JANGAT: Adaptasi Pangan Ekstrem dan Sejarah Kelangsungan Hidup Manusia

Dalam sejarah panjang evolusi dan peradaban manusia, batas antara apa yang dianggap makanan dan apa yang dianggap materi mentah sering kali kabur, terutama dalam kondisi kelaparan ekstrem. Di tengah-tengah krisis pangan, pengepungan panjang, atau perjalanan eksplorasi yang gagal, manusia terpaksa beralih pada sumber daya yang paling tidak menyenangkan dan sulit dicerna: kulit hewan, atau jangat.

Praktik makan jangat bukanlah pilihan diet, melainkan penanda keputusasaan yang mendalam. Jangat, yang merupakan bahan baku utama untuk pembuatan kulit (leather), adalah komposisi biologis yang keras, liat, dan secara alami tidak dapat dimakan karena kandungan kolagen yang sangat padat dan keberadaan zat penyamak (tannin) yang beracun jika tidak diolah. Studi ini akan mengupas tuntas mengapa jangat menjadi pilihan terakhir, teknik-teknik pengolahan yang dikembangkan oleh budaya survival, serta implikasi nutrisi dan historis dari konsumsi materi non-tradisional ini.

I. Konteks Historis dan Filosofi Keputusasaan

Penggunaan jangat sebagai pangan darurat muncul secara sporadis di berbagai episode sejarah. Catatan-catatan kuno, narasi pengepungan era pertengahan, dan laporan eksplorasi abad ke-19 semuanya mencatat momen di mana kulit sepatu bot, sabuk, atau bahkan pelindung perisai direbus menjadi bubur yang sulit diterima lidah. Praktik ini menegaskan bahwa kelangsungan hidup sering kali memaksa penolakan terhadap norma-norma kuliner yang paling mendasar.

1. Pengepungan dan Bencana Alam

Pengepungan kota adalah skenario klasik di mana sumber daya makanan habis total. Ketika semua hewan peliharaan, tikus, dan bahkan serangga telah dimakan, jangat menjadi target berikutnya. Contoh paling terkenal termasuk pengepungan Roma, pertempuran di Stalingrad, dan yang paling mengerikan, Pengepungan Leningrad pada era Perang Dunia II. Di Leningrad, orang-orang mulai merebus sampul buku kulit dan barang-barang pribadi yang terbuat dari jangat yang sudah disamak. Tujuan utamanya bukan untuk mendapatkan kalori tinggi, melainkan untuk mengisi perut dan mendapatkan sedikit kolagen yang dapat mencegah gejala kelaparan fatal.

2. Ekspedisi dan Eksplorasi

Para penjelajah yang tersesat atau terdampar sering kali mendapati diri mereka berada dalam situasi di mana satu-satunya yang tersisa dari persediaan mereka adalah peralatan yang terbuat dari kulit. Kasus yang paling sering dicatat dalam sejarah Amerika Utara adalah insiden rombongan Donner Party, di mana anggota yang selamat terpaksa mengkonsumsi kulit banteng kering dan barang-barang kulit lainnya. Mereka menyadari bahwa tanpa proses pelunakan dan detanisasi yang ekstensif, kulit tersebut hampir tidak memberikan energi namun setidaknya memberikan rasa kenyang sementara yang menipu.

II. Karakteristik Jangat sebagai Pangan Darurat

Sebelum membahas metode pengolahan, penting untuk memahami komposisi biologis jangat dan mengapa ia sangat resisten terhadap pencernaan manusia. Jangat adalah kulit luar hewan, terutama terdiri dari protein struktural yang disebut kolagen. Kolagen ini, ketika basah, kenyal dan elastis; tetapi ketika kering, ia menjadi sangat keras dan sulit dikunyah.

1. Komposisi Kimia Jangat

Jangat mentah terdiri dari sekitar 65% air, 33% protein (mayoritas kolagen), dan sisanya adalah lemak, mineral, dan karbohidrat. Nilai gizi utamanya terletak pada protein, namun masalah muncul karena struktur heliks triple kolagen yang sangat ketat. Struktur ini harus dipecah (didenaturasi) melalui panas dan asam agar dapat dicerna.

