*Ilustrasi Musyawarah dalam Konteks Majelis Syura.*
Majelis Syura merupakan salah satu landasan fundamental dalam tata kelola pemerintahan dan pengambilan keputusan di dalam masyarakat Muslim. Konsep Syura, yang secara harfiah berarti 'konsultasi' atau 'musyawarah', bukan sekadar mekanisme prosedural, melainkan inti etis dan teologis yang membedakan sistem kepemimpinan dalam Islam. Prinsip ini menegaskan bahwa kekuasaan, meskipun dijalankan oleh seorang pemimpin atau khalifah, harus senantiasa berbasis pada dialog, pertimbangan kolektif, dan pencarian solusi terbaik yang selaras dengan nilai-nilai agama serta kepentingan publik. Implementasi Majelis Syura mewujudkan cita-cita keadilan, transparansi, dan akuntabilitas dalam praktik kenegaraan.
Penekanan terhadap Syura bukanlah opsi tambahan, melainkan sebuah kewajiban normatif yang berakar kuat dalam sumber hukum Islam, Al-Qur'an dan As-Sunnah. Kedudukannya yang sentral menjadikannya pilar utama yang menopang struktur politik dan sosial, memastikan bahwa keputusan yang diambil tidak bersifat otoriter atau berdasarkan kehendak tunggal, melainkan merupakan hasil kesepakatan yang matang dari orang-orang yang memiliki kompetensi dan integritas.
Secara etimologi, kata Syura (شورى) berasal dari kata kerja bahasa Arab yang berarti ‘mengeluarkan madu dari sarangnya’ atau ‘memperoleh sesuatu yang terbaik dari yang ada’. Dalam konteks sosial-politik, ia diartikan sebagai proses mengeluarkan pendapat, bertukar pikiran, atau mencari nasihat dari pihak lain yang memiliki keahlian atau pandangan berbeda. Terminologi Syura merujuk pada prinsip konsultasi yang wajib dilakukan oleh pemimpin atau pengambil keputusan kepada sekelompok orang terpilih sebelum menetapkan kebijakan strategis.
Konsep ini menuntut adanya interaksi yang dinamis dan terbuka antara penguasa dan yang diwakilinya, atau setidaknya dengan perwakilan dari kalangan yang mumpuni. Syura adalah antitesis dari sistem Istitbad (otoritarianisme) dan menegaskan bahwa hak untuk berpendapat dan berkontribusi terhadap kebijakan publik adalah bagian integral dari hak warga negara dalam Islam. Proses musyawarah ini harus dijalankan dengan niat yang tulus untuk mencapai kebenasan (kebenaran dan keadilan).
Kewajiban menjalankan Syura ditegaskan secara eksplisit dalam Al-Qur'an. Ada dua surat utama yang menjadi rujukan fundamental mengenai prinsip ini:
Sunnah Nabi Muhammad SAW juga menunjukkan konsistensi dalam melaksanakan musyawarah, baik dalam urusan perang, administrasi, maupun penetapan hukum yang tidak diatur secara detail oleh wahyu. Praktik kenabian ini mengukuhkan Syura sebagai Sunnah Nabawiyah yang wajib diikuti oleh para penerus kepemimpinan setelahnya.
Era Khulafa Ar-Rasyidin (para Khalifah yang mendapat petunjuk) merupakan periode emas dalam implementasi Majelis Syura. Meskipun struktur formal Majelis belum seinstitusional badan legislatif modern, prinsip konsultasi diterapkan secara ketat dalam setiap pengambilan keputusan besar.
Setelah wafatnya Nabi, kebutuhan mendesak untuk memilih pemimpin baru (Khalifah) diputuskan melalui sebuah musyawarah di Saqifah Bani Sa'idah, yang walaupun penuh dinamika, menunjukkan pentingnya konsensus para tokoh utama umat. Selama pemerintahannya, Abu Bakar sangat bergantung pada konsultasi para sahabat senior (Muhajirin dan Anshar) dalam menghadapi krisis besar, seperti perang Riddah (kemurtadan) dan pengumpulan Al-Qur'an. Majelis Syura pada masa ini berfungsi sebagai badan penasihat dan badan penguji legitimasi keputusan.
