Konsep Mahkamah Dunia, dalam pengertiannya yang paling luas, mencakup serangkaian institusi yudisial yang berfungsi sebagai jangkar bagi tatanan hukum internasional. Institusi-institusi ini, yang paling menonjol adalah Mahkamah Internasional (International Court of Justice - ICJ) di Den Haag, merupakan manifestasi kolektif dari keinginan global untuk menyelesaikan perselisihan antarnegara, menginterpretasikan traktat, dan menuntut individu atas kejahatan paling serius, sembari mengakui batas-batas kedaulatan nasional yang telah lama dipelihara. Keberadaan Mahkamah Dunia adalah penanda evolusi peradaban manusia dari penyelesaian konflik melalui kekuatan militer menuju supremasi hukum, meskipun jalannya dipenuhi tantangan geopolitik yang kompleks dan resistensi implementasi putusan.
Dalam analisis ini, kita akan menyelami kedalaman fungsi Mahkamah Dunia, mengidentifikasi perbedaan krusial antara lembaga-lembaga utamanya—ICJ yang fokus pada sengketa negara dan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court - ICC) yang mengejar kejahatan individu—serta menguji bagaimana tantangan kontemporer menguji ketahanan dan relevansi institusi yudisial global ini di tengah perubahan dinamika kekuasaan dunia.
Gagasan untuk memiliki forum netral di mana negara-negara dapat menyelesaikan perbedaan mereka tanpa perang bukanlah konsep modern semata, melainkan evolusi yang berakar pada praktik arbitrase kuno. Namun, Mahkamah Dunia dalam bentuknya yang terstruktur dan permanen baru mulai terbentuk pada awal abad ke-20, didorong oleh kebutuhan mendesak untuk menciptakan sistem keamanan kolektif setelah bencana konflik global. Sejarah yudisial internasional dapat diurai melalui beberapa fase kunci yang menandai pergeseran paradigma dari arbitrase ad-hoc menjadi keadilan institusional yang permanen dan universal.
Pada awalnya, hukum internasional sangat bergantung pada arbitrase, di mana pihak-pihak yang bersengketa setuju untuk menyerahkan kasus mereka kepada pihak ketiga yang netral. Contoh klasik adalah Kasus Alabama pada pertengahan abad ke-19 antara Amerika Serikat dan Inggris. Namun, arbitrase memiliki kelemahan mendasar: sifatnya yang sementara dan kurangnya kerangka hukum yang konsisten. Konferensi Perdamaian Den Haag tahun 1899 dan 1907 mencoba mengatasi ini dengan mendirikan Mahkamah Arbitrase Permanen (Permanent Court of Arbitration - PCA). Meskipun disebut ‘Permanen,’ PCA sebenarnya adalah daftar hakim yang dapat dipilih oleh negara-negara, bukan pengadilan yang berfungsi penuh dengan hakim yang duduk secara reguler.
Kebutuhan akan Mahkamah yang benar-benar permanen, yang mengembangkan jurisprudensi yang stabil dan konsisten, menjadi jelas setelah Perang Dunia I. Inilah yang melahirkan pendahulu langsung ICJ, yaitu Mahkamah Permanen Internasional (Permanent Court of International Justice - PCIJ), yang didirikan di bawah naungan Liga Bangsa-Bangsa. PCIJ mulai beroperasi dan berhasil menyelesaikan banyak kasus penting, meletakkan dasar bagi metodologi yudisial internasional modern, termasuk pengembangan interpretasi traktat dan hukum kebiasaan internasional.
Ketika Liga Bangsa-Bangsa runtuh dan Perang Dunia II meletus, PCIJ ikut melemah. Setelah perang, komunitas internasional bertekad untuk membangun sistem yang lebih kuat dan inklusif. Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang ditandatangani di San Francisco pada tahun 1945, menyediakan kerangka untuk mendirikan Mahkamah Internasional (ICJ) sebagai salah satu dari enam organ utama PBB. ICJ secara efektif mengambil alih peran dan statuta PCIJ, dengan amandemen minor untuk mencerminkan struktur PBB yang baru. Perubahan ini menandai konfirmasi permanen kedaulatan hukum internasional dalam struktur tata kelola global, menempatkan ICJ di pusat sistem PBB dan memberikannya otoritas yang belum pernah ada sebelumnya sebagai ‘Pengadilan Dunia’.
Struktur dualistik ini, di mana lembaga hukum inheren terikat pada badan politik terbesar di dunia (PBB), memberikan ICJ legitimasi universal, tetapi pada saat yang sama, memaparkannya pada tekanan geopolitik yang intens. Pembentukan ini juga secara tegas memisahkan penanganan sengketa antarnegara (ICJ) dari penuntutan individu, sebuah konsep yang baru matang beberapa dekade kemudian dengan pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
Penting untuk dipahami bahwa transisi historis ini tidak hanya sekedar pergantian nama. Transisi dari PCIJ ke ICJ membawa serta peningkatan harapan akan universalitas. Semua anggota PBB secara otomatis menjadi pihak pada Statuta ICJ, sebuah langkah yang memastikan bahwa dasar hukum Mahkamah ini mencakup hampir setiap negara berdaulat di dunia. Ini adalah langkah maju yang signifikan menuju konsolidasi hukum internasional sebagai instrumen tata kelola, bukan hanya kesepakatan ad-hoc di antara kekuatan besar.
Mahkamah Internasional (ICJ), yang berkedudukan di Peace Palace, Den Haag, adalah badan yudisial utama PBB. Fungsinya secara eksplisit didefinisikan dalam Bab XIV Piagam PBB dan Statuta ICJ. ICJ adalah pengadilan hukum publik internasional par excellence, dengan yurisdiksi yang sangat spesifik dan, yang paling penting, terbatas pada sengketa antarnegara. Ini adalah forum tertinggi di mana kedaulatan negara bertemu dengan tuntutan hukum universal.