Masalah terbesar adalah proses penyamakan. Jangat yang sudah diproses menjadi kulit, seperti kulit sepatu atau sabuk, telah diperlakukan dengan zat kimia atau tumbuhan (tanin). Tanin adalah polifenol yang mengikat protein kolagen, menjadikannya stabil dan tidak mudah membusuk. Namun, tanin bersifat toksik dalam dosis besar dan mengikat nutrisi lain, membuatnya berbahaya untuk dikonsumsi. Oleh karena itu, pengolahan jangat untuk dimakan harus berfokus pada dua hal: detanisasi dan denaturasi kolagen.

Jangat Keras (Tannin) Pencucian & Asam/Basa 💧 Pelunakan Awal Pemanasan Intensif Kolagen Terurai (Jelatin)

Skema dasar pengolahan jangat keras menjadi bahan yang dapat dikonsumsi melalui tahap detanisasi dan pemanasan intensif.

III. Teknik Pengolahan Jangat agar Dapat Dimakan (Detanisasi dan Denaturasi)

Kunci keberhasilan (atau setidaknya upaya bertahan hidup) dalam mengkonsumsi jangat adalah transformasi. Jangat harus diubah dari material keras yang kaya tanin menjadi substansi gelatinous yang lebih mudah dicerna. Proses ini, yang memerlukan waktu dan energi yang berharga, membedakan antara makanan yang sangat buruk dan racun yang mematikan.

1. Pembersihan dan Penghilangan Racun (Detanisasi)

Langkah pertama adalah menghilangkan segala residu penyamakan dan kotoran. Jika jangat itu adalah kulit sepatu yang sudah sangat tua, proses ini bisa sangat sulit dan memakan waktu berhari-hari.

2. Memasak Intensif (Denaturasi Kolagen)

Setelah detanisasi, jangat masih liat. Untuk mengubah kolagen yang tidak larut menjadi gelatin yang larut (dan dapat dicerna), diperlukan panas yang lama dan intensif. Proses ini sama dengan membuat kaldu tulang yang sangat kental, tetapi dengan bahan dasar yang jauh lebih resisten.

A. Metode Perebusan Ekstrem

Jangat dipotong kecil-kecil—semakin kecil, semakin baik—untuk memaksimalkan luas permukaan kontak dengan air. Potongan-potongan ini kemudian direbus. Durasi perebusan sangatlah krusial; ini bukan masalah jam, melainkan masalah hari. Jangat sepatu bot yang tebal mungkin memerlukan perebusan terus menerus selama 10 hingga 20 jam, mengganti air sesekali. Panas yang berkelanjutan memecah ikatan kolagen, mengubahnya menjadi gelatin yang kental dan lengket.

Hasil akhirnya sering kali berupa cairan keruh yang sangat kental dan berlendir, mirip lem hewani (hide glue). Konsistensi ini memberikan rasa kenyang yang kuat, meskipun nilai kalorinya masih rendah. Cairan ini kemudian diminum atau, jika cukup kental, dimakan dengan sendok.

B. Metode Pembakaran dan Pengikisan

Metode ini lebih primitif dan sering digunakan pada kulit hewan yang baru (bukan kulit yang sudah disamak). Kulit dibakar di atas api terbuka hingga lapisan luar yang keras dan berbulu menjadi arang. Lapisan arang ini dikikis, dan lapisan di bawahnya, yang telah dipanaskan dan dilunakkan, dapat dikunyah atau direbus sebentar. Meskipun lebih cepat, metode ini sering meninggalkan residu yang pahit dan tidak menghilangkan tanin seefektif perebusan.

C. Penambahan Agen Pengasam (Jika Tersedia)

Di beberapa budaya, jika sumber daya memungkinkan, penambahan agen asam seperti cuka atau asam buah-buahan (misalnya, asam dari beri tertentu atau asam laktat dari fermentasi) ke dalam air rebusan dapat mempercepat proses hidrolisis kolagen, mengubahnya menjadi gelatin lebih cepat. Namun, dalam situasi survival ekstrem, bahan-bahan ini hampir tidak pernah tersedia.

IV. Nilai Nutrisi dan Bahaya Mengkonsumsi Jangat

Ketika seseorang mengkonsumsi jangat, ia berusaha mendapatkan tiga komponen utama: air, sedikit lemak, dan yang paling penting, protein dalam bentuk kolagen. Namun, keterbatasan dan bahaya nutrisinya sangat signifikan.

