Alt Text: Simbol Surya Majapahit yang melambangkan keseimbangan kosmis.
Konsep Majakane bukan sekadar artefak sejarah, melainkan sebuah korpus filosofis dan tata kelola yang kaya, berakar kuat dalam peradaban Majapahit yang membentang luas di Nusantara. Istilah ini merangkum esensi dari kebijaksanaan leluhur dalam membangun sebuah negara maritim yang kuat, adil, dan berbudaya tinggi. Majakane mencerminkan harmoni antara kosmos, alam, dan masyarakat, sebuah paduan yang memungkinkan Majapahit mencapai puncak keemasan di Asia Tenggara. Memahami Majakane adalah membuka pintu menuju pemahaman mendalam tentang identitas kolektif Nusantara, mulai dari struktur politik hingga etika spiritual individu.
Filosofi ini menekankan pentingnya *Dharma*—kebenaran universal dan kewajiban—sebagai landasan utama bagi setiap tindakan, baik oleh penguasa maupun rakyat jelata. Tanpa penegakan Dharma yang konsisten, Majakane mengajarkan bahwa stabilitas dan kemakmuran hanyalah ilusi sementara. Oleh karena itu, kita akan menjelajahi bagaimana prinsip-prinsip ini diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, sistem pemerintahan, dan warisan budaya yang masih relevan hingga hari ini.
Akar kata Majakane merujuk pada keagungan dan kekuasaan Majapahit, namun esensinya jauh melampaui batas-batas politik. Ia adalah hasil sintesis panjang dari tradisi Hindu-Buddha, animisme lokal, dan kebijaksanaan lokal Jawa yang telah diolah selama berabad-abad. Pusat dari filosofi ini adalah pandangan dunia yang holistik, di mana segala sesuatu terhubung dalam jejaring kosmis yang teratur. Raja (Prabhu) dipandang sebagai perwujudan Dewa di bumi, bukan untuk memaksakan tirani, melainkan untuk memastikan bahwa tata tertib kosmis tercermin dalam tatanan sosial, sebuah konsep yang dikenal sebagai Nagara Kertagama (Negara yang Teratur dan Suci).
Inti dari tata kelola Majakane adalah pengakuan terhadap Rwa Bhineda—dua hal yang berbeda namun saling melengkapi (dualitas). Ini bukanlah pertentangan yang menghancurkan, melainkan sebuah pasangan yang menciptakan keseimbangan dinamis. Contohnya adalah maskulin dan feminin, terang dan gelap, atau kebaikan dan kejahatan. Dalam konteks pemerintahan, ini termanifestasi dalam keseimbangan antara kekuatan militer (kekerasan yang perlu) dan kebijakan diplomatik (kebijaksanaan damai), yang keduanya harus dikendalikan oleh Dharma. Para penguasa Majapahit, melalui Majakane, berusaha memastikan bahwa semua elemen masyarakat, termasuk berbagai kepercayaan dan kelompok etnis, memiliki tempat yang sah, yang kemudian menjadi cikal bakal dari filosofi Bhinneka Tunggal Ika.
Penerapan Rwa Bhineda dalam hukum sangat penting. Hukum harus tegas (keras) namun penerapannya harus adil (bijaksana). Keseimbangan ini mencegah absolutisme dan memastikan bahwa keadilan tidak hanya menjadi alat kekuasaan, tetapi manifestasi dari tatanan ilahi. Jika raja gagal mempertahankan keseimbangan ini, ia dianggap telah melanggar Majakane, yang dapat menyebabkan bencana kosmis dan keruntuhan negara.
Dharma, dalam konteks Majakane, meluas dari kewajiban moral pribadi hingga tata kelola negara yang ideal. Setiap individu, dari kasta terendah hingga kasta tertinggi, memiliki Dharma-nya sendiri yang harus dipenuhi. Dharma raja adalah melindungi rakyat, menegakkan keadilan, dan memelihara kesejahteraan spiritual. Kegagalan raja dalam menjalankan Dharma dapat membenarkan penentangan atau bahkan penggulingan, meskipun konsep kedaulatan Majapahit sangat sakral.