ICJ terdiri dari 15 hakim, yang dipilih untuk masa jabatan sembilan tahun. Mereka dipilih oleh Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan PBB yang bersidang secara independen, namun harus menghasilkan kandidat yang sama. Proses pemilihan ini dirancang untuk memastikan representasi geografis yang adil dan berbagai sistem hukum utama di dunia. Idealnya, komposisi Mahkamah harus mencerminkan “peradaban-peradaban utama dunia dan sistem-sistem hukum utamanya.” Hal ini adalah upaya untuk mencegah Mahkamah dianggap sebagai alat negara-negara tertentu saja.
Syarat bagi hakim ICJ sangat ketat: mereka harus memiliki moralitas tinggi dan memenuhi syarat untuk jabatan yudisial tertinggi di negara asal mereka, atau mereka adalah ahli hukum internasional dengan kompetensi yang diakui. Ini menegaskan bahwa ICJ adalah badan yang didedikasikan untuk keunggulan dan netralitas yudisial. Walaupun hakim dipilih oleh organ politik PBB, Statuta menegaskan bahwa hakim harus bertindak secara independen, tidak mewakili negara mereka, dan tidak boleh terlibat dalam kegiatan lain selama masa jabatan mereka.
Salah satu fitur unik Statuta ICJ adalah ketentuan mengenai hakim ad-hoc. Jika Mahkamah tidak menyertakan hakim berkebangsaan salah satu negara pihak dalam sengketa, negara tersebut berhak memilih seorang hakim ad-hoc untuk kasus tersebut. Ini memastikan bahwa setidaknya ada satu suara di Mahkamah yang memiliki latar belakang dan pemahaman hukum domestik negara yang bersengketa. Meskipun hakim ad-hoc bertugas untuk kasus tertentu dan harus tetap imparsial, kehadiran mereka membantu meyakinkan negara yang bersengketa bahwa proses tersebut adil dan diinformasikan secara memadai.
Yurisdiksi ICJ sangat terbatas, yang merupakan cerminan hormat terhadap kedaulatan negara. ICJ tidak dapat mengambil yurisdiksi atas suatu kasus kecuali semua pihak yang bersengketa secara eksplisit atau implisit telah memberikan persetujuan mereka. Yurisdiksi Mahkamah terbagi menjadi dua kategori utama:
Ini adalah sengketa antarnegara. Hanya negara yang dapat menjadi pihak di hadapan ICJ. Individu, organisasi non-pemerintah, atau organisasi internasional (termasuk PBB sendiri) tidak dapat mengajukan kasus kontensius. Yurisdiksi dalam kasus kontensius didasarkan pada empat pilar persetujuan negara:
Sifat sukarela yurisdiksi ini adalah sumber kekuatan sekaligus kelemahan ICJ. Kekuatan, karena putusan yang dikeluarkan memiliki legitimasi moral yang tinggi karena didasarkan pada persetujuan. Kelemahan, karena negara yang paling berpotensi untuk menjadi terdakwa seringkali tidak menerima yurisdiksi wajib, sehingga membatasi cakupan penyelesaian sengketa di Mahkamah.
ICJ juga memiliki fungsi untuk mengeluarkan Opini Nasihat (Advisory Opinions) mengenai pertanyaan hukum atas permintaan organ atau badan PBB yang berwenang (terutama Majelis Umum dan Dewan Keamanan). Opini ini tidak mengikat secara hukum seperti putusan kontensius, tetapi memiliki otoritas moral dan hukum yang sangat besar. Opini Nasihat membantu klarifikasi hukum internasional yang samar-samar, seperti isu terkait penggunaan senjata nuklir, konsekuensi hukum pembangunan tembok di wilayah pendudukan, atau isu keanggotaan PBB.
Meskipun Opini Nasihat tidak mengikat negara secara langsung, seringkali pertanyaan yang diajukan memiliki implikasi geopolitik yang mendalam. Misalnya, Opini tentang Legality of the Threat or Use of Nuclear Weapons (1996) yang menggarisbawahi kompleksitas penerapan hukum humaniter internasional di era senjata pemusnah massal, memaksa negara-negara kekuatan nuklir untuk meninjau kembali doktrin pertahanan mereka.
Pasal 38(1) Statuta ICJ mendefinisikan sumber-sumber hukum yang harus diterapkan Mahkamah dalam memutuskan sengketa. Pasal ini dianggap sebagai perumusan definitif dari sumber hukum internasional:
Penggunaan sumber-sumber hukum ini memerlukan kehati-hatian yang luar biasa dari Mahkamah, terutama dalam membedakan antara hukum kebiasaan yang benar-benar diterima (opinio juris) dan sekadar praktik atau kesopanan internasional. Proses ini, di mana Mahkamah secara efektif menciptakan atau mengukuhkan hukum kebiasaan, memberikan ICJ peran kuasi-legislatif dalam sistem internasional.
Prosedur di ICJ bersifat publik, meskipun Mahkamah dapat bersidang secara tertutup jika diperlukan. Prosesnya melibatkan fase tertulis (pertukaran memorial, counter-memorial, replies) dan fase lisan (sidang, pemeriksaan saksi, argumen). Salah satu instrumen prosedural paling penting adalah Indication of Provisional Measures (Tindakan Sementara).
Tindakan sementara adalah perintah mendesak yang dikeluarkan oleh Mahkamah untuk mencegah kerugian yang tidak dapat diperbaiki (irreparable prejudice) terhadap hak-hak pihak yang bersengketa, sambil menunggu putusan akhir. Meskipun Mahkamah seringkali ragu-ragu untuk bertindak tergesa-gesa, putusan tahun 2001 (LaGrand Case) dan 2004 (Avena Case) menegaskan bahwa tindakan sementara yang dikeluarkan oleh ICJ adalah mengikat secara hukum bagi negara-negara.
