Mak Angkat: Jalinan Hati, Ikatan Abadi di Luar Darah
Konsep keluarga tidak selalu terdefinisikan oleh ikatan biologis semata. Dalam khazanah budaya dan sosial di Indonesia, terminologi 'Mak Angkat' (atau Ibu Angkat) memegang peranan yang amat penting, melampaui formalitas hukum semata. Sosok ini adalah pilar kasih sayang, penopang emosional, dan kadang kala, jangkar penyelamat bagi seorang anak yang mungkin kehilangan pengasuhan orang tua kandung, atau sekadar membutuhkan figur ibu tambahan dalam hidupnya.
Mak Angkat adalah manifestasi dari kearifan sosial yang mengakui bahwa cinta dan pengasuhan adalah sumber daya tanpa batas. Artikel ini akan mengupas tuntas dimensi Mak Angkat, mulai dari akar sosiologisnya, kerumitan psikologis ikatan yang terbentuk, hingga implikasi hukum dan adat yang mengiringinya di tengah masyarakat majemuk Nusantara. Kami akan membedah bagaimana peran ini tidak hanya membentuk identitas individu anak, tetapi juga memperkaya struktur komunitas secara keseluruhan.
I. Definisi, Akar Budaya, dan Dimensi Sosiologis Mak Angkat
Secara harfiah, Mak Angkat merujuk pada wanita yang mengambil peran dan tanggung jawab keibuan terhadap seorang anak yang bukan lahir dari rahimnya. Namun, definisi ini terlalu sempit untuk mencakup kedalaman peran tersebut di Indonesia. Peran ini hadir dalam berbagai tingkatan—dari adopsi formal yang tercatat secara negara, hingga pengasuhan informal berbasis kekerabatan atau ikatan emosional murni.
1.1. Perbedaan Mendasar: Angkat vs. Tiri vs. Asuh
Penting untuk membedakan antara terminologi ini agar pemahaman kita utuh. 'Ibu Tiri' adalah wanita yang menikah dengan ayah kandung anak tersebut, di mana ikatan terjadi melalui pernikahan. 'Ibu Asuh' sering kali merujuk pada peran sementara, sering kali di bawah naungan lembaga atau program pemerintah. Sementara 'Mak Angkat' (Adopsi) menyiratkan penerimaan anak secara penuh ke dalam keluarga, dengan niat pengasuhan yang permanen, meskipun status hukum dan warisannya mungkin berbeda dari anak kandung.
1.2. Pilar Komunitas dan Sistem Adat
Di banyak daerah di Indonesia, praktik pengangkatan anak sudah mengakar dalam hukum adat. Ini bukan sekadar tindakan amal, melainkan mekanisme sosial untuk memastikan keberlanjutan garis keturunan, pembagian kekayaan, atau penanganan anak yatim/piatu dalam keluarga besar. Di beberapa suku, Mak Angkat memiliki status kehormatan karena telah menjamin masa depan seorang anak. Praktik ini menunjukkan kuatnya nilai komunal, di mana tanggung jawab membesarkan generasi penerus tidak hanya dibebankan pada orang tua biologis.
Mak Angkat melambangkan jalinan kasih sayang yang melampaui ikatan darah.
1.3. Motif Pengangkatan Anak
Motivasi di balik keputusan menjadi Mak Angkat sangat beragam, namun umumnya berkisar pada beberapa poros utama. Pertama, ketidakmampuan memiliki keturunan biologis (infertilitas) adalah motif klasik yang mendorong pasangan untuk mencari kebahagiaan melalui adopsi. Kedua, faktor sosial kemanusiaan, di mana individu atau pasangan merasa terpanggil untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bagi anak-anak yang terlantar atau yatim piatu. Ketiga, faktor kekerabatan, di mana anak dari saudara kandung atau kerabat dekat diasuh untuk meringankan beban orang tua kandung atau menjaga agar anak tetap dalam lingkungan keluarga besar. Keempat, dan ini sering terabaikan, adalah motif ekonomi atau warisan di beberapa tradisi yang mewajibkan adanya pewaris garis keluarga.
Studi sosiologis menunjukkan bahwa Mak Angkat yang berhasil adalah mereka yang motifnya berpusat pada kebutuhan anak (child-centered), bukan sekadar mengisi kekosongan emosional orang dewasa. Keputusan ini memerlukan kematangan emosional dan stabilitas finansial yang kuat, mengingat tantangan psikologis yang mungkin muncul di kemudian hari.