1. Kolagen dan Protein

Kolagen, setelah terurai menjadi gelatin, menyediakan asam amino. Ini membantu mencegah tubuh mulai mengkonsumsi ototnya sendiri sebagai bahan bakar, suatu proses yang terjadi pada tahap akhir kelaparan. Gelatin menyediakan asam amino non-esensial, terutama glisin, prolin, dan hidroksiprolin. Ini penting untuk perbaikan jaringan dan dapat memberikan energi dasar.

Namun, kolagen adalah protein yang tidak lengkap. Ia hampir tidak mengandung triptofan, salah satu dari sembilan asam amino esensial yang harus didapatkan dari makanan. Mengkonsumsi hanya kolagen secara eksklusif dalam jangka panjang akan menyebabkan apa yang dikenal sebagai "protein poisoning" (keracunan protein) atau kelaparan kelinci (rabbit starvation), di mana tubuh tidak dapat memetabolisme protein tanpa adanya lemak dan karbohidrat yang memadai, menyebabkan kegagalan hati dan gejala malnutrisi yang parah.

2. Nilai Kalori yang Rendah

Meskipun secara teoritis protein memiliki 4 kalori per gram, energi yang diperlukan untuk mengolah (mengunyah, mencerna, memetabolisme racun sisa) jangat sering kali melebihi energi bersih yang diperoleh. Dalam kasus jangat yang sudah disamak, banyak materi yang tidak dapat dicerna dan hanya berfungsi sebagai ‘pengisi’ perut. Ini memberikan ilusi kenyang yang penting secara psikologis tetapi tidak signifikan secara energetik.

3. Bahaya Residu Kimia

Bahaya terbesar adalah residu penyamakan. Zat krom (chromic salts) yang digunakan dalam penyamakan modern bersifat toksik. Tanin nabati, meskipun kurang mematikan, dapat menyebabkan kerusakan hati dan mengganggu penyerapan nutrisi lain. Oleh karena itu, hanya jangat yang belum disamak atau jangat yang telah melalui proses detanisasi yang sangat panjang dan teliti yang dapat memberikan harapan kelangsungan hidup.

V. Studi Kasus Historis dan Etnografi Konsumsi Jangat

Praktik makan jangat, atau produk kulit lainnya, telah dicatat dalam berbagai budaya dan situasi ekstrem, menunjukkan adaptasi manusia yang luar biasa terhadap kekurangan gizi.

1. Rombongan Donner Party (1846–1847)

Saat terperangkap oleh salju di Sierra Nevada, kelompok pionir Amerika ini terpaksa makan apa pun yang mereka miliki. Jangat kerbau dan kulit binatang kering menjadi bagian penting dari makanan mereka. Mereka mencoba merebus dan membakar kulit-kulit ini. Meskipun narasi ini sering difokuskan pada kanibalisme, konsumsi barang-barang kulit yang bukan makanan menunjukkan tingkat keputusasaan yang dicapai di ambang kematian.

2. Kulit Paus dan Inupiat (Jangat Laut)

Berbeda dengan jangat darat yang keras, jangat paus (disebut muktuk oleh Inupiat) adalah makanan tradisional yang sangat bernutrisi. Muktuk terdiri dari kulit paus dan lapisan lemak (blubber) yang melekat. Muktuk dikonsumsi mentah atau beku. Meskipun ini adalah kulit, ia tidak disamak dan mengandung lapisan lemak yang kaya energi, menjadikannya pengecualian penting dalam pembahasan jangat non-makanan. Muktuk menunjukkan bahwa jika kulit disertai dengan lemak, nilai survival-nya melonjak drastis.

Perebusan intensif jangat untuk mendapatkan gelatin.

Perebusan intensif adalah metode utama untuk mengubah kolagen jangat menjadi gelatin yang dapat dimakan dalam situasi darurat.

3. Makanan Kering Pasukan Mongol

Meskipun tidak murni jangat, tentara Mongol terkadang membawa bahan makanan yang sangat padat dari daging dan susu yang dikeringkan dan ditekan. Dalam konteks kelangsungan hidup yang lebih luas, mereka juga menggunakan jangat mentah yang dikeringkan sebagai semacam wadah/kantong makanan. Jika persediaan habis, kantong ini bisa direbus dan dikonsumsi. Jangat yang digunakan untuk tujuan ini biasanya telah dipersiapkan agar tidak mengandung terlalu banyak tanin, menjadikannya pilihan terakhir yang sedikit lebih aman.

