Kata Mamlakat adalah sebuah terminologi Arab yang melampaui sekadar terjemahan 'kerajaan' atau 'negara'. Ia merangkum spektrum filosofis dan politik yang mendalam, mencakup wilayah kedaulatan, aset yang dikuasai, dan yang paling penting, otoritas sah yang dimiliki oleh seorang penguasa (Malik). Dalam peradaban yang berakar pada tradisi Islam, Mamlakat menjadi poros tempat politik, hukum, teologi, dan geografi bertemu, membentuk struktur peradaban yang berabad-abad lamanya. Eksplorasi mendalam terhadap konsep ini membawa kita pada pemahaman tentang bagaimana kekuasaan diorganisir, bagaimana keadilan ditegakkan, dan bagaimana batas-batas dominion (kekuasaan) didefinisikan dalam sejarah dunia, khususnya di wilayah Nusantara hingga Timur Tengah.
Gambar 1: Otoritas (Mahkota) yang ditopang oleh Pilar (Fondasi Mamlakat).
Secara etimologi, Mamlakat (مَمْلَكَة) berasal dari akar kata Arab, Malaka (مَلَكَ), yang secara harfiah berarti memiliki, menguasai, atau memerintah. Dari akar ini lahir banyak turunan kata, seperti Malik (Raja), Mulk (Kepemilikan atau Dominion), dan Malakut (Kerajaan Ilahi atau Alam Semesta). Nuansa linguistik ini menunjukkan bahwa Mamlakat bukan hanya merujuk pada entitas teritorial, tetapi juga pada hak dan kemampuan untuk mengklaim dan mengontrol sesuatu—baik itu tanah, rakyat, atau kekayaan.
Dalam konteks sejarah politik Islam, penggunaan Mamlakat sering kali disandingkan atau dibedakan dengan tiga istilah kunci lainnya: Khilafah (kekhalifahan), Daulah (dinasti/negara), dan Imarah (kepemimpinan). Perbedaan ini krusial untuk memahami evolusi struktur politik. Sementara Khilafah secara ideal merujuk pada kepemimpinan universal umat Islam yang bersifat teokratis atau keagamaan (mengikuti sunnah Nabi), Mamlakat lebih merujuk pada entitas politik yang bersifat sekuler atau monarki herediter.
Transformasi politik yang paling signifikan dalam sejarah Islam terjadi pasca-era Khulafa'ur Rasyidin. Sejarawan dan filsuf politik Muslim, seperti Ibn Khaldun dalam karyanya yang monumental, Muqaddimah, secara eksplisit membahas bagaimana institusi Khilafah bermetamorfosis menjadi Mulk. Mulk, yang merupakan sinonim untuk konsep Mamlakat, ditandai dengan munculnya kekuasaan dinastik, penggunaan tentara bayaran, dan pemisahan kekuasaan berdasarkan garis keturunan, bukan semata-mata konsensus atau keutamaan moral (syura).
Ibn Khaldun mendefinisikan Mulk sebagai puncak dari Ashabiyyah (solidaritas sosial). Ketika sebuah kelompok telah mencapai dominasi total, mereka beralih dari fase protektif dan pertahanan (Khilafah awal) menuju fase kekuasaan dan kemewahan yang diwariskan (Mamlakat). Ini menunjukkan bahwa Mamlakat adalah tahapan alami dalam siklus hidup sebuah peradaban politik.
Pada abad pertengahan, ketika otoritas Kekhalifahan Abbasiyah melemah, banyak entitas politik regional yang muncul—seperti dinasti Seljuk, Mamluk di Mesir, dan berbagai kesultanan di Persia—secara de facto beroperasi sebagai Mamlakat yang independen. Meskipun mereka mungkin masih mengakui Khalifah di Baghdad sebagai kepala spiritual (simbolis), kedaulatan politik, militer, dan ekonomi mereka berada sepenuhnya di tangan Sultan atau Amir. Istilah Mamlakat lantas menjadi nomenklatur umum untuk merujuk pada kekuasaan monarki otonom.