II. Dimensi Psikologis Ikatan Mak Angkat dan Anak Angkat
Hubungan antara Mak Angkat dan anak angkat adalah laboratorium psikologis yang kaya. Di satu sisi ada kebutuhan mendasar anak akan kelekatan (attachment), dan di sisi lain ada proses adaptasi orang tua angkat terhadap tantangan pengasuhan yang unik, terutama jika anak sudah memiliki riwayat trauma atau kehilangan.
2.1. Teori Kelekatan (Attachment Theory) dalam Adopsi
John Bowlby dan Mary Ainsworth mengajukan bahwa kelekatan yang aman adalah fundamental bagi perkembangan psikologis anak. Bagi anak angkat, pembentukan kelekatan ini bisa menjadi proses yang rumit. Jika anak diasuh sejak bayi, kelekatan biasanya terbentuk secara alami. Namun, jika adopsi terjadi pada usia yang lebih tua, anak mungkin membawa pola kelekatan yang tidak aman (misalnya, cemas, menghindar, atau bahkan disorganisasi) yang berasal dari pengalaman awal mereka dengan orang tua kandung atau pengasuh sebelumnya.
Proses menjadi Mak Angkat bukanlah sekadar mencintai, melainkan memahami trauma masa lalu anak dan bekerja keras untuk membangun kepercayaan fundamental yang mungkin telah rusak. Konsistensi, responsif, dan penerimaan tanpa syarat adalah kunci utama dalam memperbaiki pola kelekatan yang rusak.
2.2. Mengelola 'Dual Identity' Anak Angkat
Anak angkat seringkali menjalani kehidupan dengan dua identitas: identitas yang diberikan oleh keluarga angkat dan identitas biologis (kadang berupa fantasi atau ingatan samar tentang keluarga kandung). Mak Angkat yang bijak akan menciptakan ruang di mana kedua identitas ini bisa hidup berdampingan tanpa konflik. Ini dikenal sebagai praktik open adoption atau keterbukaan informasi. Menyembunyikan fakta adopsi seringkali menimbulkan krisis identitas yang lebih parah ketika kebenaran terungkap di usia remaja atau dewasa muda.
Kebutuhan untuk mengetahui asal-usul genetik, meskipun Mak Angkat memberikan kasih sayang yang luar biasa, adalah naluri mendasar manusia. Pengasuh harus siap menjawab pertanyaan tentang orang tua kandung dengan empati dan kejujuran yang sesuai dengan usia anak. Ini membantu anak mengintegrasikan kisah hidup mereka menjadi narasi yang kohesif.
2.3. Sindrom Penolakan dan Kecemasan Orang Tua Angkat
Tidak hanya anak yang menghadapi tantangan, Mak Angkat juga menghadapi isu psikologis unik. Salah satunya adalah kecemasan kinerja—rasa takut bahwa mereka tidak akan 'cukup baik' atau bahwa anak angkat tidak akan mencintai mereka seperti mereka mencintai orang tua kandung. Dalam kasus adopsi terbuka, mereka juga harus mengelola rasa cemburu atau ketidakamanan terkait hubungan anak dengan orang tua biologis.
Selain itu, ketika anak angkat memasuki masa remaja dan menunjukkan perilaku menantang, Mak Angkat mungkin bergumul dengan sindrom penolakan, bertanya-tanya apakah masalah perilaku tersebut disebabkan oleh faktor genetik atau kegagalan pengasuhan mereka. Dukungan psikologis dan kelompok terapi khusus untuk orang tua angkat sangat penting untuk menavigasi kompleksitas ini.
III. Kerangka Hukum dan Administratif di Indonesia
Di Indonesia, pengangkatan anak diatur secara ketat, mencerminkan kebutuhan untuk melindungi hak-hak anak dan memastikan legalitas status keluarga. Proses ini melibatkan tiga lapisan hukum yang saling terkait: Hukum Negara (Undang-Undang), Hukum Agama (terutama bagi Muslim), dan Hukum Adat.
3.1. Hukum Positif: UU Perlindungan Anak
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (diubah dengan UU No. 35 Tahun 2014) menjadi landasan utama. Pasal-pasal terkait menekankan bahwa pengangkatan anak harus bertujuan demi kepentingan terbaik anak (the best interest of the child). Proses ini harus mendapatkan penetapan dari pengadilan. Tanpa penetapan pengadilan, pengangkatan anak dianggap tidak sah secara hukum negara.