Melengkapi Dharma adalah Tattwa (kebenaran hakiki atau esensi spiritual). Kebijaksanaan ini diperoleh melalui meditasi, pembelajaran kitab suci, dan bimbingan rohaniawan (Mpu atau Brahmana). Keputusan politik tertinggi selalu didasarkan pada perpaduan antara perhitungan praktis dan pemahaman Tattwa. Hal ini menunjukkan bahwa sistem Majakane bukanlah sistem sekuler murni, melainkan sistem yang sangat terintegrasi dengan dimensi spiritual. Integrasi ini menghasilkan stabilitas yang luar biasa karena legitimasi kekuasaan didasarkan pada moralitas yang tinggi, bukan hanya pada kekuatan fisik semata.
Struktur pemerintahan Majapahit, yang dijiwai oleh Majakane, sangat kompleks dan hierarkis, namun dirancang untuk meminimalkan korupsi dan memastikan rantai komando yang efisien. Tata kelola ini mencerminkan kosmologi, di mana pusat kekuasaan adalah Raja, diikuti oleh dewan menteri, pejabat daerah, hingga struktur desa yang otonom.
Rajya adalah konsep kenegaraan yang ideal. Raja adalah simbol hidup dari negara dan poros dunia. Dalam Majakane, raja tidak boleh bertindak sewenang-wenang. Ia dibatasi oleh Asta Brata (delapan ajaran utama tentang kepemimpinan yang meniru sifat-sifat dewa, seperti kesabaran Bumi dan keadilan Matahari). Kepatuhan raja terhadap Asta Brata adalah manifestasi langsung dari pelaksanaan Majakane. Jika seorang raja melanggar Asta Brata, legitimasi spiritualnya dipertanyakan, bahkan jika ia masih memegang kekuasaan secara militer.
"Kesejahteraan kerajaan diukur bukan dari kekayaan istana, melainkan dari kedamaian dan kemakmuran rakyat di desa-desa terpencil. Inilah inti dari Dharma Rajya dalam Majakane."
Pemerintahan Majapahit diorganisir secara berlapis, dikenal sebagai Panca Bhaktah atau lima tingkatan. Sistem ini memastikan bahwa kekuasaan tidak terlalu terpusat, memberikan otonomi yang signifikan kepada wilayah-wilayah yang jauh, asalkan mereka tetap mengakui kedaulatan pusat dan membayar upeti yang sesuai.
Otonomi Thani adalah kunci. Majakane mengakui bahwa hukum pusat mungkin tidak selalu cocok untuk semua adat lokal. Dengan memberikan kewenangan kepada Rama untuk mengatur urusan sehari-hari, Majapahit memastikan loyalitas sekaligus menjaga keragaman budaya, sebuah penerapan praktis dari Bhinneka Tunggal Ika di tingkat administrasi.
Tokoh kunci dalam penerapan Majakane adalah Mahapatih, yang bertindak sebagai pelaksana Dharma Raja. Sosok legendaris seperti Gajah Mada melambangkan puncak pencapaian Majakane dalam tata kelola—seorang pelayan negara yang berdedikasi penuh untuk menyatukan Nusantara di bawah payung Majapahit. Mahapatih bekerja erat dengan Bhatara Saptaprabhu (Dewan Tujuh Penguasa) yang biasanya terdiri dari kerabat dekat raja, dan Rakryan Mahamantri Hino (menteri senior). Keberadaan dewan-dewan ini menunjukkan bahwa kekuasaan, meskipun dipimpin oleh seorang Raja, bersifat kolektif dan melalui musyawarah.
Musyawarah, atau paruman, adalah praktik Majakane yang vital. Semua keputusan penting harus melewati proses konsultasi yang panjang, memastikan bahwa berbagai kepentingan, baik dari bangsawan, rohaniawan, maupun pedagang, terwakili. Sistem ini mencegah keputusan yang tergesa-gesa dan memastikan legitimasi yang luas di kalangan elite.
Majakane tidak hanya berurusan dengan filosofi istana; ia juga membentuk etos kerja dan orientasi ekonomi kerajaan, khususnya statusnya sebagai kekuatan maritim. Keagungan Majapahit bergantung pada kemampuan mereka mengelola perdagangan jarak jauh dan menjaga keamanan jalur laut.
Alt Text: Ilustrasi kapal dagang Nusantara yang melambangkan kekuatan maritim Majapahit.
