Machtsvorming: Analisis Komprehensif Struktur, Strategi, dan Proses Pembentukan Kekuasaan

Kekuasaan adalah entitas fundamental yang menyusun dan mendefinisikan tatanan sosial, politik, dan ekonomi. Namun, kekuasaan bukanlah fenomena statis; ia adalah hasil dari sebuah proses dinamis yang berkelanjutan, sebuah konstruksi yang terus-menerus diperjuangkan, dilegitimasi, dan dilembagakan. Proses pembentukan dan pelembagaan kekuasaan ini dalam bahasa Belanda dikenal sebagai machtsvorming. Memahami machtsvorming berarti menyelami inti dari bagaimana otoritas didistribusikan, bagaimana hierarki dipertahankan, dan bagaimana resistensi terhadap tatanan yang ada muncul.

Artikel ini akan mengupas secara mendalam berbagai dimensi machtsvorming, mulai dari landasan teoretis para pemikir klasik hingga manifestasinya dalam konteks kontemporer, termasuk peran teknologi, globalisasi, dan tantangan terhadap legitimasi di era modern. Analisis ini menekankan bahwa pembentukan kekuasaan tidak hanya melibatkan tindakan koersif atau paksaan, tetapi juga—dan yang lebih penting—proses rumit pembentukan konsensus, penyebaran ideologi, dan penguasaan infrastruktur sosial.

I. Definisi dan Landasan Teoretis Machtsvorming

Machtsvorming merujuk pada serangkaian mekanisme, strategi, dan institusionalisasi yang menghasilkan, mengkonsolidasikan, dan memelihara kapasitas entitas (individu, kelompok, atau negara) untuk memaksakan kehendaknya dan mengontrol perilaku subjek lainnya. Intinya, ini adalah proses transisi dari potensi kekuasaan (potestas) menjadi kekuasaan yang terlembaga dan diakui (auctoritas).

I.A. Max Weber: Kekuasaan, Otoritas, dan Legitimasi

Weber memberikan landasan paling berpengaruh dalam studi machtsvorming melalui pembedaan krusial antara kekuasaan (Macht) dan dominasi/otoritas (Herrschaft). Kekuasaan adalah kemampuan umum untuk memaksakan kehendak, bahkan melawan resistensi. Sebaliknya, otoritas adalah kekuasaan yang dilegitimasi; kekuasaan yang subjeknya meyakini bahwa penguasa memiliki hak moral atau hukum untuk memerintah.

Proses machtsvorming, menurut Weber, berpusat pada penciptaan legitimasi. Kekuasaan yang tidak sah memerlukan koersi terus-menerus yang mahal dan tidak stabil. Kekuasaan yang sah, atau otoritas, didasarkan pada salah satu dari tiga tipe murni legitimasi:

1. Tipe Tradisional (Traditional Authority)

Bentuk kekuasaan ini didasarkan pada keyakinan terhadap kesucian tradisi dan status turun-temurun. Pembentukan kekuasaan terjadi melalui penghormatan terhadap adat istiadat dan struktur hierarki masa lalu. Misalnya, sistem monarki atau feodalisme, di mana kekuasaan dibentuk dan diwariskan hanya karena "selalu demikian." Legitimasi tipe ini cenderung stabil tetapi resisten terhadap perubahan struktural dan modernisasi.

2. Tipe Karismatik (Charismatic Authority)

Kekuasaan ini timbul dari devosi terhadap kekudusan, kepahlawanan, atau kualitas luar biasa yang dipersepsikan dimiliki oleh pemimpin. Machtsvorming karismatik bersifat revolusioner, seringkali muncul di saat krisis untuk menantang tatanan tradisional atau rasional-legal yang sudah usang. Contohnya adalah nabi, pahlawan perang, atau diktator revolusioner. Tantangan utama dalam pembentukan kekuasaan karismatik adalah "rutinisasi karisma" (Routinization of Charisma), yaitu bagaimana kekuasaan personal seorang pemimpin diubah menjadi struktur birokrasi yang stabil dan impersonal setelah pemimpin tersebut tiada.