- Syarat Utama: Calon orang tua angkat harus sehat jasmani dan rohani, berumur minimal 30 tahun dan maksimal 55 tahun, beragama sama dengan anak, memiliki kondisi ekonomi dan sosial yang stabil, serta telah mengasuh anak tersebut selama minimal enam bulan masa percobaan (foster care).
- Hak Anak: Status anak angkat tidak menghilangkan hak warisnya terhadap orang tua kandung, meskipun ia mendapatkan pengasuhan dan kebutuhan hidup dari Mak Angkat.
3.2. Perspektif Hukum Islam (Fiqih) Terhadap Pengangkatan Anak
Dalam Islam, praktik adopsi total yang menghapus nasab (garis keturunan) anak dilarang keras, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran (Surah Al-Ahzab ayat 4-5). Oleh karena itu, di Indonesia, Mak Angkat dalam konteks Muslim tidak mengubah status nasab anak. Anak tetap dinasabkan kepada ayah biologisnya.
Implikasi penting dari ketentuan ini adalah:
- Perwalian Nikah: Anak perempuan yang diadopsi harus dinikahkan oleh wali dari pihak nasab biologisnya, bukan wali dari keluarga angkat.
- Hukum Waris: Anak angkat tidak otomatis mendapatkan warisan dari Mak Angkat sebagaimana anak kandung (kecuali melalui wasiat wajibah atau hibah).
- Mahram: Anak laki-laki angkat yang sudah baligh adalah *bukan mahram* bagi Mak Angkat, kecuali terjadi ikatan *radha'ah* (penyusuan) saat bayi, yang menjadikan mereka mahram. Ini merupakan poin krusial yang sering luput dari perhatian dalam keluarga Muslim yang mengadopsi anak.
Pemisahan nasab dan hak waris ini menegaskan bahwa kasih sayang Mak Angkat adalah murni anugerah dan tanggung jawab moral, bukan sebagai pengganti total orang tua kandung di mata hukum agama, menjadikannya suatu komitmen pengabdian yang sangat tinggi.
3.3. Konflik dan Harmonisasi Hukum Adat
Beberapa suku di Indonesia memiliki aturan adat yang berbeda. Misalnya, di Batak atau Jawa, terdapat ritual pengangkatan anak yang bisa mempengaruhi status kekerabatan. Adat seringkali lebih menekankan integrasi sosial anak ke dalam marga atau komunitas angkat. Namun, seiring perkembangan zaman, penetapan pengadilan tetap diutamakan untuk memberikan perlindungan hukum yang kuat bagi anak angkat, mengamankan hak-hak sipilnya di masa depan.
IV. Tantangan dan Dinamika Hubungan Jangka Panjang
Ikatan Mak Angkat adalah ikatan yang dinamis dan berkembang seiring waktu. Tantangan yang muncul di awal masa kanak-kanak akan bertransformasi menjadi isu identitas di masa remaja, dan menjadi isu legal/finansial di masa dewasa.
4.1. Masa Remaja: Krisis Identitas dan Pemberontakan
Masa remaja adalah fase kritis bagi anak angkat. Di sinilah mereka mulai mempertanyakan jati diri, mencari tahu 'siapa aku sebenarnya,' dan membandingkan diri dengan teman sebaya. Pemberontakan yang dialami remaja angkat mungkin diperparah oleh perasaan terpisah atau 'berbeda' dari keluarga angkat, bahkan jika cinta yang diterima sangat besar.
Mak Angkat dituntut memiliki kesabaran ekstra dan kemampuan komunikasi terbuka. Mereka harus bisa mengizinkan anak mengeksplorasi kisah asal-usulnya tanpa merasa terancam bahwa kasih sayang mereka akan digantikan oleh orang tua kandung. Kegagalan komunikasi di fase ini bisa mengakibatkan keretakan yang permanen.
4.2. Pengangkatan Anak dan Isu Kesehatan Mental
Banyak anak angkat, terutama yang diadopsi setelah usia balita, mungkin memiliki riwayat paparan kondisi buruk seperti malnutrisi, neglect (penelantaran), atau bahkan kekerasan. Hal ini dapat memicu Developmental Trauma Disorder (DTD) atau Gangguan Kelekatan Reaktif (RAD). Mak Angkat harus didukung untuk mendapatkan pelatihan khusus dalam pengasuhan berbasis trauma (trauma-informed parenting).
