pengakuan bahwa hidup, dalam segala kekejaman dan keindahannya, adalah fenomena yang layak membuat kita pusing, membuat kita melayang, membuat kita mabuk dalam makna yang paling agung. Ketika kita mengucapkan frasa 'mabuk di enggang lalu', kita tidak hanya berbicara tentang masa lalu; kita memanggil kembali energi tersebut ke masa kini, memohon agar kita diizinkan sekali lagi merasakan kegilaan spiritual yang hanya bisa diberikan oleh hutan purba dan penjaga langitnya yang megah. Inilah epik dari jiwa yang berani mencari kebenaran di atas awan, disucikan oleh kehadiran burung yang menjadi simbol keabadian.
***
Lalu, kita kembali pada pertanyaan mendasar: apakah mungkin mereplikasi ekstasi yang begitu murni di era teknologi ini? Jawabannya terletak pada upaya meniru kondisi Enggang itu sendiri. Kita harus mencari ketinggian dalam pengalaman kita, melepaskan diri dari distraksi permukaan, dan membiarkan diri kita dibombardir oleh keindahan yang tidak kita cari. Mungkin, 'mabuk di enggang lalu' adalah seruan untuk memutus hubungan dengan realitas yang ditenangkan, dan mencari kegembiraan yang brutal dan nyata dari dunia yang berdetak di luar kendali kita. Hanya dengan cara itu, kita dapat merasakan resonansi spiritual yang sama seperti para leluhur yang menari di dahan tinggi, mabuk oleh kehidupan, disaksikan oleh mata Enggang yang tajam.
Keseluruhan narasi ini—dari detail bau tanah, hingga suara jangkrik yang memekakkan, hingga vertigo yang disebabkan oleh pohon raksasa—berfungsi sebagai mantra yang berulang. Setiap kata adalah upaya untuk membangun kembali jembatan menuju kondisi kesadaran yang hilang. Pengalaman itu begitu padat, begitu kaya, sehingga satu-satunya kata yang dapat menampungnya adalah 'mabuk', sebuah kata yang, dalam konteks Enggang, dilepaskan dari konotasi negatifnya dan ditinggikan menjadi status spiritual tertinggi. Inilah kisah abadi tentang pencarian jiwa di tempat tertinggi, di mana batas antara bumi dan langit menjadi kabur, dan manusia untuk sesaat, menjadi dewa di kanopi.
***
Kita menutup eksplorasi ini dengan memahami bahwa warisan Enggang adalah warisan ekstasi yang tak terhindarkan. Siapa pun yang berinteraksi dengan hutan purba di tingkat ini akan membawa pulang beban keindahan yang memabukkan. Beban ini adalah hadiah terberat dan termanis yang pernah ada: pengetahuan bahwa kita pernah menjadi satu dengan segala sesuatu, sebuah ingatan yang kini hanya bisa dihidupkan kembali melalui kisah-kisah perjalanan 'lalu', perjalanan yang kita harap akan terus diulang oleh generasi mendatang sebelum suara Enggang hanya tinggal gema dari masa lalu yang terlupakan.