3. Tipe Rasional-Legal (Rational-Legal Authority)

Ini adalah dasar legitimasi negara modern dan birokrasi. Kekuasaan dibentuk melalui keyakinan terhadap legalitas pola aturan normatif dan hak mereka yang diangkat berdasarkan aturan tersebut untuk mengeluarkan perintah. Machtsvorming dalam konteks ini berpusat pada pembuatan konstitusi, kodifikasi hukum, dan pembentukan administrasi yang efisien dan impersonal. Stabilitas sistem ini bergantung pada kepatuhan subjek terhadap proses (prosedur) daripada terhadap pribadi penguasa.

I.B. Michel Foucault: Kekuasaan Produktif dan Pengetahuan

Pendekatan Foucault menawarkan perspektif radikal yang menolak pandangan Weberian yang berfokus pada Negara dan hukum. Bagi Foucault, machtsvorming tidak terjadi sebagai entitas terpusat yang dimiliki, tetapi sebagai jaringan hubungan yang bergerak, tidak pernah sepenuhnya dimiliki, dan selalu produktif.

1. Kekuasaan Disipliner (Disciplinary Power)

Kekuasaan dibentuk melalui teknik-teknik disiplin yang diterapkan pada tubuh individu di institusi seperti penjara, sekolah, rumah sakit, dan pabrik. Machtsvorming di sini adalah pembentukan subjek yang patuh, terstandarisasi, dan termonitor. Konsep Panopticon (sebuah arsitektur penjara yang memungkinkan pengawasan total) adalah metafora kunci, menunjukkan bahwa kekuasaan bekerja paling efektif ketika individu menginternalisasi pengawasan, sehingga menjadi pengawas bagi dirinya sendiri.

2. Kekuasaan/Pengetahuan (Power/Knowledge)

Foucault berargumen bahwa kekuasaan dan pengetahuan tidak dapat dipisahkan. Machtsvorming terjadi ketika pengetahuan (misalnya, ilmu kedokteran, kriminologi, psikologi) digunakan untuk mengklasifikasikan, menormalisasi, dan mengendalikan populasi. Siapa yang mendefinisikan ‘normal’ dan ‘menyimpang’ adalah yang memegang kekuasaan untuk membentuk realitas sosial.

PUSAT Institusi A Hukum Budaya Ekonomi

Ilustrasi 1: Jaringan Hubungan Kekuasaan (Machtsvorming)

II. Mekanisme dan Strategi Konsolidasi Kekuasaan

Proses machtsvorming melibatkan adopsi strategi yang disengaja untuk mengubah potensi menjadi realitas kekuasaan yang berkelanjutan. Strategi-strategi ini beroperasi pada tingkat makro (negara) dan mikro (interaksi sosial).

II.A. Pembentukan Hegemoni dan Konsensus (Antonio Gramsci)

Konsolidasi kekuasaan paling efektif terjadi bukan melalui paksaan, tetapi melalui hegemoni. Gramsci mendefinisikan hegemoni sebagai kepemimpinan moral dan intelektual yang dicapai oleh kelas dominan melalui persetujuan aktif dari kelas subordinat. Dalam kerangka machtsvorming, strategi ini mengubah basis kekuasaan dari kekuatan fisik (militer, polisi) menjadi kekuatan budaya dan ideologis.

Pembentukan hegemoni melibatkan dua ranah utama:

  1. Masyarakat Politik (State): Ranah koersi dan kontrol hukum. Ini adalah cara kekuasaan ditampilkan secara terbuka melalui institusi yang sah untuk memaksa kepatuhan.
  2. Masyarakat Sipil (Civil Society): Ranah persetujuan, pendidikan, agama, dan media. Di sinilah nilai-nilai dominan ditanamkan, membuat tatanan yang ada terasa alami, tak terhindarkan, dan benar. Machtsvorming yang sukses memastikan bahwa masyarakat sipil berfungsi sebagai parit pertahanan ideologis bagi Negara.

Dengan demikian, machtsvorming adalah perjuangan ideologis yang tak berkesudahan untuk mendefinisikan ‘akal sehat’ (common sense) masyarakat. Ketika nilai-nilai dominan menjadi ‘akal sehat’, kekuasaan telah berhasil diinternalisasi.