Majakane mengajarkan bahwa kemakmuran diperoleh melalui perdagangan yang jujur dan bukan eksploitasi. Meskipun Majapahit memonopoli beberapa jalur rempah-rempah penting, prinsip dasarnya adalah timbal balik (resiprositas). Kekuatan Majapahit di laut (disebut Jalak atau kekuatan laut) digunakan untuk memastikan keamanan, bukan untuk menindas pedagang. Hal ini menciptakan lingkungan yang menarik bagi pedagang asing dari Tiongkok, India, dan Arab.
Hukum perdagangan, yang dicatat dalam beberapa prasasti, sangat ketat dalam mencegah penipuan timbangan, perampokan, dan penetapan harga yang tidak adil. Para pedagang yang melanggar dianggap tidak hanya melanggar hukum negara, tetapi juga melanggar Dharma, merusak keseimbangan Majakane. Oleh karena itu, hukuman bagi kejahatan ekonomi sering kali sangat berat, menunjukkan betapa pentingnya stabilitas ekonomi dalam pandangan filosofis mereka.
Meskipun dikenal sebagai kerajaan maritim, fondasi ekonomi Majapahit tetap adalah agraris, terutama produksi beras di pedalaman Jawa. Majakane dalam sektor agraris berpusat pada konsep Tri Hita Karana (meski istilah ini lebih umum di Bali, konsep dasarnya sudah ada)—harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan.
Pengelolaan irigasi (subak) sangat dihormati. Para pejabat irigasi (disebut ulu-ulu) memiliki posisi penting karena mereka memastikan keadilan dalam distribusi air, sumber daya yang sangat vital. Majakane mengajarkan bahwa sumber daya alam adalah milik bersama, dan penguasaan pribadi tidak boleh merusak kepentingan kolektif. Raja bertanggung jawab atas ritual kesuburan dan pemeliharaan bendungan utama, sebuah tugas yang menempatkan raja sebagai penjaga keseimbangan ekologis.
Ekspansi Majapahit tidak melulu melalui penaklukan militer. Filosofi Majakane menempatkan diplomasi sebagai alat utama untuk menciptakan Mandala Nusantara (lingkaran pengaruh). Kekuatan militer (bala) adalah alat terakhir, digunakan hanya ketika dialog (wicara) gagal. Konsep mitreka satata (persahabatan setara) diterapkan pada negara-negara yang tunduk secara sukarela, yang dihormati otonominya. Ini adalah ciri khas Majakane: mengakui keragaman sambil mempertahankan kesatuan struktural.
Prajurit Majapahit juga dilatih berdasarkan kode etik yang ketat, yang dikenal sebagai Panca Kaki. Mereka tidak hanya harus mahir berperang, tetapi juga harus menunjukkan kesetiaan tak tergoyahkan kepada Dharma Raja, bukan kepada ambisi pribadi. Keteraturan dan disiplin militer inilah yang memungkinkan Majapahit menguasai sebagian besar kepulauan tanpa harus mempertahankan pasukan pendudukan yang masif di setiap wilayah taklukan.
Majakane terukir indah dalam seni, arsitektur, dan sastra Majapahit. Karya-karya monumental bukan hanya ekspresi artistik, tetapi juga teks spiritual dan politik yang mengabadikan prinsip-prinsip kerajaan.
Tata kota ibu kota Majapahit, yang diceritakan dalam Nagara Kertagama, adalah manifestasi fisik dari Majakane. Kota ini dirancang sesuai dengan kosmologi Hindu-Buddha, di mana pusatnya (kraton) adalah replika dari Gunung Meru, poros dunia. Setiap arah mata angin memiliki signifikansi spiritual dan fungsi pemerintahan tertentu.
Alt Text: Siluet arsitektur candi, menunjukkan tatanan kosmik Majakane.
Candi-candi Majapahit, seperti yang terlihat di Trowulan atau Sukuh, menunjukkan percampuran yang unik antara Hindu dan Jawa. Filosofi di balik arsitektur ini adalah Mandala (lingkaran suci), di mana setiap bangunan berfungsi sebagai jembatan antara dunia fana dan ilahi. Tangga yang curam dan gerbang yang megah melambangkan perjalanan spiritual yang sulit menuju kesucian. Majakane mendorong penggunaan seni sebagai alat didaktik untuk mengajarkan Dharma kepada masyarakat luas.