Umar dikenal sebagai Khalifah yang paling intensif menerapkan Syura. Ia membentuk Majelis Syura yang lebih terstruktur, terdiri dari sahabat-sahabat terkemuka yang tidak diizinkan meninggalkan Madinah tanpa seizinnya, agar selalu siap dimintai nasihat. Majelis ini terlibat dalam pembentukan sistem administrasi negara (Diwan), penetapan kalender Hijriah, dan strategi penaklukan wilayah baru. Puncak dari praktik Syura di masa Umar adalah penentuan suksesornya melalui sistem Ahlul Halli wal Aqd (Enam Anggota Syura) yang bertugas memilih Khalifah berikutnya.
Model penentuan suksesi melalui musyawarah oleh dewan elit, seperti yang terjadi pada Umar dan kemudian Utsman bin Affan, menunjukkan bahwa Majelis Syura memiliki otoritas untuk memberikan legitimasi politik kepada pemimpin. Hal ini menekankan bahwa kepemimpinan Islam tidak diwariskan atau didasarkan pada kekuatan militer, melainkan melalui proses pemilihan yang melibatkan orang-orang yang mewakili kepentingan umat dan memiliki kapasitas keilmuan.
Prinsip Syura mulai mengalami kemunduran signifikan seiring beralihnya sistem pemerintahan dari Khulafah Ar-Rasyidin ke era monarki dinasti (Umayyah dan Abbasiyah). Meskipun istilah Syura tetap digunakan, praktiknya sering kali tereduksi menjadi formalitas belaka.
Meskipun demikian, semangat Syura tetap hidup dalam lembaga-lembaga konsultatif lokal dan praktik ulama yang memberikan nasihat (nasihat) kepada penguasa, menjaga agar prinsip keadilan tetap diperjuangkan, meskipun tidak melalui jalur Majelis Syura formal tingkat tinggi.
Majelis Syura modern dan historis idealnya terdiri dari Ahlul Halli wal Aqd, yang secara harfiah berarti 'orang-orang yang memiliki kemampuan untuk memecahkan dan mengikat (perjanjian atau keputusan)'. Mereka bukanlah sekadar perwakilan rakyat dalam pengertian modern, tetapi harus memenuhi kriteria ganda: kompetensi teknis dan integritas moral.
Majelis Syura berfungsi dalam kerangka hukum Islam (Syariat). Otoritas mereka tidak absolut, tetapi tunduk pada prinsip-prinsip Ilahi yang telah ditetapkan.
Majelis Syura tidak berhak membuat keputusan yang bertentangan secara eksplisit dengan nas (teks) Al-Qur'an dan Sunnah yang bersifat qath'i (definitif). Fungsi utama mereka adalah Ijtihad (penafsiran dan penetapan hukum baru) dalam perkara yang bersifat zhanniy (tidak definitif) atau ketika dihadapkan pada masalah kontemporer yang memerlukan solusi baru.
Keputusan Majelis Syura idealnya diambil melalui konsensus (Ijma'). Jika konsensus penuh sulit dicapai, keputusan diambil melalui suara mayoritas, asalkan suara mayoritas tersebut didasarkan pada dalil (argumen) yang kuat dan logis, sesuai dengan metodologi penetapan hukum Islam. Hal ini membedakannya dari demokrasi murni, di mana Syura menuntut pertimbangan etis dan teologis mendahului kuantitas suara.
"Syura bukan sekadar menghitung suara, tetapi mempertimbangkan bobot argumen, kedalaman ilmu, dan integritas para pemberi nasihat. Kuantitas harus mengikuti kualitas."
Dalam negara-negara modern yang mencoba mengadopsi prinsip Islam dalam sistem politiknya, Majelis Syura seringkali menjalankan fungsi yang setara dengan parlemen atau badan legislatif.