Dalam bahasa Indonesia modern, Mamlakat sering diterjemahkan sebagai 'kerajaan' (misalnya, *Mamlakat al-Maghrib* menjadi Kerajaan Maroko). Namun, terjemahan ini gagal menangkap kedalaman filosofisnya. Saat ini, istilah yang paling dekat adalah 'negara' (*Daulah*), tetapi Mamlakat mengandung bobot historis otoritas personal penguasa yang jauh lebih kuat dibandingkan konsep negara-bangsa modern yang mengutamakan kedaulatan rakyat atau hukum konstitusional. Konsep ini mengajarkan kita tentang sejarah kedaulatan yang diturunkan dari atas ke bawah.
Berbeda dengan citra tirani yang mungkin disematkan pada monarki absolut, filosofi politik klasik yang mendasari Mamlakat menuntut adanya fondasi moral yang kuat. Pilar utama yang menopang eksistensi dan legitimasi sebuah Mamlakat adalah *Al-’Adl* (Keadilan) dan *Al-Quwwah* (Kekuatan/Militer). Tanpa keduanya, sebuah kerajaan akan hancur dari dalam atau ditaklukkan dari luar.
Prinsip yang paling mendasar dalam teori politik Timur Tengah dan Persia adalah "Lingkaran Keadilan" (*Dairat al-Adl*), sebuah konsep yang diadopsi luas oleh para filsuf, dari Al-Farabi hingga Nizam al-Mulk. Prinsip ini menjelaskan interdependensi antara berbagai elemen kekuasaan:
Oleh karena itu, Mamlakat yang ideal adalah Mamlakat yang mampu menjaga lingkaran ini tetap utuh. Keadilan (Adl) bagi rakyat akan menghasilkan kemakmuran (Kharaj/Pajak), kemakmuran memungkinkan kekuatan militer (Jund), dan kekuatan militer mempertahankan Mamlakat (Mulk). Jika keadilan lenyap, kemakmuran akan mengering, tentara akan lemah, dan kerajaan akan runtuh.
Gambar 2: Timbangan Keadilan, sebagai prasyarat eksistensi Mamlakat.
Kekuatan (Quwwah) dalam Mamlakat diwujudkan melalui organisasi militer yang stabil (Jund) dan sistem birokrasi yang efisien (Diwan). Mamlakat tidak dapat bertahan hanya berdasarkan otoritas moral; ia membutuhkan mekanisme nyata untuk menegakkan hukum dan memungut pajak. Sistem Diwan, yang diwarisi dari model Persia dan Romawi Timur, berfungsi sebagai tulang punggung administrasi.
Diwan al-Kharaj (Dewan Perpajakan) memastikan aliran dana untuk membiayai Diwan al-Jund (Dewan Militer). Struktur birokrasi yang kompleks ini, yang dikelola oleh para wazir, kadi, dan sekretaris (*katib*), adalah manifestasi operasional dari Mamlakat. Tanpa birokrasi yang mampu mencatat kepemilikan tanah, menghitung hasil panen, dan mengelola irigasi, kerajaan akan lumpuh, tidak peduli seberapa agung penguasanya.
Konsep Mamlakat juga sangat terkait dengan organisasi spasial kekuasaan. Sebuah Mamlakat selalu memiliki pusat (Hadhirah atau Ibukota) dan wilayah pinggiran (Atraf atau Periferi). Hubungan antara pusat dan periferi sering kali menentukan stabilitas dan usia kerajaan tersebut.
Ibukota adalah jantung dari Mamlakat, tempat Sultan atau Raja bertahta. Ini adalah pusat simbolis, politik, ekonomi, dan militer. Di ibukota, istana (Dar al-Imarah) berfungsi sebagai simbol kedaulatan. Kota-kota besar seperti Baghdad, Kairo, Isfahan, atau kemudian di Nusantara seperti Samudra Pasai dan Mataram, adalah pusat di mana keputusan politik dibuat, hukum ditegakkan, dan legitimasi penguasa diperkuat melalui upacara dan arsitektur megah.