Sastra Kakawin, khususnya yang ditulis pada masa keemasan Majapahit seperti Kakawin Arjuna Wiwaha dan Kakawin Sutasoma, adalah perpustakaan filosofis Majakane. Kitab-kitab ini tidak hanya menceritakan epos, tetapi juga membahas secara mendalam etika, moralitas raja, dan konsep ketuhanan.
Bahasa yang digunakan, Jawa Kuno yang sangat kental dengan Sansekerta, menunjukkan tingkat pendidikan yang tinggi dan dedikasi rohaniawan Majapahit untuk melestarikan dan mengembangkan warisan intelektual ini. Sastra ini memastikan bahwa prinsip Majakane tidak hanya diucapkan, tetapi juga diwariskan secara tertulis.
Meskipun Majapahit telah lama runtuh, esensi filosofi Majakane tidak hilang. Ia bermetamorfosis dan terus mempengaruhi budaya Jawa dan identitas nasional Indonesia modern.
Kebangkitan nasional Indonesia pada abad ke-20 sangat dipengaruhi oleh nostalgia akan keagungan Majapahit. Majakane memberikan fondasi historis bahwa kepulauan Nusantara pernah bersatu di bawah satu payung kekuasaan yang adil. Konsep-konsep seperti Bhinneka Tunggal Ika dan bahkan Pancasila memiliki akar filosofis yang dapat ditelusuri kembali ke ajaran etika Majakane.
Konsep persatuan yang dicita-citakan oleh Majakane bukanlah keseragaman, melainkan persatuan dalam perbedaan, di mana pusat harus menghormati otonomi lokal. Ini sangat relevan bagi Indonesia hari ini, sebuah negara yang terdiri dari ribuan pulau dengan keragaman budaya yang luar biasa. Majakane menawarkan model manajemen keragaman yang terbukti sukses selama ratusan tahun.
Di tengah krisis ekologis global, etika lingkungan yang terkandung dalam Majakane menjadi sangat penting. Kewajiban raja untuk memelihara keseimbangan alam (ngayomi) adalah pengingat bahwa pembangunan ekonomi tidak boleh mengorbankan kesinambungan ekologis. Konsep bahwa manusia adalah bagian integral dari alam, dan bukan penguasa tunggal atasnya, mendorong praktik-praktik berkelanjutan yang telah lama diterapkan dalam sistem pertanian tradisional di Jawa dan Bali.
Filosofi Majakane menegaskan bahwa bencana alam (gempa bumi, banjir) sering kali dipandang bukan sekadar peristiwa fisik, melainkan sebagai peringatan kosmis yang terjadi karena adanya pelanggaran Dharma oleh manusia, khususnya para pemimpin. Pandangan ini menanamkan rasa tanggung jawab yang mendalam terhadap alam.
Untuk benar-benar menghayati keluasan Majakane, kita harus menyelam lebih dalam ke dimensi spiritual yang menopang struktur politik dan sosialnya. Dimensi ini mencakup praktik keagamaan, peran pendeta, dan konsep kepemimpinan spiritual yang melampaui sekadar ritual. Majakane mengajarkan bahwa kekuatan sejati seorang pemimpin bukanlah pada senjatanya, melainkan pada kemurnian jiwanya (kasuciyan).
Salah satu keajaiban Majapahit, dan inti dari Majakane, adalah kemampuan uniknya menyatukan Hindu Siwa dan Buddha Mahayana di bawah satu payung kerajaan tanpa konflik besar. Raja Hayam Wuruk adalah contoh nyata dari sinkretisme ini; ia memiliki penasihat dari kedua agama, dan kuil-kuil dibangun untuk melayani kedua keyakinan tersebut. Ini bukanlah toleransi pasif, tetapi penerimaan aktif bahwa esensi spiritual dari kedua ajaran adalah sama (Siwa-Buddha Bhinneka Tunggal Ika).
Penerimaan ini sangat radikal untuk zamannya dan menunjukkan kecerdasan filosofis Majakane. Konflik internal agama dapat dengan mudah meruntuhkan kerajaan, namun Majakane menciptakan landasan teologis yang memungkinkan koeksistensi harmonis. Kitab-kitab suci Majapahit sering kali menggabungkan dewa-dewa Hindu dan konsep Buddha, menciptakan sistem kepercayaan yang khas Nusantara.