Putusan ICJ dalam kasus kontensius adalah mengikat dan final bagi pihak-pihak yang bersengketa (Pasal 59 dan 60 Statuta). Tidak ada mekanisme banding. Namun, implementasi putusan seringkali menjadi titik lemah utama sistem ini. ICJ tidak memiliki pasukan polisi atau mekanisme penegakan hukum internal.
Jika suatu negara gagal mematuhi putusan ICJ, pihak lain dapat membawa masalah tersebut ke Dewan Keamanan PBB. Dewan Keamanan, jika dianggap perlu, dapat mengeluarkan resolusi untuk mengambil tindakan, termasuk sanksi, untuk memastikan kepatuhan. Namun, mekanisme ini tunduk pada politik: jika negara yang melanggar adalah anggota tetap Dewan Keamanan (P5) atau sekutu dekatnya, penggunaan hak veto dapat secara efektif memblokir upaya penegakan hukum, memperlihatkan batas politik dari otoritas yudisial ICJ.
Contoh kegagalan implementasi yang terkenal adalah kasus Nicaragua v. United States (1986), di mana AS menolak yurisdiksi Mahkamah setelah putusan dikeluarkan dan menggunakan hak vetonya di Dewan Keamanan, menyoroti kenyataan bahwa bahkan putusan Mahkamah Dunia pun dapat diabaikan oleh negara-negara kuat, meskipun dengan biaya reputasi internasional yang signifikan.
Dalam konteks modern, kepatuhan sebagian besar didasarkan pada prinsip good faith dan kebutuhan negara untuk mempertahankan reputasi sebagai aktor yang menghormati hukum internasional. Hilangnya reputasi dapat merugikan hubungan diplomatik, perdagangan, dan investasi.
Untuk menguraikan kompleksitas yurisdiksi ICJ dan dampaknya terhadap kedaulatan, tabel berikut merangkum dimensi utama yang membedakan ICJ dalam ranah hukum internasional:
Aspek | Detail Yurisdiksi ICJ |
---|---|
Pihak yang Bersengketa | Hanya Negara Berdaulat. |
Sifat Yurisdiksi | Sukarela (membutuhkan persetujuan semua pihak). |
Jenis Putusan | Mengikat (Kontensius) dan Non-Mengikat (Nasihat). |
Fokus Kasus | Perselisihan batas wilayah, interpretasi traktat, pelanggaran hukum negara terhadap negara. |
Basis Penegakan | Didasarkan pada komitmen PBB, namun bergantung pada Dewan Keamanan PBB. |
Jika ICJ adalah Mahkamah yang berbicara kepada negara, Mahkamah Pidana Internasional (ICC), yang juga berlokasi di Den Haag, adalah lembaga yudisial yang berfungsi untuk meminta pertanggungjawaban individu. ICC berdiri di atas fondasi yang sangat berbeda dari ICJ. ICC didirikan oleh Traktat Roma tahun 1998, yang mulai berlaku pada tahun 2002, dan merupakan pengadilan permanen pertama yang didedikasikan untuk menuntut pelaku kejahatan internasional yang paling serius, yaitu kejahatan inti (core crimes).
ICC memiliki yurisdiksi atas empat kategori kejahatan, sebagaimana didefinisikan dalam Statuta Roma. Kejahatan-kejahatan ini dianggap begitu mengerikan sehingga mengancam perdamaian, keamanan, dan kesejahteraan dunia:
Mandat ICC secara fundamental berfokus pada individu, bukan negara. Mahkamah ini menegaskan bahwa kekebalan kepala negara atau pejabat tinggi tidak dapat digunakan sebagai tameng dari pertanggungjawaban pidana atas kejahatan inti. Ini adalah terobosan signifikan dari hukum internasional tradisional yang memberikan kekebalan mutlak kepada pejabat negara yang berkuasa.
Landasan filosofis ICC adalah Prinsip Komplementer (Principle of Complementarity). Ini berarti ICC bukanlah pengadilan yurisdiksi utama, melainkan pengadilan 'pilihan terakhir'. ICC hanya akan mengambil kasus jika sistem peradilan nasional:
Prinsip komplementer adalah penghormatan terhadap kedaulatan nasional; negara memiliki hak dan tanggung jawab utama untuk mengadili kejahatan di wilayah mereka. ICC hanya melangkah masuk ketika negara gagal memenuhi kewajiban ini secara tulus atau efektif. Hal ini memposisikan ICC sebagai jaring pengaman global, bukan sebagai pengganti sistem peradilan domestik.
Kriteria untuk menentukan ketidakmauan atau ketidakmampuan sangatlah kompleks, dan seringkali menjadi titik perdebatan sengit dalam prosedur awal ICC. Penyelidikan oleh Jaksa ICC harus mencakup penilaian mendalam mengenai kapasitas dan kemauan negara dalam menjalankan yurisdiksi pidana mereka sendiri. Sifat penyelidikan ini harus transparan dan akuntabel, sering kali melibatkan komunikasi langsung dengan otoritas negara yang bersangkutan.
Ada tiga cara utama sebuah kasus dapat diajukan ke hadapan ICC:
Mekanisme rujukan oleh Dewan Keamanan adalah yang paling kontroversial, karena memungkinkan ICC untuk menjangkau negara non-pihak, tetapi juga tunduk pada dinamika politik P5 (lima anggota tetap Dewan Keamanan yang memiliki hak veto).
Perbedaan paling mencolok antara ICC dan ICJ terletak pada fokus subjek hukum dan sifat sanksi. ICJ berurusan dengan perbaikan (reparasi, deklarasi hukum, penentuan batas) antara negara, sementara ICC berurusan dengan kebebasan individu (penahanan, penuntutan pidana, pemenjaraan).