Jangkauan efektif sebuah Mamlakat sering kali menurun seiring jarak dari pusat. Wilayah periferi, terutama yang didiami oleh suku-suku atau kelompok etnis yang berbeda, sering kali hanya dikontrol secara longgar. Di wilayah ini, kekuasaan dijalankan melalui penguasa lokal (seperti Raja Bawahan atau Amir) yang mengakui supremasi Sultan melalui pembayaran upeti (Kharaj) dan penyebutan nama Sultan dalam khotbah Jumat (Khutbah).
Dalam sejarah Islam, ini menimbulkan dilema: kapan otonomi regional menjadi separatisme? Jika seorang penguasa bawahan mulai mengklaim hak untuk mencetak mata uang sendiri (Sikkah) dan menghapus nama Sultan dari khotbah, itu dianggap sebagai deklarasi kemerdekaan dan menandai perpecahan Mamlakat. Oleh karena itu, pengawasan terhadap koin dan khotbah adalah barometer utama kesehatan politik kerajaan.
Konsep Mamlakat memiliki relevansi yang sangat besar dalam konteks Asia Tenggara Maritim (Nusantara), di mana kerajaan-kerajaan Islam muncul dan berkembang sejak abad ke-13. Meskipun istilah yang paling umum digunakan adalah 'Kerajaan' atau 'Kesultanan,' struktur politik dan filosofis di baliknya sangat dipengaruhi oleh konsep Mulk dan Mamlakat yang dibawa melalui jalur perdagangan dan ulama.
Di Nusantara, konsep Mamlakat mengalami sinkretisme dengan tradisi Hindu-Buddha sebelumnya, terutama konsep Dewa-Raja dan *Mandala*. Penguasa Muslim (Sultan) tidak hanya menjadi pemimpin politik dan militer (Malik), tetapi juga diangkat ke status yang mendekati spiritual, yang disebut *Khalifatullah fil Ardh* (Wakil Allah di Bumi). Legitimasi ini mengukuhkan otoritas mereka sebagai pemilik sah Mamlakat.
Kesultanan Aceh, yang mencapai puncak kejayaannya di bawah Sultan Iskandar Muda, adalah contoh klasik Mamlakat yang terstruktur dengan kuat. Aceh mendirikan sistem administrasi yang kompleks, termasuk:
Kesatuan antara *Meunasah* (Masjid/Agama) dan *Istana* (Pusat Kekuasaan) adalah inti dari legitimasi Mamlakat di Aceh. Kegagalan untuk menyeimbangkan dua kekuatan ini—politik dan agama—sering menjadi penyebab konflik internal pasca-kemunduran.
Untuk benar-benar memahami dimensi Mamlakat, kita harus menengok pada pemikiran para filsuf Islam yang berusaha menciptakan model negara ideal, yang mereka sebut Al-Madinah al-Fadhilah (Negara Utama) atau *Mamlakat al-Fadhilah*.
Al-Farabi (w. 950 M), sangat dipengaruhi oleh Plato, menggambarkan *Mamlakat* yang sempurna, yang dipimpin oleh seorang Ra'is Awwal (Pemimpin Utama). Pemimpin ini harus memiliki kualitas filosofis (kebijaksanaan) dan kenabian (hukum Ilahi). Dalam pandangan Al-Farabi, Mamlakat harus berfungsi layaknya tubuh manusia, di mana setiap organ (kelas sosial) bekerja selaras di bawah perintah jantung (Pemimpin Utama). Jika pemimpin adalah seorang filsuf-raja yang adil, maka Mamlakat akan mencapai kebahagiaan sejati (sa'adah). Jika tidak, kerajaan akan merosot menjadi tirani (*Mamlakat al-Taghallub*), di mana kekuasaan semata-mata didasarkan pada paksaan dan bukan keadilan.
