Sumpah adalah manifestasi tertinggi dari janji, sebuah ikatan moral dan spiritual yang melibatkan otoritas yang lebih tinggi—baik itu Tuhan, leluhur, atau alam semesta—sebagai saksi dan penjamin. Dalam konteks budaya Indonesia, frasa makan sumpah bukanlah sekadar kiasan retoris; ia adalah konsep yang merujuk pada pelanggaran sumpah atau janji suci yang dilakukan secara sadar, yang dipercaya membawa serta konsekuensi hukuman, baik di dunia nyata maupun di alam baka. Fenomena ini menyentuh inti dari integritas individu, kohesi sosial, dan sistem kepercayaan komunal.
Artikel ini akan mengupas tuntas dimensi historis, filosofis, sosiologis, dan spiritual dari tindakan makan sumpah, mengeksplorasi bagaimana konsep ini telah membentuk peradaban, mempengaruhi tatanan hukum tradisional dan modern, serta beban psikologis yang menyertai pengkhianatan terhadap kata-kata yang telah disucikan.
Skema Timbangan Keadilan yang Terkorban. Sumpah yang dilanggar merusak keseimbangan moral dan sosial yang telah dijanjikan.
Sebelum membahas pelanggarannya, penting untuk memahami esensi dari sumpah itu sendiri. Sumpah (atau oath, vow, nadzar) bukanlah sekadar janji lisan biasa. Sumpah adalah janji eksistensial. Ini adalah pernyataan yang secara eksplisit atau implisit memanggil kekuatan transenden—kekuatan yang lebih besar dari diri pembuat sumpah—untuk menjadi saksi atas kebenaran perkataan atau kesungguhan niat untuk memenuhi komitmen di masa depan.
Ketika seseorang melakukan tindakan makan sumpah, ia bukan hanya mengingkari janji kepada manusia, tetapi secara langsung menantang dan memprovokasi kekuatan transenden yang telah ia panggil sebagai saksi. Ini adalah bentuk pengkhianatan kosmis yang dampaknya dianggap jauh melampaui kerugian material atau reputasi.
Konsep sumpah sangat universal. Di Mesopotamia kuno, sumpah sering diucapkan di hadapan dewa Shamash (dewa keadilan) atau Ishtar, dan pelanggarannya dicatat dalam kode hukum seperti Kode Hammurabi, yang menyebutkan hukuman fisik dan kutukan. Di Yunani kuno, Sumpah Hipokrates, misalnya, menempatkan dewa-dewi tertentu sebagai penjamin moralitas dokter. Demikian pula di Romawi, sumpah militer (sacramentum) adalah ikatan suci yang melampaui loyalitas politik biasa. Pelanggaran sumpah adalah pelanggaran terhadap fides—kepercayaan suci—yang merusak seluruh tatanan sosial dan spiritual negara.
Pemahaman historis ini menunjukkan bahwa sejak dahulu kala, manusia telah mengakui bahwa komitmen verbal memerlukan penjamin yang tak terjangkau oleh manipulasi manusiawi. Makan sumpah, oleh karena itu, adalah upaya sia-sia untuk mengakali sistem kebenaran fundamental yang telah disepakati.
Di Indonesia, konsep sumpah dan sanksi spiritualnya terjalin erat dengan adat dan hukum lokal. Kekuatan sumpah tidak hanya mengikat individu, tetapi juga seluruh komunitas dan garis keturunan.
Salah satu sumpah paling ikonik dalam sejarah Nusantara adalah Sumpah Palapa yang diikrarkan oleh Mahapatih Gajah Mada pada abad ke-14. Sumpah ini melampaui janji politik; ia menjadi raison d'être (alasan keberadaan) bagi Majapahit. Sumpah itu mengandung elemen pantangan (tidak akan menikmati buah palapa sebelum menyatukan Nusantara). Meskipun konteksnya adalah ambisi politik, pelanggaran terhadap sumpah tersebut bukan hanya akan menggagalkan penyatuan, tetapi juga akan mendatangkan kutukan personal dan politik terhadap Gajah Mada dan kerajaannya.