Salah satu peran historis Majelis Syura yang paling krusial adalah legitimasi pemimpin tertinggi (Khalifah atau Presiden).
Majelis Syura berfungsi sebagai badan yang memberikan bai'at (sumpah setia) atas nama umat, setelah mempertimbangkan semua kandidat yang memenuhi syarat kepemimpinan. Jika pemimpin melanggar kontrak sosial (yaitu, bertindak zalim atau keluar dari koridor Syariah), Majelis Syura, setelah proses musyawarah dan peringatan yang matang, memiliki otoritas untuk menarik legitimasi tersebut, yang pada dasarnya berarti memakzulkan pemimpin. Hal ini menekankan bahwa kekuasaan dalam Islam adalah amanah, bukan hak warisan atau hak mutlak, dan harus tunduk pada kontrol kelembagaan Majelis Syura.
Meskipun Syura dan demokrasi memiliki kesamaan dalam hal konsultasi dan partisipasi publik, terdapat perbedaan filosofis yang signifikan. Syura bukanlah sekadar mekanisme pengambilan keputusan, melainkan prinsip yang terikat secara teologis.
Majelis Syura beroperasi di bawah asumsi bahwa kedaulatan tertinggi adalah milik Allah (kedaulatan teosentris). Oleh karena itu, hukum positif yang dihasilkan oleh Syura tidak boleh melampaui atau bertentangan dengan hukum Ilahi yang sudah ditetapkan. Kehendak rakyat adalah penting, tetapi harus diuji dalam kerangka Syariah. Jika seluruh rakyat memilih sesuatu yang haram menurut Syariat, Majelis Syura wajib menolaknya.
Demokrasi Barat didasarkan pada kedaulatan rakyat (kedaulatan antroposentris). Keputusan mayoritas, selama konstitusional, dianggap sah dan mengikat, terlepas dari pertimbangan moral atau teologis eksternal. Perbedaan ini membuat Syura lebih terikat pada standar moralitas objektif yang ditentukan oleh agama.
Syura juga mencakup prinsip etika politik yang mendalam, yaitu Nasihat—memberikan saran yang tulus dan kritik yang membangun kepada pemimpin. Dalam konteks Majelis Syura, setiap anggota diwajibkan untuk berbicara jujur, tanpa takut akan pembalasan politik, demi kebaikan umat. Pemimpin diwajibkan untuk mendengar nasihat, bahkan jika nasihat tersebut bertentangan dengan preferensi pribadi mereka.
Proses Syura harus memastikan lingkungan di mana kritik dianggap sebagai kontribusi berharga, bukan sebagai bentuk pembangkangan. Inilah yang menjaga Majelis Syura agar tidak berubah menjadi badan stempel yang hanya mengiyakan kehendak eksekutif.
Salah satu tantangan terbesar dalam mengimplementasikan Majelis Syura di era modern adalah mentransformasikannya dari sebuah prinsip etis menjadi sebuah institusi politik yang berfungsi penuh. Bagaimana Majelis Syura dapat mengakomodasi kompleksitas negara-bangsa modern, yang mencakup urusan global, teknologi canggih, dan pluralitas masyarakat?
Negara-negara yang berupaya menerapkan Majelis Syura sering bergumul dengan masalah apakah anggota Syura harus dipilih secara langsung oleh rakyat (seperti parlemen) atau diangkat berdasarkan kualifikasi keilmuan (model Ahlul Halli wal Aqd tradisional). Penggabungan kedua pendekatan—yaitu Majelis Syura yang dipilih rakyat tetapi mensyaratkan tingkat keilmuan dan integritas tertentu—sering diusulkan sebagai solusi.
Dalam konteks kontemporer, Syura tidak bisa lagi terbatas pada kelompok elit ulama saja. Prinsip Syura menuntut bentuk konsultasi yang lebih luas, melibatkan pakar non-Syariah (ekonom, ilmuwan, ahli teknologi) serta representasi langsung dari berbagai lapisan masyarakat.