Al-Mawardi (w. 1058 M) fokus pada aspek hukum dan administrasi Mamlakat. Karyanya, *Al-Ahkam al-Sultaniyyah*, mendefinisikan secara rinci fungsi Wazir, Hakim (Kadi), dan berbagai birokrasi. Bagi Al-Mawardi, meskipun kekuasaan politik (Mulk) mungkin dijalankan oleh Sultan, legitimasinya harus berakar pada penegakan Syariah. Ini menciptakan ketegangan abadi dalam Mamlakat: apakah penguasa adalah wakil Tuhan atau hanya seorang administrator yang didukung oleh kekuatan militer?
Tidak ada Mamlakat yang abadi. Filsuf dan sejarawan telah lama mempelajari faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran dan kehancuran kerajaan. Analisis Ibn Khaldun mengenai siklus peradaban tetap menjadi kerangka kerja paling berpengaruh.
Ibn Khaldun berargumen bahwa setiap Mamlakat memiliki batas waktu sekitar tiga generasi (sekitar 120 tahun). Generasi pertama mendirikan kerajaan dengan semangat *Ashabiyyah* (solidaritas, militansi, kekasaran padang pasir). Generasi kedua menikmati hasil kekuasaan, dan masih mempertahankan sedikit solidaritas pendahulunya. Generasi ketiga, yang lahir dalam kemewahan dan jauh dari perjuangan, kehilangan *Ashabiyyah* mereka.
Degradasi *Ashabiyyah* di pusat Mamlakat menyebabkan penguasa bergantung pada:
Ketika kemewahan merajalela dan keadilan terabaikan, Lingkaran Keadilan rusak. Rakyat menolak membayar pajak, ekonomi melemah, militer tidak terbayar dan menjadi tidak efektif, lalu Mamlakat menjadi rentan terhadap serangan dari kelompok baru dengan *Ashabiyyah* yang kuat, memulai siklus kehancuran dan pendirian kembali.
Dengan munculnya Nation-State (Negara Bangsa) pada abad ke-20, yang dipengaruhi oleh konsep kedaulatan Westphalia, banyak Mamlakat tradisional di Timur Tengah dan Asia yang bertransformasi atau runtuh. Meskipun bentuk monarki absolut sebagian besar telah digantikan oleh bentuk republik atau monarki konstitusional, warisan filosofis Mamlakat tetap hidup.
Di negara-negara yang masih mempertahankan sistem monarki (seperti Malaysia, Brunei, atau Maroko), konsep Malik (Raja) atau Sultan membawa legitimasi historis yang melampaui konstitusi modern. Kedaulatan mereka, meski dibatasi oleh parlemen, masih merujuk pada hak historis untuk menguasai (Malaka) Mamlakat. Raja atau Sultan sering bertindak sebagai simbol persatuan dan keadilan, fungsi utama yang secara teoretis diemban oleh para penguasa Mamlakat klasik.
Dalam konteks Indonesia, yang merupakan republik, warisan Mamlakat terlihat dalam penghargaan terhadap warisan kesultanan masa lalu (misalnya Kesultanan Yogyakarta atau Solo) yang masih mempertahankan peran budaya dan terkadang administratif. Meskipun Indonesia adalah negara-bangsa, struktur sosial dan penghormatan terhadap otoritas tradisional sering mencerminkan jejak konsep dominion dan kekuasaan personal yang terkandung dalam terminologi Mamlakat.
Analisis terhadap Mamlakat mengajarkan bahwa kekuasaan sejati tidak hanya terletak pada batas-batas geografis yang digambar di peta, tetapi pada kemampuan penguasa untuk menyeimbangkan paksaan (militer), administrasi (birokrasi), dan moralitas (keadilan). Keruntuhan dan kebangkitan Mamlakat sepanjang sejarah menjadi pelajaran abadi tentang sifat kedaulatan dan tuntutan yang tak terhindarkan untuk menegakkan *Adl* sebagai satu-satunya jaminan stabilitas jangka panjang. Pemahaman yang mendalam tentang Mamlakat adalah kunci untuk membuka pintu rahasia sejarah peradaban yang membentuk geopolitik global hingga hari ini.