ICC menghadapi tantangan geopolitik yang jauh lebih tajam daripada ICJ, terutama karena mandatnya untuk mengadili individu yang sering kali merupakan kepala negara atau komandan militer yang sedang berkuasa.
Beberapa negara besar, termasuk Amerika Serikat, Tiongkok, Rusia, dan India, menolak untuk menjadi pihak pada Statuta Roma. Mereka khawatir bahwa warga negara mereka dapat menjadi sasaran penuntutan bermotivasi politik. Penolakan ini menciptakan lubang besar dalam jaring keadilan global, terutama ketika kejahatan serius dilakukan oleh warga negara dari negara-negara non-pihak di wilayah non-pihak.
ICC tidak memiliki pasukan polisi sendiri. Mahkamah bergantung sepenuhnya pada kerja sama negara pihak untuk menangkap tersangka, mengumpulkan bukti, dan menegakkan hukuman. Ketika tersangka adalah kepala negara yang sedang berkuasa, kerja sama ini hampir mustahil. Proses ini menyoroti ketergantungan ICC pada diplomasi dan tekanan internasional.
Pada akhirnya, efektivitas ICC diukur bukan hanya dari jumlah putusan yang berhasil dikeluarkan, tetapi dari seberapa besar Mahkamah dapat berfungsi sebagai penghalang (deterrent) bagi pemimpin masa depan yang mungkin mempertimbangkan untuk melakukan kejahatan inti.
Pengalaman sejak berdirinya ICC menunjukkan bahwa Mahkamah telah berhasil menciptakan preseden hukum yang kuat, khususnya dalam definisi kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun, Mahkamah juga menghadapi kritik atas fokus geografisnya (sebagian besar kasus awalnya berasal dari Afrika), durasi persidangan yang panjang, dan biaya operasional yang tinggi. Untuk menjamin masa depannya, ICC harus mampu menunjukkan bahwa ia dapat mengatasi bias geografis dan berhasil menuntut kejahatan di wilayah yang dipengaruhi oleh konflik kekuatan besar.
Istilah 'Mahkamah Dunia' sering digunakan secara bergantian untuk ICJ dan ICC, namun ekosistem keadilan internasional jauh lebih luas, mencakup badan-badan sementara (ad-hoc) dan pengadilan regional yang memiliki peran spesifik dalam menegakkan segmen hukum internasional tertentu. Institusi-institusi ini melengkapi ICJ dan ICC dengan mengatasi kekosongan yurisdiksi dan menangani kejahatan yang terkait dengan konflik spesifik.
Sebelum ICC dibentuk, Dewan Keamanan PBB mendirikan dua pengadilan pidana internasional sementara untuk mengatasi kekejaman yang timbul dari konflik spesifik:
Keberhasilan Mahkamah Ad-Hoc ini, meskipun bersifat sementara, menunjukkan bahwa keadilan internasional dapat berfungsi di bawah tekanan politik yang besar. Pengalaman ICTY dan ICTR memberikan cetak biru prosedural dan substantif bagi pembentukan ICC, terutama dalam hal perlindungan saksi, penyelidikan di wilayah konflik, dan penuntutan kejahatan yang kompleks.
Setelah kedua pengadilan ad-hoc ini menyelesaikan pekerjaan intinya, PBB mendirikan Mekanisme Residual Internasional untuk Pengadilan Kriminal (IRMCT) untuk menyelesaikan pekerjaan yang tersisa, termasuk banding, manajemen arsip, dan perlindungan saksi.
Respons terhadap konflik seringkali membutuhkan solusi yudisial yang menggabungkan elemen internasional dan domestik, menghasilkan Mahkamah Hibrida (Hybrid Courts). Mahkamah ini dibentuk melalui perjanjian antara PBB dan negara yang bersangkutan, menerapkan hukum domestik dan internasional, dan memiliki staf yang terdiri dari hakim serta jaksa domestik dan internasional. Contohnya termasuk:
Mahkamah Hibrida ini penting karena mereka tidak hanya menegakkan keadilan tetapi juga bertujuan untuk membangun kapasitas peradilan domestik, memastikan warisan keadilan yang berkelanjutan di negara-negara pasca-konflik.
Di luar badan-badan global, Mahkamah regional memainkan peran penting, terutama dalam penegakan hak asasi manusia:
Mahkamah-mahkamah regional ini memiliki kekuatan yang lebih besar atas negara anggotanya dalam hal hak asasi manusia dibandingkan ICJ atau ICC, seringkali menghasilkan putusan yang lebih cepat dan memiliki dampak domestik yang lebih langsung. Mereka mencerminkan kemampuan sistem hukum internasional untuk beradaptasi dan menerapkan standar global melalui mekanisme regional yang spesifik dan terperinci.
Inti dari debat tentang Mahkamah Dunia selalu terletak pada ketegangan abadi antara kedaulatan negara (prinsip non-intervensi dalam urusan domestik) dan kebutuhan untuk menegakkan hukum internasional yang universal. Kedua pilar utama, ICJ dan ICC, harus menavigasi medan politik yang berbahaya ini, di mana legitimasi hukum mereka berulang kali dipertanyakan oleh negara-negara yang menolak intervensi eksternal.
Menurut Teori Hukum Internasional Klasik, negara berdaulat secara mutlak di dalam batas-batas teritorialnya. Mahkamah Dunia, bagaimanapun, beroperasi berdasarkan premis bahwa kedaulatan tidaklah absolut, melainkan dibatasi oleh kewajiban yang telah disepakati oleh negara itu sendiri (misalnya, melalui traktat atau hukum kebiasaan).