Pengkajian mendalam terhadap Sumpah Palapa menunjukkan bagaimana sumpah dapat berfungsi sebagai energi pendorong psikososial bagi suatu bangsa, sekaligus sebagai pagar spiritual yang sangat ditakuti. Pelanggaran Sumpah Palapa (jika itu terjadi) akan dianggap sebagai penghinaan terhadap semangat persatuan dan penolakan terhadap takdir ilahi yang diyakini mendukung Majapahit.
Dalam banyak tradisi adat, sumpah sering kali melibatkan media fisik atau ritual yang membuat hukuman ilahi menjadi lebih nyata dan mengerikan:
Mekanisme ritualistik ini dirancang untuk menciptakan ketakutan psikologis yang mendalam, memastikan bahwa sanksi moral dan spiritual sudah terasa bahkan sebelum pelanggaran dilakukan. Orang yang berani makan sumpah secara efektif menyatakan diri kebal terhadap hukum alam dan hukum spiritual yang dipegang teguh oleh komunitasnya.
Tindakan bersumpah adalah pengikatan diri yang melibatkan integritas hati dan kesaksian transenden.
Dalam hampir semua tradisi agama besar, melanggar janji yang telah diucapkan di hadapan Tuhan dianggap sebagai dosa besar dan tindakan kemunafikan yang serius. Konsep makan sumpah terbingkai dalam doktrin teologis yang ketat mengenai pertanggungjawaban individu.
Dalam Islam, sumpah (yamin) adalah janji yang dikuatkan dengan menyebut nama Allah (SWT). Terdapat pembedaan antara janji biasa dan sumpah yang melibatkan nama Tuhan. Melanggar sumpah seperti ini disebut al-hinf. Konsekuensinya tidak hanya bersifat spiritual di akhirat, tetapi juga memerlukan hukuman di dunia yang dikenal sebagai Kifarat Yamin (denda sumpah). Kifarat ini bertujuan untuk menebus dosa dan mengembalikan kehormatan sumpah yang telah dilanggar.
Kifarat bisa berupa memberi makan sepuluh orang miskin, memberi pakaian, atau membebaskan budak. Jika tidak mampu, maka berpuasa tiga hari. Penting untuk dicatat bahwa dalam Islam, makan sumpah bukan hanya dinilai dari hukuman otomatis (kutukan), tetapi dari kewajiban untuk mencari penebusan secara aktif, mengakui kegagalan, dan memulihkan ikatan dengan Sang Pencipta.
Namun, jika sumpah tersebut melibatkan nadzar (janji untuk melakukan sesuatu demi Tuhan), pelanggarannya dianggap lebih berat, karena nadzar adalah ibadah yang diwajibkan oleh diri sendiri. Pelanggaran nadzar mendekati makan sumpah dalam konteks tradisional, di mana sanksi ilahi bisa sangat langsung dan keras, karena melibatkan pengkhianatan terhadap niat suci yang telah dinyatakan.
Dalam tradisi Abrahamik, penekanan diletakkan pada kebenaran. Yesus mengajarkan agar umatnya tidak perlu bersumpah sama sekali, sebab perkataan "ya" haruslah berarti "ya" dan "tidak" berarti "tidak." Ini bukan meremehkan sumpah, melainkan meninggikan standar kejujuran sedemikian rupa sehingga janji biasa pun memiliki kekuatan yang setara dengan sumpah.
Ketika sumpah diucapkan (misalnya sumpah pernikahan atau sumpah di pengadilan), ia dianggap sebagai perjanjian yang disaksikan oleh Tuhan. Melanggar sumpah adalah tindakan penipuan terhadap Allah. Dalam Yudaisme, pelanggaran sumpah sering kali membutuhkan hari puasa dan ritual pertobatan yang ketat, mengakui bahwa tindakan tersebut telah merusak hubungan yang telah dikuduskan.