Kelangsungan hidup sebuah Mamlakat sangat bergantung pada sistem ekonomi yang efektif, yang berpusat pada institusi Baitul Mal (Perbendaharaan Negara). Baitul Mal bukan sekadar bank sentral modern, melainkan sebuah gudang yang berfungsi sebagai kas negara, dana kesejahteraan sosial, dan dana darurat perang, sekaligus mewakili kedaulatan finansial Sultan atas wilayahnya.
Sumber daya yang membiayai tentara dan birokrasi Mamlakat berasal dari berbagai pos. Pemungutan pajak ini harus dilakukan dengan hati-hati; jika terlalu tinggi, akan merusak keadilan dan memicu pemberontakan; jika terlalu rendah, akan melemahkan militer.
Kekuasaan Sultan atas Mamlakat diwujudkan juga melalui kontrol atas mata uang (Sikkah) dan pasar. Mencetak koin emas (Dinar) dan perak (Dirham) dengan nama Sultan adalah deklarasi kedaulatan yang mutlak. Pejabat yang disebut Muhtasib ditugaskan untuk mengawasi pasar (Suq), memastikan standar berat dan ukuran yang adil, serta mencegah penipuan dan penimbunan. Keberadaan Muhtasib merupakan implementasi praktis dari konsep keadilan (Adl) di tingkat ekonomi mikro, yang memastikan bahwa masyarakat dapat mencari nafkah tanpa ditipu, sehingga menjaga ketenangan publik yang esensial bagi kelangsungan Mamlakat.
Ketika penguasa mulai mengurangi kadar emas dalam koin untuk membiayai pengeluaran pribadi (inflasi), ini adalah tanda awal kemunduran dan korupsi yang merusak kepercayaan publik, yang pada gilirannya mempercepat kehancuran Mamlakat, sesuai dengan tesis Ibn Khaldun.
Dalam perdebatan politik Islam, pertanyaan tentang bagaimana seorang penguasa monarki (Malik) dapat memperoleh legitimasi keagamaan yang sah sangat penting. Inilah yang diatasi oleh konsep Siyasah Shar'iyyah (Politik Berdasarkan Syariah). Konsep ini berusaha merekonsiliasi kekuasaan faktual (Mamlakat) dengan tuntutan ideal hukum Ilahi (Syariah).
Sejak zaman Kekhalifahan Abbasiyah, para ulama menyadari bahwa meskipun Khilafah ideal telah hilang, anarki (kekosongan kekuasaan) lebih berbahaya daripada pemerintahan monarki yang zalim. Oleh karena itu, *Siyasah Shar'iyyah* berpendapat bahwa selama penguasa Mamlakat mampu: 1) menjaga keamanan publik, 2) melindungi wilayah Islam dari serangan luar, dan 3) menegakkan Syariah (walaupun tidak sempurna), maka ketaatan kepadanya wajib secara agama.
Konsep ini memberikan fleksibilitas kepada para Sultan untuk membuat hukum dan regulasi (disebut Qanun atau Urf) yang diperlukan untuk menjalankan administrasi negara yang kompleks, asalkan Qanun tersebut tidak bertentangan secara frontal dengan prinsip-prinsip dasar Syariah. Hukum yang dibuat oleh Sultan untuk mengelola pasar, militer, dan perpajakan dikenal sebagai Siyasah. Hukum Siyasah ini adalah perwujudan praktis kedaulatan dalam Mamlakat.
Ulama memainkan peran ganda dalam Mamlakat. Mereka adalah sumber legitimasi spiritual, namun juga merupakan kritik internal terkuat. Para ulama istana (Ulama resmi) bertugas menasihati Sultan dan menyusun fatwa yang mendukung kebijakan negara. Sebaliknya, ulama independen sering kali menjadi suara oposisi yang mengingatkan Sultan akan kewajibannya menegakkan keadilan (Adl). Ketegangan antara dua kelompok ulama ini sering kali menentukan arah politik dan moralitas sebuah Mamlakat. Di Nusantara, peran Ulama dalam Mamlakat sangat dominan, sering kali memiliki struktur hirarki yang sejajar dengan struktur politik, seperti yang terlihat pada institusi *Qadi Malikul Adil* di Aceh.