Pengasuhan berbasis trauma berfokus pada: (1) Keamanan, (2) Pengaturan Emosi, dan (3) Keterhubungan. Mak Angkat perlu memahami bahwa perilaku buruk anak seringkali merupakan respons adaptif terhadap trauma masa lalu, bukan penolakan terhadap cinta yang diberikan saat ini.
4.3. Hubungan dengan Keluarga Kandung (Open Adoption)
Di Indonesia, adopsi tertutup (di mana tidak ada kontak dengan orang tua kandung) masih dominan. Namun, adopsi terbuka semakin diakui manfaatnya secara psikologis. Jika Mak Angkat memutuskan untuk memfasilitasi hubungan antara anak dan orang tua kandung (sesuai hukum dan demi keselamatan anak), ini membutuhkan kedewasaan emosional yang luar biasa.
Hubungan terbuka harus ditangani dengan batasan yang jelas. Mak Angkat berperan sebagai jembatan, memastikan bahwa interaksi ini mendukung kesejahteraan emosional anak dan tidak menimbulkan kebingungan atau perebutan peran orang tua.
Kunci sukses Mak Angkat adalah menjaga keseimbangan peran dan kebutuhan emosional anak.
V. Memperdalam Komitmen: Studi Kasus dan Refleksi Filosofis
Untuk memahami kedalaman peran Mak Angkat, kita perlu melihat studi kasus nyata yang menunjukkan pengorbanan dan cinta tak terbatas yang diberikan. Kasus-kasus ini seringkali menjadi cerminan filosofi pengasuhan non-biologis di Indonesia.
5.1. Studi Kasus I: Membangun Legasi Melalui Pengasuhan
Ibu Siti (bukan nama sebenarnya) menjadi Mak Angkat bagi tiga keponakannya setelah kakak perempuannya meninggal dunia. Secara hukum, prosesnya rumit karena melibatkan warisan peninggalan orang tua kandung. Namun, secara emosional, tantangannya adalah menghadapi trauma kolektif anak-anak tersebut.
Ibu Siti tidak pernah berusaha menghapus ingatan anak-anak tentang ibu kandung mereka. Sebaliknya, ia menciptakan 'Sudut Kenangan' di rumah, tempat foto dan cerita tentang ibu kandung mereka dipajang. Tindakan ini merupakan pengakuan penting bahwa cinta adalah inklusif, bukan eksklusif. Pendekatan ini, yang oleh para ahli disebut grief and loss acknowledgment, memungkinkan anak-anak memproses duka mereka sambil tetap membangun kelekatan aman dengan Mak Angkat mereka. Keputusan Ibu Siti menunjukkan bahwa Mak Angkat yang ideal adalah mereka yang bertindak sebagai penjaga sejarah keluarga, bukan penghapus sejarah.
5.2. Studi Kasus II: Mengatasi Hambatan Mahram dan Waris dalam Adopsi Muslim
Pak Budi dan Ibu Aisyah, yang tidak memiliki keturunan, mengadopsi bayi laki-laki. Dalam keluarga Muslim yang taat, isu Mahram menjadi sangat penting ketika anak memasuki masa pubertas. Untuk mengatasi isu ini, Ibu Aisyah mencari donor ASI dan melakukan proses *radha'ah* (penyusuan) sesuai syariat, meskipun anak sudah berusia beberapa bulan. Walaupun sulit, mereka berhasil membuat anak tersebut menjadi mahram bagi Ibu Aisyah.
Terkait warisan, mereka menyiapkan wasiat wajibah dan hibah (pemberian semasa hidup) yang secara eksplisit mencantumkan bagian aset tertentu untuk anak angkat mereka, memastikan bahwa meskipun secara hukum waris Islam anak tersebut tidak berhak penuh, kebutuhan finansialnya tetap terpenuhi. Kasus ini menyoroti bagaimana Mak Angkat seringkali harus berinovasi dan bekerja ekstra keras dalam kerangka hukum dan agama yang ada untuk memberikan perlindungan penuh pada anak mereka, sebuah refleksi dari komitmen yang mendalam.