Relevansi Syura terletak pada kemampuannya untuk menawarkan model tata kelola yang bertanggung jawab dan etis. Dalam dunia yang sering kali didominasi oleh kepentingan sempit dan politik kekuasaan, Majelis Syura berpotensi menjadi filter moral yang memastikan bahwa kebijakan publik senantiasa berorientasi pada kesejahteraan spiritual dan material kolektif (mashlahah ‘ammah).
Peran vital Majelis Syura tidak hanya terletak pada pengawasan politik, tetapi juga pada fungsi keilmuan hukumnya. Dalam Islam, hukum tidak bersifat statis, terutama dalam menghadapi isu-isu baru yang belum pernah muncul di masa lalu, seperti bioetika, kecerdasan buatan, atau krisis iklim global. Di sinilah peran Ijtihad Jamai (ijtihad kolektif) yang dilakukan oleh Majelis Syura menjadi krusial.
Majelis Syura, dalam kapasitasnya sebagai badan legislatif dan yudikatif tertinggi non-eksekutif, bertindak sebagai forum untuk menghasilkan fatwa-fatwa kenegaraan yang mengikat. Berbeda dengan fatwa ulama individu, keputusan Majelis Syura memiliki kekuatan hukum implementatif. Proses ini memastikan bahwa solusi hukum kontemporer dihasilkan setelah melalui pertimbangan multisektoral, menggabungkan wawasan fiqih tradisional dengan pemahaman realitas modern yang akurat.
Ini memerlukan Majelis Syura yang multi-disipliner, di mana pakar hukum Islam duduk bersama pakar keuangan dan ilmuwan untuk memastikan bahwa ijtihad yang dihasilkan tidak hanya sahih secara Syariah, tetapi juga realistis dan berkelanjutan secara praktis. Tanpa Majelis Syura yang kuat, ijtihad seringkali menjadi parsial atau rentan terhadap kepentingan politik sempit.
Akuntabilitas atau Hisbah, merupakan pilar etis yang diwujudkan melalui Majelis Syura. Akuntabilitas ini bersifat dua arah:
Majelis Syura berfungsi sebagai mata dan telinga umat. Jika Majelis gagal menjalankan fungsi pengawasan dan kritik (Nasihat) secara efektif, sistem pemerintahan akan cenderung jatuh ke dalam otokrasi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Mengapa Syura diwajibkan? Secara filosofis, Syura adalah pengakuan bahwa kebijaksanaan manusia bersifat terbatas. Tidak ada satu individu pun, seberapa pun bijaksananya, yang memiliki monopoli atas kebenaran. Pengambilan keputusan kolektif melalui Majelis Syura menawarkan keunggulan epistemologis yang signifikan:
Meskipun Syura adalah prinsip yang ideal, implementasinya tidak bebas dari hambatan, terutama jika tidak dijalankan dengan etika yang benar:
Oleh karena itu, keberhasilan Majelis Syura sangat bergantung pada integritas moral anggota dan komitmen pemimpin untuk menerima hasil musyawarah, bahkan jika itu tidak populer di kalangan elit penguasa.
Prinsip Majelis Syura tidak hanya berlaku di tingkat kenegaraan, tetapi harus menjadi budaya yang tertanam dalam setiap aspek kehidupan Muslim, mulai dari keluarga, komunitas, hingga organisasi sosial. Syura yang sehat di tingkat negara hanya mungkin terwujud jika masyarakat telah terbiasa dengan budaya musyawarah.
Pendidikan Islam harus secara aktif mengajarkan keterampilan konsultasi: mendengarkan secara aktif, menyampaikan argumen dengan hormat, dan menghargai perbedaan pendapat. Ketika anak-anak dan warga negara terbiasa ber-Syura dalam lingkup kecil, mereka akan lebih siap untuk menerima dan berpartisipasi dalam proses Majelis Syura yang lebih besar.