ICJ menghormati kedaulatan melalui mekanisme yurisdiksi sukarela. Negara harus setuju untuk diadili. Jika negara belum memberikan persetujuannya, ICJ tidak dapat menyentuh sengketa tersebut. Ini adalah modus vivendi yang memungkinkan ICJ berfungsi tanpa secara fundamental menantang kedaulatan negara. Namun, pendekatan ini menimbulkan kritik bahwa ICJ hanya dapat menjangkau sengketa 'lunak' di mana negara-negara sudah bersedia bekerja sama.
Sebaliknya, ICC secara eksplisit menantang kedaulatan dalam kasus kejahatan inti. Prinsip komplementer adalah upaya untuk mendamaikan tantangan ini: ICC menegaskan bahwa kedaulatan mencakup tanggung jawab untuk menghukum kejahatan massal; jika kedaulatan gagal menjalankan tanggung jawab itu, maka ICC akan mengambil alih, menunjukkan bahwa kedaulatan yang gagal tidak dapat menjadi perlindungan dari impunitas.
Pengaruh politik yang paling jelas terlihat dalam keterkaitan ICJ dan ICC dengan Dewan Keamanan PBB (DK PBB). Seperti yang telah disinggung, penegakan putusan ICJ bergantung pada DK PBB, dan DK PBB memiliki kekuatan untuk merujuk situasi ke ICC, termasuk situasi yang melibatkan negara non-pihak.
Keterlibatan DK PBB berarti bahwa keputusan Mahkamah seringkali disaring melalui lensa geopolitik dan kepentingan nasional lima anggota tetap (P5). Hak veto yang dimiliki P5 dapat digunakan untuk melindungi sekutu dari penegakan ICJ atau dari penyelidikan ICC (dengan menunda atau memblokir rujukan). Situasi ini telah menyebabkan tuduhan selektivitas dalam keadilan internasional, di mana keadilan tampaknya hanya dapat diterapkan kepada negara-negara yang tidak memiliki pelindung veto.
Kritik ini mendorong seruan bagi Mahkamah untuk lebih jauh memisahkan diri dari politik PBB. Namun, realitasnya adalah bahwa tanpa dukungan DK PBB, Mahkamah Dunia akan kesulitan untuk menegakkan putusannya terhadap negara-negara yang menolak, menjebak institusi yudisial ini dalam dilema struktural yang sulit dipecahkan.
Hukum internasional berusaha untuk menjadi universal, namun pada praktiknya, negara-negara sering menggunakan reservasi (pembatasan) pada traktat untuk membatasi ruang lingkup kewajiban mereka. Dalam Statuta ICJ, ini seringkali berbentuk pengecualian pada Deklarasi Opsional, di mana negara menolak yurisdiksi atas sengketa tertentu (misalnya, sengketa yang terjadi sebelum tanggal tertentu).
Reservasi ini, meskipun sah secara hukum, melemahkan konsistensi hukum dan menciptakan kerumitan prosedural yang besar. Tantangan bagi Mahkamah adalah untuk menafsirkan traktat dan hukum kebiasaan internasional dengan cara yang menghormati kerangka hukum yang telah disepakati oleh negara-negara, sambil pada saat yang sama mendorong kepatuhan terhadap standar internasional tertinggi.
Dalam konteks ICC, isu yang muncul adalah keberatan Pasal 98 Statuta Roma, di mana negara pihak dilarang untuk menyerahkan warga negara negara non-pihak kepada ICC jika penyerahan itu melanggar perjanjian kekebalan antara negara pihak dan negara non-pihak. Ini adalah contoh konkret bagaimana kedaulatan (dalam bentuk perjanjian bilateral) dapat menghalangi penegakan hukum internasional pidana.
Untuk memahami dampak nyata Mahkamah Dunia, perlu dianalisis beberapa studi kasus yang menunjukkan kapasitas dan keterbatasan lembaga-lembaga ini dalam memengaruhi hubungan internasional dan keadilan.
ICJ seringkali paling efektif dalam menyelesaikan sengketa teritorial dan batas maritim. Kasus-kasus ini, seperti sengketa antara Peru dan Chili (2014) atau sengketa Pulau Kasikili/Sedudu antara Botswana dan Namibia (1999), menunjukkan bagaimana negara-negara dapat menggunakan Mahkamah sebagai alternatif yang damai dan final untuk konflik yang mungkin memicu perang.
Contoh signifikan adalah kasus Nicaragua v. Colombia (2012) mengenai sengketa teritorial dan maritim di Karibia. ICJ memutuskan untuk memberikan sebagian besar wilayah maritim kepada Nikaragua. Meskipun Kolombia menolak untuk mematuhi putusan tersebut, setidaknya di awal, putusan ICJ berfungsi sebagai deklarasi hukum yang jelas, yang selanjutnya membatasi ruang gerak politik Kolombia dan memberikan legitimasi bagi klaim Nikaragua di mata dunia.
Kasus-kasus penetapan batas wilayah ini seringkali sukses dalam hal implementasi karena negara-negara memiliki insentif yang besar untuk mendapatkan kepastian hukum atas wilayah mereka, yang vital untuk eksploitasi sumber daya alam seperti minyak dan gas.
Dalam beberapa tahun terakhir, ICJ telah mengambil peran yang semakin penting dalam kasus-kasus yang sangat politis, khususnya yang berkaitan dengan Konvensi Genosida. Kasus Bosnia and Herzegovina v. Serbia and Montenegro (2007) adalah yang pertama di mana ICJ memutuskan bahwa suatu negara melanggar kewajibannya di bawah Konvensi Genosida (dengan tidak mencegah dan menghukum genosida di Srebrenica), meskipun ICJ menemukan bahwa Serbia tidak secara langsung melakukan genosida itu sendiri.