Dalam tradisi Hindu dan Buddha, konsep makan sumpah terintegrasi dalam hukum Karma. Pelanggaran janji, khususnya sumpah suci (seperti sumpah seorang biksu atau sumpah dharma), akan menghasilkan karma buruk yang sangat besar. Hukuman bukanlah datang dari dewa yang marah, melainkan dari hukum sebab-akibat kosmik yang bekerja secara otomatis.
Pelanggaran sumpah diyakini dapat menciptakan hutang spiritual yang mungkin tidak hanya diderita oleh individu yang melanggar, tetapi juga oleh generasi penerusnya, melalui siklus kelahiran dan reinkarnasi. Ini memberikan dimensi waktu yang jauh lebih panjang terhadap konsekuensi makan sumpah—bukan hanya azab di masa kini, tetapi juga masa depan eksistensi.
Selain retribusi spiritual yang diyakini, dampak nyata dari makan sumpah terasa paling dalam dalam ranah sosial dan psikologis. Sumpah berfungsi sebagai perekat sosial; ketika perekat itu dihancurkan, keruntuhan kepercayaan pun terjadi.
Dalam masyarakat tradisional, di mana kontrak lisan dan integritas pribadi adalah mata uang utama, sumpah adalah jaminan tertinggi. Ketika seseorang makan sumpah, ia tidak hanya kehilangan kredibilitas pribadinya, tetapi ia juga merusak institusi sumpah itu sendiri. Jika sumpah dapat dilanggar tanpa konsekuensi segera, maka seluruh sistem pertukaran janji dan kontrak menjadi tidak valid.
Hal ini menciptakan siklus kecurigaan yang merusak kohesi sosial. Masyarakat yang sering dihadapkan pada praktik makan sumpah akan menjadi sinis, sulit membangun kemitraan, dan cenderung mencari mekanisme penjaminan yang lebih keras atau kontraktual (legalistik) daripada yang berbasis moral dan kehormatan.
Sumpah adalah mata air kepercayaan. Jika mata air itu diracuni, seluruh komunitas akan merasa haus akan kebenaran dan integritas. Pelanggaran sumpah adalah pengumuman bahwa kehormatan telah mati, dan itu jauh lebih berbahaya daripada kejahatan finansial.
Bagi individu yang telah makan sumpah, beban psikologisnya bisa sangat menghancurkan, terlepas dari apakah mereka percaya pada hukuman ilahi atau tidak. Tindakan tersebut menciptakan disonansi kognitif yang parah:
Konsekuensi psikologis ini sering kali lebih instan dan nyata daripada kutukan spiritual yang dipercaya. Beban untuk hidup dengan pengkhianatan yang sangat disucikan dapat menghancurkan kesehatan mental, menjauhkan individu dari lingkaran sosial, dan pada akhirnya, memenuhi ramalan buruk yang diikat oleh sumpah itu sendiri.
Dalam sistem hukum modern yang sekuler, sumpah telah diubah dari kontrak spiritual menjadi instrumen hukum yang terstruktur. Meskipun demikian, sanksi bagi pelanggaran sumpah tetap berat, dikenal sebagai sumpah palsu atau perjury.
Sumpah dalam konteks hukum modern berfungsi untuk meninggikan kebenaran di atas kepentingan pribadi. Hakim, pejabat negara, dan saksi diwajibkan untuk bersumpah (di hadapan kitab suci atau Tuhan) bahwa mereka akan menjalankan tugas atau memberikan keterangan dengan jujur. Ini adalah upaya untuk memanfaatkan kekuatan moral dan spiritual, meskipun sanksinya murni pidana.
Ketika seorang pejabat atau saksi makan sumpah (yaitu, melakukan sumpah palsu), mereka tidak hanya dihukum karena melanggar hukum pidana (sering kali dengan hukuman penjara yang lama), tetapi mereka juga dianggap melakukan pengkhianatan terhadap institusi keadilan. Sumpah palsu merusak integritas sistem peradilan dan menyebabkan putusan yang tidak adil.