Keberlanjutan Majapahit tergantung pada sistem finansial yang adil, yang juga diatur oleh prinsip Majakane. Pajak (bhu-pati) ditarik dengan tujuan yang jelas: untuk membiayai Dharma Raja (perlindungan dan pembangunan). Majakane melarang pajak yang memberatkan atau eksploitatif. Terdapat sistem pengawasan ketat terhadap pejabat pemungut pajak. Jika pajak terlalu tinggi atau digunakan untuk kemewahan pribadi raja, hal itu dianggap sebagai pelanggaran Dharma yang serius dan dapat menyebabkan pemberontakan lokal.
Sistem mata uang Majapahit, yang menggunakan kepingan logam campuran dan koin Tiongkok, menunjukkan tingkat integrasi ekonomi yang tinggi. Majakane dalam ekonomi berfokus pada pembangunan infrastruktur (jalan, pelabuhan, irigasi) yang secara langsung bermanfaat bagi rakyat, memastikan bahwa kekayaan kerajaan berputar kembali ke masyarakat, menciptakan loyalitas timbal balik.
Pendidikan di Majapahit, terutama bagi kelas bangsawan dan rohaniawan, adalah kunci untuk melestarikan Majakane. Pendidikan tidak terbatas pada ilmu politik dan perang, tetapi juga mencakup sastra, astronomi (untuk menentukan waktu ritual dan pertanian), dan filsafat spiritual. Pusat-pusat pembelajaran (sanggar atau mandala) yang dipimpin oleh Mpu atau Brahmana, berfungsi sebagai penjaga api Majakane. Mereka adalah kritikus diam bagi raja, mengingatkannya pada batas-batas Dharma.
Peran para rohaniawan ini sangat unik. Mereka tidak memiliki kekuasaan militer, tetapi otoritas moral dan spiritual mereka sangat besar. Mereka adalah pengadil tertinggi dalam hal sengketa Dharma dan penafsir Tattwa. Kekuatan Majakane terletak pada pengakuan bahwa kekuasaan spiritual harus selalu mengawasi kekuasaan duniawi.
Proses pendidikan ini melibatkan penguasaan sloka (syair suci), interpretasi Kakawin, dan meditasi (tapa). Melalui disiplin ini, calon pemimpin diajarkan untuk mengendalikan hawa nafsu pribadi (sad ripu) dan mengutamakan kepentingan publik di atas segalanya—sebuah etika kepemimpinan yang relevan sepanjang masa.
Hukum (Dharma Sastra) Majapahit adalah manifestasi paling konkret dari filosofi Majakane. Hukum harus adil, jelas, dan dapat diakses oleh semua kasta. Pengadilan di Majapahit dikenal karena ketelitiannya, dipimpin oleh pejabat yang disebut dharmadyaksa.
Meskipun Majapahit dikenal memiliki kitab hukum yang sangat terperinci (diperkirakan beberapa bagiannya serupa dengan Kutaramanawa), penerapannya selalu disesuaikan dengan hukum adat lokal (desa sima). Ini lagi-lagi mencerminkan Rwa Bhineda dan Bhinneka Tunggal Ika dalam praktik hukum: ada hukum pusat yang mengatur perdagangan besar, militer, dan kejahatan serius, namun masalah-masalah sipil sehari-hari diselesaikan di tingkat desa berdasarkan adat setempat.
Pejabat hukum (jaksa) harus menjalani sumpah berat untuk menjamin bahwa mereka akan menjunjung tinggi keadilan, dan korupsi di pengadilan dianggap sebagai pengkhianatan spiritual. Keadilan dalam Majakane tidak hanya bertujuan untuk menghukum, tetapi juga untuk memulihkan keseimbangan sosial dan kosmik yang terganggu oleh kejahatan. Hukuman seringkali melibatkan denda besar atau hukuman fisik, tetapi juga kesempatan untuk penebusan.