Isu genosida menjadi lebih menonjol dengan kasus yang sangat sensitif yang dibawa baru-baru ini. Ketika sebuah negara meminta tindakan sementara dari ICJ, putusan Mahkamah menarik perhatian global yang luar biasa, terlepas dari apakah putusan akhir telah dicapai atau belum. Perintah tindakan sementara secara efektif menciptakan tekanan publik dan politik yang intens terhadap negara yang dituntut.
Putusan ini menegaskan bahwa yurisdiksi ICJ tidak hanya terbatas pada sengketa batas kedaulatan, tetapi juga meluas ke pelanggaran kewajiban erga omnes partes, yaitu kewajiban yang dimiliki oleh negara terhadap komunitas internasional secara keseluruhan, seperti kewajiban di bawah Konvensi Genosida.
ICC telah menciptakan sejarah dengan menuntut beberapa kepala negara yang sedang atau pernah berkuasa, memperkuat prinsip bahwa tidak ada kekebalan bagi pelaku kejahatan inti. Kasus Omar al-Bashir (mantan Presiden Sudan) adalah contoh di mana ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan atas tuduhan genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Meskipun al-Bashir berhasil menghindari penangkapan selama bertahun-tahun, surat perintah tersebut membatasi perjalanan dan aktivitas diplomatiknya, menunjukkan efek isolasi hukum dan politik yang dapat diberikan ICC.
ICC juga berhasil mencapai vonis terhadap individu-individu kunci dalam konflik di Republik Demokratik Kongo dan Mali. Vonis-vonis ini, meskipun jumlahnya sedikit, berfungsi untuk memvalidasi peran Mahkamah dalam memberikan keadilan bagi korban yang sistem peradilan nasionalnya telah gagal.
Namun, tantangan dalam kasus ICC seringkali terkait dengan kompleksitas bukti. Kejahatan inti terjadi dalam konteks konflik, membuat pengumpulan bukti menjadi berbahaya dan sulit. ICC harus memastikan bahwa putusannya didasarkan pada standar bukti yang sangat tinggi, sering kali menghadapi kesulitan dalam melindungi saksi di zona konflik dan mengamankan kerja sama negara.
Di era ketidakpastian geopolitik yang ditandai dengan kebangkitan nasionalisme dan keraguan terhadap institusi multilateral, Mahkamah Dunia menghadapi beberapa tantangan mendasar yang akan menentukan relevansi mereka di masa depan.
Semangat multilateralisme yang melahirkan ICJ dan ICC kini sedang diuji. Ketika negara-negara besar menarik diri atau menunjukkan ketidakpatuhan terhadap putusan internasional, hal itu menciptakan preseden yang berbahaya. Kebijakan "America First" atau penolakan dari kekuatan regional terhadap putusan ICJ/ICC secara keseluruhan mengikis fondasi normatif hukum internasional.
Untuk melawan tren ini, Mahkamah harus meningkatkan komunikasi mereka, menjelaskan bagaimana putusan hukum melayani kepentingan jangka panjang stabilitas global, bahkan bagi negara-negara yang tidak setuju dengan hasil tertentu. Kepatuhan tidak hanya berasal dari tekanan Dewan Keamanan, tetapi juga dari tekanan masyarakat sipil dan aktor non-negara lainnya.
Hukum internasional, yang sebagian besar dibentuk pada pertengahan abad ke-20, kesulitan untuk mengimbangi tantangan abad ke-21. Dua domain yang memerlukan klarifikasi yudisial adalah kejahatan siber (cyber warfare) dan keadilan iklim.
Meskipun ICJ tidak dapat menerima kasus langsung dari NGO atau individu, tekanan publik telah memunculkan perdebatan tentang peran ICJ dalam klarifikasi kewajiban negara terkait dampak perubahan iklim. Opini Nasihat dapat menjadi sarana untuk menjembatani kesenjangan ini, misalnya dengan memperjelas kewajiban due diligence negara untuk mencegah kerusakan lingkungan lintas batas.
Demikian pula, kejahatan siber yang disponsori negara menimbulkan pertanyaan yurisdiksi dan pertanggungjawaban di bawah hukum internasional yang ada. Apakah serangan siber tertentu dapat dianggap sebagai penggunaan kekuatan (Pasal 2(4) Piagam PBB) atau bahkan agresi (yurisdiksi ICC)? Mahkamah Dunia harus siap untuk menafsirkan aturan lama dalam konteks teknologi baru.
Kedua Mahkamah menghadapi kritik mengenai efisiensi dan durasi proses. Kasus ICC seringkali membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk diselidiki dan diadili, yang dapat menyebabkan kelelahan pada korban dan biaya yang tidak berkelanjutan. Ada kebutuhan mendesak untuk reformasi prosedural yang memungkinkan Mahkamah untuk bekerja lebih cepat tanpa mengorbankan standar keadilan yang ketat. Ini termasuk:
Salah satu kritik abadi terhadap Mahkamah Dunia adalah jarak geografis dan psikologisnya dari korban kejahatan. Bagi korban di Afrika atau Asia, Den Haag terasa sangat jauh. Masa depan Mahkamah Dunia harus mencakup upaya yang lebih besar untuk mendekatkan proses keadilan, baik melalui sidang di tempat kejadian (seperti yang dilakukan oleh Mahkamah Hibrida) atau melalui mekanisme reparasi yang lebih efektif dan cepat. ICC memiliki peran unik di sini, dengan Dana Perwalian untuk Korban (Trust Fund for Victims) yang bertujuan memberikan reparasi dan rehabilitasi kepada mereka yang terkena dampak kejahatan inti.
Penguatan peran korban dalam proses, bukan hanya sebagai saksi tetapi sebagai pihak yang kepentingannya diwakili, adalah kunci untuk membangun legitimasi lokal bagi Mahkamah Dunia.