VI. Memahami Jangat dalam Konteks Pangan Modern dan Alternatif Kolagen

Di era modern, konsumsi jangat mentah sebagai makanan survival telah tergantikan oleh teknologi pangan dan nutrisi darurat yang lebih efisien. Namun, ilmu di balik pengolahan kolagen jangat tetap relevan dalam industri makanan.

1. Gelatin dan Kaldu Tulang

Gelatin, yang merupakan produk turunan utama dari kolagen jangat yang diolah, adalah bahan baku penting dalam makanan sehari-hari. Gelatin diproduksi melalui hidrolisis (pemecahan menggunakan air dan panas) kolagen dari kulit babi, kulit sapi, atau tulang. Ini adalah contoh pengolahan jangat yang paling halus dan terkontrol, jauh berbeda dari merebus kulit sepatu bot.

Tren kaldu tulang (bone broth) juga menegaskan kembali nilai nutrisi kolagen terhidrolisis. Kaldu tulang, yang direbus dalam waktu lama, mengekstrak gelatin dari tulang dan sedikit sisa kulit/jaringan ikat yang menempel. Konsumsi kolagen dalam bentuk ini sangat bermanfaat bagi kesehatan persendian dan usus, tetapi sekali lagi, ini adalah versi yang aman, bersih, dan lezat dari konsep dasar makan jangat.

2. Teknologi Pangan Ekstrem

Militer dan program eksplorasi luar angkasa telah mengembangkan ransum darurat yang padat kalori dan lengkap nutrisinya. Pengetahuan tentang kegagalan protein tidak lengkap (seperti kolagen murni) telah memastikan bahwa ransum survival modern selalu mencakup keseimbangan karbohidrat, lemak, dan protein yang memadai, sehingga praktik merebus kulit tidak lagi diperlukan, kecuali dalam skenario malapetaka yang benar-benar tidak terduga.

VII. Refleksi Etika dan Psikologis Konsumsi Jangat

Melampaui analisis kimia dan historis, tindakan mengkonsumsi jangat membawa beban etika dan psikologis yang mendalam. Jangat adalah materi yang secara kultural dan sensoris ditolak sebagai makanan. Ketika manusia terpaksa melintasi batas ini, itu menunjukkan hilangnya harapan dan kehancuran tatanan sosial yang mengatur makanan.

1. Persepsi Sensoris dan Kognitif

Rasa dan tekstur jangat yang direbus sangat tidak menyenangkan—sering digambarkan sebagai hambar, pahit, bergetah, dan berbau. Resistensi kognitif untuk memakan benda yang dikenali sebagai pakaian atau peralatan adalah penghalang psikologis yang besar. Dalam narasi survival, sering kali dicatat bahwa yang pertama kali menyerah adalah mereka yang tidak mampu mengatasi trauma psikologis mengkonsumsi sesuatu yang bukan makanan.

2. Nilai Simbolis Kelangsungan Hidup

Namun, dalam keputusasaan, mengkonsumsi jangat menjadi ritual kelangsungan hidup. Ini adalah tindakan terakhir dari penolakan terhadap kematian. Setiap potongan kulit sepatu yang berhasil diubah menjadi bubur gelatin mewakili kemenangan kecil atas kelaparan. Simbolisme ini mungkin lebih penting daripada nilai kalori aktual yang diperoleh, memberikan motivasi untuk terus berjuang di tengah krisis yang tak terbayangkan.

Praktik makan jangat adalah pengingat suram akan rapuhnya peradaban dan betapa cepatnya manusia dapat kembali ke upaya bertahan hidup yang paling primal dan brutal. Ini adalah kisah tentang kolagen yang dihidrolisis, tanin yang dihindari, dan daya tahan roh manusia dalam menghadapi kondisi yang paling mematikan.


VIII. Detil Kimiawi Detanisasi Non-Industrial

Untuk benar-benar memahami tantangan makan jangat, kita harus menyelam lebih dalam ke proses detanisasi tanpa akses ke bahan kimia modern. Dalam konteks kelangsungan hidup historis, detanisasi adalah seni yang dikembangkan secara empiris dan berdasarkan sumber daya alam yang terbatas.