Filosofi Majakane memungkinkan Majapahit menjadi pusat perdagangan internasional. Pedagang asing, termasuk komunitas Tiongkok, India, dan Khmer, dihormati dan diberikan hak untuk mengatur komunitas mereka sendiri (otonomi komunal) di bawah pengawasan kerajaan. Ini adalah bukti praktis dari toleransi Majakane. Raja bertanggung jawab atas keselamatan dan kesejahteraan mereka, dan setiap kerugian yang diderita oleh komunitas asing di jalur dagang dianggap sebagai kegagalan Majapahit dalam menjalankan Dharma-nya.
Sistem ini menunjukkan kematangan Majakane: kesatuan nasional tidak dipaksakan melalui asimilasi budaya, tetapi melalui jaminan keadilan dan keamanan bagi semua yang berada di bawah perlindungan Surya Majapahit.
Setelah keruntuhan Majapahit, filosofi Majakane tidak hilang, melainkan berpindah dan bertransformasi ke dalam tradisi kerajaan-kerajaan Islam Jawa (Kesultanan Demak, Mataram). Prinsip-prinsip Majakane terintegrasi dengan ajaran Islam, menciptakan sintesis baru yang dikenal sebagai kebudayaan Jawa-Islam.
Konsep wahyu (iluminasi atau restu ilahi) dalam tradisi Jawa pasca-Majapahit adalah kelanjutan spiritual dari Majakane. Ketika Majapahit runtuh, dikatakan bahwa wahyu keprabon (restu kekuasaan) berpindah dari istana Majapahit ke tempat-tempat baru. Raja-raja baru, seperti para Sultan Mataram, masih harus membuktikan bahwa mereka memiliki wahyu ini. Wahyu ini tidak didapat secara acak, melainkan melalui kemurnian spiritual, meditasi (tapa brata), dan penegakan keadilan—yang semuanya merupakan ajaran inti dari Majakane.
Seorang raja dianggap sah bukan hanya karena keturunan, tetapi karena kemampuannya memancarkan nur (cahaya) atau karisma yang meyakinkan rakyat bahwa ia adalah manifestasi Dharma di bumi. Jika raja bertindak sewenang-wenang atau korup, nur ini akan memudar, dan kekuasaannya akan melemah—sama persis dengan konsep Dharma Raja yang harus dijunjung dalam Majakane.
Seni pewayangan, yang berkembang pesat pasca-Majapahit, menjadi medium utama untuk menyebarkan ajaran Majakane kepada rakyat jelata. Kisah-kisah Ramayana dan Mahabharata, yang diadaptasi dalam konteks Jawa, sarat dengan pelajaran tentang Dharma, kewajiban seorang kesatria, dan moralitas raja. Tokoh-tokoh seperti Pandawa melambangkan implementasi sempurna dari Majakane, sementara Kurawa melambangkan kegagalan memegang teguh Dharma.
Dalang bertindak sebagai guru moral, menggunakan cerita lama untuk mengkritik penguasa kontemporer secara halus. Melalui Wayang, esensi Majakane—seperti pentingnya musyawarah (dewan Pandawa) dan konsekuensi dari keangkuhan (Kurawa)—terus hidup dalam kesadaran kolektif masyarakat Jawa.
Untuk memahami implementasi Majakane secara menyeluruh, perlu ditelaah lebih jauh mengenai struktur birokrasi yang memungkinkan sistem ini beroperasi di wilayah yang begitu luas. Majapahit memiliki sistem administrasi yang berlapis dan spesifik, jauh lebih canggih daripada banyak kerajaan sezamannya. Struktur ini berfungsi sebagai katup pengaman Majakane, mencegah satu individu atau kelompok memonopoli kekuasaan.
Dua jabatan kunci yang menjamin penegakan Majakane adalah Dharmadyaksa dan Dharmaputra. Dharmadyaksa adalah kepala dari badan kehakiman, sering kali dibagi dua: satu untuk hukum Hindu (Siwa) dan satu untuk hukum Buddha, menunjukkan institusionalisasi dari konsep Bhinneka Tunggal Ika dalam pemerintahan. Mereka adalah penjaga interpretasi teks-teks suci dan hukum, memastikan bahwa hukum duniawi selaras dengan Dharma. Kewajiban mereka adalah memberikan nasihat hukum yang tidak bias kepada Raja.