Mahkamah Dunia—baik ICJ dengan fokusnya pada stabilitas antarnegara, maupun ICC dengan penekanannya pada akuntabilitas individu—bukanlah institusi yang sempurna. Mereka bekerja dalam batasan yang ketat yang ditetapkan oleh realitas kedaulatan negara dan politik kekuasaan. Kegagalan mereka seringkali disorot secara dramatis, tetapi keberhasilan mereka, yang seringkali bersifat preventif atau deklaratif, adalah fondasi di mana hubungan internasional yang damai dibangun.
Kehadiran Mahkamah Dunia berfungsi sebagai penegasan normatif bahwa tidak ada negara atau individu yang berada di atas hukum, meskipun penegakan hukum tersebut mungkin membutuhkan waktu dan diplomasi yang besar. ICJ memastikan bahwa sengketa batas diselesaikan di ruang sidang dan bukan di medan perang, sementara ICC memberikan harapan bahwa kejahatan paling serius terhadap kemanusiaan tidak akan dibiarkan tanpa hukuman.
Di tengah tatanan global yang semakin terfragmentasi, peran Mahkamah Dunia sebagai penjaga supremasi hukum internasional menjadi semakin krusial. Kelangsungan dan efektivitas mereka akan terus bergantung pada komitmen negara-negara—khususnya negara-negara kuat—untuk menerima bahwa kepentingan jangka panjang dari tatanan berbasis aturan lebih besar daripada keuntungan politik jangka pendek yang diperoleh dari penolakan terhadap hukum. Mahkamah Dunia adalah cerminan dari kemauan kolektif dunia untuk menuju keadilan, dan selama kemauan itu ada, Mahkamah akan tetap menjadi pilar yang tak tergantikan dalam arsitektur global.
Tantangan yang menanti ke depan menuntut Mahkamah untuk menjadi lebih gesit, lebih representatif, dan lebih teguh dalam menghadapi tekanan. Namun, mekanisme yudisial yang telah dirancang dengan cermat ini, yang beroperasi di bawah prinsip imparsialitas dan hukum, memberikan jalan keluar yang damai dan berprinsip dari kekacauan konflik dan impunitas.
Dengan terus mengembangkan jurisprudensi, Mahkamah Dunia tidak hanya menyelesaikan sengketa yang ada, tetapi juga secara aktif membentuk dan mendefinisikan apa artinya menjadi anggota komunitas internasional yang bertanggung jawab. Ini adalah pekerjaan abadi yang mendefinisikan kemajuan etika dan hukum peradaban manusia.
***
Perluasan mendalam mengenai kompleksitas kasus ICC, khususnya dalam hal pertanggungjawaban komando dan hirarki. Dalam banyak kasus ICC, penuntutan tidak berfokus pada prajurit rendahan, melainkan pada mereka yang berada di puncak rantai komando. Prinsip pertanggungjawaban komando (command responsibility) mengharuskan Jaksa untuk membuktikan bahwa atasan (militer atau sipil) mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa bawahannya melakukan kejahatan dan gagal mengambil langkah-langkah yang wajar untuk mencegah atau menghukum kejahatan tersebut. Pembuktian ini sangat menantang, seringkali melibatkan analisis mendalam terhadap dokumen militer, catatan komunikasi, dan kesaksian dari orang dalam (insiders). Keterlambatan dalam proses persidangan seringkali muncul dari tahapan ini, di mana pertahanan meminta penyingkapan dokumen yang masif dan pemeriksaan silang saksi ahli yang panjang. Oleh karena itu, ICC telah mengembangkan prosedur khusus untuk menangani kerumitan ini, termasuk penggunaan chambers pra-sidang yang kuat untuk menyaring bukti sebelum kasus dibawa ke persidangan penuh, sebuah praktik yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi tanpa mengurangi hak-hak terdakwa. Penggunaan teknologi forensik dan analisis data besar (big data) kini juga menjadi penting dalam upaya ICC untuk melacak dana ilegal dan pergerakan personel yang berkaitan dengan kejahatan inti. Ini menunjukkan bahwa Mahkamah Dunia terus beradaptasi dengan metode investigasi modern, sebuah keharusan dalam menuntut kejahatan di era digital.
Perluasan yurisdiksi dan pengakuan hukum kebiasaan dalam ICJ juga merupakan area studi yang kaya. Ketika ICJ mengeluarkan putusan, ia tidak hanya memutuskan kasus di tangan, tetapi juga memberikan otoritas pada norma hukum internasional. Misalnya, dalam kasus-kasus yang melibatkan kekebalan negara terhadap yurisdiksi pengadilan domestik (jurisdictional immunity), ICJ telah berulang kali menegaskan pentingnya hukum kebiasaan, bahkan ketika terdapat perjanjian bilateral yang bertentangan. Pengakuan hukum kebiasaan ini seringkali memiliki dampak yang lebih luas daripada interpretasi traktat, karena ia mengikat negara-negara secara universal, terlepas dari apakah mereka telah meratifikasi perjanjian tertentu. ICJ, melalui putusannya, berfungsi sebagai laboratorium di mana hukum kebiasaan diidentifikasi, dikristalisasi, dan ditegakkan. Kekuatan preseden ini, meskipun ICJ secara formal tidak menganut sistem preseden seperti dalam hukum umum, adalah sumber legitimasi hukum ICJ yang berkelanjutan, memastikan bahwa ia tetap relevan bagi seluruh komunitas negara, bahkan bagi mereka yang skeptis terhadap institusi multilateral. Misalnya, prinsip mengenai non-intervensi dan kedaulatan teritorial sering kali diperkuat dan didefinisikan ulang oleh putusan ICJ, yang menjadi panduan bagi hubungan diplomatik dan militer di seluruh dunia.