Tujuan akhir dari Majelis Syura adalah untuk merealisasikan Maqashid Syariah (tujuan-tujuan Syariat), yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Setiap legislasi atau keputusan yang dihasilkan oleh Majelis harus diukur berdasarkan sejauh mana ia berkontribusi pada perlindungan dan peningkatan lima kebutuhan esensial ini.
Sebagai contoh, dalam isu ekonomi, Majelis Syura harus berkonsultasi untuk merancang kebijakan yang melindungi harta umat dari eksploitasi (riba) dan pada saat yang sama memastikan distribusi kekayaan yang adil (menjaga jiwa dan harta), yang merupakan interpretasi Ijtihad Jamai atas perintah Ilahi dalam konteks ekonomi global modern. Fungsi inilah yang memberikan Majelis Syura relevansi abadi dan keunikan dalam tata kelola Islami.
Secara historis, banyak sistem pemerintahan didasarkan pada kekuasaan elit (oligarki atau aristokrasi). Syura memiliki kemiripan superfisial dengan kedua sistem ini karena ia bergantung pada sekelompok elit yang kompeten (Ahlul Halli wal Aqd). Namun, perbedaannya sangat mendasar. Oligarki didasarkan pada kekayaan atau keturunan, sementara Syura didasarkan pada kompetensi keilmuan, keadilan moral (Adalah), dan mandat perwakilan dari umat. Tujuan oligarki adalah mempertahankan kekuasaan elit; tujuan Majelis Syura adalah mencapai keadilan Ilahi melalui musyawarah.
Di tengah berbagai tantangan politik global yang menuntut moralitas kepemimpinan, model Majelis Syura menawarkan sebuah jalan keluar. Ia menggabungkan rasionalitas teknokratis (karena memilih ahli) dengan keharusan moral (karena terikat pada Syariah). Ini adalah model yang berupaya mensinergikan etika tertinggi dengan efisiensi tata kelola yang efektif. Apabila prinsip-prinsip Syura diterapkan secara murni—dengan kejujuran anggota, keilmuan yang mendalam, dan penerimaan penuh oleh pemimpin—maka ia dapat menghasilkan stabilitas politik yang berakar pada keadilan dan kebenaran.
Proses Syura harus dipahami bukan sekadar prosedur formal yang dilakukan setelah seorang pemimpin terpilih, melainkan sebagai pra-syarat esensial bagi legitimasi kepemimpinan itu sendiri. Pemimpin yang mengabaikan Majelis Syura adalah pemimpin yang secara fundamental kehilangan dasar etik dan hukum kekuasaannya, terlepas dari seberapa efektif ia secara militer atau ekonomi. Syura adalah barometer keadilan.
Wajibnya Syura secara teologis juga dipandang sebagai penghormatan terhadap fitrah manusia. Manusia diciptakan dengan akal (aql) dan kemampuan untuk berijtihad. Jika pemimpin mengambil keputusan secara tunggal, ini berarti meniadakan potensi akal kolektif yang diberikan Tuhan kepada umat. Syura mengakui bahwa akal individu mungkin cacat, tetapi akal kolektif, terutama yang diasah oleh keimanan dan ilmu, mendekati kebenaran.
Perintah musyawarah kepada Nabi Muhammad SAW setelah tragedi Uhud adalah pelajaran abadi bahwa bahkan pemimpin dengan koneksi ilahi pun harus menghargai masukan manusiawi. Ini menetapkan preseden bahwa dalam urusan duniawi yang memerlukan penilaian strategis dan taktis—di mana wahyu tidak memberikan petunjuk rinci—keputusan harus melalui konsensus. Kegagalan musyawarah berpotensi membawa pada kegagalan dalam strategi dan taktik.