1. Peran Abu Kayu dalam Detanisasi

Abu kayu (terutama dari kayu keras) mengandung kalium karbonat dan kalium hidroksida ketika dicampur dengan air. Larutan ini bersifat basa (alkali). Zat basa ini memiliki kemampuan untuk menyerang ikatan kimia tanin yang mengikat kolagen. Ketika jangat direndam dalam larutan abu, basa membantu melepaskan tanin dari serat kolagen.

Namun, proses ini harus dilakukan dengan hati-hati. Terlalu banyak basa akan merusak serat kolagen itu sendiri, mengubah jangat menjadi substansi lembek dan merusak protein yang seharusnya kita makan. Jumlah waktu yang tepat dan konsentrasi abu yang ideal adalah perbedaan antara jangat yang aman dan jangat yang benar-benar larut. Biasanya, jangat direndam selama beberapa hari, dicuci, dan direndam lagi. Praktik ini menghabiskan banyak air dan waktu, sumber daya yang langka dalam situasi darurat.

2. Menggunakan Asam Alami

Di beberapa daerah, urin tua yang difermentasi atau asam laktat dari susu busuk digunakan untuk pra-perlakuan jangat mentah. Asam membantu proses "pickling" (pengasaman) yang melunakkan jangat sebelum dimasak. Asam juga membantu memecah protein yang kurang diinginkan. Meskipun ini terdengar menjijikkan, dalam konteks kelangsungan hidup, setiap metode yang dapat memecah struktur jangat adalah vital. Asam, seperti basa, harus dicuci bersih setelah perlakuan untuk mencegah kerusakan internal pada sistem pencernaan.

3. Penyamakan Minyak dan Detanisasi

Banyak kulit yang digunakan untuk pakaian tidak disamak dengan tanin, melainkan dengan minyak atau lemak (brain tanning). Kulit yang disamak minyak jauh lebih mudah untuk dipersiapkan sebagai makanan darurat karena minyak tidak bersifat toksik seperti tanin. Jika jangat yang tersedia adalah jenis kulit 'buckskin' tradisional, ia bisa direbus langsung dengan risiko yang jauh lebih kecil, meskipun masih memerlukan waktu perebusan yang lama untuk denaturasi kolagen.

IX. Kasus Ekstrem Pengepungan Jangka Panjang

Fokus pada pengepungan memberikan wawasan yang paling jelas tentang keputusasaan yang mendorong konsumsi jangat. Dalam kota yang dikelilingi musuh, tidak ada harapan untuk bantuan, dan makanan harus diukur hingga batas mikroskopis.

1. Pengepungan Yerusalem (70 Masehi)

Sejarawan Yahudi Flavius Josephus mencatat kekejaman kelaparan di Yerusalem selama pengepungan Romawi. Josephus menulis bahwa orang-orang pada akhirnya memakan sabuk, sandal, dan kulit yang dikunyah dari perisai mereka. Ini adalah bukti konsumsi jangat yang sangat dini dalam sejarah yang direkam. Kualitas jangat yang digunakan saat itu (seringkali disamak secara alami atau hanya dikeringkan) mungkin sedikit lebih mudah diolah daripada kulit era industri, tetapi tetap merupakan sumber makanan yang sangat tidak memadai.

2. Leningrad (1941–1944)

Pengepungan Leningrad adalah contoh modern yang menyayat hati. Dengan suhu beku dan tidak ada bahan bakar untuk pemanas, energi yang dihabiskan untuk merebus jangat pun menjadi masalah. Warga merebus tas kerja kulit, pelapis mantel kulit domba, dan terutama lem kulit industri yang digunakan di pabrik. Lem ini secara harfiah adalah gelatin jangat yang sudah jadi, dan meskipun tidak bergizi, ia menjadi sumber kalori yang sangat dicari. Keputusan untuk makan jangat bukan hanya soal kekurangan makanan, tetapi juga tentang termoregulasi—lembaran kolagen yang sedikit kental dapat memberikan sedikit energi untuk melawan hawa dingin yang mematikan.

X. Jangat vs. Sumber Protein Darurat Lainnya

Dalam skenario survival, jangat sering dibandingkan dengan sumber protein darurat lain yang sama-sama tidak menyenangkan:

1. Jangat vs. Kulit Pohon (Cambium)

Beberapa suku pribumi dan orang yang terdampar dapat mengkonsumsi cambium (lapisan dalam kulit kayu). Cambium mengandung karbohidrat, vitamin, dan serat. Meskipun sulit dicerna, cambium menawarkan nutrisi yang lebih seimbang daripada jangat murni (yang hanya kolagen). Jangat menawarkan protein yang lebih terkonsentrasi, tetapi hanya setelah diolah secara ekstensif, sedangkan cambium dapat dikunyah setelah direbus sebentar.