Perbedaan mendasar antara makan sumpah tradisional dan perjury modern terletak pada sumber hukumannya:
Meskipun demikian, dalam banyak masyarakat di Indonesia, sanksi spiritual dari makan sumpah tetap diyakini bahkan setelah hukuman pidana selesai dijalani. Masyarakat sering percaya bahwa hukuman dari negara hanyalah permulaan, dan azab yang sesungguhnya masih menunggu, entah dalam bentuk penyakit misterius, kesulitan finansial, atau musibah tak terduga yang menimpa keluarga.
Mengapa sumpah memiliki daya ikat yang begitu besar, hingga pelanggarannya dianggap sebagai kejahatan kemanusiaan yang mendalam? Jawabannya terletak pada bagaimana sumpah beroperasi dalam dimensi waktu dan identitas.
Sumpah adalah upaya untuk mengikat kehendak diri di masa depan (future self). Diri kita hari ini berjanji bahwa diri kita di masa depan akan bertindak sesuai dengan janji tersebut, bahkan ketika situasi berubah atau insentif untuk melanggar janji menjadi sangat besar. Sumpah berfungsi sebagai 'kunci moral' yang mengunci pilihan masa depan.
Ketika seseorang makan sumpah, ia sebenarnya menciptakan diskontinuitas antara 'diri yang berjanji' dan 'diri yang mengingkari'. Tindakan ini dianggap sebagai bentuk penipuan terhadap diri sendiri dan merusak integritas temporal eksistensi seseorang. Dalam filsafat moral, integritas ini adalah fondasi utama dari karakter yang dapat dipercaya.
Sumpah sering diucapkan dalam keheningan, kesucian, atau di hadapan objek yang disakralkan. Suasana ini bukanlah kebetulan. Ini dirancang untuk memisahkan sumpah dari komunikasi sehari-hari yang remeh. Melanggar sumpah adalah pengkhianatan terhadap momen sakral itu sendiri. Ini bukan hanya mengingkari perkataan, tetapi juga menodai ruang dan waktu di mana janji suci itu dibuat.
Jika sumpah diucapkan di tempat ibadah atau di atas kitab suci, tindakan makan sumpah menjadi sebuah bentuk penistaan yang memiliki implikasi serius terhadap tata krama agama dan moralitas publik.
Dalam banyak konflik atau keraguan, sumpah digunakan sebagai mekanisme terakhir untuk memverifikasi kebenaran. Pengujian ini sering disebut 'ordeal' atau 'cobaan suci'. Jika seseorang berhasil melewati sumpah tanpa segera ditimpa musibah, ia dianggap jujur. Sebaliknya, jika ia berani makan sumpah, ia telah meruntuhkan satu-satunya alat yang tersisa bagi masyarakat untuk membedakan kebenaran dari kebohongan mutlak.
Oleh karena itu, tindakan makan sumpah dilihat sebagai dosa yang sangat dalam karena ia merusak fondasi epistemologis (cara kita mengetahui kebenaran) masyarakat, membuat segala sesuatu yang diucapkan di masa depan diragukan, bahkan jika itu benar.
Untuk memahami sepenuhnya kedalaman konsekuensi makan sumpah, kita perlu melihat contoh di mana janji yang dilanggar memiliki implikasi sistemik dan berkepanjangan, jauh melampaui hukuman individu.
Dalam politik modern, para pemimpin mengucapkan sumpah untuk melayani rakyat dan konstitusi. Ketika pemimpin tersebut terlibat dalam korupsi skala besar atau penyalahgunaan kekuasaan (yang secara implisit merupakan pelanggaran sumpah jabatan), konsekuensinya bukan hanya kerugian finansial negara. Tindakan tersebut dianggap sebagai makan sumpah kolektif.