5.3. Filosofi Cinta Tanpa Syarat
Pada akhirnya, peran Mak Angkat adalah tentang definisi ulang cinta tanpa syarat. Cinta biologis seringkali dianggap otomatis, namun cinta yang dibangun oleh Mak Angkat adalah hasil dari pilihan sadar, komitmen yang dipertimbangkan matang, dan perjuangan yang tak henti-hentinya. Ini adalah cinta yang mengalir dari hati yang memilih untuk bertanggung jawab penuh atas kehidupan orang lain yang secara genetik asing.
Filosofi ini mengajarkan kepada masyarakat bahwa kekuatan keluarga terletak pada ikatan emosional dan tanggung jawab, bukan semata-mata pada kode genetik. Dalam konteks Mak Angkat, setiap sentuhan, setiap nasihat, dan setiap pengorbanan adalah bukti bahwa kasih sayang adalah kekuatan paling transformatif yang mampu mengatasi batasan darah.
Peran Mak Angkat seringkali dihadapkan pada kritik dan pengawasan sosial, terutama dari mereka yang masih berpegangan teguh pada pandangan sempit tentang garis keturunan. Namun, para Mak Angkat yang sukses dan penuh dedikasi membuktikan bahwa keluarga adalah konstruksi hati, bukan rahim. Mereka menanggung beban ganda—beban pengasuhan dan beban pembuktian bahwa ikatan mereka sama sahnya, sama kuatnya, dengan ikatan biologis.
VI. Mempersiapkan Diri Menjadi Mak Angkat yang Sukses
Menjadi Mak Angkat adalah sebuah perjalanan, bukan tujuan. Persiapan yang matang, baik secara mental, emosional, maupun administratif, sangat penting untuk menjamin kesejahteraan anak dan stabilitas keluarga.
6.1. Pelatihan dan Edukasi Pengasuhan
Calon Mak Angkat disarankan mengikuti pelatihan yang berfokus pada dinamika adopsi, termasuk topik sensitif seperti trauma, kelekatan, dan pengasuhan yang responsif. Di Indonesia, meskipun persyaratan hukum ada, dukungan pendidikan pasca-adopsi masih minim. Inisiatif mandiri untuk bergabung dengan kelompok dukungan orang tua angkat sangat krusial.
Edukasi harus mencakup pemahaman mendalam tentang:
- Tahapan psikoseksual dan psikososial anak angkat.
- Cara mengkomunikasikan fakta adopsi secara jujur dan bertahap.
- Strategi mengatasi pertanyaan sulit dari lingkungan sosial atau anak itu sendiri.
- Pengelolaan stres dan kelelahan (burnout) sebagai orang tua angkat.
6.2. Stabilitas dan Keterbukaan dalam Pasangan
Keputusan untuk mengadopsi harus disepakati secara mutlak oleh kedua belah pihak. Konflik atau keraguan dalam pasangan dapat sangat merusak kelekatan anak. Mak Angkat dan pasangannya harus memiliki visi yang sama tentang peran orang tua kandung dalam narasi anak dan kesiapan untuk menghadapi isu hukum/agama bersama-sama. Konsultasi pernikahan sebelum adopsi dapat menjadi langkah proaktif yang sangat bermanfaat.
6.3. Membangun Jaringan Dukungan Sosial
Isolasi sosial adalah ancaman serius bagi keluarga angkat. Mereka membutuhkan jaringan yang memahami kompleksitas adopsi—teman, kerabat, atau komunitas agama yang mendukung tanpa menghakimi. Mak Angkat seringkali berjuang dengan narasi yang tidak terlihat: mereka membesarkan anak tanpa melalui proses kehamilan dan melahirkan, namun menghadapi tantangan yang sama, bahkan lebih rumit, dari orang tua biologis.
VII. Ikatan yang Bertahan Melintasi Generasi
Dampak Mak Angkat tidak berhenti pada anak angkat itu sendiri, melainkan meluas ke cucu angkat dan generasi selanjutnya. Bagaimana Mak Angkat membentuk lanskap keluarga masa depan adalah bukti nyata dari kekuatan cinta yang melampaui biologi.
7.1. Transmisi Nilai dan Warisan Non-Materi
Meskipun warisan harta benda diatur secara ketat, warisan non-materi—nilai moral, etika kerja, tradisi keluarga, dan identitas budaya—sepenuhnya ditransmisikan oleh Mak Angkat. Anak angkat yang tumbuh dengan rasa aman dan harga diri yang kuat akan meneruskan nilai-nilai ini kepada keturunan mereka, seringkali mengabadikan nama dan pengorbanan Mak Angkat mereka.