2. Jangat vs. Serangga dan Belatung

Serangga adalah sumber protein dan lemak yang jauh lebih superior daripada jangat, dan tidak memerlukan detanisasi. Namun, serangga tidak selalu tersedia, terutama di lingkungan beku atau di tengah kota yang terkepung. Jangat memiliki keunggulan berupa ketersediaan yang sudah ada, misalnya melekat pada pakaian atau peralatan.

XI. Analisis Detail Proses Perebusan Jangat Kering

Mari kita bayangkan proses yang dilakukan oleh seorang korban kelaparan yang memiliki sepotong kulit sabuk yang sudah tua dan keras. Tujuan utama adalah mengubah substansi padat ini menjadi sesuatu yang menyerupai sup kental atau agar-agar, yang bisa ditelan dan dicerna.

1. Tahap Penghancuran Fisik

Sabuk tersebut harus dipecah. Jika pisau tidak tersedia, proses ini melibatkan penggunaan batu atau palu untuk menghancurkan serat jangat. Jangat yang dihancurkan akan meningkatkan luas permukaan untuk penyerapan air. Ini sangat penting karena jangat kering menolak air dengan sangat kuat.

2. Perebusan Awal (Pembengkakan)

Jangat yang dihancurkan direbus dalam air. Pada awalnya, kolagen menyerap air dan "membengkak" (swelling). Ini adalah tahap di mana sebagian besar tanin dan residu kimia mulai larut. Air rebusan pertama ini harus dibuang. Air rebusan ini seringkali berwarna gelap, berbau kimia, dan sangat pahit.

3. Perebusan Lanjut (Konversi Gelatin)

Jangat direbus kembali dengan air bersih dalam waktu yang sangat lama. Panas (di atas 80°C) menyebabkan ikatan hidrogen dalam struktur heliks triple kolagen putus. Serat-serat kolagen mulai terurai dan larut sebagai gelatin. Gelatin adalah protein yang terdenaturasi; inilah satu-satunya bentuk kolagen yang dapat dicerna secara efisien oleh tubuh manusia.

4. Penambahan Rasa dan Kalori (Jika Ada)

Untuk membuat gelatin jangat ini setidaknya bisa ditelan, upaya akan dilakukan untuk menambahkan apa pun yang tersedia: sedikit rempah, garam yang mungkin tersisa, atau bahkan sedikit rumput yang bisa dimakan. Jika ada lemak yang tersisa (misalnya, lemak dari sepatu bot kulit yang tidak disamak sempurna), lemak ini sangat berharga karena memberikan kalori dan membantu penyerapan protein (mengurangi risiko keracunan protein).

XII. Kesimpulan: Jangat sebagai Monumen Daya Tahan

Makan jangat merupakan puncak dari adaptasi pangan ekstrem, praktik yang membentang melintasi ribuan tahun sejarah manusia, mulai dari pengepungan kuno hingga bencana modern. Ini adalah narasi tentang bagaimana, di bawah tekanan kelaparan yang tak tertahankan, materi yang dirancang untuk daya tahan—kulit yang keras, liat, dan seringkali beracun—dipaksa untuk menyerahkan energinya kepada organisme yang sedang berjuang untuk hidup.

Meskipun secara nutrisi tidak ideal dan penuh bahaya, khususnya karena kandungan tanin dan sifat protein yang tidak lengkap, keberhasilan mengolah dan mengkonsumsi jangat adalah sebuah testimoni terhadap kecerdikan dan kemauan tak tergoyahkan manusia untuk bertahan hidup. Makan jangat, pada akhirnya, adalah kisah tentang pemecahan kolagen di atas api, di tengah dingin dan keputusasaan, demi menunda akhir yang tak terhindarkan.

Praktik ini kini sebagian besar telah beralih menjadi ilmu pangan modern, di mana kolagen diekstrak dan digunakan secara aman sebagai gelatin. Namun, bayangan dari mereka yang pernah mengunyah tali pinggang kulit di ambang kematian tetap menjadi pelajaran keras dan abadi dalam sejarah kelangsungan hidup manusia.