Dampak jangka panjangnya adalah erosi kepercayaan publik terhadap seluruh sistem pemerintahan. Masyarakat mulai berasumsi bahwa setiap pejabat yang mengucapkan sumpah hanyalah melakukan formalitas belaka, dan janji-janji mereka tidak memiliki daya ikat moral. Erosi ini menghasilkan apatisme politik, meningkatnya ketidakpatuhan sipil, dan pada akhirnya, ketidakstabilan negara.
Dalam kepercayaan tradisional, kutukan dari makan sumpah sering kali menargetkan keturunan. Meskipun terdengar tidak adil dari sudut pandang modern, ini mencerminkan pemahaman bahwa integritas seseorang memiliki implikasi genetik dan sosial.
Secara sosiologis, individu yang keluarganya memiliki sejarah pengkhianatan atau pelanggaran sumpah akan menghadapi stigma sosial yang sulit dihilangkan. Anak cucu mungkin harus menanggung konsekuensi berupa reputasi buruk, kesulitan dalam membangun relasi, atau bahkan diskriminasi dalam aspek kehidupan komunal. Ini adalah bentuk retribusi sosial yang bertindak seperti kutukan yang dipercaya—bukan karena kekuatan gaib, tetapi karena memori kolektif komunitas yang panjang.
Untuk menebus dosa leluhur yang telah makan sumpah, sering kali diperlukan ritual adat yang kompleks atau tindakan penebusan yang harus dilakukan oleh generasi penerus, mengakui bahwa hutang moral tersebut melampaui masa hidup satu orang.
Meskipun makan sumpah adalah pelanggaran serius, kebanyakan sistem kepercayaan dan hukum memberikan ruang untuk penebusan. Pemulihan integritas sangat penting bagi individu dan masyarakat.
Langkah pertama menuju penebusan adalah pengakuan penuh dan tulus atas pelanggaran yang telah dilakukan. Dalam banyak tradisi adat, pengakuan ini harus dilakukan di hadapan para sesepuh atau dewan adat. Pengakuan ini melucuti kekuatan tersembunyi dari sumpah yang dilanggar dan membawa kesalahan ke ranah publik, memungkinkan proses penyembuhan dimulai.
Tanpa pengakuan, pelanggaran tetap menjadi beban tersembunyi yang berpotensi merusak individu dan masyarakat dari dalam. Pengakuan, bahkan di bawah hukuman pidana, menunjukkan adanya sisa kehormatan.
Seperti yang disinggung dalam tinjauan teologis, penebusan sering kali memerlukan tindakan fisik atau material. Di luar Kifarat Islam, dalam tradisi adat, ini bisa berupa denda yang berat (misalnya, menyerahkan sejumlah ternak, sawah, atau melakukan kerja bakti bagi desa). Tujuan denda ini bukan untuk menghukum lebih lanjut, melainkan untuk mengembalikan keseimbangan kosmik dan sosial yang telah dirusak oleh tindakan makan sumpah.
Denda ini berfungsi sebagai simbolisasi bahwa individu bersedia membayar harga—bukan hanya harga hukum, tetapi harga moral—untuk kesalahan mereka.
Proses terakhir dan yang paling sulit adalah pemulihan kepercayaan. Kepercayaan yang hilang akibat makan sumpah tidak dapat dipulihkan hanya dengan kata-kata. Hal ini memerlukan konsistensi perilaku yang sangat panjang, bukti nyata dari pertobatan, dan janji hidup baru yang bebas dari pengkhianatan. Individu tersebut harus menunjukkan, melalui setiap tindakan selanjutnya, bahwa mereka tidak lagi menjadi 'diri yang melanggar janji'.
Dalam masyarakat yang didominasi oleh nilai-nilai kehormatan, pemulihan total mungkin tidak pernah tercapai sepenuhnya, namun perjuangan untuk memulihkan kehormatan itu sendiri adalah bagian integral dari proses penebusan yang diterima.
Sumpah adalah perjanjian yang diukir dalam batu moralitas; pelanggaran sumpah akan menciptakan keretakan yang sulit diperbaiki.