Dharmaputra adalah kelompok pejabat muda yang sangat dipercaya, seringkali bertindak sebagai mata dan telinga Raja di seluruh wilayah. Mereka adalah penguji integritas para pejabat daerah dan memastikan bahwa rakyat tidak dieksploitasi oleh birokrasi lokal. Keberadaan Dharmaputra menunjukkan pengakuan Majakane bahwa kekuasaan cenderung korup, dan pengawasan internal yang ketat adalah wajib.
Sistem pengawasan ini adalah salah satu alasan Majapahit mampu mempertahankan kekuasaannya begitu lama. Mereka memiliki mekanisme internal untuk mengoreksi diri, sebuah fitur yang sangat maju dalam tata kelola kerajaan tradisional. Kegagalan sistem ini pada akhir masa Majapahit sering dikaitkan dengan melemahnya peran Dharmaputra dan penasihat spiritual.
Majakane mengakui bahwa wilayah inti Jawa (Nagara) dan wilayah luar (Mancanegara/Nusantara) memerlukan pendekatan tata kelola yang berbeda. Di wilayah Mancanegara, Majakane diterapkan melalui sistem upeti dan aliansi politik. Raja-raja lokal diizinkan mempertahankan struktur mereka, tetapi diwajibkan mengirimkan upeti, yang tidak hanya berupa kekayaan, tetapi juga simbol loyalitas, seperti putri atau perwakilan kerajaan ke istana Majapahit.
Pendekatan fleksibel ini—otoritas sentral yang longgar—adalah kunci keberhasilan ekspansi Majapahit. Kekuatan mereka terletak pada pengakuan kedaulatan moral dan spiritual, bukan hanya militer. Majakane mengajarkan bahwa alih-alih mencoba menguasai segalanya secara langsung, lebih baik memelihara jaringan yang kuat melalui rasa hormat dan diplomasi yang bijaksana.
Di wilayah pasisir (pesisir), yang merupakan pusat perdagangan multinasional, hukum dan administrasi Majakane dirancang untuk memfasilitasi pertukaran. Para Adipati di pasisir memiliki kekuasaan yang lebih besar dalam hal bea cukai dan penegakan hukum maritim, asalkan mereka memastikan aliran pendapatan yang stabil ke pusat. Ini adalah contoh Majakane yang menyesuaikan prinsip Dharma dengan kebutuhan ekonomi pragmatis.
Kekuatan, atau sakala, dalam Majakane memiliki dua dimensi: kekuatan fisik (militer dan kekayaan) dan kekuatan spiritual (karisma dan kesucian). Kekuatan spiritual harus selalu mendominasi, sebab tanpa kesucian, kekuatan fisik akan menjadi destruktif.
Seorang pemimpin yang menjunjung Majakane diharapkan menjalani praktik spiritual yang ketat, dikenal sebagai tapa brata. Ini bisa berupa puasa, meditasi, atau mengasingkan diri sementara waktu. Tujuannya adalah untuk memurnikan diri dan mendapatkan wahyu atau kekuatan batin (sakti) yang akan mendukung pemerintahannya. Hayam Wuruk sering digambarkan sebagai raja yang rajin melakukan perjalanan ke kuil-kuil suci untuk melakukan ritual keagamaan, menunjukkan bahwa tugas spiritual sama pentingnya dengan tugas politik.
Pengendalian diri (dana) adalah aspek vital dari tapa brata. Majakane menuntut agar para pejabat dan raja menghindari keserakahan, nafsu, dan kebohongan. Kegagalan dalam pengendalian diri dianggap sebagai tanda bahwa raja tidak lagi layak menerima restu ilahi, yang dapat memicu ketidakstabilan politik.
Majakane memperkuat legitimasi politik melalui mitologi kosmik. Raja Majapahit diposisikan sebagai keturunan Dewa atau inkarnasi dari Dewa Wisnu (pemelihara). Ini bukan hanya klaim status, tetapi juga tanggung jawab berat. Sebagai perwujudan ilahi, raja wajib memelihara keteraturan di dunia seperti halnya Dewa memelihara alam semesta.
Ritual kerajaan, yang diselenggarakan secara besar-besaran, seperti upacara Sraddha atau perayaan tahunan, adalah manifestasi publik dari janji raja untuk menjalankan Majakane. Ritual-ritual ini menyatukan rakyat, bangsawan, dan rohaniawan dalam satu kesatuan spiritual, memperkuat ikatan emosional dan ideologis terhadap kerajaan. Penghargaan terhadap leluhur (pitara) juga menjadi bagian penting, karena kebijaksanaan leluhur dianggap sebagai sumber utama Majakane.