Tantangan terkait sumber daya dan pendanaan juga penting untuk diperhatikan. Operasional ICJ didanai oleh PBB, sementara ICC didanai oleh kontribusi negara pihak. Ketergantungan pada dana PBB berarti ICJ harus bersaing dengan kebutuhan mendesak PBB lainnya (seperti operasi penjaga perdamaian atau program bantuan kemanusiaan), yang dapat menyebabkan pembekuan anggaran atau penundaan dalam proses perekrutan staf. Bagi ICC, yang anggarannya bergantung pada keanggotaan Statuta Roma, krisis ekonomi atau penolakan kontribusi oleh negara pihak dapat secara langsung memengaruhi kemampuan Jaksa untuk memulai penyelidikan baru atau melanjutkan persidangan yang sedang berjalan. Diskusi tentang reformasi ICC sering kali mencakup ide untuk mendiversifikasi sumber pendanaan, mungkin melalui sumbangan sukarela dari yayasan swasta atau organisasi internasional non-pemerintah, untuk mengurangi kerentanan terhadap tekanan politik melalui anggaran negara. Efisiensi finansial Mahkamah Dunia harus dilihat sebagai bagian integral dari efisiensi yudisialnya, karena penundaan yang disebabkan oleh keterbatasan sumber daya sama merusaknya dengan penundaan prosedural. Institusi keadilan global membutuhkan jaminan sumber daya yang stabil dan memadai agar dapat menjalankan mandat mereka tanpa hambatan politik atau keuangan yang tidak semestinya.
Selain itu, mekanisme penyelesaian sengketa di bawah naungan PBB tidak hanya terbatas pada ICJ. Badan seperti Mahkamah Internasional Hukum Laut (ITLOS), yang didirikan di bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), juga memainkan peran spesifik dalam mengadili sengketa maritim. ITLOS, meskipun terpisah dari ICJ, seringkali berinteraksi dengan jurisprudensi ICJ, khususnya dalam isu delimitasi maritim dan isu-isu lingkungan laut. ITLOS memiliki yurisdiksi yang wajib dan lebih kuat dalam lingkup spesifiknya, termasuk kemampuan untuk memerintahkan pelepasan segera kapal dan awak yang ditahan, yang menunjukkan bahwa spesialisasi yudisial dapat menawarkan mekanisme penegakan yang lebih cepat dan efektif. Keberadaan lembaga-lembaga khusus ini menunjukkan bahwa arsitektur Mahkamah Dunia bukanlah monolit tunggal, tetapi jaringan yang kompleks dan saling terkait, di mana setiap bagian memiliki peran unik dalam mengisi kekosongan hukum dan memastikan bahwa setiap aspek hukum internasional memiliki forum penyelesaian sengketa yang sesuai. Kerangka kerja hukum internasional terus berkembang, dengan tantangan seperti tata kelola luar angkasa dan eksplorasi dasar laut yang membutuhkan interpretasi hukum yang baru, yang mungkin akan mendorong pembentukan badan yudisial atau arbitrase khusus lebih lanjut di masa depan.
Pengaruh soft law dan etika di luar sumber formal hukum juga memainkan peran halus namun signifikan dalam kerja Mahkamah Dunia. Meskipun Pasal 38 Statuta ICJ secara ketat mendefinisikan sumber hukum, prinsip-prinsip etika, resolusi Majelis Umum PBB, dan kode etik profesional seringkali menginformasikan interpretasi Mahkamah terhadap prinsip hukum umum dan kebiasaan internasional. Misalnya, dalam isu-isu hak asasi manusia dan lingkungan, ICJ dapat merujuk pada deklarasi non-mengikat PBB (soft law) sebagai bukti yang menunjukkan adanya pandangan umum (opinio juris) dari komunitas internasional. Ini memungkinkan Mahkamah untuk responsif terhadap nilai-nilai yang berkembang dalam komunitas internasional tanpa melanggar batasan formal yurisdiksi atau sumber hukumnya. Kesediaan Mahkamah untuk mempertimbangkan berbagai bahan non-tradisional menunjukkan fleksibilitas dan adaptasi yang diperlukan agar relevan dalam isu-isu kontemporer yang bergerak lebih cepat daripada proses ratifikasi traktat. Kemampuan ini, untuk menyerap dan memproses norma-norma yang sedang berkembang, adalah kunci untuk mempertahankan peran Mahkamah sebagai pelopor, bukan hanya penafsir, dari hukum internasional.
Akhirnya, peran ICJ dalam proses dekolonisasi dan penentuan nasib sendiri (self-determination) tidak dapat diremehkan. ICJ telah berulang kali mengeluarkan Opini Nasihat yang menegaskan hak fundamental masyarakat untuk menentukan status politik mereka. Kasus-kasus seperti Opini Nasihat tentang Sahara Barat atau Opini Nasihat tentang Kepulauan Chagos menunjukkan bahwa ICJ berani mengambil sikap terhadap klaim teritorial yang bersejarah dan menempatkan hukum internasional (terutama Bab XI Piagam PBB) di atas kepentingan kolonialisme yang tersisa. Putusan-putusan ini, meskipun berupa nasihat, memiliki efek katalitik yang sangat besar dalam forum politik PBB, memberikan legitimasi hukum kepada gerakan penentuan nasib sendiri dan secara moral menekan negara-negara bekas kekuatan kolonial untuk mengembalikan wilayah yang disengketakan. Dengan demikian, Mahkamah Dunia tidak hanya menjaga kedamaian di antara negara-negara yang sudah mapan, tetapi juga secara aktif mendukung prinsip-prinsip pendirian PBB terkait keadilan bagi semua bangsa, terlepas dari ukuran atau kekuatan militer mereka. Fungsi ICJ sebagai penjamin hak-hak normatif global ini memperkuat kedudukannya sebagai Mahkamah Dunia yang sesungguhnya.