II.B. Koersi dan Kekuatan Militer

Meskipun hegemoni sangat penting, koersi (paksaan) tetap menjadi fondasi ultimatif machtsvorming. Max Weber mendefinisikan Negara sebagai entitas yang berhasil memonopoli penggunaan kekerasan fisik yang sah di dalam batas-batas wilayahnya. Strategi koersif mencakup:

II.C. Pelembagaan Ekonomi dan Distribusi Sumber Daya

Kekuasaan ekonomi merupakan pilar penting dalam machtsvorming. Kontrol atas sumber daya (tanah, modal, tenaga kerja, energi) secara langsung membatasi pilihan dan otonomi subjek. Pelembagaan ekonomi yang mendukung kekuasaan meliputi:

Strategi-strategi ini saling terkait erat. Machtsvorming yang hanya mengandalkan koersi cenderung rapuh; yang stabil adalah yang berhasil mengintegrasikan hegemoni ideologis, legitimasi rasional-legal, dan kontrol atas sarana produksi dan koersi.

III. Machtsvorming dalam Konteks Negara Modern

Negara modern (the nation-state) adalah bentuk machtsvorming paling kompleks dan terinstitusionalisasi yang pernah ada. Kelahirannya melibatkan proses panjang yang disebut "pembangunan negara" (state-building) yang pada dasarnya merupakan perjuangan untuk sentralisasi kekuasaan dan penetrasi sosial.

III.A. Proses Sentralisasi dan Monopoli

Proses pembentukan kekuasaan negara modern sering dijelaskan oleh sejarawan seperti Charles Tilly sebagai hasil dari persaingan dan perang. Kekuasaan terbentuk melalui tiga monopoli vital:

  1. Monopoli Koersi: Menghilangkan kelompok bersenjata independen (misalnya, baron feodal, milisi swasta).
  2. Monopoli Pajak (Fiskal): Mengembangkan kapasitas untuk mengekstrak sumber daya secara efisien dan terpusat untuk mendanai koersi dan birokrasi.
  3. Monopoli Administrasi: Membangun birokrasi profesional yang mampu menjalankan kekuasaan secara impersonal dan meluas ke seluruh wilayah.

Keberhasilan dalam mencapai monopoli-monopoli ini adalah ukuran keberhasilan machtsvorming. Kekuasaan yang gagal terbentuk menghasilkan apa yang disebut "negara gagal," di mana monopoli koersi dan administrasi terpecah-pecah di antara berbagai aktor non-negara.

III.B. Birokrasi sebagai Instrumen Machtsvorming

Weber melihat birokrasi sebagai manifestasi paling murni dari otoritas rasional-legal. Birokrasi adalah instrumen machtsvorming karena ia:

Birokrasi, dalam esensinya, adalah mesin kekuasaan yang paling efisien. Ia meratakan perbedaan sosial dan kultural di hadapan perintah yang seragam, menjadikannya alat utama bagi Negara modern untuk menembus dan mengatur kehidupan warga negara. Setiap formulir, setiap prosedur, setiap tingkatan administrasi adalah perpanjangan dari proses machtsvorming sentral.

III.C. Kontrak Sosial dan Fiksi Kedaulatan

Secara filosofis, machtsvorming dalam negara modern seringkali dibenarkan oleh konsep Kontrak Sosial (Hobbes, Locke, Rousseau). Gagasan bahwa individu secara sukarela menyerahkan sebagian kebebasan mereka kepada entitas berdaulat (Negara) sebagai imbalan atas keamanan dan ketertiban. Walaupun ini mungkin fiksi historis, fiksi ini sangat penting untuk legitimasi. Machtsvorming mengabadikan fiksi ini melalui:

Kedaulatan, kapasitas tertinggi dan tak terbatas untuk membuat keputusan, adalah hasil akhir dari machtsvorming yang sukses.

Landasan Hukum & Legitimasi BIROKRASI & ADMINISTRASI KEKUASAAN

Ilustrasi 2: Arsitektur Machtsvorming Negara Modern

IV. Dimensi Machtsvorming dalam Lingkup Non-Negara

Meskipun studi kekuasaan sering terfokus pada Negara, machtsvorming juga terjadi secara intensif dan rumit di luar institusi formal pemerintah. Kekuasaan dibentuk dalam organisasi, perusahaan, dan bahkan dalam hubungan interpersonal.