Meskipun kita hidup di era yang sangat rasional dan didominasi oleh kontrak tertulis, konsep sumpah dan konsekuensi spiritual dari pelanggarannya tetap relevan. Globalisasi dan krisis kepercayaan politik telah membawa kembali perhatian pada pentingnya integritas personal, yang merupakan inti dari sumpah.
Di dunia maya, di mana janji-janji (seperti privasi data atau anti-plagiarisme) sering dilanggar, kita menyaksikan makan sumpah dalam skala kolektif. Meskipun tidak ada kutukan spiritual formal, pelanggaran etika digital ini menyebabkan kerugian masif: kehancuran pasar, pencurian identitas, dan hilangnya kepercayaan terhadap institusi teknologi.
Dalam konteks ini, kita melihat bagaimana pelanggaran janji, meskipun tidak diucapkan di hadapan dewa, tetap menghasilkan retribusi sosial-ekonomi yang besar. Reputasi perusahaan yang melanggar janji privasi dapat hancur dalam semalam, yang merupakan versi modern dari kutukan kehancuran finansial dan sosial.
Pada akhirnya, kekuatan sumpah terletak pada pengakuan bersama bahwa ada nilai yang lebih tinggi daripada keuntungan pribadi. Dalam masyarakat yang didorong oleh kepentingan diri, sumpah adalah benteng terakhir yang mengingatkan manusia akan kewajiban mereka terhadap kebenaran mutlak dan tanggung jawab kolektif.
Menghargai sumpah—dan memahami beratnya tindakan makan sumpah—adalah cara untuk menjaga tatanan moral. Ketika individu dan institusi berhenti takut pada konsekuensi, baik spiritual maupun pidana, dari sumpah yang dilanggar, maka kerangka peradaban itu sendiri mulai goyah.
Fenomena makan sumpah berfungsi sebagai peringatan keras: bahwa kata-kata yang diucapkan di bawah naungan kebenaran memiliki berat yang kekal, dan upaya untuk menghindarinya akan selalu menuntut harga yang jauh lebih mahal daripada janji yang disimpan.
Untuk melengkapi pembahasan mengenai dimensi konsekuensi yang sangat mendalam, perlu diulas bagaimana persepsi masyarakat tradisional mengkonstruksi mekanisme kutukan atau retribusi spiritual. Hal ini penting karena ketakutan terhadap mekanisme inilah yang sesungguhnya menjaga daya ikat sumpah dalam konteks komunal.
Dalam banyak tradisi, pelanggaran sumpah tidak hanya mendatangkan hukuman, tetapi juga menyebabkan kontaminasi atau kenajisan spiritual, sering disebut mala atau cuntaka. Orang yang telah makan sumpah dianggap membawa energi negatif yang dapat mencemari lingkungan, ritual, atau bahkan orang lain di sekitarnya. Ini memaksa isolasi sosial, bahkan sebelum hukuman fisik dijatuhkan.
Kontaminasi ini dipercaya menarik kekuatan jahat atau roh pengganggu, yang kemudian diinterpretasikan sebagai musibah (gagal panen, wabah penyakit, kecelakaan). Dengan demikian, kutukan bukanlah hukuman yang dijatuhkan secara acak, melainkan hasil otomatis dari ketidakseimbangan energi yang disebabkan oleh kebohongan suci tersebut. Orang yang makan sumpah secara harfiah merusak harmonisasi antara dirinya dan kosmos.
Kutukan yang terkait dengan makan sumpah jarang datang dalam bentuk yang sederhana. Seringkali ia datang secara bertahap, menyesuaikan diri dengan jenis pelanggaran yang dilakukan. Misalnya, jika sumpah dilanggar dalam konteks janji kekayaan, kutukan mungkin bermanifestasi sebagai hilangnya kekayaan secara misterius atau investasi yang selalu gagal.
Jika sumpah berkaitan dengan kejujuran dalam pernikahan, kutukan mungkin bermanifestasi sebagai penyakit yang menyerang organ yang terkait dengan kehidupan atau kemampuan untuk memiliki keturunan. Sifat simbolis dan terperinci dari kutukan ini memperkuat keyakinan bahwa ada kekuatan ilahi yang mengamati dan menyesuaikan hukuman secara adil, meskipun melalui cara-cara yang mengerikan.