Majelis Syura adalah kerangka kelembagaan yang menjamin kebebasan berpendapat (Hurriyatul Ra'yi) dalam batas-batas yang bertanggung jawab. Anggota Majelis harus merasa aman untuk menyampaikan pandangan yang berbeda (ikhtilaf) tanpa takut dicap sebagai pembangkang. Kebebasan ini bukanlah lisensi untuk anarki, melainkan kewajiban moral untuk menyuarakan kebenaran.
Dalam sejarah Islam, para ulama besar yang berfungsi sebagai anggota Majelis Syura atau penasihat istana seringkali dikenal karena keberanian mereka mengkritik penguasa. Keberanian ini adalah inti dari fungsi Majelis Syura: menciptakan ruang aman di mana suara kritis dapat mempengaruhi kebijakan tertinggi. Ketika ruang ini tertutup, Majelis Syura telah mati, meskipun bangunannya masih berdiri.
Keberhasilan Majelis Syura tidak hanya ditentukan oleh struktur formalnya, tetapi juga oleh etiket yang dijunjung tinggi oleh anggotanya. Etiket ini meliputi:
Tanpa adab musyawarah ini, Majelis Syura akan merosot menjadi arena perdebatan politik partisan yang destruktif, jauh dari tujuan hakiki pencarian kebenaran kolektif.
Pemimpin Majelis Syura memiliki peran krusial. Tugasnya bukan untuk mendikte, tetapi untuk memfasilitasi dialog yang efektif. Rais al-Majelis harus memastikan bahwa semua pihak didengar secara adil, bahwa diskusi tetap fokus pada topik yang relevan, dan bahwa proses pengambilan suara (jika diperlukan) dilakukan secara transparan dan sesuai dengan metodologi yang disepakati (baik itu Ijma' atau mayoritas yang didukung dalil). Integritas Rais al-Majelis adalah kunci untuk mencegah Majelis Syura dibajak oleh kelompok kepentingan tertentu.
Majelis Syura adalah institusi yang mewakili puncak cita-cita politik dalam Islam: sebuah sistem tata kelola yang berdasarkan pada amanah, akuntabilitas, dan pencarian kebenaran melalui konsultasi kolektif. Ia berdiri sebagai model yang menjembatani antara kedaulatan Ilahi dan partisipasi manusiawi.
Warisan abadi Majelis Syura bukan terletak pada bentuk fisiknya yang berubah-ubah seiring zaman—dari lingkaran kecil para sahabat hingga parlemen modern—tetapi pada semangatnya: bahwa kekuasaan tidak boleh menjadi absolut, dan bahwa kebijakan terbaik selalu merupakan hasil dari pertimbangan yang paling luas dan bijaksana. Membangun dan mempertahankan Majelis Syura yang efektif adalah perjuangan berkelanjutan yang menuntut komitmen moral dari pemimpin, keilmuan dari anggota, dan kesadaran politik dari seluruh umat. Kehidupan politik yang beradab dan adil tidak mungkin terwujud tanpa mengamalkan prinsip fundamental Majelis Syura.
Penerapan Majelis Syura yang tulus dan berintegritas memastikan bahwa keputusan yang paling sulit sekalipun didasarkan pada prinsip keadilan yang tertinggi, menjadikannya pilar tak tergantikan dalam sistem pemerintahan Islam yang berorientasi pada kemaslahatan dunia dan akhirat. Prinsip ini terus relevan, menantang umat Muslim di seluruh dunia untuk mewujudkan struktur politik yang merefleksikan nilai-nilai konsultatif, partisipatif, dan bertanggung jawab.
Keseluruhan pembahasan ini menunjukkan bahwa Majelis Syura adalah sebuah konstruksi yang kompleks, kaya akan sejarah, dan mendalam secara filosofis. Ia bukan hanya sekadar dewan penasihat formalitas, tetapi manifestasi dari sebuah kewajiban agama dan kebutuhan pragmatis politik yang sehat. Dari penentuan suksesi Khalifah pertama hingga pembentukan undang-undang kontemporer, Majelis Syura tetap menjadi jantung dari tata kelola yang sah dalam pandangan Islam.