Majakane tidak memandang wanita hanya sebagai objek politik atau domestik. Wanita kerajaan, terutama Ratu dan Putri Mahkota, memainkan peran yang signifikan dalam tata kelola dan diplomasi, merefleksikan dualitas Rwa Bhineda.
Ibu Suri (seperti Rajapatni Gayatri) sering kali memegang kekuasaan spiritual dan politik yang besar, bertindak sebagai penasihat tertinggi Raja. Mereka adalah penjaga Dharma dan seringkali mediator dalam konflik keluarga kerajaan. Pengaruh wanita kerajaan menunjukkan bahwa Majakane mengakui pentingnya kebijaksanaan feminin (shakti) dalam menyeimbangkan kekuasaan maskulin.
Putri-putri raja sering digunakan dalam pernikahan politik untuk memperkuat aliansi di Mancanegara, tetapi peran mereka melampaui sekadar komoditas diplomatik; mereka menjadi duta budaya dan penyebar ajaran Majakane di wilayah-wilayah baru. Mereka adalah agen penyebaran peradaban Majapahit yang halus namun efektif.
Akhir dari Majapahit adalah studi kasus tentang kegagalan mempertahankan Majakane. Ketika prinsip-prinsip ini mulai terdistorsi atau diabaikan, fondasi spiritual dan politik kerajaan pun runtuh.
Pada periode akhir, kekuasaan di daerah mulai dikuasai oleh bangsawan lokal yang ambisius (Bhre), yang lebih mementingkan kekayaan pribadi daripada Dharma Raja. Pejabat-pejabat ini sering mengabaikan hukum pusat dan memberlakukan pajak yang memberatkan. Ketidakadilan ini, yang secara langsung melanggar Majakane, menyebabkan erosi loyalitas di tingkat desa dan pasisir.
Perpecahan di internal istana juga menjadi faktor. Perebutan kekuasaan antar-kerabat menunjukkan bahwa pengendalian diri spiritual (tapa brata) telah hilang di kalangan elite. Konflik internal (seperti Perang Paregreg) adalah manifestasi bahwa Rwa Bhineda telah berubah dari keseimbangan dinamis menjadi konflik yang menghancurkan. Majakane mengajarkan bahwa persatuan yang hilang di pusat akan tercermin dalam disintegrasi di pinggiran.
Meskipun kerajaan Majapahit runtuh secara politis, filosofi Majakane tidak lenyap. Ia mundur ke pedalaman, diserap oleh pesantren-pesantren awal, diterjemahkan melalui seni dan pertunjukan rakyat, dan menjadi inti dari Kawruh Jawa (Pengetahuan Jawa). Dengan kata lain, Majakane bertransformasi dari ideologi negara menjadi kearifan lokal yang abadi, memastikan bahwa warisan kebijaksanaannya terus membimbing masyarakat Nusantara hingga kini. Konsep Nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake (menyerang tanpa pasukan, menang tanpa merendahkan) adalah salah satu bentuk etika Majakane yang bertahan dalam filsafat Jawa.
Majakane adalah lebih dari sekadar sejarah Majapahit; ia adalah cetak biru abadi bagi tata kelola yang adil, berkelanjutan, dan toleran. Ia mengajarkan kita bahwa kekuasaan sejati bersumber dari kepatuhan terhadap kebenaran universal (Dharma), bahwa keragaman (Bhinneka Tunggal Ika) adalah kekuatan, dan bahwa pemimpin harus menjadi penjaga keseimbangan antara kosmos, masyarakat, dan alam.
Di tengah tantangan modern—mulai dari krisis kepemimpinan hingga konflik sosial—kebijaksanaan Majakane menawarkan solusi yang berakar pada peradaban luhur Nusantara. Mempelajari dan menerapkan kembali prinsip-prinsip ini adalah langkah penting menuju pemulihan identitas nasional yang kuat, seimbang, dan beretika. Warisan Majakane tetap menyala, memandu kita dari masa lalu menuju masa depan yang tercerahkan.
***