Ketika seseorang ditimpa musibah yang diyakini akibat makan sumpah, mereka sering kali tidak mencari dokter atau polisi, melainkan penyembuh adat atau dukun. Peran penyembuh ini adalah ganda:
Proses ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat tradisional, konsekuensi dari makan sumpah adalah penyakit komunal dan spiritual yang memerlukan intervensi kolektif untuk disembuhkan, bukan hanya dihukum.
Dari sudut pandang filosofi moral, perbedaan pandangan mengenai mengapa makan sumpah itu salah menawarkan perspektif yang memperkaya pemahaman kita.
Bagi Kant, melanggar sumpah adalah salah secara intrinsik, terlepas dari konsekuensinya. Sumpah adalah imperatif kategoris, sebuah kewajiban moral yang mutlak. Ketika kita berbohong saat bersumpah, kita tidak dapat mengharapkan orang lain melakukan hal yang sama (universalitas) tanpa menghancurkan konsep janji itu sendiri. Jika semua orang makan sumpah, maka sumpah menjadi tidak berarti.
Oleh karena itu, dari perspektif Kantian, kerugian terbesar dari makan sumpah adalah bahwa individu tersebut menggunakan dirinya sendiri dan orang lain sebagai sarana, bukan tujuan, dan merusak hukum moral universal.
Utilitarianisme menilai tindakan berdasarkan dampaknya (konsekuensi). Melanggar sumpah adalah salah karena secara umum menghasilkan lebih banyak penderitaan dan kerugian daripada kebahagiaan. Kerugian yang ditimbulkan oleh makan sumpah sangat besar:
Dalam pandangan ini, meskipun Kant akan mengatakan bahwa berbohong itu salah bahkan jika menyelamatkan ribuan nyawa (karena melanggar kewajiban moral mutlak), Utilitarianisme akan mengutuk makan sumpah karena dampak negatifnya yang meluas dan sistemik terhadap kesejahteraan kolektif.
Kedua pandangan filosofis ini menegaskan bahwa, terlepas dari apakah seseorang percaya pada kutukan spiritual atau tidak, tindakan makan sumpah tetap merupakan salah satu pelanggaran moral dan etika yang paling serius yang dapat dilakukan seseorang.
Fenomena makan sumpah melintasi batas-batas budaya, agama, dan zaman. Ia adalah cerminan abadi dari perjuangan manusia untuk menjembatani jurang antara niat dan tindakan, antara kata yang diucapkan dan kebenaran yang dijalani. Sumpah adalah jembatan yang menghubungkan realitas individu dengan otoritas transenden, baik itu Tuhan, adat, atau hukum moral universal.
Konsekuensi dari makan sumpah—mulai dari azab spiritual yang ditakuti dalam tradisi Nusantara, kewajiban kifarat dalam Islam, hukuman pidana dalam hukum modern, hingga kehancuran psikologis individu—semuanya berfungsi sebagai pengingat kolektif. Peringatan itu berbunyi bahwa ketika seseorang meninggikan kata-kata mereka ke tingkat sumpah, mereka melepaskan sebagian dari kebebasan masa depan mereka untuk menjamin integritas diri saat ini.
Di era modern yang serba cepat dan sering melupakan ikatan moral, pemahaman akan beratnya makan sumpah adalah kunci untuk memelihara kepercayaan, integritas, dan tatanan sosial yang beradab. Sumpah bukanlah pilihan, melainkan pertaruhan eksistensial yang jika dikhianati, dapat membawa retribusi tak terhindarkan, baik dari tangan manusia maupun dari mekanisme kosmik yang lebih besar.
Inilah mengapa, hingga hari ini, tidak ada satu pun peradaban yang dapat bertahan lama tanpa menghormati kekuatan janji suci.