IV.A. Machtsvorming dalam Korporasi Global

Di era globalisasi, korporasi multinasional telah mengembangkan bentuk machtsvorming yang melampaui batas kedaulatan nasional. Kekuasaan korporat dibentuk melalui:

  1. Kontrol Rantai Pasokan: Kekuatan untuk mendikte standar produksi, upah, dan lingkungan kerja di seluruh dunia, meskipun secara teknis korporasi tidak memiliki otoritas politik formal di negara-negara tersebut.
  2. Penguasaan Data dan Platform (Big Tech): Perusahaan teknologi besar memegang kekuasaan infrastruktur. Mereka membentuk realitas sosial dan politik melalui kontrol algoritma, yang menentukan informasi apa yang dilihat dan bagaimana interaksi sosial diformulasikan. Ini adalah bentuk machtsvorming yang sangat Foucauldian, di mana kekuasaan muncul dari penguasaan pengetahuan dan mekanisme disiplin digital.
  3. Lobi dan Pengaruh Politik: Penggunaan sumber daya keuangan untuk membentuk undang-undang dan kebijakan publik di berbagai negara, seringkali mengarah pada "negara regulasi" yang berpihak pada kepentingan korporat.

IV.B. Kekuasaan Simbolik dan Budaya (Pierre Bourdieu)

Bourdieu menjelaskan bagaimana machtsvorming terjadi melalui pembentukan dan distribusi modal simbolik. Kekuasaan simbolik adalah kemampuan untuk mendefinisikan realitas, untuk membuat kategori yang diterima secara sosial, dan untuk menyembunyikan hubungan kekuasaan yang sebenarnya, sehingga membuatnya tampak alami.

V. Tantangan dan Erosi Machtsvorming Kontemporer

Meskipun proses machtsvorming berupaya menciptakan stabilitas dan keabadian, kekuasaan selalu berada di bawah ancaman. Era kontemporer, ditandai oleh globalisasi hiperkonektivitas, menghadirkan tantangan baru yang mengikis basis tradisional legitimasi kekuasaan.

V.A. Erosi Kedaulatan Negara oleh Globalisasi

Globalisasi melemahkan machtsvorming tradisional Negara dengan menggeser pusat-pusat pengambilan keputusan ke tingkat supranasional (misalnya, organisasi internasional, perjanjian dagang) dan subnasional (misalnya, gerakan otonomi daerah). Kekuatan pasar, modal, dan informasi bergerak bebas, melampaui kemampuan Negara untuk mengendalikan mereka secara efektif.

Tantangan ini memaksa Negara untuk terlibat dalam machtsvorming yang lebih kompleks, yaitu mencoba membentuk kembali kekuasaan dalam aliansi transnasional, alih-alih mempertahankan kedaulatan absolut dalam batas teritorial.

V.B. Machtsvorming dalam Era Digital dan Post-Truth

Media sosial dan teknologi digital telah mengubah dinamika machtsvorming secara radikal. Kekuasaan dapat dibentuk dan dibongkar dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Namun, tantangan utamanya adalah krisis epistemologis: siapa yang memiliki otoritas untuk mendefinisikan kebenaran?

Fenomena ini menyoroti kerapuhan kekuasaan yang dibangun di atas informasi dan konsensus. Ketika informasi menjadi cair dan terpolarisasi, otoritas sentral kesulitan mempertahankan narasi hegemoni yang kohesif.

V.C. Resistensi dan Pembentukan Kekuasaan Tandingan (Counter-Machtsvorming)

Kekuasaan, menurut Foucault, selalu menghasilkan resistensi. Proses machtsvorming selalu disertai oleh pembentukan kekuasaan tandingan (counter-machtsvorming). Resistensi ini tidak hanya pasif, tetapi juga merupakan proses kreatif yang bertujuan untuk membentuk realitas alternatif dan struktur otoritas yang berbeda.

Bentuk-bentuk resistensi kontemporer yang menantang machtsvorming yang ada:

  1. Gerakan Sosial Transnasional: Kelompok aktivis yang beroperasi di luar batas negara untuk menantang kekuasaan korporat atau negara-negara otoriter (misalnya, gerakan iklim, hak asasi manusia).
  2. Ekspresi Budaya Subversif: Seni, musik, dan meme yang secara simbolis merusak otoritas dan menciptakan ruang alternatif bagi interpretasi dunia.
  3. Klausul Penarikan Diri (Exit Options): Individu atau kelompok yang secara fisik atau digital menarik diri dari yurisdiksi kekuasaan yang ada (misalnya, komunitas digital anonim, gerakan permakultur).