Dalam banyak keluarga, cucu angkat melihat Mak Angkat sebagai nenek mereka tanpa embel-embel 'angkat.' Ini menegaskan kemenangan kasih sayang atas formalitas, di mana ikatan yang dibangun melalui tahun-tahun dedikasi menjadi satu-satunya realitas yang berarti bagi generasi penerus.
7.2. Kesinambungan dan Adaptasi dalam Struktur Keluarga Besar
Mak Angkat memainkan peran penting dalam mengintegrasikan anak angkat ke dalam silsilah keluarga besar (kakek, nenek, paman, bibi angkat). Keberhasilan integrasi ini sering bergantung pada penerimaan dan keterbukaan keluarga besar itu sendiri. Jika anak angkat merasa diterima oleh semua anggota keluarga angkat, rasa memiliki mereka akan menjadi sangat kuat. Di sisi lain, jika ada kerabat yang menolak mengakui statusnya, tugas Mak Angkat menjadi jauh lebih berat dalam melindungi anak dari diskriminasi internal.
Oleh karena itu, persiapan menjadi Mak Angkat harus melibatkan seluruh keluarga inti dan keluarga besar, memastikan bahwa semua pihak berkomitmen untuk menganggap anak angkat sebagai bagian utuh dari pohon keluarga, terlepas dari perbedaan nasab yang diakui secara legal atau agama.
7.3. Refleksi Etis dan Pengangkatan Anak di Era Modern
Seiring majunya teknologi dan perubahan sosial, praktik pengangkatan anak terus berevolusi. Isu sensitif seperti adopsi internasional, adopsi oleh orang tua tunggal, dan adopsi oleh pasangan sesama jenis (meskipun yang terakhir ini belum diakui secara hukum di Indonesia) terus menantang definisi tradisional keluarga.
Dalam konteks modern, fokus etika harus selalu kembali ke pertanyaan inti: Apakah Mak Angkat mampu memberikan lingkungan yang aman, penuh kasih, dan stabil, yang menjamin terpenuhinya hak-hak dasar anak? Selama jawabannya adalah ya, maka peran Mak Angkat tetap menjadi salah satu kontribusi paling mulia dan berharga bagi kemanusiaan, mendefinisikan ulang makna inti dari 'rumah' dan 'keluarga'. Mereka adalah arsitek ikatan yang menunjukkan bahwa cinta bukanlah warisan, melainkan pilihan yang dibuat setiap hari.
Pengorbanan waktu, emosi, dan sumber daya oleh Mak Angkat seringkali tidak terhitung. Mereka mendedikasikan hidup mereka untuk membesarkan anak yang, tanpa intervensi mereka, mungkin menghadapi masa depan yang suram. Ini bukan hanya tindakan kebaikan individual, tetapi juga investasi kolektif dalam pembangunan masyarakat yang lebih peduli dan inklusif. Kisah Mak Angkat adalah kisah tentang hati yang terbuka lebar, siap menerima dan mencintai tanpa batasan darah, sebuah warisan abadi yang terukir dalam jiwa anak-anak yang mereka selamatkan dan besarkan dengan penuh kasih.
Penutup: Memuliakan Peran Mak Angkat
Mak Angkat adalah tiang penyangga yang membuktikan bahwa keluarga dibangun di atas fondasi komitmen, kesabaran, dan cinta yang tulus. Mereka adalah sosok yang memilih untuk mengisi kekosongan, menyembuhkan luka masa lalu, dan merajut masa depan baru bagi seorang anak. Ikatan yang mereka ciptakan—melalui negosiasi hukum yang rumit, mengatasi tantangan psikologis, dan menangkis prasangka sosial—adalah salah satu bentuk ikatan manusia yang paling kuat.
Pengakuan dan penghormatan terhadap peran Mak Angkat sangat penting. Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang mempraktikkan kasih sayang yang inklusif dan transformatif, memastikan bahwa setiap anak, terlepas dari asal-usulnya, memiliki hak untuk tumbuh dalam kehangatan dan keamanan sebuah keluarga. Mereka membentuk generasi dengan pemahaman bahwa meskipun darah menyatukan, hati lah yang merekatkan. Perjalanan Mak Angkat adalah kisah tentang kekuatan hati manusia yang melampaui definisi biologis dan legal, menciptakan ikatan abadi yang menjadi teladan bagi seluruh masyarakat.