Sebuah Mamlakat didefinisikan tidak hanya oleh struktur internalnya, tetapi juga oleh hubungannya dengan entitas politik lain—baik Mamlakat Muslim lainnya maupun kekaisaran non-Muslim (Dar al-Harb).
Berbeda dengan batas negara modern yang kaku, batas-batas Mamlakat klasik sering kali elastis dan berpusat pada jangkauan pengaruh dan kemampuan memungut pajak. Wilayah yang diklaim sebagai milik Mamlakat (Dar al-Islam) tidak selalu merupakan wilayah yang homogen; ia mencakup zona penyangga dan wilayah yang hanya membayar upeti.
Diplomasi antar Mamlakat melibatkan pertukaran duta besar, perjanjian non-agresi, dan—yang paling penting—pengakuan timbal balik atas gelar dan kedaulatan. Pengakuan bahwa Sultan dari Mamlakat A memiliki hak sah atas wilayahnya adalah bagian penting dari menjaga keseimbangan regional.
Banyak Mamlakat, terutama yang menguasai jalur rempah dan sutra, mendapatkan kekayaan dan kekuatan melalui kontrol atas perdagangan. Di Nusantara, Mamlakat Malaka atau Kesultanan Demak menggunakan kekuatan laut mereka untuk mendominasi pelayaran, menerapkan hukum laut, dan memaksakan bea cukai, yang secara efektif memperluas dominion maritim mereka jauh melampaui batas daratan. Penguasaan atas laut ini adalah manifestasi lain dari Mulk (kepemilikan) yang integral terhadap konsep Mamlakat.
Kekuasaan dalam Mamlakat tidak hanya bersifat fungsional (pajak dan militer), tetapi juga bersifat simbolis. Simbolisme ini vital untuk menanamkan rasa hormat dan ketaatan dalam diri rakyat.
Istana (Dar al-Sultan) dan struktur kota dirancang untuk mencerminkan keagungan dan kekuasaan absolut. Masjid Agung yang berdekatan dengan Istana melambangkan kesatuan antara kekuasaan duniawi dan spiritual. Benteng, tembok kota, dan gerbang yang megah berfungsi sebagai pengingat fisik akan kemampuan Mamlakat untuk melindungi dan mengendalikan. Kota-kota yang terencana rapi, seperti Isfahan di Persia atau Kota Tua di Istanbul, adalah cetak biru Mamlakat yang tertata, tempat setiap elemen arsitektur berfungsi untuk memperkuat legitimasi penguasa.
Gelar yang disandang oleh penguasa mencerminkan klaim otoritas mereka. Misalnya, gelar Sultan (Pemilik Otoritas), Syahansyah (Raja Diraja), atau Paduka Sri Sultan (di Nusantara) adalah ekspresi linguistik dari klaim atas Mamlakat. Upacara penobatan, parade militer, dan perayaan hari besar juga berfungsi sebagai ritual politik yang memperbaharui kontrak sosial antara penguasa dan rakyat. Kegagalan melakukan ritual ini dengan benar dapat dianggap sebagai pertanda lemahnya kedaulatan.
Secara keseluruhan, konsep Mamlakat adalah sebuah cetak biru peradaban yang kompleks. Ia mencakup sistem pemerintahan yang didasarkan pada kekuatan militer yang ditopang oleh keadilan ekonomi, dilegitimasi oleh kerangka hukum agama, dan diperkuat oleh arsitektur dan simbolisme visual. Mamlakat adalah manifestasi nyata dari upaya manusia untuk menata kekuasaan, menanggapi kebutuhan praktis negara, sambil tetap berusaha mencapai cita-cita keadilan ilahi. Walaupun bentuk-bentuk kekuasaan telah berubah drastis, pelajaran mengenai siklus, keadilan, dan solidaritas yang terkandung dalam sejarah Mamlakat tetap relevan untuk analisis politik masa kini.
***