VI. Studi Kasus Profunditas dalam Machtsvorming

Untuk memahami kompleksitas machtsvorming, penting untuk mengaplikasikan kerangka teoretis pada kasus-kasus spesifik yang menunjukkan interaksi antara koersi, hegemoni, dan legitimasi.

VI.A. Peralihan dari Otoritas Karismatik ke Rasional-Legal

Salah satu momen krusial dalam sejarah politik adalah kegagalan atau keberhasilan pemimpin karismatik dalam menginstitusionalisasi warisan mereka. Ketika seorang pemimpin revolusioner (otoritas karismatik) wafat, kekuasaan yang mereka bentuk berisiko runtuh total. Machtsvorming yang sukses menuntut agar sistem yang dibangun atas dasar kepribadian diubah menjadi sistem yang didasarkan pada aturan (otoritas rasional-legal).

Proses rutinisasi ini melibatkan:

Jika rutinisasi gagal, kekuasaan yang terbentuk akan kembali ke dalam perang faksi atau kembali ke tatanan tradisional yang lebih tua, menunjukkan bahwa machtsvorming adalah proses yang sangat rentan terhadap kegagalan struktural.

VI.B. Machtsvorming dalam Rezim Otoriter yang Melembaga

Rezim otoriter modern sangat bergantung pada mekanisme machtsvorming yang canggih yang menggabungkan elemen koersi brutal dengan legitimasi semu. Mereka jarang hanya menggunakan kekerasan; sebaliknya, mereka menciptakan ilusi partisipasi.

Strategi konsolidasi kekuasaan mereka meliputi:

  1. Otoritarianisme Legalistik: Menggunakan kerangka hukum (parlemen, pengadilan) sebagai alat untuk menargetkan oposisi. Hukum tidak lagi menjadi pembatas kekuasaan, melainkan instrumennya.
  2. Kontrol Informasi Total: Monopoli atas narasi, penggunaan propaganda, dan penyensoran aktif untuk mencegah pembentukan kekuasaan tandingan di masyarakat sipil.
  3. Patronase dan Ko-optasi Elit: Membentuk jaringan loyalitas yang mengikat elit bisnis, militer, dan politik pada nasib penguasa, memastikan bahwa semua pemangku kepentingan utama memiliki kepentingan pribadi dalam kelangsungan kekuasaan. Ini adalah bentuk machtsvorming yang mengandalkan insentif materiil sebagai pengganti konsensus ideologis sejati.

VII. Filosofi Mendalam dan Implikasi Machtsvorming

Studi tentang machtsvorming pada akhirnya membawa kita pada pertanyaan filosofis mendasar tentang sifat manusia dan masyarakat. Apakah kekuasaan adalah kejahatan yang diperlukan, ataukah ia adalah kondisi eksistensi sosial itu sendiri?

VII.A. Kekuasaan sebagai Hubungan Asimetris

Machtsvorming selalu menghasilkan asimetri. Dalam setiap hubungan sosial—guru dan murid, atasan dan bawahan, negara dan warga negara—terdapat perbedaan kemampuan untuk memaksakan kehendak. Kekuasaan adalah hubungan, bukan substansi. Kekuasaan dibentuk oleh dinamika timbal balik ini. Jika subjek sepenuhnya menolak mengakui otoritas, kekuasaan penguasa akan lenyap.

Oleh karena itu, proses machtsvorming adalah upaya berkelanjutan penguasa untuk memperbesar dan melanggengkan asimetri ini, sementara resistensi adalah upaya subjek untuk mengurangi asimetri tersebut.

VII.B. Etika dan Penggunaan Kekuasaan

Pembentukan kekuasaan memunculkan dilema etika yang mendalam. Para pemikir politik telah lama berjuang dengan pertanyaan tentang bagaimana kekuasaan dapat digunakan secara adil. Jika machtsvorming secara inheren melibatkan dominasi dan koersi, bagaimana kita membedakan antara otoritas yang sah dan tirani?

Jawabannya seringkali terletak pada mekanisme akuntabilitas dan transparansi yang dilembagakan. Kekuasaan yang sah adalah kekuasaan yang secara terstruktur dan legal dapat dimintai pertanggungjawaban oleh subjeknya. Ketika mekanisme akuntabilitas (pemilu yang adil, pers yang bebas, peradilan yang independen) dihancurkan, proses machtsvorming bergeser dari legitimasi ke otoritarianisme murni.

Dalam konteks modern, akuntabilitas telah menjadi garis pertahanan pertama terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Tanpa akuntabilitas, legitimasi rasional-legal Weberian runtuh, dan yang tersisa hanyalah koersi yang dibungkus dalam jargon hukum.

Koersi Legitimasi MACHTSVORMING

Ilustrasi 3: Keseimbangan antara Koersi dan Legitimasi dalam Machtsvorming

VIII. Rekapitulasi Proses Machtsvorming

Machtsvorming adalah proses yang kompleks, berlapis, dan tak pernah selesai. Ia mencakup dimensi struktural, ideologis, dan koersif yang harus dipertahankan secara simultan agar kekuasaan tetap stabil dan efektif. Ringkasan dari proses pembentukan kekuasaan yang telah diuraikan adalah sebagai berikut:

VIII.A. Tahapan Kunci dalam Machtsvorming

  1. Inisiasi dan Klaim Awal: Munculnya potensi kekuasaan, seringkali melalui krisis yang menciptakan ruang bagi pemimpin karismatik atau kelompok revolusioner untuk mengklaim otoritas. Tahap ini sangat bergantung pada kekuatan personal dan mobilisasi emosional.
  2. Institusionalisasi (Rutinisasi): Mengubah klaim kekuasaan yang bersifat sementara atau karismatik menjadi struktur formal yang permanen—birokrasi, hukum, dan konstitusi. Ini adalah transisi dari Macht ke Herrschaft (otoritas).
  3. Penetrasi Sosial (Hegemoni): Meluaskan jangkauan kekuasaan melampaui paksaan, ke ranah budaya, pendidikan, dan media. Kekuasaan menjadi tertanam dalam norma dan nilai-nilai masyarakat sipil.
  4. Reproduksi dan Adaptasi: Memelihara kekuasaan dengan secara terus-menerus beradaptasi terhadap tantangan internal (korupsi, inefisiensi) dan eksternal (globalisasi, teknologi). Kekuasaan harus terus-menerus mendefinisikan ulang legitimasi di mata subjeknya.

Setiap kegagalan di salah satu tahapan ini dapat menyebabkan delegitimasi. Sebuah kekuasaan yang terlalu mengandalkan institusi (tahap 2) mungkin kehilangan dukungan rakyat (gagal tahap 3). Kekuasaan yang terlalu mengandalkan karisma (tahap 1) akan runtuh tanpa rutinisasi yang efektif.

VIII.B. Implikasi Abadi Kekuasaan

Studi machtsvorming mengajarkan kita bahwa kekuasaan tidak pernah netral. Pembentukannya selalu menghasilkan inklusi dan eksklusi, penghargaan dan hukuman. Ia adalah mesin yang menghasilkan tatanan, namun tatanan ini selalu memiliki biaya yang ditanggung oleh kelompok-kelompok yang termarjinalkan atau didominasi.

Dalam dunia yang semakin terkoneksi dan terfragmentasi, proses machtsvorming menghadapi dilema baru: bagaimana mengkonsolidasikan kekuasaan di hadapan transparansi total dan kecepatan disinformasi? Jawabannya mungkin terletak pada pergeseran fokus. Kekuasaan di masa depan mungkin tidak lagi berpusat pada kepemilikan teritorial atau senjata, tetapi pada penguasaan algoritma, data, dan kemampuan untuk memproduksi serta mengontrol kenyamanan dan ketakutan digital.

Pada akhirnya, machtsvorming adalah kisah abadi tentang bagaimana manusia mengatur diri mereka sendiri, bagaimana mereka memilih untuk mematuhi atau melawan, dan bagaimana struktur yang tampaknya kokoh selalu, pada tingkat fondasionalnya, merupakan konstruksi sosial yang rentan terhadap perubahan dan resistensi yang konstan.

Kajian mendalam ini menegaskan bahwa untuk memahami masyarakat dan politik, kita harus terlebih dahulu mengurai seluk-beluk machtsvorming, proses vital yang membentuk seluruh realitas kita.